Tradisi Pacu Jawi di Kabupaten Tanahdatar

Pariaman, Sumbar - Hari Sabtu itu, (11/8), suasana di Nagari Tabek Kecamatan Pariangan terasa berbeda dari hari lainnya. Masyarakat terlihat memakai pakaian lebih rapi dari biasanya. Walau matahari mulai sangat terik dan terasa menyengat, tidak mengurangi semangat mereka untuk menuju Balairung Sari, yaitu sebuah balai-balai atau tempat berkumpulnya masyarakat di nagari itu.

Hari itu, mereka akan melaksanakan acara penutupan alek nagari (pesta adat) pacu jawi. Di tempat itu, bundo kanduang (kaum ibu, red) memakai pakaian adat dan terlihat membawa talam yang berisi makanan dan ditutup dengan jamba (kain yang menutup talam, red). Sementara, ninik mamak juga terlihat gagah dengan pakaian kebesaran mereka dan saluak yang melilit di kepala.

Di halaman Balairung Sari, jawi yang menang pada pacu jawi sebelumnya dikumpulkan dan diberi pakaian layaknya raja dan ratu. Para pemilik dan orang kampung bersama-sama mendandani mereka. Hiasannya berupa kain dan sunting, serta hiasan lainnya yang dipasang di badan mereka. Sesekali jawi-jawi yang sudah jinak ini juga menggeleng-gelengkan kepala atau saling beradu, sehingga pemiliknya terpaksa menenangkannya.

Mungkin mereka risih dengan pakaian yang dipasang di badan mereka, atau risih karena ramainya orang yang ingin berfoto bersama mereka. Jawi-jawi ini juga diberi nama, ada yang bernama Marica, ada juga bernama Samarinda, dan lainnya. “Dia ini kecil, namun larinya kencang dan menyentak, makanya diberi nama Marica,” ujar salah seorang pemilik jawi.

Pagi itu, wisatawan sudah banyak berdatangan. Bagi wisatawan luar negeri, begitu banyak yang menarik perhatian mereka. Ibu-ibu menjunjung talam, bapak-bapak yang mendandani sapi, bermain talempong, dan ibu-ibu yang duduk berbaris pun tak lepas dari bidikan kamera mereka.

Pacu jawi seakan menjadi pelipur lara masyarakat akan susahnya mendapatkan pupuk, langkanya minyak tanah dan harga-harga yang semakin melambung. Pacu jawi menjadi bahan cerita yang tak pernah putus-putusnya disebut-sebut di tempat berkumpul, seperti warung kopi, pasar dan di rumah-rumah. Momen itu selalu dinanti-nanti masyarakt yang ada di empat kecamatan di Kabupaten Tanahdatar, yaitu Rambatan, Sungai Tarab, Pariangan, dan Limokaum.

Malam sebelum acara, bapak-bapak duduk di kedai kopi. Mereka menceritakan peristiwa-peristiwa unik yang terjadi pada pacuan sebelumnya. Sesekali diiringi tawa yang renyah di sela-sela asap rokok yang mengepul ketika ada yang menceritakan giginya yang terlepas karena menggigit ekor jawi yang tidak mau berlari.

Pada malam menjelang pacuan juga orang-orang di masing-masing nagari menyusun strategi dan mempersiapkan jawi pacuan mereka.

“Saya sudah menjadi pelatih jawi dan joki jawi pacuan sejak tahun 60-an, baru dua tahun ini saya tidak turun ke gelanggang, karena gigi ini sudah tidak ada lagi untuk menggigit ekor sapi,” ujar Irman Angku Sabaleh Malin Bungsu tokoh masyarakat Parambahan, yang sangat disegani di arena pacu jawi ini sambil memperlihatkan giginya yang sudah mulai habis.

Selain joki dan pelatih junior, pria berperawakan besar ini sudah berpengalaman dan adalah orang yang dianggap mampu menilai jawi pacuan dan mempersiapkan mereka untuk turun di arena.

Di kedai yang ada di tepi jalan yang sawahnya luas hingga sejauh mata memandang itu, penduduk nagari itu berkumpul. Kepada Padang Ekspres, mereka menceritakan berbagai hal tentang pacu jawi. Mak Sabaleh (panggilan akrab Angku Sabaleh Malin Bungsu) mengatakan, pacu jawi bukan sekedar perlombaan yang memperebutkan menang dan kalah. Namun, pacu jawi adalah sarana berkumpulnya masyarakat di empat kecamatan yang menyelenggarakannya.

Begitu banyak kejadian lucu dan menggelikan terjadi di arena pacuan. Katanya, jawi yang dimiliki seseorang dan turun ke gelanggang adalah kebanggaan dari pemiliknya. Tidak jarang seseorang yang jawinya menang harganya akan melonjak hingga puluhan juta. Bahkan, dia menceritakan, karena tidak ingin kalah, setelah alek selesai, istri menjual semua emas yang melekat di badannya untuk membeli jawi yang bagus.

Menurut Mak Sabaleh, jawi pacuan bukanlah jawi sembarangan. Banyak trik yang harus dikuasai ketika memilihnya. Misalnya kuku harus rapat. “Tujuannya agar kalau ada kerikil dalam sawah, dia tidak merasakan sakit,” ujar Mak Sabaleh.

Lalu, jawi yang diikutkan dalam perlombaan bukanlah jawi sembarangan. Tak hanya itu, penentuan tempat untuk pacu jawi juga tak bisa dilakukan sembarangan Ada posesi adat yang harus dilakukan sebelum melaksanakan pacu jawi tersebut.

Mak Sabaleh menjelaskan, sebelum pacu jawi dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan beberapa prosesi adat. Tidak semua sawah yang bisa dijadikan arena pacu jawi dan tidak semua jawi yang bisa dilombakan. Ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi sebelum perhelatan pacu jawi dilaksanakan.

Khusus untuk masalah arena pacu jawi, dipercayakan kepada tetua adat atau orang yang sudah ahli untuk melihat arena pacu jawi yang diselenggarakan. Sawah yang dijadikan arena pacu jawi, haruslah sawah yang panjang dan lebar serta tidak berkelok-kelok. Selain itu, sawah tersebut harus dangkal. Jika sudah menemukan sawah dengan kriteria tersebut baru tetua adat lainnya memperhitungkan apakah lokasi itu cocok atau layak dijadikan arena pacuan.

“Pemilihan lokasi tidak asal-asalan ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Dan yang paling penting harus ada izin dari ninik mamak nagari. Jadi sebelum tanggal ditetapkan ada rapat ninik mamak dulu,” ujarnya.

Pria berusia 63 tahun ini menyebutkan jawi pacuan haruslah jawi yang telah disunat. Gunanya agar jawi tersebut tidak liar ketika menggikuti perlombaan.

Kemudian, sebelum mengikuti perlombaan jawi-jawi tersebut juga harus mengikuti serangkaian ritual dan diberi makanan yang tidak lazim dikonsumsi jawi. “Kadang-kadang diberi makanan yang terdiri merica, cabe rawit dan kunyit. Makanan ini dipercaya bisa menangkal tingkah liar jawi di arena pacu. Tak hanya itu, jawi yang berpacu juga diberi madu lebah dan telur ayam. yang dianggap mampu memperkuat fisik jawi. Bahkan ada yang diasapi dengan kemenyan, agar tidak bermasalah ketika berpacu di sawah,” beber salah seorang joki lainnya.

“Memberi makanan berupa madu lebah dan susu juga tak bisa sembarangan dan ada aturannya. Jika kebanyakan efeknya tidak akan baik buat jawi tersebut. Bisa-bisa jawi-jawi tersebut menyeruduk penonton yang menyaksikan acara pacu jawi itu. Jadi harus ada trik khusus untuk bisa menaklukan jawi-jawi tersebut,” ungkap pria yang sudah menjadi joki sejak usia 15 tahun ini.

Lain lagi cerita Amin, masyarakat Kecamatan Limokaum. Katanya, jawi yang ikut berpacu harus sehati dengan pasangannya. Jika jawi tersebut tidak klop dengan pasangannya bisa saja jawi- jawi tersebut bertingkah sangat liar dan menyerang jokinya. Tak hanya itu, jawi yang sepadan itu tak akan mungkin bisa mencapai garis finish dengan sempurna.

“Mereka sama seperti manusia juga, kalau mereka tak cocok dengan pasangannya maka yang satunya akan memberontak. Namun jika cocok, jawi-jawi itu akan adem ayem saja. Tidak mudah juga untuk menemukan belahan hati dari jawi-jawi tersebut,” tuturnya.

Saat jawi turun ke gelanggang, joki juga sangat menentukan kehebatan jawi itu. Jawi diturunkan secara berpasangan dan dikendalikan seorang anak joki yang berpegangan pada tangkai bajak. Anak joki tersebut tidak menggunakan alas kaki dan ikut berlari bersama jawinya. Ada filosofi tersendiri dalam penilaian jawi yang dinobatkan sebagai pemenang di Kabupaten Tanahdatar.

Yaitu jawi yang terbaik adalah jawi yang berjalan lurus dan tidak miring dan tidak melenceng kemana-mana. Dan akan lebih baik apabila jawi tersebut dapat menuntun temannya berjalan lurus.

“Jika jalannya lurus, itu menandakan jawi sehat. Dalam satu perlombaan, akan mudah melihat mana jawi yang lurus larinya dengan jawi yang tak lurus larinya. Bahkan ada yang sampai masuk ke sawah orang lain. Jadi yang dinilai bukan bentuk struktur tubuhnya saja. Filosofinya, jawi saja harus berjalan lurus, apalagi manusia yang berjalan lurus tentu lebih tinggi nilainya dan itulah pemenangnya,” ucapnya.

-

Arsip Blog

Recent Posts