Konferensi Tahunan VILTA Denyut Bahasa Indonesia di Australia

Melbourne, Australia - Di tengah terus merosotnya minat studi Indonesia di Australia, Victorian Indonesian Languange Teachers Association (VILTA), tetap beraktivitas dengan penuh semangat.

Bertempat di sebuah hotel di bilangan Richmond, Melbourne, Jumat (2/3/12), perkumpulan para pengajar bahasa Indonesia ini mengadakan konferensi tahunannya.

Diikuti 180 peserta dari seluruh wilayah di negara bagian Victoria, konferensi berlangsung dengan sukses. Para peserta yang terdiri dari warga asal Indonesia yang sudah menetap di Australia dan warga Australia ini dengan tekun dan setia megikuti acara dari awal hingga akhir.

Di seluruh Australia, bahasa Indonesia paling banyak diajarkan di Victoria. Dari catatan tahun 2011, tak kurang dari 300 guru terdaftar sebagai anggota VILTA.

“Para peserta cukup senang dengan pelaksanaan konferensi kali ini,” kata Anne Dodgshun, presiden VILTA periode 2011-2012. “Tiga pembicara kunci sangat memotivasi para guru bahwa pengajaran bahasa Indonesia di Australia tetap penting,” tambahnya.

Konferensi yang dilaksanakan dari jam 08.30-16.30 ini sangat efektif. Pengorganisasian acara yang sederhana sama sekali tidak mengurangi antusiasme para peserta. Selain mengikuti tiga ceramah umum dari Tim Lindsay, Maree Dellora, dan Michael Ewing, peserta juga terlibat aktif dalam empat sesi lokakarya yang masing-masing terdiri dari enam topik pilihan.

Dana pelaksanaan konferensi ini bersumber dari pendaftaran peserta dan bantuan dari departemen pendidikan Australia. “Dengan bantuan dana itu antara lain kami bisa mengganti biaya transportasi peserta yang datang jauh dari luar kota yang jaraknya lebih dari 100 km,” ujar Susi Rekdale, sekretaris VILTA.

Salah satu sesi yang banyak mendapat perhatian peserta adalah ceramah kunci dari Prof. Tim Lindsay. Pakar hukum dari Universitas Melbourne ini mengungkapkan sejumlah hal yang masih mengganjal dalam hubungan antara Indonesia dan Australia.

“Ini dua negara tetangga terjanggal di dunia,” papar Tim. “Kedua belah pihak masih terus mempertajam perbedaan yang ada, padahal dari pengalaman kita mengajarkan bahasa Indonesia di Australia, sesungguhnya cukup banyak persamaan di antara keduanya,” lanjutnya.

Meski demikian, presiden Australian Indonesian Institute (AII) ini tetap optimistis, hubungan kedua negara akan semakin menguat, mengingat Australia tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa abad sekarang ini merupakan abad Asia.

Dalam kesempatan terpisah, Tim menuturkan bahwa cukup banyak persamaan antara orang Indonesia dan Australia, misalnya sama-sama suka humor, santai, dan mudah berhubungan dengan orang lain.

Menurut suami dari Julia Suryakusumah ini, yang harus banyak dilakukan adalah membuka komunikasi langsung antara warga kedua negara. “Warga dari kedua negara harus sering berhadapan untuk bisa saling mengenal satu sama lain,” ujarnya.

Untuk mewujudkan hal itu telah dibuat program “bridge”, yaitu program sekolah kembar (sister school twinning). Dalam program ini, melalui perangkat teknologi komunikasi semacam skype, siswa sekolah di Australia dan Indonesia bisa saling menyapa atau saling bantu menggarap pekerjaan rumah. Hasil dari kegiatan yang dimulai sejak 2008 ini menurut Tim sangat menggembirakan.

“Kami harapkan kegiatan ini menjadi investasi berharga dalam hubungan warga kedua negara di masa yang akan datang,” paparnya.

Satu hal yang diharapkan oleh Tim, ialah perhatian yang lebih besar dari pihak Indonesia terhadap studi Australia yang diakuinya masih sangat kecil. “Australian Indonesian Institute sudah ada sejak 30 tahun yang lalu, tetapi sampai sekarang belum ada Indonesian-Australian Institute,” jelasnya.

Dengan perhatian yang sama-sama besar, baik antarpemerintah maupun antarwarga kedua negara, hubungan dua negara bertetangga dekat ini akan semakin baik dan saling menguntungkan di masa depan.

-

Arsip Blog

Recent Posts