Semua Bermula dari Antasari

Oleh: Jabir Alfaruqi

PADA waktu diadakan fit and proper test (uji kelayakan) para calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), semua elemen antikorupsi secara lantang menolak figur Antasari Azhar (AA) sebagai nomine. Penolakan semakin kuat ketika terdengar kabar bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan memilih dia sebagai ketua KPK. Kendati demikian, akhirnya dia terpilih juga sebagai ketua KPK.

Penolakan itu dilatarbelakangi track record AA yang kurang bagus di lembaga kejaksaan. Integritas dan kinerjanya di bidang penegakan hukum, khususnya pidana khusus korupsi, kurang baik. Para aktivis antikorupsi khawatir ke depan KPK tidak berdaya kalau dipimpin sosok yang integritasnya tidak baik. Padahal, kehadiran KPK diharapkan bisa memberikan harapan baru bagi penegakan hukum pidana korupsi.

Tetapi apa dikata, DPR yang memiliki kewenangan untuk menentukan pimpinan KPK tidak mau menggubris suara arus bawah. Kritik dan penolakan tersebut dianggap angin lalu. AA pun terpilih sebagai pimpinan KPK dan dipilih pula menjadi ketua KPK. Sungguh luar biasa.

Dalam perjalanan awalnya, gebrakan AA memang cukup meyakinkan. Keraguan publik pun terkikis. Banyak pihak yang berharap praduga negatif di masa uji kelayakan itu salah dan tidak menjadi kenyataan. Para politisi diciduk, petinggi negara ditahan, dan tak kalah menghebohkan jaksa Urip Tri Gunawan sebagai orang penting di Kejagung ditangkap. Itu merupakan prestasi luar biasa mengingat AA berasal dari institusi kejaksaan.

Namun, lama-lama kinerja KPK mulai melemah. Penanganan kasus-kasus korupsi hanya mengambil sampel-sampel dan tidak tuntas. Kasus di kalangan politisi hanya diselesaikan pada tingkat anggota dewan. Tidak sampai pada pimpinan komisi. Kasus pengakuan Agus Condro dibiarkan saja karena hal itu melibatkan politisi PDIP yang dulu sangat menentukan keterpilihan AA. Dan, masih banyak lagi kasus yang penanganannya belum jelas.

Tidak lama kemudian, AA terlibat kasus pembunuhan Nasrudin dan terjebak cinta segi tiga dengan Rani, istri siri Nasrudin. Sejak peristiwa itu, KPK digoyang kanan kiri, baik oleh DPR yang meragukan keabsahan putusan KPK karena hanya terdiri atas empat orang, perang dengan petinggi kepolisian yang melahirkan istilah ''cecak melawan buaya'', maupun belum jelasnya penyelesaian RUU Tipikor.

Yang lebih mengejutkan adalah testimoni AA yang mengatakan dirinya telah bertemu dengan direktur PT Masaro di Singapura dan mengabarkan kesaksian bahwa pimpinan KPK menerima suap dari perusahaan tersebut. Berita itu semakin memojokkan KPK di mata publik. Energi KPK akhirnya tersedot untuk merespons isu-isu miring yang mendiskreditkan lembaga tersebut. Itu tentu kerugian besar bagi bangsa Indonesia.

Troublemaker

Bila kita analisis, apa yang akhir-akhir ini dilakukan AA, tampaknya, semakin memperkuat dugaan awal para aktivis antikorupsi yang menuding KPK di bawah kepemimpinan AA tidak akan lebih baik. Bahkan, di kalangan aktivis antikorupsi, AA dianggap sebagai troublemaker KPK. Benarkah seperti itu? Tentu saja banyak hal yang bisa dijadikan argumentasi.

Pertama, AA sebetulnya sadar betul bahwa ketika dijadikan tersangka dalam kasus pembunuhan Nasrudin, citra dirinya sudah habis di depan publik. Seorang yang sangat ditakuti bisa tersandung kasus yang semestinya tidak layak untuk dilakukan. Tetapi, dia tidak mau menjadi pesakitan sendirian. Karena itu, kasus yang menimpa dirinya dicoba dikait-kaitkan dengan para komisioner KPK lain. Dengan demikian, bukan hanya dirinya yang kotor, tetapi komisioner lain juga tidak bersih.

Kedua, AA seharusnya sadar betul bahwa pengakuan dirinya telah bertemu dengan direktur PT Masaro yang buron korupsi di Singapura adalah melanggar UU No 30/2002 tentang KPK pasal 36 jo pasal 65. Namun, hal itu tetap diungkapkan AA ke permukaan. Penyampaian informasi tersebut sebenarnya tidak semata-mata menggambarkan hanya dirinya yang citranya sudah rusak. Tetapi, lebih jauh dari itu, publik menjadi tahu bahwa citra KPK tidak sebaik yang dibayangkan orang. Integritas para pimpinan KPK juga parah, tak sebersih perkiraan orang.

Ketiga, ada kekhawatiran setelah AA diberhentikan dari posisi ketua KPK, KPK semakin tidak terkendali alias semakin berani menindak kasus-kasus yang diendapkan pada masa kepemimpinan AA. Bila itu terjadi, banyak pihak yang dirugikan. Keselamatan terancam dan masa depan mereka tidak menentu. Hal tersebut tentu sangat tidak diinginkan. Karena itu, AA didorong untuk melakukan sesuatu.

Keempat, sebagai pucuk pimpinan KPK, integritas dan komitmennya terhadap KPK layak diragukan. Kenapa? Semestinya kalau dia yang terkena kasus tertentu dan tidak melibatkan orang lain, sebaiknya AA tidak mencoba mencari-cari masalah agar citra pimpinan KPK lain tercoreng. Tetapi, mengapa dia melakukan sebaliknya? Selama ditahan di Mabes Polri, AA selalu mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan komisioner KPK lain. Ada apa dengan AA?

Seandainya apa yang tertera di atas itu benar, tudingan awal bahwa kehadiran AA di KPK maupun sebagai ketua KPK adalah by design bukan karena kebetulan menjadi benar adanya. Karena kehadirannya by design, tentu saja ketika terkena masalah dan berpotensi dipecat dari KPK, banyak pihak yang berusaha agar bukan hanya AA yang jatuh. Lembaga KPK pun berusaha diseret. Dengan harapan, lembaga itu menjadi lemah. Keberadaannya seperti tidak adanya. (*)

Jabir Alfaruqi, koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah

Sumber: Jawa Pos, Senin, 10 Agustus 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts