BPK, Potensi Korupsi di Daerah, dan KPK

Oleh: Bambang Widjojanto

ADA kontradiksi antara peningkatan jumlah aliran dana ke daerah dan akuntabilitas penggunaan keuangan daerah yang dinilai terus merosot.

APBN Perubahan 2009 menetapkan, jumlah dana APBN Rp 1.005,7 triliun dan ada sekitar 60 persen diserahkan ke daerah. Di sisi lain, laporan keuangan pemerintah daerah yang mendapat opini dengan penilaian tidak wajar meningkat tajam dari 10 daerah (2004) menjadi 59 daerah (2007).

Sementara itu, hasil pemeriksaan BPK semester II tahun 2008 menyebutkan, ada 93.481 rekomendasi senilai Rp 764 triliun yang perlu ditindaklanjuti. Dari jumlah itu, 38.010 rekomendasi senilai Rp 205 triliun belum ditindaklanjuti.

Merosotnya Akuntabilitas
Menteri Keuangan beberapa waktu lalu dengan merujuk laporan BPK mengemukakan kian merosotnya akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Penjelasan menteri dan laporan itu menyatakan, pertama, ada 21 daerah yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian tahun 2004 dan merosot menjadi hanya 8 daerah tahun 2008. Kedua, ada 249 daerah mendapatkan opini wajar dengan pengecualian tahun 2004 merosot menjadi 137 daerah (2008). Ketiga, ada 7 daerah tahun 2004 yang diberikan opini tidak memberikan pendapat menjadi 120 daerah (2008).

Uraian tersebut menjelaskan beberapa hal. Pertama, ada kecenderungan kian merosotnya kinerja daerah dalam mengelola keuangan. Kedua, ada 157 daerah yang pengelolaan keuangannya dinilai membahayakan dan 249 daerah potensial membahayakan karena dapat merugikan keuangan negara. Ketiga, ketidakmampuan mengelola keuangan membuka peluang terjadinya fraud serta penyalahgunaan kewenangan yang dapat dikualifikasi sebagai korupsi. Keempat, potensi kerugian negara cenderung meningkat sesuai dengan kian memburuknya kualitas pengelolaan keuangan negara.

Laporan BPK juga menyatakan, pada tahun 2008 ada 31 laporan hasil pemeriksaan (LHP) meliputi 40 kasus senilai Rp 3,67 triliun dan 26,37 juta dollar AS yang mengandung unsur tindak pidana dan telah dilaporkan kepada instansi berwenang. Dari jumlah itu, ada 24 LHP terdiri 37 kasus senilai Rp 3,59 triliun dan 26,37 juta dollar AS diserahkan kepada KPK; sisanya diserahkan kepada kepolisian satu LHP dan kejaksaan enam LHP terdiri tiga kasus senilai Rp 84,42 miliar. Laporan itu melengkapi laporan lain BPK yang menyatakan, tahun 2003-2008 ada 90 LHP yang terdiri 210 kasus senilai Rp 30,18 triliun dan 470,31 juta dollar AS.

Penyimpangan Meningkat
Ada dugaan potensi penyimpangan pengelolaan keuangan negara akan meningkat seiring diadakan pemilihan kepala daerah di lebih dari 240 daerah tahun 2010. Asumsinya, pejabat di daerah akan lebih memberi perhatian pada pemilihan kepala daerah, kontrol pengelolaan keuangan daerah akan berkurang, serta sebagian pejabat potensial tergoda untuk menggunakan kewenangan dan keuangan daerah bagi kepentingan sendiri dalam pemilihan kepala daerah.

Berdasar uraian itu, ada dua upaya yang harus berjalan paralel, yaitu pencegahan penyimpangan penggunaan kewenangan melalui peningkatan kualitas pengelolaan keuangan negara serta upaya penindakan dengan memberi sanksi tegas dan keras guna menimbulkan efek jera atas tiap penyimpangan.

Pada konteks penindakan, sinergitas dan konsolidasi lembaga penegakan hukum untuk meminimalkan potensi korupsi dan penindakan atas kasus korupsi menjadi amat penting. Peran KPK dalam penindakan menjadi material dan relevan karena penindakan harus mendapat dukungan publik. KPK adalah lembaga penegakan hukum yang mendapat kepercayaan publik. Karena itu, tindakan mendekonstruksi konsolidasi lembaga penegakan hukum adalah naif.

Apalagi, tindakan ditujukan untuk mendelegitimasi keberadaan KPK dengan mengkriminalisasi pimpinan KPK tanpa dasar dan bukti hukum kuat. Tindakan itu adalah sabotase dan dapat dituding sebagai dekonstruksi pemberantasan korupsi karena membiarkan puluhan ribu temuan dan rekomendasi BPK dengan nilai kerugian ratusan triliun rupiah yang ”dicuri” di depan mata. Ini adalah konspirasi besar yang melegalisasi penyimpangan pengelolaan keuangan negara dan pesta akbar para koruptor yang dipastikan akan membangkrutkan negara dan menyengsarakan rakyat.

Siapa pun penegak hukum yang terbukti bersalah harus dihukum, tetapi itu tidak berarti menghancurkan eksistensi salah satu lembaga penegakan hukum. KPK harus terus dituntut untuk meningkatkan akuntabilitas penggunaan kewenangannya agar tetap amanah dalam mengelola integritas dan profesionalitasnya sehingga tidak ada peluang bagi setiap pimpinan dan staf di KPK dapat menyalahgunakan kewenangan.

Pada akhirnya, prioritas harus diberikan pada upaya pencegahan dan penindakan dengan menyinergikan dan mengonsolidasi lembaga penegakan hukum bukan malah mendekonstruksi peran KPK yang hingga kini masih dipercaya publik.

Bambang Widjojanto, Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti; Advisor Partnership for Governance Reform

Sumber: Kompas, Kamis, 20 Agustus 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts