Demokrasi dan Tukar Hadiah

Oleh: Triyono Lukmantoro

DEMOKRASI di negeri ini dibangun di atas logika pertukaran hadiah. Hadiah dalam domain ini berupa jabatan.

Kenyataan ini bisa disimak saat Partai Demokrat (PD) memberi hadiah kepada Taufik Kiemas (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) untuk menduduki jabatan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). PDI-P akan membalas dengan memberi hadiah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada PD. Hasil pertukaran hadiah itu ialah dua partai politik yang berseberangan itu terlibat jalinan kekuasaan yang akrab.

Pertukaran hadiah itu juga terjadi dalam ranah jabatan lain. Sebagai pemenang Pemilu Presiden 2009, Susilo Bambang Yudhoyono berencana memberi hadiah kepada PDI-P dan Partai Golkar, sejumlah jabatan menteri. Sebagai balasan, PDI-P dan Partai Golkar akan mengendurkan karakteristik oposisionalnya kepada pemerintah yang sedang berkuasa. Jalinan politik yang kian akrab itu dipercaya menjadikan roda pemerintahan menjadi mulus tanpa gangguan. Bahkan, partai-partai anggota koalisi yang tidak memiliki wakil di DPR dikabarkan akan diberi hadiah jabatan di bawah level menteri, misalnya kedudukan di BUMN.

Tak Bermakna Bebas
Pola-pola pelaksanaan demokrasi berlogika pertukaran hadiah itu mengingatkan kita pada pemikiran Marcel Mauss (1872- 1950). Dalam buku The Gift, Mauss menegaskan, hadiah tidak pernah bermakna bebas. Hadiah merupakan bentuk prestasi total yang dinaungi mekanisme spiritual. Dalam hadiah yang dipertukarkan, ada kehormatan dan harga diri dari pihak-pihak yang terlibat. Semakin mahal hadiah yang diberikan kepada pihak lain, semakin kuat martabat itu ditegaskan.

Dalam pemikiran Mauss, ada tiga kewajiban yang harus dilakukan dalam pertukaran hadiah. Pertama, memberi hadiah sebagai langkah pertama menjalankan hubungan sosial. Kedua, menerima hadiah yang bermakna sebagai penerimaan ikatan sosial. Ketiga, membalas memberi hadiah dengan nilai lebih tinggi untuk menunjukkan integritas sosial. Kewajiban yang terjadi dalam pertukaran hadiah itu bersifat resiprokal sehingga nilai yang ada dalam hadiah itu secara umum terus membubung. Makin mahal nilai hadiah, dianggap makin bagus. Sebab, dalam pertukaran hadiah itu seluruh kehormatan pihak-pihak yang memberi-menerima-membalas sedang dipertaruhkan.

Hegemoni Politik
Apa konsekuensi dari demokrasi yang berlogika pertukaran hadiah? Dalam perspektif yang dikemukakan Yudhoyono, peristiwa itu disebut sebagai kebersamaan. Sekat-sekat dan aneka perbedaan pandangan politik tidak lagi dianggap relevan. Jika semua berhasil direngkuh dalam kebersamaan yang menggunakan modus pertukaran hadiah dalam rupa jabatan, pemerintah mampu menjalankan semua agenda tanpa sandungan. Bahkan, untuk menciptakan keterikatan politik yang kian akrab, pakta integritas pun harus dibuat. Hal ini dimaksudkan agar para menteri dari partai di luar PD tak bersikap mendua. Terlibat kabinet Yudhoyono, tetapi tetap asyik mengkritik.

Dalam sudut pandang lain, kebersamaan politik dengan menggunakan modus pertukaran hadiah (jabatan) itu adalah sebentuk hegemoni politik. Hegemoni, sebagaimana dikemukakan Antonio Gramsci (1891-1937), merupakan penguasaan terhadap pihak lain, baik dengan teknik kekerasan maupun kesepakatan. Hanya, dalam hegemoni, kesepakatan tetap menjadi andalan. Melalui hegemoni itu, pihak yang sedang berkuasa lebih menonjolkan aspek kepemimpinan moral dan intelektual. Hegemoni memang tidak pernah tetap dan tuntas, selalu dalam proses pembuatan yang tidak pernah selesai.

Untuk menancapkan hegemoni, penguasa tidak perlu terlalu repot mengerahkan tentara maupun polisi. Teknik lebih halus dipraktikkan. Ada tiga teknik yang bisa dijalankan penguasa yang ada dalam kekuasaan hegemonik. Pertama, melakukan inkorporasi, yakni mencaplok pihak-pihak yang berpotensi melakukan perlawanan untuk dilibatkan dalam kekuasaan yang sedang berjalan. Teknik ini dianggap paling baik karena sikap ramah ditunjukkan pemegang hegemoni dengan mengakomodasi perbedaan politik.

Kedua, membiarkan pihak yang berpotensi melawan. Untuk membatasi perlawanan, rakyat harus terus dihindarkan dari pengaruh mereka. Caranya, menyebarkan pemikiran penguasa melalui media, pendidikan, atau lembaga keagamaan. Pemegang hegemoni tetap menjadi pemenang pertarungan karena berhasil meraih simpati dan dukungan rakyat. Ini disebut perang posisi (war of position).

Ketiga, menyingkirkan pihak yang dianggap melawan dengan aneka teknik politik lebih keras. Misalnya, penggunaan mekanisme hukum yang sedang diberlakukan. Pemakaian kekerasan fisik menjadi lebih kelihatan, tetapi karena hukum itu dianggap sah, maka pihak penentang mudah ditundukkan. Inilah yang disebut perang gerakan (war of movement).

Kekuatan Interpelasi
Penggunaan teknik inkorporasi, tampaknya, menjadi preferensi politik Yudhoyono. Para lawan politik tidak dikalahkan dengan membiarkan mereka berkeliaran dan bersikap oposan, pun tidak ditundukkan melalui kekerasan. Inkorporasi dilakukan dengan kelembutan yang memberi buaian menakjubkan, yakni jabatan-jabatan politik yang dipandang lebih prestisius. Menjadi oposan pemerintah dipandang sebagai praktik politik yang hanya melahirkan kesia-siaan. Partai-partai politik yang bersikap oposan terhadap Yudhoyono, kenyataannya, tidak bertambah besar dan mudah dikalahkan dalam kontestasi politik bernama pemilihan umum legislatif maupun presiden.

Bahkan, melalui penggunaan inkorporasi itu, Yudhoyono berhasil menanamkan ideologi bahwa bersikap oposan adalah tindakan politik percuma. Pada lingkup ini, ideologi untuk tidak bersikap oposan memiliki kekuatan interpelasi, sebagaimana dikemukakan Louis Althusser (1918- 1990). Ideologi itu memanggil pihak-pihak yang berpotensi bersikap oposan untuk bergabung dengan pemerintahan Yudhoyono. Sebab, dalam ideologi itu, tidak saja menyajikan gambaran imajiner, tetapi juga bukti material (nyata), bahwa beroposisi tidak mampu memberi kontribusi bagi demokrasi, apalagi menjanjikan jabatan politik tinggi.

Konklusinya, demokrasi berlogika pertukaran hadiah adalah teknik meraih hegemoni serta menebarkan kekuatan interpelasi bahwa menjadi oposisi ternyata sungguh tidak berarti di negeri ini.

Triyono Lukmantoro, Dosen FISIP Universitas Diponegoro, Semarang

Sumber: Kompas, Jumat, 28 Agustus 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts