Mempermalukan Kleptokrat

Oleh: Toto Suparto

PINTU penjara kian terbuka bagi pejabat seiring kleptokrasi yang mewabah. Para kleptokrat bermunculan di berbagai daerah. Misalnya, Mendagri menonaktifkan sementara waktu Wakil Wali Kota Manado Abdi Buchori dan Wakil Gubernur Sulawesi Utara Freddy Sualang. Para pejabat diberhentikan terkait kasus penggelembungan dana penjualan Manado Beach Hotel di Pengadilan Negeri Manado (Kompas, 23/8).

Sebelumnya Bupati Sleman Ibnu Subiyanto dipenjara gara-gara kasus buku. Ironi terjadi di Cilacap, Bupati Probo Yulastoro dan Sekda Soeprihono, serta sejumlah pejabat tinggi lainnya dijebloskan ke tahanan karena korupsi. Masih ada sederet nama pejabat lain. Setidaknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengizinkan aparat kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memeriksa 127 kepala daerah, baik gubernur, wali kota, maupun bupati. Sebagian besar dari mereka tercengkeram kleptokrasi. Modusnya beragam, mulai dari APBD hingga proyek buku.

Tak Bersalah
Banyaknya pejabat terperangkap kleptokrasi karena pelaku merasa tak bersalah saat melakukannya. Ini sesuai terminologi kleptokrasi. Menurut Stanislav Andreski (1966), kleptokrasi berasal dari kata kleptomania, penyakit kejiwaan di mana seseorang mencuri atau mengambil hak orang lain tanpa merasa bersalah. Oleh Andreski, kleptokrasi dimaknai sebagai tingkah orang berkuasa yang merasa apa yang diambil secara tidak sah karena jabatannya adalah sesuatu yang (seolah) menjadi haknya.

Para pejabat mengaitkan “hak” itu dengan anggapan kekuasaan itu milik individu. Ada teori, jika kekuasaan diyakini milik individu, maka tidak bisa dibagi. Jangan kaget jika di negara kini, bawahan merasa tidak memiliki kewenangan apa pun sampai atasan mendelegasikannya.

Asumsi itu pula yang menempatkan pejabat merasa paling berwenang untuk mempermainkan anggaran. Bahkan, mereka menganut “falsafah aji mumpung”, mumpung berkuasa, apa pun yang berpeluang “dicicipi” dinikmati pula. Mereka seolah tak salah saat menikmati kue anggaran dan merasa ada sebagian anggaran yang seolah menjadi jatahnya. Jatah ini terkait posisinya sebagai pejabat.

Pejabat yang pintar akan “mendistribusikan” kenikmatan itu kepada bawahan. Lalu terjadilah kleptokrasi yang menyebar ke institusi. Jika kelak ini ditengarai sebagai korupsi, terjadilah korupsi beramai-ramai.

Kleptokrasi amat mungkin bertahan. Kleptokrat mudah membangun jaring-jaring kekuasaan sendiri sampai akhirnya menciptakan legitimasi. Lagi pula kleptokrat menguasai sumber ekonomi untuk “membeli” kepatuhan masyarakat. Saat masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, kleptokrat berpeluang “mendistribusikan” hasil kleptokrasi. Alasannya beragam, bisa sebagai sumbangan organisasi atau amal. Tanpa disadari, masyarakat tidak cukup kaya untuk menolak hadiah para kleptokrat.

Adanya perasaan tak bersalah itu membuat sulit memberangus kleptokrasi. Sanksi hukum juga belum menjamin mencerabut kleptokrasi sampai akar-akarnya. Saat kleptokrat menjalani masa hukuman, bukan berarti “kematian” bagi keluarga maupun lingkungan sosial. Sejauh ini banyak kleptokrat yang dipenjara masih bisa menikmati pergaulan sosial, bahkan menikmati akses kekuasaan. Masyarakat pun masih menerima sekaligus mengampuni praktik kleptokrasi yang pernah dilakukan.

Sanksi Sosial
Ada usul agar reformasi birokrasi dilakukan demi mematikan kleptokrasi. Namun, menjadi pertanyaan, sejauh mana reformasi yang dibutuhkan agar kleptokrasi hancur total? Dengan kata lain, reformasi birokrasi belumlah menimbulkan efek jera. Padahal, efek jera itu diperlukan untuk mengurangi kleptokrasi.

Maka, yang patut dipikirkan bukan hanya reformasi birokrasi maupun sanksi hukum, tetapi dipadu sanksi sosial. Salah satu sanksi sosial dimaksud adalah suasana indignation, misalnya tak menerima atau protes masyarakat terhadap seseorang dan keluarganya yang terbukti mendapat kekayaan secara tidak halal.

Cara ini diharapkan akan mempermalukan kleptokrat dan keluarganya. Kata Aristoteles, filsuf agung Yunani kuno, dalam Nicomachean ethics, rasa malu itu merupakan jenis ketakutan akan nama buruk dan akibat yang dihasilkan serupa dengan hasil ketakutan terhadap bahaya. Secara fisik bisa dilihat, orang memerah wajahnya jika malu dan menjadi pucat jika mereka takut.

Bandingkan dengan teroris. Saat sketsa seseorang yang diduga teroris disebar media, keluarga bersembunyi karena malu. Media membangun opini masyarakat bahwa menjadi keluarga teroris itu memalukan. Rasanya tak berlebihan membandingkan kleptokrat dengan teroris. Sebab, pernah dikemukakan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid bahwa koruptor adalah teroris sejati.

Seharusnya sanksi sosial terhadap koruptor lebih dahsyat ketimbang teroris. Bukan saja sang kleptokrat, tetapi keluarganya juga dibuat tidak nyaman hidup bersosial. Kini yang dibutuhkan adalah bagaimana media membantu membangun opini masyarakat bahwa menjadi keluarga kleptokrat itu memalukan, layak dikucilkan dari masyarakat.

Toto Suparto, Pengkaji Etika; Peneliti di Pusat Kajian Agama dan Budaya (Puskab) Yogyakarta

Sumber: Kompas, Senin, 31 Agustus 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts