Pelajaran dari Kasus Bank Century

Oleh: Susidarto

LUAR biasa. Kalimat itulah yang layak meluncur dari mulut kita manakala mendengar dan mencermati nilai rupiah yang sudah digelontorkan pemerintah (melalui Lembaga Penjamin Simpanan/LPS) untuk Bank Century. Untuk menyelamatkan bank hasil merger tiga bank, yakni Bank CIC, Bank Pikko, dan Bank Danpac itu, ternyata dibutuhkan kucuran dana tidak kurang dari Rp 6,7 triliun. Dengan modal dan dana yang masih terbatas dari setoran pemerintah dan premi asuransi bank-bank peserta penjaminan, keuangan LPS sesungguhnya sangat terbatas.

Di Amerika Serikat diberitakan, karena banyaknya dana talangan yang harus dibayar oleh lembaga penjamin simpanan di sana, yakni Federal Deposit Insurance Corp (FDIC), keuangan menjadi terkuras. Lembaga itu nyaris “bangkrut” karena menipisnya dana-dana talangan untuk membayar klaim dana pihak ketiga yang dijamin pemerintah AS.

Nah, tentunya kemampuan keuangan LPS juga sangat terbatas, yang bukan tidak mungkin akan semakin membebani neraca keuangan pemerintah sebagai pemegang saham. Dengan cara semacam itu, bagaimana jika terjadi hal yang sama dengan kasus Bank Century ini?

Pertanyaan tersebut wajar mengemuka di tengah semakin banyaknya dana masyarakat yang masuk dalam skema penjaminan LPS. Hingga kini, dana-dana yang masuk dalam skema LPS adalah maksimal Rp 2 miliar per nasabah per bank dengan suku bunga wajar LPS. Di luar itu, dana-dana masyarakat tidak dijamin LPS.

Sebelumnya, dana-dana yang masuk dalam skema penjaminan LPS maksimal Rp 100 juta per nasabah per bank. Dengan kenaikan menjadi Rp 2 miliar, akumulasi dana yang harus dijamin LPS pada dasarnya semakin besar seiring membesarnya premi yang harus dibayar bank-bank peserta program penjaminan. Hanya, kita sering tidak berpikir sejauh ini bahwa kemampuan keuangan LPS juga sangat terbatas.

Bisa dibayangkan seandainya kasus serupa Bank Century ini terjadi bersamaan di beberapa bank. Bisa dipastikan LPS segera bangkrut, dalam arti meminta suntikan dana lagi dari pemerintah.

LPS tidaklah bisa terlepas sama sekali dari peran BI dalam mendukung keberadaannya, terutama dalam masalah pengawasan bank-bank. Maklum, pengawas perbankan selama ini menjadi domain bank sentral. Kalau persoalan sebuah bank bisa terdeteksi sejak dini, niscaya dana-dana talangan yang dikucurkan LPS tidak akan sebesar yang terjadi sekarang ini.

Dalam kasus Bank Century, misalnya. Bila BI dalam hal ini tegas memberikan sanksi kepada manajemen Bank Century sejak diketahui menjual produk reksadana bodong pada 2003-2005, kerugian nasabah dan LPS tidak akan sebesar sekarang.

Itu berarti sepak terjang sang pemilik ADS sekaligus komisaris Bank Century akan terdeteksi sejak dini. BI dalam hal ini seharusnya bertindak tegas sejak awal. Bahwa bank harus dikelola oleh orang-orang yang benar-benar bisa dipercaya (kredibel) dan cakap (capable) serta tidak memiliki bisnis “bank” dalam bank.

Kalau masalah tersebut bisa dilimitasi saat itu, bukan tidak mungkin Bank Century tidak akan menghadapi persoalan rumit seperti yang terjadi pada Oktober 2008, yang berujung pada fenomena kalah kliring sebagai puncak minusnya permodalan bank tersebut.

Sayangnya, penyakit kronis yang diderita Bank Century dibiarkan berlarut-larut hingga 2008. Akhirnya, penyakit yang dibawa pascamerger itu menjadi bom waktu yang meluluhlantakkan bangunan bank yang selama ini sudah dibangun dengan susah payah. Bank Century harus diselamatkan.

Karena itu, BI harus ekstraketat mengawasi bank, terutama untuk mencegah terjadinya penyakit kronis seperti di Bank Century. Di sini perlu ketegasan BI, sehingga tidak terjadi kerugian berlarut-larut.

Nasi sudah menjadi bubur. Kalau sekarang kalangan DPR mempertanyakan masalah penyelamatan Bank Century beserta talangan dana LPS yang demikian besar, itu wajar. Semua harus bisa dijelaskan kepada publik karena menyangkut dana-dana yang berasal dari publik. Maklum, sebagian dana talangan tersebut juga berasal dari pemerintah (setoran modal) yang berarti juga dari masyarakat banyak.

Masyarakat (melalui DPR) juga berkepentingan atas masalah ini dan berhak mengetahui melalui pengungkapan serta transparansi penggunaan dana-dana untuk menyelamatkan Bank Century.

Pelajaran penting yang bisa dipetik adalah urgensi untuk meningkatkan lagi pengawasan bank beserta penegakan sanksi yang tegas. Adanya temuan-temuan yang signifikan terhadap kinerja sebuah bank harus segera ditindaklanjuti dengan serangkaian aksi yang jelas dan tegas. Ke depan, pembentukan lembaga pengawas bank (dan lembaga/jasa keuangan lainnya) yang lebih independen layak ditindaklanjuti.

Pembentukan otoritas jasa keuangan (OJA) yang selama ini sudah banyak dibicarakan di tingkat pengambil keputusan layaknya perlu segera ditindaklanjuti.

Jadi, tugas bank sentral hanya menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur (minus pengawasan) bank-bank. Dalam konteks perbankan, bank sentral hanya bertugas mengatur perbankan di tanah air tanpa harus dibebani tugas pengawasan perbankan. Di sini, bank sentral harus dengan legawa memberi tugas pengawasan kepada lembaga independen yang akan dibentuk melalui UU.

Hal tersebut tentunya sudah sesuai UU Bank Indonesia. Akhirnya, di tengah perkembangan sistem keuangan-perbankan yang kian rumit, kita semua tetap harus belajar untuk terus menegakkan rambu-rambu kehati-hatian bank. Tanpa langkah itu, kita akan kejeblos ke persoalan yang sama. (*)

Susidarto, paktisi perbankan di Jogjakarta

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 01 September 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts