Asa bagi Wajah Baru Century

Oleh: Aries Heru Prasetyo

RENCANA perubahan nama Bank Century menjadi Bank Mutiara menunjukkan adanya komitmen untuk menjadi lebih baik. Seindah apakah wajah baru bank ini nantinya? Sejuta asa dilayangkan kepada Bank Mutiara. Akankah Bank Mutiara mampu menghapus “warna kelam” Bank Century?

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

UU ini telah menyebutkan dengan jelas tentang dasar operasional sebuah bank dalam hal simpanan dan penyaluran kredit. Dalam konteks ini, kehadiran bank diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Bagaimana dengan kenyataan kasus Bank Century yang muncul akhir-akhir ini? Apakah tujuan tersebut masih dapat dicapai?

Sebagai sebuah entitas bisnis, perbankan berfungsi sebagai mediator antara pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Pihak yang kelebihan dana menyimpan sebagian dana di bank melalui pelbagai instrumen simpanan. Dana tersebut kemudian dikelola sedemikian rupa dan disalurkan salah satunya dalam instrumen kredit.

Umumnya kredit ini digunakan sebagai modal usaha masyarakat sehingga secara sistematis akan meningkatkan perekonomian sekitarnya.

Sebagai sebuah bank yang tercipta dari hasil merger, yaitu PT Bank CIC Intenational, PT Bank Danpac, dan PT Bank Pikko, ketiganya merupakan bank yang telah go public kala itu, seharusnya kinerja Bank Century mencerminkan sebuah perbaikan yang signifikan.

Dari perspektif manajemen, kegagalan Bank Century menjadi bank yang “sehat” menunjukkan adanya variabel manajemen yang berjalan tidak seimbang dalam pengelolaan perusahaan.

Ketika ada variabel manajemen yang kurang seimbang dalam operasionalisasi, kegiatan usaha perbankan akan terganggu. Pihak akhir yang akan merasakan akibatnya adalah nasabah bank yang bersangkutan.

Masih lekat dalam ingatan kita, beberapa bulan yang lalu marak diberitakan sejumlah nasabah Bank Century yang aktif berdemo setiap hari untuk mempertanyakan nasib dana mereka.

Dalam sejumlah kasus perbankan, pihak yang dirugikan pada akhirnya adalah nasabah. Kondisi ini bertentangan dengan tujuan kehadiran bank yang diisyaratkan oleh UU Perbankan untuk menyejahterakan rakyat banyak.

Nama Baru

Hampir sama dengan nasib beberapa “seniornya”, reputasi Bank Century hancur akibat kasus perbankan ini. Sejarah mencatat, untuk mengembalikan reputasi perusahaan diperlukan pengorbanan yang sangat besar, baik dana, tenaga, pikiran, maupun waktu.

Proses inilah yang saat ini sedang aktif dikerjakan bersama-sama, antara manajemen Bank Century dan otoritas keuangan pemerintah. Selain melakukan pembenahan dalam segi manajemen, rencana perubahan nama juga mulai menjadi wacana.

Sejumlah media melansir adanya rencana pergantian nama Bank Century menjadi Bank Mutiara pada Oktober ini. Pergantian nama selalu identik dengan sebuah langkah strategis dalam menciptakan sebuah reputasi yang baru. Tampilan nama baru selalu diikuti dengan sejumlah komitmen dan harapan baru akan masa depan perusahaan yang lebih cerah.

Hampir sama dengan proses pertobatan seseorang, sejumlah nilai-nilai pembentuk jati diri baru dikumandangkan untuk pencitraan ini.

Pergantian nama dari Bank Century menjadi Bank Mutiara tidak akan berfungsi dengan efektif bila tidak disertai dengan perubahan “kepribadian” perusahaan. Harus terjadi perubahan paradigma pengelolaan perusahaan. Hal ini penting agar proses pergantian nama tidak dipahami sebagai sebuah upaya make over belaka, tetapi sebagai sebuah kelahiran baru.

Dengan sebuah instropeksi yang mendalam akan kesalahan yang telah dibuat masa lalu, tetapi baru akan menyiapkan “jalan” bagi masa depan perusahaan.

Reputasi Baru

Bila ditelusuri ke belakang, ada dua hal penting yang harus diperhatikan oleh manajemen Bank Mutiara, yakni corporate governance (tata kelola perusahaan) dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Kim Harrison dalam “Why good corporate reputation is important to your organization, 2007” menyebutkan, corporate governance, CSR, dan reputasi perusahaan merupakan tiga hal yang saling terkait.

Penegakan corporate governance sebagai sebuah code of conduct perusahaan dalam berhubungan dengan lingkungan eksternalnya akan berdampak pada penerapan prinsip-prinsip etika bisnis.

Di lain sisi, berkembangnya paradigma tentang wajah baru tata kelola perusahaan secara langsung menuntut Bank Mutiara menjalankan pola bisnis yang ramah kepada pemangku kepentingan, bisnis berwawasan lingkungan. Bank harus sadar pemangku kepentingan berperan signifikan atas pencitraan reputasi perusahaan.

Selain penerapan tata kelola perusahaan, pembentukan reputasi perusahaan juga dilakukan melalui CSR. Dalam perkembangannya, CSR tidak terbatas aktivitas sosial perusahaan belaka, tetapi sebagai sebuah business-judgment.

Dalam konteks pola bisnis yang ramah pada pemangku kepentingan, stakeholder-friendly, ada dua kepentingan yang harus diakomodasi pada setiap pengambilan keputusan, yakni kepentingan pemegang saham dan stakeholder.

Bank harus lebih jeli membaca kebutuhan dan kepentingan pemangku kepentingan sehingga setiap kebijakan strategis yang diambil berkontribusi positif pada reputasi perusahaan.

Dapat kita perhatikan beberapa bank besar senantiasa mendengungkan pelayanan pada konsumen sebagai sebuah kebijakan strategis. Walau tidak sepenuhnya benar, kebijakan ini secara eksplisit dipandang hanya berorientasi kepada nasabah dengan mengesampingkan kepentingan pemegang saham.

Sebagai sebuah kebijakan strategis, pelayanan pada konsumen dinyatakan melalui penciptaan rasa aman dan nyaman bagi nasabah dalam bertransaksi. Ada beberapa keuntungan dari keberhasilan pelayanan ini.

Rasa aman dan nyaman dapat menumbuhkan sekaligus meningkatkan loyalitas nasabah. Begitu nasabah menikmati rasa aman dan nyaman, ia tidak akan mau berpindah ke bank lain.

Rasa aman dan nyaman juga dapat menjadi pemicu timbulnya swithcing cost (biaya berpindah) bagi nasabah. Artinya, dengan adanya layanan itu, nasabah akan enggan berpindah ke bank lain karena ada biaya yang harus ditanggung. Biaya itu dapat diciptakan melalui efek personalisasi, seperti ikatan hubungan antara bank dan nasabahnya. Pada kondisi ini, sering kali bunga tidak lagi menjadi pertimbangan utama nasabah dalam memilih bank.

Akuntabilitas publik dan transparansi juga dua hal lain yang perlu diperhatikan dalam jasa layanan perbankan yang berorientasi pada stakeholder-friendly. Bank harus menyediakan produk-produk yang berorientasi konsumen sebagai salah satu bukti akuntabilitas publik. Berdasarkan prinsip ini pada masa mendatang tak akan ada lagi praktik perbankan yang merugikan nasabah.

Prinsip transparansi merupakan hal lain yang harus dijaga. Transparansi tidak hanya berarti keterbukaan, tetapi juga kejujuran, baik dalam menyampaikan informasi maupun saat transaksi dilakukan. Prinsip ini bila dilakukan efektif oleh perbankan akan memberikan keuntungan bagi kedua pihak, bank ataupun nasabah.

Bagi bank, transparansi akan berkontribusi membentuk reputasi perusahaan. Bagi nasabah, transparansi dapat digunakan sebagai sarana edukasi keuangan. Dewasa ini, sebagian besar nasabah secara tidak langsung teredukasi melalui proses penyampaian informasi yang dilakukan bank terkait cara pengelolaan uang pribadinya.

Kondisi ini akan membuat makin banyak nasabah yang teredukasi secara finansial, yang pada akhirnya berpotensi meningkatkan pangsa pasar bank bersangkutan.

Aries Heru Prasetyo, Faculty Member Prasetiya Mulya Business School, Perencana Keuangan Independen

Sumber: Kompas, Senin, 5 Oktober 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts