Babak Baru Pimpinan KPK

Oleh: Henry Siahaan

SUDAH 3 (tiga) orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian. Ketiga pimpinan KPK tersebut adalah Antasari Azhar, Bibit Samad Rianto, dan Chandra Hamzah. Karena pimpinan KPK hanya tersisa 2 (dua) orang, presiden beranggapan keadaan tersebut berlawanan dengan pasal 21 ayat (1) huruf a yang menegaskan pimpinan KPK harus terdiri atas lima orang.

Langkah berikutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan perppu dan keputusan presiden yang menetapkan Tim Lima untuk mencari kandidat pimpinan KPK yang baru guna menggantikan pimpinan yang dijadikan tersangka sebagai PLT pimpinan. Tim Lima kini sudah bekerja sampai 1 Oktober dan hasil kerja mereka telah disampaikan kepada presiden. Hari ini, Tumpak Hatorangan Panggabean, Waluyo, dan Mas Ahmad Santosa akan dilantik oleh presiden.

Nuansa Baru

Siapa pun yang dipilih Tim Lima dan akhirnya ditetapkan presiden tetap saja tidak memengaruhi pandangan publik bahwa kini KPK jilid III tengah memasuki babak baru ikhtiar pemberantasan korupsi. Ada dua alasan mengapa disebut demikian.

Pertama, komposisi komisioner berubah. Perubahan tersebut cukup signifikan jika dilihat dari proses menjadi komisioner. Ada komisioner yang dipilih melalui lembaga independen, panitia seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi 2007-2011, dan dengan keterlibatan DPR. Ada pula komisioner yang diangkat presiden melalui Tim Lima. Selain proses yang berbeda itu, jumlah komisioner yang diangkat presiden pun lebih banyak, yakni tiga orang.

Jumlah dan proses yang berbeda akan memberikan warna dalam perjalanan KPK ke depan. Warna tersebut bisa positif dan negatif. Positif jika komposisi tidak memengaruhi iklim dan semangat kerja atau malah lebih dari yang diharapkan publik. Negatif jika kedua perbedaan itu merupakan titik awal matinya semangat memberantas korupsi di negeri ini.

Kedua, disahkannya UU tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada detik-detik akhir DPR periode 2004-2009. UU tersebut merupakan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu yang mencabut Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kelahiran UU itu memberikan nuansa baru dalam iklim pemberantasan korupsi di Indonesia ke depan. Nuansa baru tersebut, misalnya, terkait dengan kedudukan (pasal 2), kewenangan (pasal 5-7), penetapan dan pemberhentian hakim (pasal 11-20), transparansi dan akuntabiltas (pasal 24), komposisi hakim (pasal 26), waktu (pasal 27-32), kedudukan pengadilan tipikor (pasal 3 dan pasal 35 ayat 1), dan sebagainya.

Dua Konsekuensi

Perubahan komposisi komisioner dan basis legal sebagaimana disebutkan di atas dapat memberikan dua konsekuensi bagi KPK. Konsekuensi pertama yaitu KPK menjalankan business as usual dan ini berarti tidak ada yang berubah dalam pendekatan KPK. Sedangkan yang kedua berupaya menyingkronkan dengan kondisi terkini melalui skenario baru dalam mengelola KPK.

Skenario baru itu, misalnya, pertama, KPK memperbanyak staf yang bertugas mencari dan menyediakan data bagi jaksa penuntut umum (JPU), penyidik, dan penyelidik. Dengan itu, KPK bisa mempercepat proses pengaduan masyarakat yang dari segi kualitas maupun kuantitas akan bertambah. Isu tebang pilih pun -sebagaimana diembuskan selama ini- semakin bisa dikurangi dalam menyelesaikan perkara korupsi.

Tentu di sana terkandung harapan bahwa staf yang cukup bersama pimpinan KPK yang ada dapat memikirkan dan menginisiasi cara-cara yang lebih progresif dalam menyelesaikan kasus korupsi sehingga wibawa KPK di mata masyarakat tetap lestari dan koruptor semakin takut melakukan korupsi. Dom Helder Comara, seorang uskup di Amerika Latin, pernah mengatakan bahwa pikiran yang lebih dari satu orang akan mampu mengubah dunia.

Kedua, KPK perlu melakukan koordinasi dan supervisi secara lebih aktif dengan lembaga-lembaga penegak hukum terkait seperti kepolisian dan kejaksaan guna terwujudnya sinergisitas dan iklim kerja yang kondusif. Untuk hal ini, mungkin Mas Ahmad Santosa sebagai salah satu “penginisiasi reformasi di Kejaksaan Agung” dan Tumpak Hatorangan Panggabean sebagai alumnus Kejaksaan Agung bisa memecahkan “sengketa gunung es” antara KPK dan kejaksaan.

Ketiga, KPK perlu membuka perwakilan di tujuh daerah di mana MA akan mendirikan pengadilan tipikor di sana. Jika saat ini hanya ada perwakilan KPK di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka penyebaran pengadilan tipikor di setiap kabupaten/kota (Pasal 3 UU Pengadilan Tipikor) dapat menjadi pertimbangan KPK membuka perwakilan di tujuh provinsi tersebut sesuai dengan mandat Pasal 19 Ayat 2 UU KPK.

Itu berarti KPK membutuhkan anggaran dan personal lebih banyak. Mungkin, itu tidak bisa segera dilakukan, tetapi paling tidak, KPK sudah bersiap-siap sejak sekarang untuk melakukan perekrutan sebelum UU tersebut benar-benar berlaku efektif setelah dua (2) tahun sejak disahkan (pasal 35 ayat 4).

Keempat, KPK menggunakan informasi dari Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berfungsi mengawasi kinerja hakim. Dengan syarat KY perlu lebih proaktif dalam bekerja. Pasal 29 UU Pengadilan Tipikor dapat menjadi pintu masuk yang efektif bagi KY. Kelahiran pengadilan tipikor di berbagai kabupaten/kota akan membuat Komisi Yudisial menerima lebih banyak pengaduan dari masyarakat.

Di atas semuanya, ada satu harapan yang tersisa bahwa nuansa baru dengan berbagai konsekuensinya di atas tidak membawa kisah tragis bagi iklim pemberantasan korupsi, tetapi akan membuat orang semakin takut melakukan korupsi. Semoga. (*)

Henry Siahaan, peneliti hukum, bekerja di Kemitraan/Partnership, Jakarta

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 6 Oktober 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts