Buaya Hampir Memangsa Cicak

Oleh: Arfanda Siregar

PERSETERUAN antara cicak melawan buaya ternyata bukan isapan jempol belaka, tapi sungguh-sungguh terjadi dan menguras banyak energi. Tentu itu tamsil belaka. Di alam nyata, tidak mungkin cicak melawan buaya. Bukan saja habitat keduanya berbeda, melainkan jelas tidak imbang kalau cicak yang mungil bertempur melawan si raksasa buaya.

Kabareskrim Mabes Polri Komjen Polisi Susno Duadji dalam wawancara majalah Tempo edisi 6-12 Juli memopulerkan istilah itu. Susno mengistilahkan KPK adalah cicak dan kepolisian merupakan buaya. “... kok cicak mau melawan buaya?” demikian ucap dia saat mengomentari sepak terjang KPK akhir-akhir ini.

Pernyataan itu lantas dituding sebagai upaya kepolisian untuk melumpuhkan KPK. Lalu, muncul Cicak, singkatan Cintai Indonesia Cintai KPK. Gerakan tersebut dideklarasikan di Tugu Proklamasi pada 12 Juli lalu, diprakarsai sejumlah tokoh dan aktivis antikorupsi, termasuk Teten Masduki, Erie Riana Harja Pamengkas, dan Taufiqurrahman Ruki. Dua nama terakhir adalah mantan petinggi Cicak periode pertama yang merasa rongrongan buaya terhadap cicak kian kental akhir-akhir ini.

Kepolisian Sewot

Kepolisian pantas sewot dengan gebrakan KPK belakangan ini. KPK ibarat pagar makan tanaman. Sudah dilatih kepolisian dengan berbagai keterampilan yang mampu mengejar koruptor sampai ujung dunia, setelah ahli malah KPK tanpa perasaan risi membidik gurunya. Kehadiran KPK kian hari menjadi ancaman serius bagi pejabat publik, elite partai politik, termasuk para petinggi kepolisian yang korup. Di angan KPK, tidak ada lagi lembaga yang kebal dari proses hukum.

Adalah Susno yang terkena getahnya. Telepon genggamnya tanpa disadari telah disadap petugas KPK ketika akan menyelidiki kasus korupsi di Bank Century. Dalam kasus tersebut, terindikasi sang Komjen terlibat. Mungkin emosi atas kelancangan KPK, keluarlah kecaman yang kontroversial tersebut.

Ternyata, bukan hanya Komjen yang gerah atas sepak terjang KPK. Seluruh petinggi kepolisian agaknya juga sewot dan merasa dimata-matai KPK. Bukan rahasia umum lagi, sepanjang 2007 sampai sekarang kepolisian bersama-sama kejaksaan menduduki peringkat atas sebagai lembaga negara terkorup di Indonesia. Jika KPK dibiarkan merdeka dengan berbagai kewenangan yang luar biasa, bukan tidak mungkin dalam waktu dekat ini KPK mengincar satu per satu para petinggi kepolisian.

Perseteruan tidak dapat dihindari antara dua lembaga hukum itu. Seperti diberitakan berbagai media, mereka kini saling serang, saling ancam, dan saling memperlihatkan taring. Berat bagi KPK, kian hari perseteruan itu kian melemahkan kekuatannya. Semakin banyak saja lembaga yang kemudian turut berbaris di belakang kepolisian untuk mengeroyok KPK. Lembaga-lembaga negara yang pernah menikmati pahitnya hasil kerja KPK tanpa diperintah menyatukan barisan dengan buaya.

Pertarungan itu bisa disaksikan sejak Antasari Azhar ditangkap dan diperiksa kepolisian. Betapa kompaknya kepolisian dengan kejaksaan dalam menindaklanjuti perkara tersebut. Bahkan, Kejaksaan Agung berani menyatakan Antasari sebagai tersangka sebelum Mabes Polri menetapkan status tersebut.

Bahkan, jauh sebelum Antasari ditangkap, KPK terus digembosi oleh berbagai pihak. Misalnya Ahmad Fauzi. Anggota DPR dari Partai Demokrat itu sampai meminta KPK dibubarkan. Juga Nursyahbani Katjasungkana. Anggota DPR dari fraksi PKB tersebut meminta KPK tidak mengambil keputusan alias tidak usah kerja lagi untuk penyelidikan korupsi yang membutuhkan keputusan terkait dengan kasus Antasari. Bahkan, beberapa minggu lalu SBY tega menyerang KPK dengan mengatakan bahwa KPK telah menjadi lembaga superbodi sehingga wewenangnya butuh diwanti (dikurangi).

Babak Akhir KPK

Sekarang konflik cicak dan buaya berada pada episode penutup setelah ketua KPK terjerembap dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen yang dicurigai sebagai skenario pembunuhan awal KPK. Hantaman selanjutnya justru datang dari Antasari yang membuat testimoni bahwa sejumlah pejabat komisi itu menerima uang dari Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo. Akibatnya, empat pimpinan KPK yang tersisa harus diperiksa polisi beberapa hari lalu.

Walau keempatnya masih berstatus saksi, muncul kabar dari kejaksaan bahwa salah seorang pimpinan KPK, yaitu Chandra, telah menjadi tersangka. Sangat mungkin sebentar lagi Chandra dijebloskan ke dalam tahanan.

Tentu Chandra sangat membantah tudingan tersebut. Sayang, dia mungkin lupa bahwa 80 persen penyidik KPK adalah anggota Polri yang berpangkat AKP atau komisaris yang tergabung dalam kelompok buaya!

Andai nasib buruk menimpa keempat pimpinan KPK menyusul ketuanya ke terali besi, bagaimana nasib lembaga yang lahir dari rahim reformasi tersebut? Sementara itu, di DPR, RUU tentang Pengadilan Tipikor tinggal ketok palu. Salah satu pasal pembunuhan kepada KPK yang sudah disepakati DPR dan pemerintah adalah dihapuskannya kewenangan penuntutan dari KPK. Banyak pihak berteriak supaya SBY mengakhiri perseteruan tersebut.

Namun, sepertinya teriakan itu berada dalam gua, memantul-mantul menerpa dinding gua sebelum hilang entah ke mana. Presiden kita terlalu sibuk mematut-matut baju baru yang paling pas untuk para pembantunya sehingga tidak mau ikut campur atas pertikaian buaya dengan cicak. Seharusnya, presiden tidak boleh angkat tangan karena pada pemilu dan pilpres kemarin menggunakan keberhasilan cicak sebagai bahan kampanye. Jangan biarkan buaya memangsa cicak, Pak! (*)

Arfanda Siregar, dosen Politeknik Negeri Medan

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 15 September 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts