Century: Fakta Versus Asumsi

Oleh: Arya Gunawan

“Saya harus katakan secara tegas dan jelas bahwa Insya Allah tidak akan terjadi krisis sebagaimana kita alami pada sepuluh tahun lalu,” demikian ucapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan dengan Bank Indonesia, dunia usaha, para pengamat ekonomi, dan para pemimpin media massa, di Sekretariat Negara, Jakarta, Senin, 6 Oktober 2008. Pertemuan itu bagian dari langkah menanggapi gejolak ekonomi yang tengah berlangsung di Amerika Serikat.

SBY meyakini, faktor-faktor yang hadir saat krisis ekonomi 1997-1998, misalnya kebijakan yang tak konsisten dan menipisnya kepercayaan masyarakat, kini tak ada lagi. SBY juga percaya bahwa kebijakan, prioritas, dan arah perekonomian Indonesia sudah tepat, ditandai dengan membaiknya pendapatan per kapita, menurunnya rasio utang terhadap pendapatan domestik bruto.

Sehari sebelumnya, Gubernur BI Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan penjelasan senada: kondisi Indonesia relatif baik. Boediono menyebutkan, perbankan masih terbilang solid, dengan posisi rasio kecukupan modal berada di kisaran 16 persen atau jauh di atas ketentuan minimal 8 persen. Begitu juga rasio kredit bermasalah yang bisa dibendung di posisi 3,59 persen. “Ini bisa menjadi bekal kami menghadapi krisis ini,” ujar Boediono.

Namun, persis satu setengah bulan setelah pernyataan itu, 21 November 2008, muncul “gempa” kecil di sektor perbankan: Bank Century berada di tepi jurang, dan harus diselamatkan. Belakangan kita tahu, proses penyelamatan itu telah menyedot Rp 6,7 triliun yang dikucurkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Alasan pihak-pihak terkait (BI, Menteri Keuangan selaku Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan/KSSK, dan LPS), jika Century dilikuidasi, akan berdampak sistemik.

Dan hari-hari ini, kasus Bank Century berkembang menjadi “gempa” besar, melahirkan pro dan kontra. Polarisasi juga merambah ke dunia media: ada sejumlah media yang menolak kebijakan itu, ada yang mendukung. Kelompok Tempo termasuk kubu yang disebutkan terakhir ini. Posisi Tempo ini tecermin setidaknya dari laporan utama majalah Tempo edisi 7-13 September 2009 yang dilengkapi kolom dua halaman oleh wartawan senior Tempo, Bambang Harymurti (di bawah judul “Century: Astagfirullah atau Alhamdulillah”), serta kolom yang ditulis wartawan Koran Tempo, Metta Dharmasaputra (“Riuh Century Versus Asian Agri”) di rubrik Pendapat koran ini, Rabu, 9 September.

Media sah memilih posisi dalam setiap peristiwa, sepanjang itu dilakukan melalui prosedur jurnalisme yang ketat (pengumpulan informasi/data di lapangan), pemikiran yang kritis, perdebatan mendalam di ruang redaksi. Proses ini menjadi lebih ketat jika persoalan yang tengah digarap terbilang kompleks, berpotensi kontroversial, seperti halnya kasus Bank Century ini. Khusus untuk Tempo, proses ini menjadi lebih berat mengingat sejumlah awaknya diketahui memberikan dukungan kepada Boediono dan Sri Mulyani, dua tokoh kunci dalam kasus Century. Dengan kata lain, Tempo harus memiliki argumentasi yang superkukuh jika memutuskan untuk mendukung keputusan penyelamatan Bank Century. Jika tidak, publik akan menuding bahwa pilihan sikap Tempo itu lebih didasari kepentingan dari dan demi orang atau kelompok tertentu, bukan kepentingan khalayak luas.

Namun, kekritisan dan pertimbangan matang inilah yang terasa kurang dilakukan Tempo kali ini. Untuk laporan utama di majalah, misalnya, banyak pertanyaan yang masih menggantung. Ini berbeda dari sejumlah karya liputan investigatif Tempo sebelumnya, misalnya skandal Bulog II yang melibatkan Akbar Tanjung di pada 2002, ataupun kasus dugaan penggelapan pajak yang dilakukan oleh Asian Agri pada 2007. Tak banyak temuan investigatif penting/signifikan dalam laporan utama mengenai kasus Bank Century, salah satunya mengenai jalannya rapat maraton semalam suntuk antara KSSK, BI, dan LPS yang berujung pada keputusan penalangan. Informasi ini tidak terlalu penting, sekadar menjadi ilustrasi, dan mungkin untuk menampilkan kesan bahwa keputusan pengucuran dana LPS untuk Bank Century tersebut dibuat sudah dengan pertimbangan matang. Bandingkan, misalnya, dengan uraian mengenai jejaring anak usaha kelompok Asian Agri, ataupun cek dari dana skandal Bulog II yang mengalir ke dua orang bendahara Partai Golkar.

Tempo semestinya bisa mengajukan pertanyaan di hulu sekali: ketangguhan fundamental ekonomi macam apa yang sebetulnya dimaksudkan SBY, Boediono, dan Sri Mulyani sebagaimana dikutip di awal tulisan ini? Kalau memang situasi perbankan kita sehat, perekonomian kita berada pada arah yang benar, tentu tak akan muncul alasan “dampak sistemik” yang dijadikan landasan utama keputusan menyelamatkan Century. Jadi, bisa disimpulkan, salah satu dari dua pernyataan tersebut--entah mengenai perbankan kita sehat, ataukah ihwal bahwa jika Century dibiarkan mati maka akan berdampak sistemik--pastilah mengandung kekeliruan, atau sedikit-dikitnya masih berupa asumsi. Ataukah dalam tenggang waktu satu setengah bulan, sejak pernyataan itu mereka lontarkan sampai saat keputusan menyelamatkan Century ditetapkan, telah terjadi guncangan dahsyat pada landasan perekonomian kita?

Menggunakan pijakan ini pula, saya tak sependapat dengan Metta Dharmasaputra dalam kolomnya, karena salah satu dalil yang dipakainya untuk menopang premis tulisannya itu adalah kesejajaran situasi saat keputusan untuk menyelamatkan Century diambil dengan situasi ketika Indonesia dilanda krisis pada 1997/1998. Kutipan dari para pejabat Indonesia yang disodorkan di awal tulisan ini jelas menunjukkan bahwa situasi di kedua penggalan waktu tersebut berbeda.

Masih sederet hal lagi yang luput “dikuliti” Tempo: informasi lebih jauh dari Wapres Jusuf Kalla; informasi tentang nasabah besar Bank Century (setidaknya ada satu nama deposan besar yang sudah dipastikan memiliki simpanan dalam jumlah raksasa di bank itu); mengorek lebih jauh dugaan yang dilontarkan sejumlah kalangan bahwa ada dana yang mengalir ke partai politik yang berasal dari dana talangan itu; mempersoalkan proses pengambilan keputusan itu (misalnya, mengapa Presiden tidak dilibatkan, padahal Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang LPS di pasal 2 ayat 4 jelas-jelas disebutkan bahwa LPS bertanggung jawab kepada Presiden. Kini, mengapa para pendukung pengucuran dana talangan itu bisa dengan mudah mengatakan bahwa Presiden tidak ikut-ikut dalam keputusan ini?).

Tempo juga seharusnya mencari Boediono. Mengapa selaku orang nomor satu di BI, dia tidak menempuh tindakan tegas lebih awal terhadap Century, meskipun memang Century telah menjadi beban yang diwariskan oleh para pendahulunya? Sebetulnya menarik melihat kenyataan bahwa sudah tiga pekan heboh kasus Century ini berlangsung, namun sampai tulisan ini dikerjakan (10 September), suara Boediono tak terdengar juga. Padahal dia adalah kunci utama sesungguhnya, karena dua hal: a) BI-lah yang selama ini mengawasi kinerja setiap bank (terbukti Century tidak terawasi oleh BI sehingga bisa berdarah-darah begitu parah), dan b) BI pula yang menjadi pangkal rekomendasi perlunya dana talangan tersebut.

Tempo juga terkesan “membeli” pendapat yang menyebutkan bahwa kinerja Century kini sudah mulai membaik, dan bukan mustahil jika dijual kembali beberapa tahun mendatang, harga jualnya lebih tinggi dari biaya penyelamatan yang Rp 6,7 triliun itu. Ini lagi-lagi sebuah asumsi, mirip asumsi mengenai “dampak sistemik” seperti yang disebutkan terdahulu. Siapa dan bagaimana bisa menjamin bahwa keuntungan tersebut bisa terwujud? Berbagai pengalaman sebelum ini menunjukkan bahwa hampir semua bank yang ikut dalam program penyelamatan seperti Century ini dijual dengan harga yang jauh lebih rendah dari modal yang dikucurkan untuk menyehatkannya.

Jadi, Tempo telah memilih posisi editorialnya yang terkesan lebih membela sejumlah asumsi ketimbang membela sederet fakta yang menunjukkan bahwa kebijakan penalangan ini layak digugat (keteledoran pengawasan BI, adanya deposan besar di Century, Presiden yang dilangkahi, tahap-tahap pengucuran dana yang tak jelas siapa pengawas dan perestunya). Sebagian orang lainnya, termasuk saya, mengambil posisi berseberangan dari Tempo. Waktulah kelak yang akan menunjukkan, mana di antara kedua posisi ini yang lebih berdekatan dengan kebenaran.

Sambil menantikan tibanya pertolongan dari sang waktu, saya hanya bisa berharap apa yang dilakukan Tempo kali ini adalah pilihan yang murni berlandaskan sikap profesional (Artinya, jika masih banyak “bolong” jurnalistik yang tersisa, itu benar-benar murni karena tak berhasil menambalnya, meskipun sudah dicoba. Misalnya saja sudah mencoba menggali sederet informasi penting, namun narasumbernya menolak, atau karena tenggat terbit yang tak dapat dikompromikan lagi). Dan bukan karena dukungan membuta kepada sosok atau kelompok tertentu. Atau karena ada agenda tertentu yang jauh kaitannya dari kepentingan khalayak luas.

*) Tulisan ini pendapat pribadi.

Arya Gunawan, Pemerhati Media, Mantan Wartawan, Kini Bekerja Untuk Unesco Indonesia

Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 12 September 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts