Cicak Mati

Oleh: Putu Setia

TAMU saya sedang merenung ketika cucu saya berteriak: “Kakek, ada cicak mati!” Namun, cucu tiga tahunan itu segera balik ke kamar begitu dilihatnya ada tamu. Ia sudah paham bahwa saya tak boleh diganggu jika menerima tamu.

“Cicak akan mati, menyedihkan sekali negeri ini, tak pernah bebas dari korupsi,” kata tamu saya. “Buaya betul-betul perkasa. Kan mereka sudah mengingatkan: kok cicak berani melawan buaya?”

Saya kurang setuju pendapat ini. Saya katakan, pimpinan cicak baru dipanggil oleh petinggi buaya, belum tentu bersalah. Tapi tamu saya ngotot: “Bersalah atau tidak, yang jelas pimpinan cicak itu sudah dikesankan tidak bersih setelah diperiksa sembilan jam. Apalagi pemeriksaan masih dilanjutkan. Tadinya saya justru berharap pimpinan cicaklah yang memanggil petinggi buaya untuk diperiksa dalam kasus Bank Century.”

Salah apa petinggi buaya? “Lo, semua orang tahu, dia mengeluarkan dua surat agar uang nasabah yang triliunan itu bisa dicairkan. Ia menyediakan kantornya untuk tempat rapat. Ini tergolong semangat 45, semangat bambu runcing. Memangnya ada makan siang yang gratis?” kata tamu saya.

Saya tertawa. “Tak ada makan siang gratis, itu istilah Barat. Di negeri ini, banyak makan siang yang gratis. Saya berkali-kali ditraktir makan siang gratis, tentu di luar bulan Ramadan. Saya percaya, petinggi buaya itu tak menerima komisi 10 persen dari pencairan uang itu, sebagaimana diisukan,” kata saya.

“Kalau lima persen atau dua persen atau nol koma sekian persen dari triliunan rupiah, masih percaya?” tamu saya memancing. Saya tetap yakin tidak menerima, tapi saya telanjur bilang: “Coba saja dipanggil dan diperiksa.”

“Nah, itulah,” tamu saya langsung menyambar. “Pimpinan cicak semestinya sudah memanggil petinggi buaya itu. Jika perlu, begitu jadwal pimpinan cicak mau diperiksa aparat buaya, saat itu pula dijadwalkan petinggi buaya diperiksa pimpinan cicak. Jadi sama-sama tidak datang. Sama-sama menunggu akan memeriksa dan akan diperiksa.”

Saya terbahak. “Lo, jangan tertawa, ini kasus paling menyedihkan di negeri ini,” ujar tamu saya. “Presiden tak berbuat apa-apa karena sudah tinggal dilantik lagi. Tak perlu lagi pencitraan pemberantasan korupsi yang gencar di negeri ini, bahkan mungkin tak peduli negeri ini bebas korupsi atau marak korupsi, toh lima tahun ini jabatan terakhir. Pendukung cicak juga sudah hilang, entah ke mana. Saya sedih kalau cicak benar-benar mati, karena tak ada lembaga hukum lain yang menjamin korupsi dikecilkan.”

“Sebentar,” saya memotong, “Anda yakin sekali pimpinan cicak itu bersih dari aroma korupsi? Mereka kan manusia juga. Ada buku yang menyebutkan, selama kentut manusia tidak berbau wangi, selama itu terselip nafsu buruk, meski kadarnya kecil sekali.”

“Saya yakin, setidak-tidaknya keyakinan ini saya gunakan untuk betah tinggal di negeri yang rawan gempa ini. Keyakinan itulah yang melahirkan cinta. Seperti keyakinan saya menjalankan ibadah puasa ini, antara lain, karena rasa cinta saya kepada Tuhan. Begitu kita tak punya keyakinan pada suatu harapan yang baik, maka kita pun mudah terjerumus kepada ketidakbaikan itu sendiri.”

“Kalau begitu sama,” kata saya. “Tapi bedanya, saya kali ini yakin, Presiden sepertinya akan mengembalikan pemberantasan korupsi itu kepada aparat penegak hukum yang semula, sebelum lembaga cicak ada. Jadi beliau akan mengangkat petinggi yang betul-betul antikorupsi, termasuk di lembaga buaya itu.”

“Nah, itu yang saya tidak yakin,” kata tamu saya sambil menyeruput teh dan mohon pamit.

Putu Setia, wartawan Tempo

Sumber: Tempointeraktif.com, Minggu, 13 September 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts