Korupsi DPRD akan Kembali?

Oleh: Susie Berindra

TAHUN 2003-2004, banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah periode 1999-2004 dipenjara akibat melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Susunan dan Kedudukan Keuangan DPRD. Wakil rakyat itu membuat pos anggaran di luar PP No 110/2000 yang akhirnya dibatalkan Mahkamah Agung.

Setelah itu, muncul revisi PP No 110/2000, yaitu PP No 24/2004, yang memberikan delapan macam penghasilan yang diterima anggota DPRD. Setahun setelah PP No 24/2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD disahkan, pemerintah merevisi lagi menjadi PP No 35/2006 yang mengatur beberapa tambahan tunjangan untuk anggota DPRD.

Tidak puas dengan fasilitas berbagai tunjangan, anggota DPRD, baik dari provinsi maupun kabupaten/kota, yang memiliki asosiasi di Jakarta memprotes Departemen Dalam Negeri sebagai perancang aturan. Mereka meminta tunjangan ditambah meski sudah ada delapan macam penghasilan yang diterimanya setiap bulan.

Alhasil, keluarlah PP No 37/2006 yang merupakan revisi kedua dari PP No 24/2004. PP No 37/2006 yang disahkan pada 14 November 2006 adalah hadiah tahun baru bagi anggota DPRD. Anggota DPRD mendapat rapelan satu tahun untuk tunjangan komunikasi intensif. Pimpinan DPRD mendapat rapelan dana operasional. Aturan baru dikeluarkan pada November 2006, tetapi anggota DPRD mendapatkan tunjangan sejak Januari 2006.

Pro dan kontra muncul terhadap PP No 37/2006. Lembaga swadaya masyarakat dan media mengkritisi peraturan yang berlaku surut itu. Akhirnya, pemerintah membatalkan rapelan dan memerintahkan pimpinan dan anggota DPRD mengembalikan tunjangan yang diterima paling lambat satu bulan sebelum masa jabatan berakhir pada tahun 2009. Pengaturan pengembalian tunjangan tertuang dalam PP No 21/2007.

Kini, masa jabatan DPRD periode 2004-2009 berakhir. Namun, banyak anggota DPRD belum mengembalikan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional ke kas daerah. Anggota DPRD mungkin enggan mengembalikan uang yang diterimanya. Untuk itu, segala cara dilakukannya, salah satunya dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Permohonan uji materi terhadap PP No 21/2007 itu diajukan Petrus Boliana Keraf, Ketua DPRD Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.

Jika tak mengembalikan ke kas daerah, dugaan korupsi bisa dilayangkan kepada anggota DPRD. Akankah anggota DPRD terjerat hukum kembali akibat PP yang sering berubah?

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) merilis, dana kas daerah yang belum dikembalikan anggota DPRD mencapai Rp 202 miliar. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2008 menyebutkan, dana tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional yang belum dikembalikan sekitar Rp 119 miliar. Pada IHPS I 2008 disebutkan, dana yang belum dikembalikan sebanyak Rp 38,01 miliar dan IHPS II Rp 80,87 miliar.

Simulasi yang dilakukan Fitra juga menyebutkan, seorang ketua DPRD provinsi bisa mendapatkan tunjangan komunikasi dan dana operasional sebesar Rp 27 juta per bulan. Jika dirapel satu tahun, berjumlah Rp 324 juta. Anggota DPRD provinsi mendapat tunjangan komunikasi Rp 9 juta per bulan atau rapelan Rp 108 juta. Seorang pimpinan DPRD kabupaten/kota mendapat tunjangan komunikasi dan dana operasional sebesar Rp 18,9 juta per bulan sehingga rapelannya Rp 226,8 juta. Anggota DPRD kabupaten/kota mendapat tunjangan komunikasi Rp 6,3 juta per bulan sehingga uang rapelan setahun Rp 75,6 juta.

Awal 2009, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto mengirimkan surat edaran (SE) bernomor 700/08/SJ kepada gubernur di seluruh Indonesia. Isinya, mengingatkan pengembalian tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional. Pada poin ketiga SE Mendagri itu ditegaskan, jika pada sampai batas waktu yang ditetapkan, yaitu satu bulan sebelum masa jabatan berakhir, pimpinan dan anggota DPRD belum melunasinya, akan dilimpahkan ke penegak hukum.

Sayangnya, surat itu dianulir dan digantikan dengan SE Mendagri nomor 555/3032/SJ yang menyebutkan ketentuan poin ketiga pada SE Mendagri sebelumnya tidak berlaku. Selain itu, permohonan pembebasan atau perpanjangan waktu pengembalian tunjangan komunikasi dan dana operasional harus melalui perubahan PP No 21/2007.

Dengan adanya SE itu, Mendagri dituduh melindungi DPRD. Sekjen Fitra Yuna Farhan menuding Mendagri melindungi anggota DPRD yang tidak mau mengembalikan uang rakyat dengan menghapus ancaman pidana. “Surat Mendagri ini akan berimplikasi kembali pada jebakan hukum yang kedua kali bagi anggota DPRD. Lahirnya PP No 37/2006 yang memberikan rapelan tunjangan adalah kesalahan pemerintah dan anggota DPRD harus bertanggung jawab,” kata dia.

Bahkan, Fitra berencana melaporkan Mendagri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Kami melaporkan Mendagri dalam dua pekan ke depan karena melindungi DPRD yang belum mengembalikan tunjangan komunikasi dan ada unsur turut serta dalam terjadinya kerugian daerah. SE Mendagri itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,” tegas Yuna.

Menanggapi hal itu, Kepala Pusat Penerangan Depdagri Saut Situmorang membantah Mendagri melindungi anggota DPRD. Dia mengatakan, SE Mendagri 555/3032/SJ sesuai dengan PP No 21/2007. Dalam PP No 21/2007 tak menyebutkan adanya ancaman pidana. Pasal 29A PP No 21/2007 hanya menyebutkan, pengembalian tunjangan komunikasi dan dana operasional paling lambat satu bulan sebelum masa jabatan berakhir dan pengembalian dapat dilakukan dengan cara mengangsur setiap bulan.

“Saat ini kami juga sedang menunggu putusan uji materi PP No 21/2007 oleh MA. PP No 21/2007 saja tidak mengatur mengenai aparat penegak hukum, mengapa SE Mendagri mengaturnya. Untuk itulah kami memperbaiki SE Mendagri itu,” katanya.

Saut mengatakan, Depdagri masih melakukan pemetaan terkait dengan pengembalian tunjangan komunikasi dan dana operasional. Hasil sementara pemetaan itu, baru empat DPRD provinsi yang mengembalikan seluruh tunjangan komunikasi, yaitu DPRD Sumatera Selatan, Banten, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan. Tiga DPRD provinsi sama sekali belum mengembalikan dana, yaitu DPRD Papua, Papua Barat, dan Maluku Utara. Selain itu, ada DPRD provinsi yang dalam proses pengembalian tunjangan komunikasi, yaitu sebanyak 18 DPRD provinsi. Delapan provinsi tidak memberikan tunjangan itu.

Susie Berindra, Wartawan Kompas, Alumnus Universitas Sanata Dharma (USD), Yogyakarta.

Sumber: Kompas, Rabu, 14 Oktober 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts