Melantik ”Demokrasi Kenduri“?

Oleh: Alois A Nugroho

BIAYA pelantikan anggota DPR/DPD sedang menjadi topik diskursus masyarakat dan media. Di tengah-tengah kondisi ekonomi global yang sedang prihatin, terjadi pembengkakan biaya dari Rp 7 miliar pada pelantikan 2004 menjadi Rp 11 miliar pada 2009. Kenaikan sebesar Rp 4 miliar atau sebesar 57% itu dianggap tidak sesuai dengan ekspektasi etis masyarakat.

Padahal, besarnya biaya pelantikan itu konsisten semata dengan gejala yang kini menghinggapi demokrasi pascareformasi. “Demokrasi Terpimpin” di bawah komando Pemimpin Besar Revolusi telah menjadi penanda Orde Lama. “Demokrasi Pancasila”di bawah petunjuk Bapak Pembangunan telah menjadi penanda Orde Baru. Dan calon kuat untuk menjadi penanda Orde Pasca-Reformasi adalah “Demokrasi Kenduri”.

Ada dua ciri “demokrasi kenduri” yang dapat dikemukakan. Pertama, seperti kenduri, demokrasi pragmatis pada era Pasca-Reformasi akan cenderung menjadi “demokrasi bagi-bagi”. Pembengkakan biaya pelantikan sejalan dengan semangat bagi-bagi. Cuma yang dibagi-bagi dalam “demokrasi kenduri” adalah jabatan-jabatan politik dan jabatan-jabatan publik. Namun, berbeda dengan kenduri, demokrasi pragmatis itu akan menerapkan dalil no free lunch. Jabatan-jabatan politik dan publik itu tidak diperoleh secara cuma-cuma. Ada harga yang harus dibayar dalam “kenduri politik”, berupa dukungan di parlemen kepada partai pemimpin koalisi.

Kedua, dalam sebuah kenduri pada galibnya ada seorang pemimpin doa, sementara peserta kenduri lainnya setiap kali menjawab serempak “amin, amin”. Demokrasi kenduri adalah demokrasi di mana partai-partai anggota koalisi besar hanya sibuk mengamini pelbagai prakarsa pemimpin koalisi. Mereka yang pada akhirnya tidak mau mengamini prakarsa pemimpin koalisi akan dipersilakan secara santun untuk meninggalkan kenduri.

Demikianlah, dalam “demokrasi kenduri” ada proses saling menerima dan saling memberi.

Masyarakat Sipil

Rakyat yang memenuhi TPS-TPS pada hari pemilu pada akhirnya hanya menjadi pihak yang diklaim namanya, namun yang ditinggalkan kepentingannya oleh para elite yang sibuk dalam “demokrasi kenduri”. Fungsi pemilu hanyalah mengantarkan beberapa tokoh untuk pergi berkoalisi, bukan untuk memilih wakil untuk memperjuangkan aspirasi konstituen.

Pemilu bukan lagi partisipasi rakyat untuk secara tidak langsung ikut menghasilkan produk hukum yang akan mengatur hidup sebagai warga negara. Mengingat dua karakteristik “demokrasi kenduri”, produk-produk hukum yang akan dihasilkan adalah yang sesuai dengan aspirasi dari elite partai pemimpin koalisi.

Ada pendapat optimistis yang mengatakan bahwa hal itu takkan terjadi selama masyarakat sipil dapat memobilisasi kekuatan. Selama di dunia akademis kebebasan mimbar masih berkibar, lembaga swadaya masyarakat masih bertenaga, dan kebebasan pers masih dapat dimanifestasikan secara leluasa, tiadanya oposisi dari kalangan partai politik akan dapat digantikan oleh kekuatan oposisi masyarakat sipil. Memang “demokrasi kenduri” bukanlah hal ideal, namun dia bukanlah penyakit mematikan. Ada oposisi masyarakat sipil yang dapat menetralkan efek-efek negatif dari “demokrasi kenduri”.

Pendapat yang skeptis terhadap “demokrasi kenduri” mengatakan, bahwa kondisi politik semacam itu hanya akan membuat masyarakat menjadi apatis dan tidak percaya lagi pada pemilu dan demokrasi. Masyarakat akan melihat bahwa partisipasi mereka pada pemilu telah disalahgunakan oleh kepentingan pragmatis para elite politik yang berkenduri. Pada hari pemilu, tak ada bedanya tinggal di rumah dan pergi ke TPS. Partisipasi dalam pemilu tidak membuat perbedaan dan perubahan apa pun. Dengan kata lain, “demokrasi kenduri” akan menaikkan jumlah golput pada pemilihan umum berikutnya. Dengan cara ini, “demokrasi kenduri” telah mencederai demokrasi.

Pendapat yang pesimistis terhadap “demokrasi kenduri” melihat pada semakin sempitnya ruang gerak masyarakat sipil. Optimisme bahwa mobilisasi masyarakat sipil dapat mengisi kekosongan yang ditimbulkan oleh tiadanya partai oposisi adalah harapan hampa belaka. “Demokrasi kenduri” takkan bersifat netral terhadap mobilisasi kekuatan oposisi dari pihak masyarakat sipil. “Demokrasi kenduri” akan membawa efek berupa sempitnya ruang gerak masyarakat sipil. Mengapa demikian?

Motif yang menggerakkan partai pemimpin koalisi untuk menggulirkan “demokrasi kenduri” ialah meminimalkan resistensi terhadap inisiatif-inisiatif pemimpin koalisi. Dengan berhasil menggalang “koalisi besar” di parlemen, partai pemimpin koalisi akan dengan lebih leluasa menghasilkan produk hukum yang sejalan dengan aspirasi dan inisiatif mereka. Resistensi dari partai peserta “demokrasi kenduri” akan sedikit sekali, kalaupun ada. Maka yang secara legal perlu diminimalkan kemudian ialah resistensi dari kalangan masyarakat sipil. Harus ada produk hukum yang mempersempit ruang gerak masyarakat sipil untuk menggalang ruang oposisi.

Hari-hari ini, ketika “demokrasi kenduri” baru berupa sebuah sinyal yang kuat, sudah ada berita tentang pengurangan wewenang pengadilan tipikor dan pembusukan Komisi Pemberantasan Korupsi. “Demokrasi ken-duri” dapat diharapkan juga akan meminimalkan daya kekuatan dari komisi-komisi independen lain, yang sebagian besar merupakan produk reformasi, semisal Komnas HAM, KPI, KPU, dan KPPU.

Hari-hari ini, ketika “demokrasi kenduri” baru berupa sebuah sinyal yang kuat, masyarakat sipil telah dikejutkan oleh UU Perfilman dan RUU Rahasia Negara yang dianggap tidak sesuai dengan ekspektasi etis masyarakat sipil.

Alois A Nugroho, Guru Besar Filsafat dan staf senior Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 12 September 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts