Memulihkan Upaya Pemberantasan Korupsi

Oleh: Benny K Harman

REFORMASI diawali dengan semangat tinggi untuk memberantas korupsi. Semangat ini dapat dirujuk dengan Ketetapan MPR Nomor XI/1998 sehingga diharapkan segera memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan semangat ini pula dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan kemudian terbentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Restrukturisasi Pimpinan

Namun, semangat itu selalu menghadapi rintangan, baik dari luar maupun dari dalam KPK. Rintangan itu datang dari berbagai penjuru. Selain sejumlah pejabat pemerintah, polisi, kejaksaan, dan anggota DPR yang tersandung korupsi, Ketua KPK (nonaktif) Antasari Azhar pun ditahan terkait dengan pembunuhan. Bahkan, kini dua unsur pimpinan KPK juga nonaktif—Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto—disangka melakukan penyalahgunaan wewenang pada 15 September.

Di tengah ketegangan KPK dan Mabes Polri—karena Polri menetapkan dua unsur pimpinan KPK sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang—Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 30/2002 tentang KPK pada 23 September.

Upaya mengatasi merosotnya integritas KPK dengan segera, ditunjukkan dengan langkah terobosan Presiden. Langkah ini amat diharapkan dapat memulihkan pemberantasan korupsi. Banyak yang berharap agar KPK tidak diperlemah dan terus menunjukkan taringnya dalam memberantas korupsi.

Pimpinan KPK tinggal dua orang, yaitu M Jasin dan Haryono Umar, sehingga dibutuhkan tiga unsur pimpinan sementara untuk mengisi atau mengganti mereka yang menjadi tersangka.

Janji

Presiden telah membentuk atau memberi mandat kepada lima orang sebagai Tim Rekomendasi Pimpinan Sementara KPK, terdiri dari Adnan Buyung Nasution, Andi Mattalatta, Taufiqurachman Ruki, Todung Mulya Lubis, dan Widodo AS. Tim ini juga disebut Tim Lima.

Dalam tempo singkat, Tim Lima diberi tugas merestrukturisasi pimpinan KPK. Kepada publik, mereka berjanji akan bekerja secara independen, tanpa diintervensi kepentingan politik mana pun, meski mandat mereka dari Presiden. Mereka akan menyeleksi siapa pun yang dinilai layak karena kompetensi dan integritasnya diakui publik untuk menjadi pimpinan sementara.

Dengan bertugas dalam tempo singkat, tim juga menegaskan hanya akan memilih tiga orang yang direkomendasi untuk diajukan kepada Presiden. Selanjutnya Presiden yang memutuskan tiga orang itu.

Prosedur kerja tim bisa dikatakan penting sekaligus genting. Tim harus menemukan orang yang bakal memimpin KPK. Tidak ada kesempatan untuk menimbang banyak nama untuk diseleksi atau penitipan nama dari suatu kelompok kepentingan, kecuali apa yang terbayangkan dalam benak mereka.

Meski mereka yang duduk dalam Tim Lima dikenal integritasnya dan berharap pilihan jatuh pada pilihan terbaik, tetapi karena singkatnya waktu, mungkin mereka memilih secara subyektif untuk direkomendasikan kepada Presiden.

Kemunculan KPK merupakan langkah alternatif pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Pemerintah dan DPR hasil reformasi telah menunjukkan komitmen untuk membentuk KPK berdasarkan mandat UU No 30/2002. Namun, dalam perjalanan periode kedua lima tahunan, pimpinan KPK mulai tersandung dugaan tindak pidana.

Pemulihan

Merosotnya integritas pimpinan dan masalah yang dihadapi KPK harus segera dipulihkan bagi pemberantasan korupsi. Pertama, meski banyak kalangan menilai perppu yang dikeluarkan itu tergolong kontroversial, tetapi dengan dibentuknya Tim Lima—orang-orang yang memiliki integritas moral dan kredibel—diharapkan dapat memastikan tiga orang terbaik yang terseleksi sehingga mengatasi kekuranglengkapan pimpinan KPK.

Kedua, segera setelah diputuskan mengenai tiga unsur pimpinan sementara, KPK harus melakukan konsolidasi untuk menggerakkan kembali pemberantasan korupsi. Konsolidasi yang terarah sesuai wewenang, fungsi, dan tugasnya dapat memulihkan kepercayaan publik atas manfaat keberadaan KPK.

Ketiga, struktur kekuasaan, kewenangan, dan fungsi KPK tak akan efektif tanpa dukungan pemerintah. Meski dibutuhkan dukungan politik, pemerintah harus tetap menghormati kewenangan dan fungsi KPK tanpa mencampurinya dalam menyeret mereka yang diduga melakukan korupsi.

Keempat, dukungan politik tak hanya dibutuhkan dari pemerintah, tetapi juga DPR 2009-2014. Untuk memulihkan keberadaan KPK dalam memberantas korupsi, dibutuhkan mandat yang kokoh berdasar undang-undang. RUU Tindak Pidana Korupsi harus didukung untuk memperkuat KPK, termasuk independensinya.

Kelima, yang juga penting diingatkan adalah partisipasi masyarakat. Tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi, kiranya sulit mewujudkan cita-cita pemerintahan yang baik sebagai masa depan politik hukum yang lebih baik.

Benny K Harman, Anggota DPR Terpilih 2009-2014

Sumber: Kompas, Senin, 5 Oktober 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts