Penahanan Bibit dan Chandra Bukan Kasus Biasa

Oleh: Tjipta Lesmana

AKHIRNYA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat suara terkait perseteruan sengit antara Polri dan KPK, lebih khusus lagi karena ditahannya dua unsur pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto.

Presiden menyempatkan untuk menggelar jumpa pers (Jumat, 30/10/2009) karena namanya tiga kali disebut dalam rekaman percakapan terkait kasus korupsi Anggoro Widjojo. Namun, ada satu aspek pernyataan Yudhoyono yang niscaya mengecewakan masyarakat luas.

Saat Presiden menegaskan “kasus Bibit dan Chandra sama dengan kasus yang menimpa pejabat lain”, publik dibuat bingung dan bertanya-tanya, “Masih setiakah Presiden dengan tekad untuk menjadi ‘panglima gerakan antikorupsi” sebagaimana dicanangkan berulang kali dalam kampanye Pemilu Presiden 2004?”

“Perihal penahanan seorang tersangka, kita tahu, seorang tersangka, dalam proses penyidikan, bisa ditahan apakah penahanan oleh polisi, atau jaksa, atau yang memiliki kapasitas sebagai penyidik. Yang penting, rakyat harus (tahu) alasan penahanan yang jelas dan rujukan hukum mana yang dijadikan alasan,” tegas Yudhoyono.

Betapa tinggi kadar normatif pernyataan Presiden. Substansi paparan Presiden Yudhoyono selama kurang lebih setengah jam itu sebagian besar bersifat normatif. Presiden mengatakan, dalam proses penyidikan, penyidik—apakah Polri, kejaksaan, atau KPK—punya kewenangan untuk menahan tersangka. Presiden meminta Kepala Polri agar menyelidiki (membuka) secara tuntas rekaman percakapan yang beredar di masyarakat. Cari siapa pelaku percakapan itu. Kembali ditegaskan, Presiden tidak bisa melakukan intervensi dalam proses hukum yang sedang dilakukan instansi penegak hukum. “Saya tidak akan, dan saya tidak boleh....”

Dengan ucapan-ucapan normatif itu, Presiden Yudhoyono seakan hendak mengatakan kepada rakyat Indonesia, dirinya seorang pemimpin yang selalu menghormati dan menaati hukum; selalu bertindak di atas rel hukum.

Bukan Kasus Biasa

Sayang, Presiden telah melakukan kekeliruan pembandingan dalam ilmu logika. Penahanan Bibit dan Chandra tidak bisa disebut kasus biasa, jika mencermati kronologi kejadian sebelumnya. Jika tergolong kasus biasa, mana mungkin opini publik berdiri di belakang mantan kedua unsur pimpinan KPK itu? Mana mungkin tokoh masyarakat seperti Syafii Maarif, Franz Magnis-Suseno, Goenawan Mohamad, dan lainnya serentak berikrar siap pasang badan demi membela Bibit dan Chandra? Jika kasus biasa, omong kosong media bisa disogok untuk membesarkan kasus itu sekaligus membela mereka?

Tentu ada yang tidak beres. Bahkan, ada sesuatu yang bisa membawa aib besar bagi potret negara hukum Indonesia di balik penahanan Bibit dan Chandra.

Maka, perlu dihindari sikap normatif. Inilah momentum emas bagi presiden untuk tampil ke depan memperbaiki citra diri yang beberapa waktu lalu agak turun akibat penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Bagaimana caranya?

Jika benar Presiden Yudhoyono mempersepsikan diri “pemimpin junjungan hukum”, kiranya perlu segera mengambil tiga tindakan penting.

Pertama, memerintahkan Kapolri dan Jaksa Agung untuk secepatnya dan penuh keseriusan menyelidiki rekaman percakapan yang terkait petinggi kedua instansi penegak hukum itu. Ini pekerjaan amat mudah. Maka, segera akan ditemukan siapa sebenarnya petinggi yang dimaksud dalam percakapan itu. Lalu, sidik apa makna pesan yang terkandung di balik “ucapan-ucapan menghebohkan” itu.

Kedua, karena pemberian status tersangka—yang dilanjutkan penahanan—Bibit dan Chandra terkait penyelidikan KPK terhadap dugaan keterlibatan sejumlah petinggi Polri dan Kejaksaan Agung dalam kasus Anggoro maupun skandal Bank Century, maka presiden tidak salah jika memerintahkan Kapolri untuk menunda penyidikan kasus Bibit dan Chandra, apalagi menahan mereka.

Dalam hal ini, masalah ayam dan telur harus dipecahkan dulu. Bibit dan Chandra dibidik Polri karena mereka menyadap telepon petinggi Polri, bahkan mempermalukan institusi Polri di mata rakyat Indonesia. Namun, KPK berkelit, mereka punya dasar kuat untuk melakukan penyelidikan. Mana lebih dulu? Jawabannya, bongkar misteri rekaman percakapan yang kini menjadi rahasia publik. Dari situ akan diperoleh indikasi apakah KPK atau Polri yang melenceng.

Ketiga, jika misteri dalam butir kedua sudah terkuak, Presiden perlu mengambil tindakan tegas terhadap pimpinan Polri dan Kejaksaan Agung. Presiden perlu diingatkan sejarah lahirnya KPK. KPK lahir karena (a) desakan reformasi untuk memberantas korupsi, mengingat korupsi menjadi salah satu penyebab pokok gagalnya bangsa Indonesia menjadi bangsa bermartabat di antara bangsa-bangsa dunia; (b) buruknya citra dan kinerja Polri dan kejaksaan selama puluhan tahun dalam penegakan hukum.

Belum Terlambat

Presiden belum terlambat untuk memperbaiki citra kepemimpinan, sehubungan dengan penahanan Bibit dan Chandra.

Untuk itu, presiden perlu mencermati opini publik, sebab sebenarnya opini publik adalah salah satu pilar sistem demokrasi. Semua presiden Amerika Serikat, setiap subuh berkewajiban untuk mencermati opini publik terkini terkait kasus besar yang dihadapi bangsa dan negaranya. Bukankah hal itu juga bisa dilakukan Presiden Yudhoyono?

Kebijakan dan tindakan presiden selamanya tidak akan efektif manakala bertabrakan dengan opini publik, apalagi opini publik yang benar-benar solid.

Tjipta Lesmana, Ahli Komunikasi Politik

Sumber: Kompas, Sabtu, 31 Oktober 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts