”Singa Sirkus“ untuk KPK

Oleh: Febri Diansyah

BULAN-bulan belakangan ini sepertinya bukan waktu yang bersahabat untuk pemberantasan korupsi.

Pimpinan KPK dikriminalisasi dan dituduh menerima suap. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang kewenangan presiden mengangkat pimpinan sementara Komisi Pemberantasan Korupsi terbit di tengah kecaman dan penolakan. Eskalasi serangan balik ke KPK mencapai tingkat tertinggi. Apakah Perppu Nomor 4 Tahun 2009 dan penunjukan lima orang di Tim Rekomendasi juga sebuah serangan?

Menabrak Rasa Keadilan

Kekhawatiran dan pertanyaan publik itu perlu tegas dijawab oleh otoritas politik. Hingga kini, selalu dikatakan perppu diterbitkan untuk menyelamatkan KPK, dan Tim Perumus bertugas mencari orang-orang terbaik untuk memimpin kapal pemberantasan korupsi. Sepintas logika ini masuk akal jika ditambah argumentasi, dua unsur pimpinan KPK yang tersisa berasal dari unit pencegahan sehingga akan memperlambat kerja KPK.

Namun, sepertinya terlalu banyak kejanggalan di balik perppu dan Tim Rekomendasi itu. Relatif mudah meragukan alasan “kegentingan yang memaksa” di balik penerbitan perppu. Apalagi kita tahu, perppu dan Tim Lima dibentuk hanya selang satu hari setelah keputusan presiden terkait pemberhentian sementara dua pimpinan KPK ditandatangani.

Sementara pada pertimbangan perppu, dicantumkan, telah terjadi kekosongan kepemimpinan di KPK sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat mengganggu pemberantasan korupsi. Bagaimana mungkin mengukur kondisi genting dalam waktu amat singkat? Bukankah perppu justru kian memberi legitimasi proses kriminalisasi pimpinan KPK?

Presiden memang berwenang menerbitkan perppu, tetapi kewenangan itu tak boleh menabrak rasa keadilan publik, pakem kelembagaan independen, dan terutama perang terhadap korupsi. Bahkan, tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Kepercayaan diri yang amat besar karena menang mutlak dalam pemilu presiden dan dukungan kuat partai koalisi di DPR 2009-2014 sepatutnya tidak membuat kita terjebak dalam pemerintahan otoriter.

Tragedi Perppu

Godaan menjadi sosok absolut memang amat besar, tetapi itu harus dilawan dengan tetap memelihara arti kelembagaan independen KPK. Bayangkan, jika suatu saat nanti diterbitkan perppu memberi kewenangan kepada presiden untuk membubarkan KPK, mengganti pimpinan yang tak disukai, atau hal-hal yang tak terbayangkan saat ini. Karena itu, kewenangan presiden menerbitkan perppu bukan sesuatu yang mutlak. Ia tetap memiliki batasan-batasan tertentu.

Jika pihak yang sama menandatangani perppu yang memberi kewenangan pada diri sendiri untuk menempatkan orang secara langsung di KPK, tentu saja hal ini dapat menjadi tragedi demokrasi. Karena pada prinsipnya demokrasi menghendaki pemerintahan yang tetap menghargai unit-unit independen, mendengarkan masukan dari masyarakat, tidak terjebak gaya pemerintahan absolut.

Hal itu sesuai dengan salah satu ciri penting lembaga independen menurut William F Funk dan Richard H Seamon, yakni pimpinannya tak mengabdi kepada kekuasaan presiden atau raja.

Seharusnya pengambil kebijakan cermat memahami makna di balik Pasal 3 UU KPK tentang sifat independensi KPK. Korupsi yang merajelala, melibatkan kekuatan politik penguasa, penegak hukum, dan mafia bisnis yang menopang pembiayaan politik di sebuah negara menjadikan negara itu memerlukan sebuah lembaga yang benar-benar independen. Untuk itulah KPK dibentuk berdasarkan UU No 30/2002.

Kuda Troya

Kini, realitas yang mau tak mau harus dihadapi adalah perppu sudah ditandatangani. Tim Lima hampir menyelesaikan tugasnya. Tiga nama sudah dipilih dan segera diusulkan kepada presiden. Sesuai Keppres No 27/2009, masa tugas Tim Lima berakhir 1 Oktober 2009. Kita paham, meski legitimasi perppu rusak di mata publik, ia tak boleh menjadi alat pembenaran upaya mengooptasi KPK dengan menempatkan orang-orang yang bisa dikontrol.

Karena itu, KPK harus dipastikan tak diisi oleh “boneka” kekuasaan politik eksekutif. Masyarakat perlu amat hati-hati dengan kemungkinan “kuda troya” ditanam, seolah menjadi hadiah, tetapi sebenarnya ditugaskan menikam jantung pemberantasan korupsi.

Kriteria tidak merupakan orang dekat presiden, tidak terafiliasi di partai politik tertentu, bukan polisi/jaksa aktif, dan mempunyai integritas merupakan karakter minimum yang harus dipenuhi. Selain tetap dibutuhkan klarifikasi kekayaan, apakah tergolong wajar jika dibandingkan dengan penghasilan yang sah. Dengan sederhana kita bisa katakan, pimpinan KPK, apa pun istilahnya, tidak boleh titipan kekuatan koruptor atau boneka kelompok politik tertentu.

Cukupkah kriteria itu belum. Publik tetap perlu hati-hati. Secara tidak sadar, publik melupakan strategi baru melumpuhkan KPK. Mungkin yang akan ditanam bukan “kuda troya” yang dibayangkan akan aktif menyerang jenderal dan raja di tempat ia disusupkan. Kita agak melupakan, kemungkinan ditunjuknya orang yang kompromistis dan lemah dalam mengambil keputusan. Tujuannya, KPK lamban, bahkan tak berani melawan segala serangan balik yang ditujukan ke institusi itu.

Singa Ompong

Apakah tiga nama yang sudah beredar di publik dapat menjawab dua kecemasan penting itu? Masih meragukan. Laporan beberapa media sudah mencantumkan calon pejabat sementara, masing-masing berasal dari mantan pimpinan KPK, mantan pegawai KPK, dan mantan LSM.

Sepintas kategorisasi ini diperkirakan akan membantu KPK. Mungkinkah? Terutama jika orang-orang yang dipilih masuk dalam kategori calon yang saat di KPK tergolong orang yang ragu mengambil keputusan, terutama di bidang penindakan.

Atau, tokoh LSM yang bukan tipe tegas seperti “Munir” dan “Adnan Buyung-muda di era Orde Baru”. Seharusnya tidak. Namun, jika ya, tentu saja percuma. Justru KPK akan menjadi “singa ompong”, yang hanya akan beraksi di pementasan sirkus. Tidak punya taring, kuku-kuku telah ditumpulkan. Tidak akan menakutkan para koruptor. Dan mungkin relatif kompromistis dengan kekuasaan. Hingga, akhirnya KPK mati suri?

Febri Diansyah, Peneliti Hukum; Anggota Badan Pekerja ICW

Sumber: Kompas, Sabtu, 3 Oktober 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts