Ssst... Ini Rahasia Negara!

Oleh: Effendi Gazali

HUMOR politik sering merupakan media komunikasi politik yang lebih jujur. Di banyak negara otoriter, ada cerita tentang wartawan yang tidak bisa memberitakan pemimpin negeri yang sedang terganggu kesehatan jiwanya.

Beberapa jurnalis yang akhirnya menulis berita itu dijebloskan ke penjara. Apa tuduhan aparat hukum? Mereka membocorkan rahasia negara!

Saya dan teman-teman peneliti di Salemba School mulai meragukan batas antara jaminan kebebasan berekspresi dan apa yang dinamakan “kecenderungan otoritarian plus pencitraan”.

Kami punya pengalaman panjang dengan serial Republik Mimpi yang sebetulnya merupakan program serius dalam komunikasi politik. Pada jurnal Political Communication terus mengalir riset, antara lain yang termutakhir Effects of the Daily Show on Information Seeking and Political Learning; Volume 26, 2009.

Anehnya, kami begitu sulit mempertahankan diri di sebuah stasiun TV. Sementara acara yang membajak hak cipta kami dijaga di stasiun TV lain. Jika serius dikerjakan dengan riset dan tujuan jelas per segmen acara, mungkin pembajakan itu masih ada maknanya.

Namun, pada sebuah penampilan di beberapa stasiun TV, saya melihat tokoh duplikat Gus Dur menyetujui Proyek PLTN di Jepara (sesuatu yang bertentangan dengan posisi politik guru bangsa itu).

Sementara itu, riset beberapa peneliti pada Pemilu 2009 menunjukkan citra duplikat Jusuf Kalla merugikan capres itu. Di sini ada kesan, “resep rahasia langgeng di negeri itu” adalah: apa pun boleh asal tak mengganggu citra presiden. Hal ini berbeda dengan heboh substansi monolog “Presiden Si Butet Yogya” pada Deklarasi Damai KPU.

Kembang Kertas

Kecenderungan menuju otoritarian plus pencitraan kira-kira senada dengan analogi Kembang-kembang Kertas (Ikrar Nusa Bhakti, Kompas, 26/8). Tentu, ada pakar dan pengamat yang menolak. Tugas kami yang mengkhawatirkan kemungkinan itu adalah mengingatkan sebab belum tentu para pemimpin negeri ini menyadari apalagi menginginkan. Jangan-jangan, ini adalah upaya berlebihan sekelompok orang yang merasa ingin berbuat demi suatu kepemimpinan yang hebat dengan harapan kompensasi tertentu.

Lihat saja UU Perfilman. Dari UU itu ada sisi baik, contohnya semangat antimonopoli dan dorongan agar lebih banyak produksi film nasional. Dan rakyat hingga pelosok dapat menonton film kita. Namun, semangat “melarang” muncul amat mencolok! Padahal, spiritnya bisa diganti dengan semangat “mendukung agar film nasional tetap memiliki nilai keutamaan dan menjauhi hal-hal (disebutkan)”.

Demikian pula semangat keterlibatan birokrat yang seharusnya seminim mungkin pada masyarakat madani. Apalagi film-film kita yang sempat bangkit dan bermutu baik justru terjadi relatif tanpa dukungan memadai dari birokrat.

Contoh, jika semangatnya sekadar “pemberitahuan”, pasal itu harusnya berbunyi, “Pemberitahuan oleh produser tentang judul, tanggal, dan lokasi produksi, cukup melalui surat, antara lain dengan bukti pengiriman surat terdaftar”. Jika bisa dibuat gampang mengapa dibikin susah? Tak perlu pula di sana-sini pakai rumusan cek kosong “selanjutnya ditentukan dengan peraturan pemerintah”.

Rahasia Pemerintah

Salah satu bantahan terhadap tren otoritarian oleh sejumlah pakar berupa dalil adanya pers yang bebas dan kritis. Namun, alasan ini sirna dengan RUU Rahasia Negara. Hal yang gamblang dibeberkan Kompas (Orde Baru Jilid Kedua, 11/9) pantas membuat Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia serta berbagai elemen publik menolaknya.

Uniknya, dalam khazanah komunikasi politik, terkadang digunakan istilah “rahasia pemerintah” (Blacked Out: Government Secrecy in the Information Age oleh Roberts, 2006, dibahas Lord dalam Political Communication, Volume 25, 2008). Jelas, kadang kala rahasia negara ditentukan oleh siapa yang memerintah!

Roberts dan Lord setuju, perjuangan untuk keterbukaan membutuhkan kegigihan dan masih banyak hal yang menghadangnya pada era teknologi informasi plus bermainnya organisasi supranasional. Bahkan, mereka mengakui suasana yang mengancam terus berubah.

Pada konteks Indonesia—hemat saya—selain pencitraan yang bisa membuat seolah tak ada ancaman, juga ada masalah posisi media yang tumbuh dahsyat sebagai bagian business complex. Media gampang ditekan secara tidak langsung dengan mencari atau memperlihatkan kesalahan dari perusahaan lain beserta tokohnya yang masih termasuk dalam kompleks bisnis mereka.

Untung, akhirnya SBY mengingatkan agar para pejabat jangan tergesa-gesa mengambil keputusan menjelang berakhirnya pemerintahan 2004-2009. Dalam konteks berbagai UU yang “kejar setoran” itu, siapakah yang dapat menjadi pemutus jika terjadi ketidaksepakatan, misal soal pelaksanaan sensor bersama oleh insan film dan LSF?

Pada RUU Rahasia Negara, apakah Dewan Pers bisa memutuskan bahwa kinerja pers yang membongkar rahasia pemerintah untuk kepentingan publik sesuai fungsi pers?

Effendi Gazali, Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI, Direktur Yayasan Mazhab Salemba

Sumber: Kompas, Selasa, 15 September 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts