Anak Perawan Dijual Rp 3 Juta ke Lelaki Mesum

Surabaya - Polres Pelabuhan Tanjungt Perak, Surabaya, menangkap Yulianis (24), seorang mucikari yang biasa menjual gadis dibawah umur untuk dijadikan pelacur. Dari hasil pemeriksaan, diketahui sudah 20 remaja yang telah dijualnya.

Saat diperiksa, Yuliasnis warga Surabaya ini mengaku jika dia memang menjadi mucikari dari Perempuan-perempuan muda yang bisa dipanggil untuk diajak kencan berbayar. Dihadapan petugas, remaja berambut panjang ini mengatakan jika ia sudah lama menjual dirinya (melacur, red). Aktivitasnya bermula ketika dia bekerja di pertokoan swalayan.

Sering menemani laki hidung belang, Yulianis lantas kerap diminta untuk mencarikan gadis di bawah umur yang bisa ditiduri. Dari situ, Yulianis rajin mencari mangsa. Perempuan-perempuan remaja ditawari uang berlimpah dengan cara mudah. Sampai dia tertangkap, ada 20 remaja yang telah berhasil dirayunya.

Yulianis tertangkap ketika mengajak korbannya di Hotel Pit Stop, jalan Semut Baru, Surabaya. "Tersangka kami amankan saat membawa korbannya ke hotel Pit Stop," kata Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak AKBP Anom Wibowo kepada wartawan, Jumat (29/6/2012).

Dari penangkapan itu, polisi juga mengamankan korban perdagangan gadis yang masih berusia belia sekitar 15-17 tahun. AKBP Anom menjelaskan, korban Yulianis rata-rata masih bersekolah di bangku SMP dan SMA. "Tarifnya bervariasi, mulai Rp 1 - Rp 3 juta," tambah Anom.

Untuk tarif yang Rp 1 juta, lanjut Anom, digunakan untuk remaja yang sudah tidak virgin atau tak perawan lagi. Dan sebaliknya, tarif Rp 3 juta untuk gadis perawan. Kini, Yulianis ditahan dan dijerat 15 tahun penjara. "Untuk tarif Rp 1 juta itu, mucikari medapakan untung dari 50 - 70 persen. Sedangkan tarif Rp 3 juta, tersangka mengambil untung hingga Rp 2 juta," tandas Anom.[beritajatim]

Batik Kuno Dipamerkan di "Indonesia Festival Seatle"

Bandung, Jabar - Sejumlah batik kuno dan kain khas Indonesia akan dipamerkan pada ajang "Indonesian Festival Seattle" (IFS) 2012 yang digelar di Kota Seattle Washington, Amerika Serikat, 5-6 Juli 2012.

"Batik sudah dikenal dunia dan kami akan menampilkan dalam pameran dan peragaan batik di ajang IFS 2012 yang merupakan bagian dari Festal Fest di Seattle AS. Batik-batik kuno akan disertakan dalam pameran di sana," kata Bendahara Yayasan Batik Indonesia Ika BS Wahyudi di Bandung, Jumat.

Menurut Ika, menampilkan pameran batik di ajang pentas seni budaya di IFS 2012 itu sangat strategis untuk memperkenalkan sekaligus memasarkan batik Indonesia.

Selain membawa batik-batik kuno, Yayasan Batik Indonesia pada ajang itu juga akan menampilkan batik khas Jawa Barat, antara lain batik Komar serta batik Garutan yang akan digunakan sebagai bahan pakaian para penari yang akan manggung.

IFS 2012 itu digelar di dua tempat, yakni di Kane Hall University Washington dan di Westlake Park. Selain akan ditonton oleh komunitas warga Indonesia di Seattle AS, juga menjadi bagian tontonan bagi warga Amerika Serikat untuk mengenal seni budaya Indonesia.

"Ajang IFS merupakan bagian Festal Fest yang merupakan ajang pentas seni budaya dunia yang diadakan sejak 1962, sebuah ajang besar sehingga kami tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini," kata Ika.

Menurut Ika, banyak ragam batik yang disukai di pasaran internasional. Terlebih setelah batik ditetapkan menjadi warisan budaya dunia, pamor batik terus meningkat. Meski demikian sosialisasi dan proses edukasi batik perlu terus ditingkatkan untuk bisa lebih eksis.

"Banyak ragam batik, baik hasil tulis maupun cetak. Peminatnya cukup besar, dan Indonesia berharap bisa menjadikan batik komiditas unggulan sehingga sosialisasi seperti ini diperlukan," katanya.

Pada ajang IFS 2012 itu, Yayasan Batik Indonesia juga akan memanfaatkan dengan melakukan penjajakan kerjasama budaya dan akan menghibahkan koleksi tekstil Indonesia pada museum di Amerika Serikat.

Menurut Ika, ajang IFS diharapkan menjadi gerbang utama dalam membuka beragam peluang kerjasama lintas yang dimiliki serta menginovasi dalam menumbuhkembangkan potensi dalam berbagai bidang antara lain pendidikan, bisnis, kesehatan, pemerintah serta yang lainnya.

Selain akan memerkan batik, pihaknya juga berencana untuk membawa sejumlah kain yang dihasilkan proses secara tradisional oleh masyarakat di Indonesia. Salah satunya kain ’Voya’ asal Sulawesi Tenggara.

"Kain Voya itu mempunyai banyak karakter dan jenis, namun voya asal Sulawesi Tenggara atau dari Lembah Kaba teksturnya sangat halus dan bisa dikembangkan ke depannya," kata Ika BS Wahyudi menambahkan.

UNESCO Sahkan Subak Bali Jadi Warisan Dunia

Jakarta - Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuan dan Budaya (UNESCO) akhirnya mensahkan budaya Subak dari Bali sebagai bagian dari warisan dunia pada Sidang ke-36 di St.Petersburg, Rusia, Jumat.

UNESCO menilai subak sebagai sistem irigasi yang dapat mempertahankan budaya asli masyarakat Bali.

Kepala Divisi Penerangan KBRI Moskwa M Aji Surya yang hadir pada sidang itu mengatakan, Subak Bali sudah diperjuangkan selama 12 tahun dan telah tertunda beberapa kali pengesahannya. Pada sidang kali ini tidak tampak upaya yang menentang Subak menjadi warisan dunia.

Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Windu Nuryanti, mengaku senang sistem pengairan Subak dari masyarakat Bali telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia (World Heritage). Bupati Badung dan Gianyar yang hadir dalam perhelatan itu tampak gembira dan bertepuk tangan bersama seribuan peserta sidang termasuk Dubes RI untuk Rusia Djauhari Oratmangun.

Windu mengucapkan terimakasih kepada semua negara yang mendukung. "Ini adalah peristiwa yang sangat bersejarah," katanya.

Menurut Windu, budaya Subak ini dianggap memiliki Outstanding Universal Values. Jadi memiliki nilai budaya yang luar biasa, yang masih bisa ditunjukkan bukti-buktinya sebagai kultur hidup yang diikuti oleh masyarakat adat di Bali. Subak adalah sistem kehidupan yang masih diikuti oleh masyarakat," kata Windu.

Subak dinilai menciptakan perekat sosial pada masyarakat Bali. Sebelumnya beberapa jenis warisan budaya Indonesia telah diakui oleh UNESCO, di antaranya batik, keris, Candi Prambanan, juga alat musik angklung serta karinding.

Penetapan Subak ini bertepatan dengan 40 tahun Konvensi Warisan Budaya Dunia. Konvensi yang dimulai pada tahun 1972 ini merupakan pakta internasional untuk melestarikan budaya dan warisan alami yang tersebar di penjuru dunia.

Pakta ini berbeda dengan perjanjian internasional lainnya. Karena mengakui adanya interaksi manusia dengan alam dan bagaimana cara menyeimbangkan keduanya. Untuk perayaan istimewa tahun ini, Konvensi Warisan Budaya Dunia merayakan pembangunan berkelanjutan dan peran dari komunitas lokal.

Keris, Pusaka Budaya Nusantara

Denpasar, Bali - Keris sudah diakui dunia sebagai warisan budaya asal Indonesia. Tradisi keris seharusnya dilestarikan karena di dalam keris terkandung tuntunan hidup, tatanan perilaku, estetika, dan budaya luhur.

Demikian benang merah dalam sarasehan Penguatan Keris sebagai Representasi Pusaka dan Peradaban Bangsa, yang dilangsungkan di aula Museum Bali, Denpasar, Bali, Kamis (28/6/2012). Sarasehan tentang keris itu serangkaian dengan acara Petinget (Peringatan) Rahina Tumpek Landep, yang diselenggarakan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Denpasar.

Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana, I Nyoman Weda Kusuma menyatakan, pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata tikam saat berperang dan benda pelengkap upacara. Fungsi keris masa kini menjadi aksesori, simbol budaya, dan benda koleksi bernilai estetika.

Pembicara lain dalam sarasehan keris, pengajar di Fakultas Sastra Universitas Udayana, Ida Bagus Rai Putra mengemukakan, keris adalah benda budaya warisan leluhur yang memiliki kelebihan, antara lain taksu, nilai religius, dan ageman jati diri.

Keris, menurut Rai Putra, merupakan produk budaya unggulan, yang memiliki nilai rasa, tidak hanya sebatas fungsi dan kegunaan secara lahiriah namun merasuk pada sisi mendalam kehidupan manusia.

Acara Patinget Rahina Tumpek Landep, yang antara lain diisi pameran keris pusaka, berlangsung sejak Rabu (27/6/2012) sampai Jumat (29/6/2012).

Sejumlah Raja Hadiri Peresmian Rumah Gadang Talu

Simpangampek, Sumbar - Rumah gadang (adat) Talu di Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatra Barat, diresmikan dengan menghadirkan sejumlah raja adat di Indonesia bahkan hadir raja dari Malaysia, Thailand, dan Singapura.

"Inti dari acara ini adalah peresmian rumah gadang atau adat. Namu, kita juga mengundang raja-raja yang lainnya," kata Tuanku Bosa XIV Fadlan Maalip di Simpangampek, Sabtu (23/6).

Ia mengatakan rumah gadang yang terletak di Kotodalam, Jorong Kampung Pinang, merupakan rumah adat kebanggaan masyarakat Talu dan Pasaman Barat. Acara itu dihadiri Bupati Pasaman Barat Baharuddin R Tuanku Johansyah Pahlawan, Raja dan Sultan Nusantara, Daulat Yang Dipertuan RA Pagaruyuang, Tuanku, Para Pucuk adat Minangkabau, Bundo Kanduang Limpapeh rumah nan gadang, dan alim ulama, cadiak pandai, rang mudo, dan sejumlah tamu undangan lainnya.

Menurutnya acara Talu Baralek Gadang ini juga dimaksudkan untuk menggali fungsi adat sebagai salah satu pedoman masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Pihaknya mengharapkan dengan adanya Rumah Gadang Talu itu juga akan menjadi ikon adat di Talu.

Selain juga akan menjadi tempat wisata budaya, rumah tersebut juga dijadikan tempat musyawarah, pertemuan adat, tempat olahraga, seni budaya tradisional dan modern.

Fadlan menjelaskan rumah gadang itu sebenarnya telah selesai dibangun dan saat ini telah menjadi ikon objek wisata di Kotodalam Talu dan sekitarnya. Acara itu sekaligus untuk meresmikan perkebunan Gaharu Ninik Mamak Mataram serta selamatan lima tahun Tuanku Bosa XIV dinobatkan atau dilewakan sebagai Rajo dan Pucuk Adat Talu.

Masyarakat Indonesia di Lousiana Adakan Acara Budaya

Jakarta - Masyarakat Indonesia di negara bagian Louisiana Amerika Serikat (AS) melampiaskan rasa rindu karena lama tidak pulang ke Tanah Air dengan mengadakan acara budaya bertajuk "Indo Cultural Event" di sebuah hall besar University of Louisiana, Lafayette, 23 Juni lalu.

Dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu, Konsul Jenderal RI di Houston, Al Busyra Basnur yang hadir bersama isteri, Wenny Busyra Basnur, membuka acara tersebut dengan pemukulan gong.

Acara itu dihadiri sekitar 250 orang yang terdiri dari warga Indonesia dan keluarga serta Friends of Indonesia antara lain masyarakat Amerika Serikat dan negara sahabat lainnya seperti dari Amerika Latin dan Timur Tengah.

Dr. Herry Utomo, Ketua Indonesian-American Families of Acadiana, Louisiana mengatakan bahwa selain melepas rindu pada Tanah Air, acara tersebut juga sekaligus untuk mengingat, mengenang dan memeriahkan Hari Ulang Tahun ke-67 Kemerdekaan RI.

Al Busyra Basnur dalam sambutannya antara lain mengatakan bahwa kegiatan tersebut tidak saja dapat mengobati rasa rindu masyarakat Indonesia pada Tanah Air, tapi juga meningkatkan rasa cinta pada bangsa dan negara.

"Acara ini juga memberikan kontribusi yang besar dalam upaya membina hubungan dan meningkatkan persahabatan antara bangsa Indonesia dengan bangsa Amerika Serikat dan bangsa-bangsa lain di dunia", kata Konjen Al Busyra Basnur.

Berbagai acara menarik mengisi kegiatan ini, antara lain lomba busana untuk dewasa dan anak-anak, pertunjukan tarian tradisional Indonesia, jajanan pasar, dan lomba makan kerupuk.

Selain itu, lomba membawa kelereng dengan sendok, tarik tambang dan pertunjukan band, termasuk band keluarga Konjen Al Busyra Basnur yang sengaja datang dari Houston.

Ahli Jerman Kaji Teknik Menenun Ulos Batak

London, Inggris - Komunitas Batak memiliki pengetahuan tradisional bernilai tinggi tentang menenun Ulos Batak yang sayangnya dewasa ini sudah mulai ditinggalkan oleh para penenun Batak.

Padahal hasil tenunan dengan teknik tradisionl lebih bagus daripada menggunakan teknik modern, demikian pandangan pakar Etnologis Dr Sandra Niessen dalam acara pameran tekstil Ulos Batak di Gallery Smend, di Kota Koeln, Jerman.

Fungsi Pensosbud KJRI Frankfurt Hendriek Yopin kepada ANTARA London, Sabtu menyebutkan dalam pameran tersebut Dr Niessen menayangkan secara detil bagaimana ulos ditenun dengan teknik tradisional yang sarat dengan nilai-nilai filsafat.

Melalui film singkat berdurasi 30 menit dengan judul "Rangsa ni Tonun" yang dibuat MJA Nashir dan setiap tahapan pembuatan ulos mengandung makna spiritual yang jika diurut bermuara kepada kebesaran Tuhan sang pencipta.

Konjen RI di Frankfurt, Damos Dumoli Agusman menyatakan kekagumannya atas upaya Dr Niessen dan Nashir merekonstruksi pengetahuan tradisional teknik menenun Ulos yang hampir saja menjadi bagian sejarah dari budaya Batak.

Dikatakannya alat tradisional tenun Batak memang sudah hampir punah karena beralih ke alat yang lebih modern. Namun demikian teknik pembuatan tradisional perlu didokumentasikan dan dilestarikan.

Pengetahuan tradisional sedang diperjuangkan di forum World Intellectual Property Organization (WIPO) di Jenewa sebagai hak intelektual komunitas yang akan mendapat perlindungan dari perspektif HAKI, ujarnya.

Diharapkan dokumentasi ini akan membantu Pemerintah mengidentifikasi dan merekonstruksi kembali pengetahuan tradisional komunitas adat Indonesia yang mulai punah.

Hal ini dengan sendirinya memperkuat perlindungan HAKI terhadap kemungkinan diklaim komunitas atau Negara lain, ujarnya.

Menurut Konjen sudah tentu pengetahuan ini milik komunitas Batak dan upaya Niessen ini semakin memperkokoh kepemilikan orang Batak atas intelektual.

Pengetahuan tradisional dan direkonstruksi secara sistematis serta dikemas dalam media yang dapat dipahami semua lapisan pengamat di dunia sehingga komunitas Batak tidak perlu lagi kuatir tentang titel kepemilikannya, ujar Damos.

Dalam Film tersebut dikisahkan secara visual para penenun Batak menggunakan alat dan bahan-bahan yang sangat sederhana namun sangat kaya dengan makna filosofisnya.

Dalam penuturannya, Dr Niessen berhasil mengumpulkan data-data dari berbagai arsip tentang teknik menenun ini dan membuat kembali alat-alat tersebut.

Dia menunjukkan alat ini kepada sekelompok wanita Batak yang telah berusia lanjut dan tidak dapat membendung air matanya pada saat wanita tersebut memperagakan teknik traditional menenun dengan menggunakan alat-alat itu.

Mereka sudah lama tidak melihat alat ini namun memorinya masih sempurna untuk menggunakan apa yang dialami pada saat remaja dan sayang sekali teknik ini tidak lagi berkembang dalam komunitas Batak dewasa ini, ujar Dr Niessen.

Pameran ini diselenggarakan Rudolf Smend, yang telah lama menggeluti teknik pembuatan Batik Indonesia dan dihadiri pakar tenun dan akademisi Jerman yang tertarik dengan Indonesia.

Dalam pameran tersebut hadir mantan misionaris Jerman yang pernah menetap di tanah Batak setelah era misionaris terkenal Jerman Dr Ingwer L Nomensen.

Peserta Festival Rendang Sajikan Hotdog

Padang, Sumbar - Festival dan lomba cipta lagu tentang rendang yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Barat, 26-27 Juni 2012 memiliki keunikan tersendiri dengan adanya sajian hotdog dan hamburger berbahan baku rendang.

Dari 98 kelompok peserta yang ikut lomba memasak rendang di Taman Budaya Sumbar di Padang, Selasa, ada yang berkreasi dengan membuat hotdog dan hamburger.

Peserta dari Universitas Negeri Padang (UNP) Izzati Elsa Putri menjadikan makan an terlezat di dunia versi stasiun televisi berita CNN itu sebagai bahan baku hotdog menggantikan sosis. "Daging-daging rendang disusun di dalam roti seperti hotdog," ujar mahasiswi Jurusan Tata Boga angkatan 2008 itu.

Dalam penyajiannya, roti juga diolesi santan kelapa yang telah dimasak hingga kental (kalio) dan dipadu dengan kerupuk serta daun selada.

Sementara peserta lain, Susan Karamoy berkreasi membuat hamburger berisi rendang. Peserta asal Manado yang bersuamikan orang Sumatera Barat itu mengaku mendapat ide itu saat merantau bersama suaminya ke Philadelphia, Amerika Serikat. "Di sana (Amerika Serikat) orang-orang sangat suka makan hamburger, sehingga timbul ide untuk membuatnya dengan isi rendang," katanya.

Wanita yang mengaku telah belajar membuat rendang sejak 30 tahun lalu itu bahkan sering mendapat pesanan baik dari warga Indonesia maupun warga Amerika untuk pesta pernikahan. "Kami menjual rendang untuk orang Amerika karena mereka sangat suka. Satu potong rendang dihargai 8 dolar," katanya.

Kendala untuk membuat rendang di negeri Paman Sam, menurut dia, adalah sulitnya mendapatkan daun jeruk. Kalau pun ada, harganya mahal yakni berkisar 1 dolar per lima lembar dan hanya tersedia di toko-toko milik etnis Asia.

Cabai juga sulit diperoleh pada musim dingin. "Untuk menyiasatinya, saya membeli dalam jumlah banyak dan disimpan di lemari es," ujar Susan.

Ia mengapresiasi festival rendang itu karena dapat menjadi sarana untuk selalu mengingat kebudayaan daerah. "Saya berharap festival seperti ini digelar setiap tahun dan pesertanya lebih banyak lagi," katanya.

Surabaya Belajar Pengelolaan Bangunan Budaya ke Beijing

Beijing, China - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya kini tengah memperlajari cara pengelolaan bangunan cagar budaya ke Beijing, China.

"Tidak ada UU Cagar Budaya di China. Tapi ada ketentuan dan peraturan dari Dewan Negara atau MPR tentang pengelolaan atau penetapan bangunan cagar budaya," kata Sekretaris Bidang Sosial dan Budaya KBRI di Beijing, China, Dyah Retno Andrini usai menemui rombongan dari Pemkot Surabaya, di kantor KBRI setempat, Selasa.

Menurut dia, salah satu bangunan cagar budaya yang mendapat perhatian saat ini adalah "Forbidden City" yaitu sebuah istana kekaisaran terbaik dengan struktur kuno terbesar yang mewah di Beijing.

Istana ini diakui sebagai salah satu istana yang terkenal di dunia, selain Istana Versailles di Perancis, Istana Buckingham di London-Inggris, Gedung Putih di Washington, dan Istana Kremlin di Moskow Rusia.

"Forbidden City" yang terletak di jantung kota Beijing adalah rumah bagi 24 Kaisar di zaman Dinasti Ming dan Dinasti Qing, sebagai dinasti terakhir dalam sejarah Kekaisaran China.

Pengembangan istana ini menjadi besar dimulai pada tahun ke-4 Kaisar Yongie dari Dinasti Ming(1406) dan berakhir pada tahun 1420.

Forbidden City meliputi area seluas sekitar 72 hektare dengan luas bangunan keseluruhan sekitar 150.000 meter persegi dan terdiri dari 90 istana dan halaman, 980 gedung dan 8.704 kamar.

"Pada masa perang saudara, banyak bangunan yang runtuh dan tinggal puing-puingnya. Baru kemudian pada masa Presiden Mao Zedong punya ketertarikan untuk membangun kembali bangunan itu dengan cara melakukan pemugaran," katanya.

Selain itu, lanjut dia, ada sebuah badan khusus bernama Beijing Tourism Departement" yang berada di dinas pariwisata dan bertanggung jawab kepada wali kota.

Bangunan ini tidak hanya mencakup seni dan budaya, melainkan juga industri pariwisata yang ada di China.

"Maka banyak industri pariwisata di China berlomba agar mendapatkan insentif dari pemerintah," ujarnya.

Pemerintah China memberikan keleluasaan untuk melakukan pemugaran bangunan cagar budaya ini agar bisa menjadi jujugan wisatawan.

"Dukungan dari masyarakat China cukup besar termasuk kesadarannya menjaga kebersihan lingkungan. Inilah yang menjadikan China terus diminati wisatawan asing," katanya.

Sementara itu, Kabag Humas Pemkot Surabaya Nanis Chairani mengatakan, melalui kunjungan ke China ini, diharapkan bisa menjadi masukan bagi pemkot untuk mengelola bangunan cagar budaya di Surabaya agar lebih baik.

"Sebetulnya bangunan cagar budaya yang ada di Surabaya cukup menarik. Hanya saja perawatannya sangat kurang," ujarnya.

Menurut dia, Surabaya memiliki ratusan bangunan cagar budaya, tetapi banyak diklaim sebagai milik perseorangan.

"Upaya pemerintah saat ini adalah memberikan diskon pajak bumi bangunan (PBB) kepada pemilik cagar budaya. Diharapkan mereka mampu menjaga dan memeliharanya," katanya.

Adapun yang perlu di contoh dari China, kata dia, banyak warga yang ikut menjaga kelestarian bangunan cagar budaya. Selain itu, pengelolaan semua cagar budaya diserahkan kepada pemerintah.

Negara Asing Ikut Festival Rendang

Padang, Sumbar - Negara asing akan mengikuti Festival Rendang yang digelar oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatra Barat dalam rangka mempromosikan kuliner khas provinsi ini kepada dunia.

"Negara asing yang sudah mendapatkan konfirmasi untuk mengikuti yakni Amerika dan Brazil," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatra Barat, Burhasman Bur, di Padang, Senin.

Menurut dia, festival ini juga akan diikuti peserta dari provinsi lain, seperti Banten, Riau, Bali, dan DI Yogyakarta. Pihak panitia sudah mempersiapkan semaksimal mungkin untuk penyelenggaraan acara ini. "Festival rendang ini akan dibuka pada 26 Juni 2012 di Gedung Taman Budaya Padang," kata Burhasman Bur.

Dia menambahkan, dalam festival rendang itu, peserta selain dari kalangan generasi muda setempat, juga dari rantau.

"Dilibatkannya peserta remaja, diharapkan generasi muda Sumatra Barat juga akan lebih mengenal tradisi kuliner," katanya.

Festival Randang akan diikuti oleh peserta yang dibagi menjadi 3 kategori. Yakni, Rang Ranah, Rang Rantau, dan Rang Mudo.

"Yang dimaksud Rang Ranah adalah peserta dari kabupaten/kota se-Sumatera Barat. Sedangkan Rang Rantau adalah peserta dari luar Sumatra Barat. Tidak terkecuali apakah dia orang Sumatra Barat asli atau bukan. Kemudian Rang Mudo, adalah peserta dari kalangan remaja Sumatra Barat," kata Burhasman Bur.

Dia mengatakan, selain mengadakan festival rendang, panitia juga mengadakan lomba cipta lagu rendang, yang pesertanya berasal dari kalangan umum.

Tercatat 32 peserta yang mengikuti lomba ini. Jenis lagu yang mereka ba­wakan pun bermacam. Ada rock, pop, Minang, melayu, country dan dangdut. Bahkan, selain bahasa Minang, juga ada peserta yang

meng­gunakan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. "Namun untuk penilaiannya, lomba cipta lagu minang itu ditentukan juri," kata Burhasman Bur.

Menurut dia, setelah mendengar dan memperhatikan semua karya cipta lagu Randang Padang dari seluruh peserta, dewan juri Panitia Lomba Cipta Lagu tentang rendang Padang menetapkan 10 lagu terbaik untuk maju babak grand final.

Pemenang itu di antaranya Hafis/En Eraya dengan judul lagu Datanglah ke Nege­ri Ren­dang, Febian dengan judul Randang dalam Nya­nyian dan Jumaidi Syafe’i dengan judul Randang Dunia, katanya.

Dia menambahkan, peserta yang lolos ini nantinya, juga bersaing untuk memperebutkan hadiah berupa pin emas dari UPTD Taman Budaya.

"Kesepuluh nama terbaik itu diseleksi tiga juri, yai­tu Ferry Zein, seorang seniman musik, Ardoni Yonas, dari UNP, dan Yon Hendri, dari ISI Pa­dang­panjang," katanya.

Wajah Indonesia di Festival Bunter Siggenthal

London, Inggris - Masyarakat Indonesia berperan serta dalam kegiatan pertama kali pemerintah daerah Untersiggenthal di Kanton Aargau, Swiss, dengan memperkenalkan wajah Indonesia dalam sebuah acara festival budaya yang dinamakan "Bunter Siggenthal".

Mohammad Budiman Wiriakusumah dari Penerangan, Sosial dan Kebudayaan (Pensosbud) Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Bern, Swiss, kepada ANTARA News, Selasa, mengatakan bahwa festival itu bertujuan untuk mempererat persahabatan antar-anggota masyarakat.

Festival itu untuk menunjukkan keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh masyarakat Untersiggenthal yang berasal dari 32 negara, diantaranya Indonesia, India, Jerman, Swiss, Amerika Serikat, Serbia, Macedonia dan Iran.

Festival Budaya ini menampilkan tari-tarian, lagu-lagu dari berbagai negara dan tidak ketinggalan makanan khas dan benda kerajian tangan dari masing-masing negara.

Indonesia menampilkan tarian Bali yang dibawakan oleh Nyoman Ruetzer dan mendapat sambutan meriah dari para pengunjung. Selain itu, Indonesia membuka warung tenda makanan khas Indonesia seperti sate ayam, bakmi goreng, bakwan, spring roll, kue pandan, dan udang goreng tepung.

Menurut Novie Eichenberger, koordinator masyarakat Indonesia di daerah itu, partisipasi mereka merupakan bentuk integrasi mereka terhadap kehidupan masyarakat setempat dan ternyata sambutan yang diterima cukup menggembirakan terbukti dengan habisnya makanan Indonesia yang dijual pada hari itu.

Festival itu juga merupakan ajang promosi wisata di mana KBRI Bern yang mendukung acara itu membuka pojok informasi dengan menyediakan brosur-brosur serta ajakan untuk berlibur ke Indonesia.

Pemerintah daerah Untersiggenthal, yang sistem pemerintahannya setara kecamatann di Indonesia, berwacana untuk mengadakan festival tersebut secara rutin, apalagi melihat animo pengunjung yang tidak hanya terdiri dari masyarakat sekitar.

Untersiggenthal di Kanton Aargau merupakan wilayah berpenduduk internasional karena bermarkas kantor perusahaan multi-nasional, terutama industri pembangkit tenaga listrik ABB dan Alstom, demikian Wiriakusumah.

Islam Tidak Melarang Berkesenian

Banda Aceh, NAD - Ajaran Islam tidak melarang berkesenian sepanjang tidak membawa ke hal-hal yang menjurus kepada perbuatan maksiat, kata pendakwah Ustad H Irfan Yusuf.

"Islam mencintai seni sepanjang seni itu tidak membawa maksiat," katanya di hadapan ribuan warga yang mengikuti peringatan Isra dan Mikraj di Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh, Rabu malam.

Yang dilarang dalam ajaran Islam, katanya menegaskan, seni yang justru dapat mengundang kemaksiatan seperti goyangan tubuh dengan pakaian senimannya jelas memperlihatkan bentuk tubuh wanita.

Rangkaian peringatan Isra' Mikraj Nabi Muhammad SAW juga menampilkan seniman Aceh "Rafli Kande" yang membawakan lagu-lagu mengandung pesan moral dan agama dalam lantunan lagu daerah (Aceh).

"Patut kita berikan apresiasi bahwa lagu-lagu yang dilantunkan grup musik ’Rafli Kande’ dalam bahasa Aceh itu mengandung pesan moral dan mendidik, dan itu merupakan bahagian dari seni yang tidak dilarang dalam Islam," katanya menambahkan.

Di pihak lain, ustaz Irfan Yusuf dalam ceramahnya mengatakan bahwa Allah SWT tidak melihat hambaNya dari harta kekayaan, kecantikan dan ketampanan seseorang, tetapi dari hati dan ketaqwaannya.

"Karenanya, barang siapa yang ingin ketemu dengan Allah SWT pada hari akhirat maka bersihkan hati. Itu juga salah satu makna yang dapat disimpulkan di balik Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW," kata dia menjelaskan.

Selain itu, dalam konteks sebuah negara maka pembangunan fisik yang dilaksanakan pemerintah juga tidak ada arti dan manfaatnya jika hati masyarakatnya tidak bersih, katanya menambahkan.

Irfan juga menyatakan optimistis bahwa Aceh akan terus aman dan kondusif hingga masa mendatang, khususnya di bawah kepemimpinan pemerintahan yang baru hasil pilkada 9 April 2012.

"Saya optimistis Aceh terus aman di masa mendatang. Terpilihnya gubernur dan wakil gubernur pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf adalah kemenangan bagi seluruh rakyat Aceh," ujar ustaz asal Kota Medan Provinsi Sumatera Utara itu.

Ritual Tasbih Terpanjang, Simbol Doa Sepanjang Masa

Pinrang, Sulsel - Tradisi pergelaran tasbih terpanjang bagi masyarakat kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan tak hanya menjadi tradisi semata yang digelar warga secara turun temurun, terutama pada setiap acara kematian. Namun ritual menggunakan tasbih sepanjang 30 meter dan memiliki lebih dari 1000 manik-manik ini juga bermakna sebagai simbol doa yang abadi sepanjang masa, baik bagi keluarga maupun mereka yang berada di alam baqa.

Puluhan tokoh masyarakat, tokoh adat, dan pemuka agama di desa Ambo Alle, Pinrang, Sulawesi Selatan ini misalnya tampak larut dalam alunan suara tasbih "lailaha illallah" sahut menyahut.

Sambil duduk melingkar, mereka memegang sebuah tasbih sepanjang 30 meter lebih berisi 1000 lebih manik-manik di tangan mereka. Setiap warga yang hadir membaca kalimat syahadat dan doa-doa lain sebanyak 1000 kali lebih atau sebanyak biji tasbih di tangan mereka. Ustad Halim, salah satu tokoh agama yang hadir menyebutkan, tradisi pergelaran tasbih sambil membaca kalimat syahadat dan doa-doa ini bermakna sebagai simbol doa yang abadi bagi keluarga dan korban kematin agar arwahnya diterima di sisi Tuhan serta keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan menerima cobaan.

"Ini adalah simbol doa yang abadi sepanjang masa buat keluarga dan korban kematian,"ujar ustad Halim, tokoh agama di Pinrang.

Kalimat syahadat dan sejumlah doa-doa yang dilantunkan sesuai jumlah biji tasbih, kerap memakan waktu 3 sampai 4 jam hingga seluruh rangkaian ritual selesai. Tak hanya itu, usai membaca tasbih dan doa-doa mereka juga menggelar zikir dan membaca barazanji secara berjamaah.

Ritual membaca tasbih dan doa bagi keluarga dan korban kematian yang digelar ini, tidak hanya menjadi tradisi turun temurun terutama pada setiap acara kematian/ tapi ritual ini juga bermakna sebagai simbol doa sepanjang masa, bagi keluarga dan korban kematian agar perjalanannya di alam baqa diberi pengampunan oleh yang maha kuasa. Meski tradisi ini mulai bergeser menyusul generasi berikutnya yang tak lagi kukuh memegang tradisi mereka, namun mayoritas warga setempat terutama tokoh adat dan tokoh masyarakat tetap melanggengkan tradisi bermakna doa abadai ini.

UNESCO Pertimbangkan Subak Jadi Warisan Budaya Dunia

Tabanan, Bali - Panitia di Badan Khusus PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan serta Kebudayaan (UNESCO) masih mendiskusikan dan mengevaluasi beberapa hal terkait rekomendasi sistem irigasi pertanian tradisional Bali atau subak sebagai warisan budaya dunia.

“Landskap budaya Bali belum diakui sebagai warisan budaya dunia karena komite (panitia) pada 28 hingga 30 Juni akan mendiskusikannya untuk dievaluasi bersama dengan 36 nominasi lainnya,” kata Kepala Unit Budaya Kantor UNESCO Jakarta, Masanori Nagaoka, di Tabanan, kemarin.

Dia mengatakan bahwa sidang komite UNESCO dimulai pada 24 Juni hingga 6 Juli 2012 di St Petersburg, Rusia. Meskipun demikian peluang subak yang mencakup 19.519 hektare zona utama dan lima zona penyangga seluas 1.450 hektar cukup besar untuk bisa dicantumkan sebagai warisan budaya dunia karena menggambarkan ciri khas dari sistem sosial.

Sistem subak seperti lanskap budaya Bali di Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, terkait dengan filosofi luhur “Tri Hita Karana” atau tiga unsur kebaikan yang memiliki satu kesatuan hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Sedangkan lima zona penyangga selain subak, di antaranya Danau Batur dan Pura Ulun Danu Batur di Kabupaten Bangli, Daerah Aliran Sungai Pakerisan di Kabupaten Gianyar, Catur Angga Batukaru di Kabupaten Tabanan, dan Pura Taman Ayun di Kabupaten Badung. Dengan pencantuman sebagai warisan budaya dunia, lanjut Nagaoka, UNESCO nantinya tidak akan memberikan bantuan dalam bentuk apapun termasuk keuangan.

Koordinator Tim Ahli Penyusun Proposal Warisan Dunia Bali, I Wayan Alit Artawiguna, mengatakan, subak sudah diajukan menjadi warisan dunia ke UNESCO sejak 2007, namun beberapa kali proposal ditolak karena dianggap belum lengkap.

Laskar Pelangi Disambut Hangat di Brasil

Jakarta - Novel mengenai perjuangan 10 anak-anak dari Pulau Belitong dalam menggapai pendidikan, "Laskar Pelangi", mendapat sambutan hangat di Brazil. Penulis Laskar Pelangi, Andrea Hirata mengatakan, novel itu diterbitkan oleh penerbit ternama negeri itu, Editora Sextante, yang juga menerbitkan karya-karya sastrawan besar dunia seperti Paulo Coelho, Mitch Albom, Nicholas Sparks bahkan Harlan Coben.

"Alhamdullilah, ’Laskar Pelangi’ edisi Brazil sudah terbit dalam bahasa Portugis dengan judul ’Guerreiros da Esperanca’," ujar Andrea di Jakarta, Ahad (24/6/12). Bahkan koran terbesar di Brazil, O Globo, dalam "review"-nya mengatakan bahwa "Laskar Pelangi" adalah karya sastra Indonesia yang mengejutkan.

Menurut Andrea, Brazil merupakan gerbang emas untuk penerbitan novel-novelnya pada tahap selanjutnya Amerika Selatan. "Apalagi, masyarakat Brazil yang menggemari sastra serta banyaknya penulis kelas dunia yang berasal dari Brazil menyebabkan negara itu telah menjadi semacam indikator bagi sastra Amerika Selatan," jelasnya.

Hingga saat ini, novel tersebut telah diterbitkan di 22 negara dalam 19 bahasa. Adapun penerjemahanan novel tersebut, sedang berlangsung ke dalam lebih dari 30 bahasa asing. Penerbit kelas dunia lainnya yang akan menerbitkan Laskar pelangi adalah Random House untuk distribusi Australia dan Selandia Baru serta penerbit Penguin International. Andrea berharap akan semakin banyak sastrawan Indonesia yang karyanya diterbitkan penerbit mancanegara.

Indonesia Peringkat 39 Dunia Soal Budaya

Jakarta - World Economic Forum (WEF) menempatkan Indonesia di peringkat ke-39 sedunia dalam World Cultural Heritage. "Ini potensi besar yang dapat dikembangkan oleh para pelaku ekonomi kreatif," kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Mari Elka Pangestu di Jakarta, Jumat (22/6).

Menurut dia, fakta itu menjadi bukti bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi oleh para pelaku ekonomi kreatif. Faktanya juga Indonesia memiliki keanekaragaman seni budaya dari lebih 300 suku dan etnis yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya konten karya para pelaku ekonomi kreatif.

"Sudah saatnya kita mengembangkan potensi ekonomi kreatif berbasis seni dan budaya, apalagi pasar dalam negeri sudah mulai tumbuh," ucapnya.

Mari mencontohkan pasar dalam negeri yang besar sudah mulai menggeliat terutama untuk subsektor film dan musik. Pihaknya mencatat dari sekitar 237 juta penduduk Indonesia, sebanyak 27 persen adalah penduduk usia produktif yang potensial mendukung perkembangan sektor ekonomi kreatif.

"Di samping itu, Indonesia memiliki lebih dari 17.100 pulau dengan penduduk asli yang memiliki talenta kreatif yang berbasis pada keunikan lokal," paparnya.

Pihaknya sendiri memprogramkan pengembangan ekonomi kreatif berbasis seni dan budaya dengan sejumlah strategi. Strategi yang diterapkan di antaranya pengembangan sumber daya dan teknologi, pengembangan industri kreatif, peningkatan akses pembiayaan, peningkatan akses pasar, dan penguatan institusi.

Ekonomi kreatif berbasis seni dan budaya dikategorikan dalam empat bidang meliputi perfilman, industri musik, seni rupa, dan seni pertunjukan.

Menyaksikan Ritual Maccera Tasi di Barru

Barrum Sulsel - Ratusan nelayan di Desa Siddo, Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten.Barru, Sulawesi Selatan, menggelar ritual adat Larung Sesaji di tengan laut atau oleh nelayan setempat dikenal dengan sebutan nama Maccera Tasi, Rabu (20/6/2012) kamarin. Prosesi itu digelar guna meminta kepada Tuhan, sang punguasa alam semesta, agar hasil tangkapan ikan para nelayan di daerah tersebut berlimpah ruah.

Dengan menggunakan perahu penangkap ikan, para nelayan di Kabupaten Barru, membawa sesajian ke tengah laut, sebagai kelengkapan prosesi ritual Maccera Tasi atau larung Sesaji. Hampir semua nelayan berkumpul demi ritual yang ditanggap sakral itu.

Berbagai sesajian disiapkan, mulai dari nasi beraneka warna, kelapa muda, daun sirih dan lain-lain. Semuanya untuk dipersembahkan kepada sang Maha Kuasa. Dalam prosesi ritual Maccera Tasi itu, masing-masing nelayan mengambil air laut yang tersimpan di tempayan sesaji, untuk disiramkan ke alat tangkapan ikan mereka.

Menurut nelayan setempat, Mansyur, belakangan para nelayan merasa hasil tangkapan ikan mereka berkurang. Selain itu, nelayanan mengaku, tempat ritual di tengah laut dihuni oleh makhluk gaib. "Ritual ini telah digelar nelayan sejak puluhan tahun lalu. Awalnya seorang tokoh adat di daerah ini mengalami mati suri selama kurun waktu satu bulan, dalam tidurnya, tokoh adat yang dikenal dengan nama Waduer melakukan perjalanan ke Mekkah di negara arab Saudi, tempat suci bagi umat Islam," ujarnya.

Menurut Mansyur, dalam perjalanannya inilah si tokoh masyarakat itu mendapat bisikan, jika di tengah laut tak jauh dari Desa Siddo Kecamatan Soppeng, Kabupaten Barru, dihuni makhluk gaib, atau yang lebih dikenal, dan diyakini masyarakat pesisir setempat sebagai Nabi Khaidir.

Karnaval Budaya dan Festival Kebhinekaan Digelar 23 Juni

Jakarta - Dalam rangka memperingati HUT Kota Jakarta ke 485, Forum Warga Nusantara di Jakarta akan menggelar Karnaval Budaya dan Festival Kebhinekaan Menuju Jakarta Baru.

Acara ini akan digelar pada hari Sabtu, 23 Juni 2012. "Acara akan berisi arak-arakan sekaligus pertunjukan budaya Nusantara dari perwakilan warga Jakarta yang berasal dari seluruh Indonesia. Akan ada ondel-ondel, tanjidor, Barongsai, Liong dan sejumlah tarian dari Batak, Jawa, Maluku, Papua, NTT," kata Stefanus Gusma Asaat, panitia kegiatan, di Jakarta, Kamis (21/6/2012).

Tampilan dalam format karnaval ini akan mengambil rute dari Monas hingga ke Bundaran Hotel Indonesia mulai pukul 10.00 WIB. Di sekitar Patung Selamat Datang, Bundaran HI, kegiatan berlanjut dengan penampilan kelompok-kelompok seni tradisi yang mewakili berbagai suku bangsa yang menghiasi wajah Jakarta. Kegiatan ini dijelaskan akan mengedepankan sisi Jakarta yang dewasa terhadap perbedaan, aman dan manusiawi yang menjadi impian semua warga.

"Wilayah berpenduduk 9,6 juta jiwa ini, dalam sejarahnya telah menjadi laboratorium sosial bagi pengelolaan silang kepentingan serta beragam latar belakang manusia," sebut Gusma. Sebagai wajah Republik, keberagaman tradisi perlu mendapat tempat dan apresiasi yang sesuai di Jakarta.

Ia menjelaskan, berbagai persoalan yang dihadapi oleh warga Jakarta, mulai dari kekacauan sistem transportasi, jurang sosial dan ekonomi yang lebar, mahalnya ongkos untuk mendapatkan rasa aman dan kenyamanan, kerusakan lingkungan dan ancaman banjir, terlantarnya pengelolaan situs bersejarah, telah menjadi pemandangan yang lumrah.

Bahkan terkesan mustahil untuk didapatkan jalan keluarnya. Menurut penyelenggara kegiatan, problem Jakarta tak akan bisa ditemukan solusinya seratus persen apabila pemimpinnya tidak mempunyai visi. Pemimpin yang memiliki visi dan berpengalaman dalam pendekatan penyelesaian masalah adalah kunci untuk membuat perubahan.

"Singkatnya, Jakarta baru hanya bisa diwujudkan dengan Visi baru," papar Gusma. Visi Baru bagi Jakarta Baru adalah menempatkan warga Jakarta sebagai arsitek pembangunan kotanya sendiri agar lebih manusiawi, dewasa terhadap perbedaan dan aman. Pada titik inilah dibutuhkan pemimpin yang bisa menghadirkan pemberdayaan warga dan keberagaman. Untuk itulah, panitia sengaja memilih Patung Selamat Datang di Bundaran HI sebagai titik tujuan.

"Patung Selamat Datang menjadi simbol datangnya harapan baru dan visi baru untuk kepemimpinan Jakarta Baru," pungkas Gusma.

Ramai-ramai Menari Tor-tor di Festival Seni Budaya Tradisional

Medan, Sumut - Festival Seni dan Budaya Tradisional Daerah Sumut digelar di kampus Universitas Medan Area (UMA) pada tanggal 19-20 Juni 2012. Festival ini mendapat perhatian luas karena beberapa peserta menampilkan atraksi tari Tor-tor yang sempat diklaim Malaysia sebagai kebudayaan mereka.

Peserta atraksi seni dan budaya yang diikuti siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sederajat di Medan sekitarnya menampilkan tari Tor-tor yang berasal dari budaya Batak tersebut. Selain tari, kegiatan di kampus UMA menampilkan bazar jajanan tradisional dan photography competition on the spot.

Wakil Rektor UMA diwakili Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Ir Zulhery Noer MP saat membuka festival mengungkap rasa miris dan protes atas klaim Malaysia atas Tor-tor dan Gordang Sembilan. Dihadapan para mahasiswa dan siswa SLTA, Zulhery menggunggah kepedulian semua kalangan terutama pemerintah dan dunia pendidikan di Indonesia dalam merawat kesenian dan budaya tradisional termasuk di Sumut.

Wakil Rektor UMA menyadari selama ini perhatian terhadap pembinaan seni dan budaya di tanah air belum mendapat perhatian serius. Ia menambahkan, generasi muda di tanah air dapat belajar melihat kepedulian pemerintah negara lain dalam membina seni dan budaya.

“Mari kita merawat dan memelihara kesenian dan kebudayaan tradisional yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia. UMA akan terus memberi perhatian pada pembinaan kesenian dan kebudayaan yang diikuti para generasi muda bangsa. Tahun depan, kita akan menggelar festival serupa dengan lebih besar dalam memeriahkan 30 tahun UMA,’’ kata Zulhery.

Festival Seni Budaya HUT Banyuasin Ke 10

Pangkalan Balai, Sumsel - Bupati Banyuasin Ir. H. Amiruddin Inoed membuka acara Festival Seni Budaya bernuansa Islam dan dangdut melayu dalam rangka Hari Ulang Tahun Kabupaten Banyuasin yang ke-10, yang akan dilperingati pada 2 juli 2012 mendatang.

Acara Festival Seni Budaya ini dilaksanakan di lapangan Kantor Lurah Kota Pangkalan Balai.

Bupati H. Amiruddin Inoed mengatakan, kegiatan HUT Banyuasin ini dilakukan secara sederhana namun tetap bermakna. "Kegiatan sosial akan menjadi kegiatan utama HUT Banyuasin ke-10 ini," katanya.

Adapun lomba festival ini diikuti 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Banyuasin yang diikuti 74 peserta dari jenis budaya dangdut melayu, 17 peserta qasidah rabana, 14 peserta barzanji, serta lomba memancing.

Pentas Seni Budaya dan Lomba diikuti oleh seluruh masyarakat dan pegawai negeri sipil (PNS) serta juga tenaga honorer yang ada di Pemkab banyuasin. Lomba dilaksanakan dalam dua tempat di lapangan Kantor lurah Pangkalan Balai dan Graha Sedulang Setudung (GSS) Pemkab Banyuasin.

Konsul Malaysia: Kasus Tor Tor Akibat Kesalahpahaman

Medan, Sumut - Konsul Jenderal Malaysia di Medan, Norlin Binti Othman, mengatakan permasalahan yang muncul soal pengakuan tari Tor Tor dan Gondang Sambilan terjadi akibat kesalahpahaman dalam mengartikan kata "diperakui atau memperakui".

"Diperakui atau memperakui di Malaysia dimaksudkan diangkat atau disahkan atau disetujui, bukan diklaim seperti yang diartikan di Indonesia. Masalah pengartian kata atau kalimat memang tampaknya sering menimbulkan masalah, tetapi dengan penegasan seperti ini, saya harap tidak ada masalah lagi," katanya di Medan, Rabu.

Dia mengatakan hal itu ketika bertemu dengan anggota DPD dari Sumatera Utara, Parlindungan Purba, yang datang ke Konsulat Malaysia untuk memperjelas permasalahan kasus Tor Tor dan Gondang Sambilan.

Norlin mengatakan, setelah tercatat sebagai bagian budaya di Malaysia maka Tor Tor dan Gondang Sambilan, sebagai warisan budaya Indonesia yang berasal dari Suku Mandailing, bisa lebih berkembang karena mendapat pembinaan.

"Terus terang, budaya Indonesia banyak disukai. Saya misalnya suka Tor Tor dan Gondang Sambilan, tetapi saya memang belum pernah melihat dipertunjukkan di Malaysia," kata Norlin yang sudah 2,5 tahun menjabat Konjen di Medan.

Menurut dia, berdasarkan data ada sekitar 500.000 orang suku Mandailing yang tinggal dan bahkan sudah menjadi warga negara Malaysia sejak puluhan tahun lalu.

"Mungkin karena mereka mau budaya mereka dilestarikan dan bahkan diperkenalkan lebih luas, mereka mengajukan ke pemerintah Malaysia untuk catatkan seperti yang dilakukan suku lainnya," katanya.

"Tapi sekali lagi saya tegaskan, pemerintah Malaysia tidak atau bukan mengklaim Tor-Tor dan Gondang Sambilan milik Malaysia," katanya.

Jakarta Musik Festival Usung Musik Tradisional

Jakarta - Perhelatan akbar Jakarta Music Festival 2012 kembali digelar. Berbeda perhelatan sebelumnya, tahun ini JMF 2012 mengusung musik multigenre, termasuk musik tradisional.

"Kami akan menampilkan, tidak hanya musik pop tapi juga berbagai jenis genre musik tradisional yang harus eksis d itengah semaraknya musik modern," ujar Ida Zubaeda, perwakilan Dinas Pariwisata DKI Jakarta dalam jumpa pers di Back Stage, Ancol, Jakarta Utara, Rabu (20/6) malam.

Penyelenggaraan musik tahunan itu digelar pada, 23 Juni 2012 di pantai Ancol bertepatan dengan akhir rangkaian ulang tahun Jakarta ke-465. Selain acara musik, JMF 2012 juga diisi ajang pemilihan Abang None Jakarta yang sudah memasuki babak karantina.

"Kami juga menyelenggarakan prosesi Abang None Jakarta yang sudah masuk karantina, mereka nanti akan hadir di JMF 2012," terang Ida.

Sementara, menurut Koko, enyelenggara dari Deteksi Production, acara tersebut juga mampu mengangkat citra kota Jakarta.

"Harus bisa dimanfaatkan oleh musisi muda untuk bisa mengangkat Jakarta di mata dunia Internasional," ujarnya.

Jakarta Music Festival 2012 akan menampilkan 60 grup band yang akan berkolaborasi musik pop dan tradisional. Ajang ini merupakan salah satu upaya mempertahankan budaya Indonesia, khususnya Jakarta.

Di Penjara, Sakit Pun Mewah

Oleh: Arswendo Atmowiloto

ARTHALYTA Suryani terancam dipindah ke Nusakambangan. Benarkah? Entahlah. Kalaupun berita itu dilaksanakan, tak usah khawatir. Selama masih di Indonesia dan bukan di Guantanamo, penjara bukan menjadi penjera.

Di Nusakambangan juga ada peninggalan Tommy Soeharto atau Bob Hasan, yang kamarnya juga sudah apik. Tinggal menambah aksesori, termasuk ruangan untuk perawatan payudara, misalnya, atau penambahan helipad. Lebih aman karena jauh dari Jakarta dan rencana sidak ke sana biasanya bocor duluan. Bisa dipastikan, pesan tempat dapat dilakukan jauh sebelumnya.

Perpindahan napi, yang dalam bahasa bui disebut “berlayar”, adalah peristiwa biasa, tetapi juga bernilai ekonomi. Ayin, yang sudah jelas status hukumnya, harusnya “dilayarkan” ke penjara wanita di Tangerang atau Malang. Bahwa bisa bertahan, atau dipertahankan, tetap di rutan, pasti ada manfaatnya. Misalnya, alasan klasik, ia banyak membantu napi lain. Alasan yang sudah ada jauh sebelumnya.

Urusan “pelayaran” inilah sebenarnya salah satu sebab adanya over capacity karena semua napi atau orang tahanan berjubel di tempat yang jelas bagaimana bertransaksi. Sebagaimana keberadaan Ayin di ruang bimbingan kerja atau ruang di rumah sakit. Dua tempat itu yang paling ideal bagi yang “berdasi”—istilah bagi napi berduit—untuk beraktivitas meskipun selalu ada kamar biasa untuk jaga-jaga kalau ada kunjungan mendadak seperti yang dilakukan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Peradilan.

Remisi

Kasus fasilitas mewah, sama salahnya dengan, misalnya, bagaimana mendapatkan remisi—setiap 17 Agustus atau hari besar keagamaan—atau juga tambahan remisi sebesar sepertiga remisi yang diterima atau tambahan lagi ketika donor darah. Ini tata krama yang ada dan, untuk itu, ada syarat-syarat yang bisa menjadi luwes. Belum lagi kemudian berobat keluar penjara karena di penjara tak ada dokter jantung, paru-paru, ginjal, atau penyakit dalam atau yang lebih parah.

Napi yang sehat pun nyakit—pura-pura sakit atau dinyatakan sakit—lalu diantar ke luar penjara. Bahwa yang diperiksa sopirnya, bahwa pergi pagi pulang sore (sebelum pergantian regu jaga), itu soal kepintaran mengatur waktu dan membengkokkan aturan yang lurus, asal jangan patah. Yang terakhir inilah yang dilakukan Eddy Tanzil dengan kabur. Bahwa untuk nyakit pun termasuk kemewahan karena tak semua napi punya duit untuk melengkapi administrasi.

Dengan kata lain, yang bisa dimafiakan bukan hanya fasilitas, melainkan juga segala apa yang bisa ditafsirkan ganda. Bukan juga hanya di lapas atau rutan yang mudah disidaki. Namun, cobalah nanti-nanti ke rutan di Mabes Polri atau di kejaksaan, atau yang ada di Brimob Kelapa Dua. Ini supaya adil dan menyeluruh. Arti yang lain, ini semua masalah lama yang sudah ada sejak kelahirannya ketika kebutuhan bebas dan penyediaan kelonggaran menemukan nilai nominalnya.

Tak perlu kaget, kecuali pura-pura, tetapi juga tak perlu mengkeret atau kendur. Pak Menteri Hukum dan HAM beserta jajarannya tak perlu kebakaran jenggot karena memang tak berjenggot. Lebih penting menindaklanjuti, mengurai asal-usul pelanggaran, dan menindaki dengan tegas, jangan lemas di tengah jalan, juga jangan terlalu keras. Menindaklanjuti dalam artian terus dilaksanakan. Sebab, bukan baru kali ini saja tingkat menteri mengurusi penjara dan biasanya berhenti di tengah jalan.

Juga jangan lemas kalau seolah ini kesalahan dari satu kementerian yang mencanangkan program 100 hari karena kehidupan penjara sudah berlangsung selama 100 tahun. Jangan terlalu keras, dalam artian tak semuanya bisa dipilah hitam-putih. Asal tak sesuai peraturan disikat.

Seingat saya, yang sebenarnya pendek, penertiban yang keras hanya akan menimbulkan perlawanan. Baik dengan diam-diam, atau program tidak jalan. Dalam bahasa sederhana, setelah ada perubahan prasarana dan sarana ke arah yang lebih baik, bisalah dituntut untuk ciamik. Atau dalam soal fasilitas mewah, setelah kasus ini terbongkar, masih ada yang nekat, baru disikat. Kalau yang lama, sudah terjadi, tak perlu terlalu diusut-usut. Ujung-ujungnya malah jadi kusut dan semua wajah yang berurusan dengan ini akan cemberut.

Contoh lain lagi, misalnya mengadakan razia total, habis-habisan untuk menggeledah adanya narkoba atau senjata. Ini baik dilakukan, tetapi jangan heran kalau misalnya kemudian masih diketemukan barang terlarang semacam ini. Sepandai-pandai sipir—apalagi kalau tidak pandai—para napi yang residivis sudah mempunyai pola. Mereka tahu pendahulunya menyimpan apa di balik batu apa, atau lantai mana untuk menyembunyikan apa. Kebiasaan ini sudah mekanis sifatnya atau bahkan terjadi sistemisasi di dunia “warga binaan” dan bukan hanya terjadi di negeri ini.

Meskipun demikian, sesungguhnyalah napi jauh lebih mudah diatur dibandingkan yang seharusnya jadi napi, tetapi masih berkuasa. Dan, kalau upaya ini untuk kebaikan bersama, selain mengangkat citra, kita dukung. Kan, mendukung untuk kebaikan tidak salah, juga sangat mudah.

Arswendo Atmowiloto, Budayawan

Sumber : Kompas, Rabu, 13 Januari 2010

Mendeteksi (Satgas) Antimafia Hukum

Oleh: Janpatar Simamora

GEBRAKAN Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang telah berhasil menemukan berbagai fakta menyangkut keberadaan mafia hukum di negeri ini patut diacungi jempol. Pada saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta, tim yang diketuai Kuntoro Mangkusubroto itu telah menemukan kondisi riil masalah penegakan hukum di lembaga pemasyarakatan.

Fasilitas mewah yang diperoleh terpidana kasus korupsi Artalyta di rumah tahanan menjadi catatan sejarah bahwa hingga kini praktik jual beli keadilan masih saja berjalan mulus. Walau pengadilan sudah memutus seseorang yang bersalah secara sah, fakta menunjukkan bahwa ternyata putusan pengadilan tidak bisa dijadikan jaminan bahwa para pelaku tindak kejahatan akan mendapatkan sanksi hukuman yang tegas.

Sebenarnya apa yang ditemukan Satgas Antimafia Hukum tersebut hanyalah secuil cerita betapa penegakan hukum kita sangat bobrok. Kalaupun kemudian ada kalangan yang berargumen bahwa mereka tidak mengetahui, termasuk Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, bagi penulis, semua itu hanyalah kenaifan belaka.

Transaksi Dagang

Maka kemudian tidak salah ketika lembaga pemasyarakatan (lapas) juga disebut dengan istilah hotel, yang walaupun sebutannya hotel prodeo (gratis). Gratis karena tidak ada pembayaran secara formal sebagaimana layaknya dalam sebuah transaksi dagang.

Menjadi penghuni rutan tidak ada ubahnya dengan orang yang baru tiba di sebuah daerah. Semua bergantung pada kemampuan secara finansial. Ketika kita hendak bepergian ke suatu daerah dan ternyata tidak ada sanak saudara di sana, hotel menjadi jawaban paling tepat untuk mengusir rasa lelah.

Namun, itu tentunya harus ditopang oleh ketebalan kocek. Kalau tidak, harus mencari penginapan kelas melati atau, bila tidak punya uang sama sekali, siap-siap tidur di pinggir jalan atau di emperan kaki lima. Begitu juga untuk kebutuhan makan dan minum, semua bergantung pada materi. Kalau ada uang, ya makan di restoran. Kalau tidak, sudah barang tentu makan di warung pinggir jalan. Bagi yang tidak punya kocek sama sekali, sisa-sisa makanan orang yang sudah dibuang adalah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.

Kondisi yang sama juga terjadi di rutan. Kehidupan di rutan tidak ada bedanya dengan cerita di atas. Ada orang yang tidur beralaskan koran dan makan nasi aking, ada juga orang yang harus tinggal berdesak-desakan karena ruangan yang tidak memadai. Tetapi, di pihak lain, ada orang yang tinggal di ruangan dengan fasilitas yang cukup komplet. Mulai air conditioner, televisi, telepon, internet, pemandian panas, kasur yang empuk, makanan lezat, dan bahkan ruang karaoke seperti yang dimiliki Artalyta.

Semua itu tidak susah dicari di rutan. Siapa saja bisa mendapatkan pelayanan yang sejenis sepanjang mampu memberikan imbalan sesuai permintaan pihak rutan. Oleh karena itu, kehidupan di rutan tidak ada ubahnya dengan transaksi dagang.

Dan, kondisi tersebut sudah menjadi rahasia umum karena hampir di setiap rutan kondisi yang sama bisa ditemukan. Praktik semacam itu sudah lama terjadi dan berjalan secara sistematis.

Saling Mendeteksi

Mencermati kompleksitas permasalahan dalam penegakan hukum kita, khususnya di tingkat lembaga pemasyarakatan, apa yang dilakukan Satgas Antimafia Hukum baru-baru ini adalah pantas diapresiasi. Meski demikian, langkah itu bisa jadi hanyalah bagian dari politik pencitraan kelembagaan. Apalagi, mengingat wujud konkret dari tindakan itu belum kelihatan.

Agar langkah dan kehadiran Satgas Antimafia Hukum benar-benar mampu mendeteksi mafia hukum dan menyentuh permasalahan yang sesungguhnya, perlu meningkatkan kinerja dengan melakukan tindakan sebagai berikut: Pertama, sidak sebagaimana yang terjadi di Pondok Bambu harus dilakukan secara bersamaan di semua lembaga pemasyarakatan yang terindikasi kuat sarat dengan mafia hukum. Langkah itu memang agak sulit, mengingat personel satgas yang sangat terbatas. Namun, hal itu bisa dilakukan dengan membuat skala prioritas dalam melakukan sidak.

Kedua, merekomendasikan kepada aparat terkait, dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM, untuk memberikan sanksi secara tegas kepada para pengelola lembaga pemasyarakatan yang terlibat dalam pemberian fasilitas mewah kepada para napi. Mulai teguran, peringatan, atau sanksi hukuman dan bahkan bila perlu pemberhentian secara tidak hormat. Dengan demikian, akan tercipta efek jera terhadap mereka yang sudah terbiasa kongkalikong dengan para napi.

Tanpa adanya tindakan semacam itu, apa yang dilakukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum untuk mendeteksi keberadaan para mafia hukum justru akan menjadi senjata makan tuan. Langkah deteksi mereka justru akan dimanfaatkan para mafia hukum untuk mendeteksi dan mewanti-wanti kedatangan satgas. Dan, manakala mereka datang, dalam sekejap, fasilitas akan hilang. Namun, sepeninggal mereka, barang-barang itu akan kembali seperti sedia kala dan begitu seterusnya.

Bila hal itu terjadi, sesungguhnya langkah satgas hanyalah bagian dari politik pencitraan kelembagaan. Satgas yang dikomandoi Kuntoro Mangkusubroto itu mendapat pujian yang luar biasa dari kalangan publik. Namun, di balik itu, permasalahan yang sesungguhnya untuk membersihkan wajah hukum negeri ini dari kotoran-kotoran yang bernama korupsi justru terabaikan. (*)

Janpatar Simamora, SH, dosen Fakultas Hukum UHN Medan, sedang studi pada Program Pascasarjana UGM Jogjakarta

Sumber : Jawa Pos, Rabu, 13 Januari 2010

Ada Istana di dalam Penjara?

Oleh: Achmad Ali

TEMUAN adanya “istana” di dalam penjara sungguh-sungguh merupakan realitas yang teramat sangat menyakitkan perasaan keadilan rakyat kecil. Segelintir narapidana berduit miliaran atau mungkin triliunan rupiah mendapat fasilitas yang superkontras berupa fasilitas “istana” dalam penjara ketimbang narapidana umumnya yang kurang duit atau tidak berduit sama sekali, yang harus berdesak-desakan hingga puluhan orang di dalam satu sel, jam besuk yang diperketat, dan sebagainya.

Tentu saja diskriminasi yang sangat tidak proporsional ini bukan hanya untuk di-talkshow-kan, tetapi harus ada penindakan tegas terhadap semua aparat yang terkait dalam penyimpangan superdahsyat dan fantastis itu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus tanggap menyelidiki kemungkinan (sangat besar) terjadinya praktik suap dalam berbagai kasus “istana dalam penjara” itu.

Saya bisa membayangkan betapa geramnya almarhum Baharuddin Lopa yang pernah menjadi Menteri Hukum dan HAM andai menyaksikan fenomena “istana dalam penjara” ini. Lantas pertanyaannya: siapa yang bersalah sehingga muncul fenomena diskriminasi superdahsyat itu?

Mohon maaf, saya tidak ingin hanya terpaku pada kesalahan sosok-sosok di lembaga pemasyarakatan ataupun mungkin hingga ke tingkat tertentu atasannya, melainkan, menurut saya, kita pun harus memandang masalah ini secara holos (wholeness) menurut istilah almarhum Prof Satjipto Rahardjo.

Yang saya maksudkan secara holos adalah bahwa terjadi berbagai praktik suap yang melahirkan lembaga-lembaga pemasyarakatan tertentu menjadi pusat bandar narkoba, menjadi “istana dalam penjara”, pemberian remisi yang juga diskriminatif, dan penyimpangan lain harus kita soroti tidak sekadar dengan “kacamata kuda”, melainkan mengkaji bagaimana keseluruhan sistem pemidanaan kita dalam sistem peradilan kriminal di Indonesia sekarang. Apakah realistis atau malah kontras dengan realitas bangsa kita yang sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan, dengan kemampuan keuangan pemerintah kita yang sangat terbatas?

Niat baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Menteri Keuangan menyisihkan dana sekitar Rp 1 triliun untuk lebih memanusiakan para tahanan dan narapidana patut kita hargai dan acungi jempol. Namun, niat baik saja tidak cukup apabila sistem pemidanaan kita sendiri tidak direformasi secara drastis.

Kultur Pemenjaraan

Hukum yang baik, kata Brian Z Tamanaha, adalah hukum yang merupakan cerminan dari masyarakatnya (law is a mirror of society). Dan, hukum yang mampu menjadi cerminan masyarakatnya hanyalah hukum yang sesuai realitas masyarakatnya; bukan hukum yang lahir dari kekuatan asing. Dengan kata lain, dalam menghadapi kasus hukum, harus diperhatikan: the felt necessities of the time, jadi fakta empiris yang menjadi kebutuhan pada masanya.

Jumlah dan fasilitas lembaga-lembaga pemasyarakatan di Indonesia sangat tidak berimbang dengan jumlah narapidana dan tahanan yang setiap saat bertambah. Pasalnya, sistem pemidanaan di Indonesia, yang didasarkan pada berbagai perundang-undangan yang ada, baik yang peninggalan kolonial Belanda (dan paradigma kolonialnya) maupun perundangan yang dilahirkan DPR di era kemerdekaan, bahkan di era reformasi, masih menganut keras paradigma dan kultur pemenjaraan.

Anak kecil usia tujuh tahun yang mencuri telepon seluler karena harus makan pun dipidana penjara sekian lama dan sebagian besar kultur bangsa kita sekarang memang masih “kultur pengalgojoan”. Kalau ada terdakwa yang dibebaskan oleh pengadilan, diumpatilah pengadilan yang membebaskan. Alasannya sangat normatif dan, maaf, primitif: “tidak ada perdamaian dalam perkara pidana”. Padahal, di negara hukum lain yang bahkan sudah jauh lebih maju hukumnya dibandingkan dengan Indonesia, contohnya Jepang, banyak perkara pidana ringan (bukan pembunuhan, misalnya) yang didamaikan secara formal, antara pelaku kejahatan dan korban kejahatan.

Pengguna narkoba jangan dipenjarakan, tetapi dimasukkan ke pusat-pusat rehabilitasi. Sebaliknya, pengedar besar dan bandarnyalah yang wajib dipidana seberat-beratnya. Penerapan pidana percobaan bagi koruptor yang mengembalikan kerugian negara juga dapat menjadi alternatif untuk mengurangi beban jumlah narapidana.

Jadi, “sistem pemidanaan” kita pun “turut bersalah” sehingga lahir diskriminasi di dalam lembaga pemasyarakatan. Seyogianya undang-undang kita revisi. Dimungkinkan mediasi untuk perkara-perkara pidana ringan, didamaikan dan dituntaskan di kepolisian saja, tidak perlu diteruskan ke pengadilan yang akhirnya muara semuanya adalah lagi-lagi lembaga pemasyarakatan. Seyogianya undang-undang kita revisi sehingga diterapkan “sistem jaminan” sehingga seorang terpidana tidak wajib masuk berdesak-desakan ke sel lembaga pemasyarakatan.

Tentu saja fasilitas semua lembaga pemasyarakatan di Indonesia ditingkatkan sehingga satu sel yang memang hanya cukup untuk dua orang memang ditempati dua orang; tidak ada lagi diskriminasi yang superfantastis seperti “istana dalam penjara” itu. Kalau memang dana memungkinkan, semua sel tahanan difasilitasi televisi kecil, tidak perlu ada larangan membawa laptop milik pribadi bagi narapidana yang memilikinya, apalagi jika dia dapat menghasilkan karya brilian selama menjalani masa pemidanaannya.

Akhirnya, prinsip distributive justice nya Aristoteles harus diterapkan di dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan, yaitu “memperlakukan sama yang sama dan memperlakukan tidak sama yang tidak sama”.

Achmad Ali, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Makassar

Sumber : Kompas, Rabu, 13 Januari 2010

Korupsi di Hotel Prodeo

Oleh: Emerson Yuntho

SEJUMLAH fasilitas mewah yang dinikmati Artalyta Suryani, terpidana kasus korupsi, selama di Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu menimbulkan pertanyaan banyak kalangan. Benarkah dia ditahan?

Seperti diberitakan, Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum pada Minggu lalu (10/1) melakukan inspeksi mendadak ke Rutan Pondok Bambu, Jakarta. Mereka menemukan sejumlah narapidana (napi) yang mendapatkan perlakuan khusus, seperti Ayin, terpidana dalam kasus penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan, dan terpidana seumur hidup kasus narkoba, Aling. Ayin memiliki ruang ber-AC, lemari es, tempat tidur spring bed, dan treatment kecantikan. Sementara Aling memiliki ruang untuk karaoke dan memakai BlackBerry.

Pemberian fasilitas khusus terhadap narapidana sesungguhnya bukan cerita baru. Sebelumnya, sejumlah pemberitaan media dan kesaksian banyak mantan napi menyebutkan adanya indikasi korupsi suap-menyuap untuk memperoleh fasilitas khusus di rutan atau lembaga pemasyarakatan (lapas). Inspeksi mendadak yang dilakukan satgas dan liputan langsung sejumlah media cetak dan elektronik seakan menyadarkan masyarakat bahwa informasi memalukan ini bukanlah isapan jempol belaka.

Praktik korupsi di rutan atau lapas juga dapat dilihat dari riset ICW tentang pola-pola korupsi di peradilan pada 2001. Dari segi aktor, mereka yang terlibat dalam korupsi ini adalah terpidana atau narapidana (napi), petugas lapas, kepala lapas, pejabat di lingkungan Departemen Hukum dan HAM, serta perantara maupun advokat.

Faktor keterbatasan, ketidaknyamanan, tidak aman, dan lemahnya pengawasan serta rendahnya kesejahteraan para petugas lapas dinilai menjadi faktor pendorong transaksi suap menyuap ini. Akibat praktik korupsi, istilah penjara sebagai hotel prodeo (gratis) sudah tidak tepat dalam kondisi saat ini. Sebab, tidak ada yang gratis selama dipenjara.

Hasil riset dan pemantauan ICW di 6 (enam) kota besar di Indonesia juga menemukan sedikitnya 5 (lima) pola korupsi yang terjadi di lapas atau rutan.

Pertama, pemberian perlakuan dan fasilitas khusus selama dalam tahanan. Dengan membayar sejumlah uang kepada oknum petugas, napi akan mendapatkan perlakuan berbeda dengan napi lain. Fasilitas khusus juga dapat diberikan, misalnya, sel tersendiri yang terpisah dengan napi lain, makan dan minuman yang bergizi, perabotan televisi, kulkas, pendingin ruangan, handphone, dan sebagainya. Jika disepakati, bahkan, ruang sel juga dapat disulap menjadi kantor sementara dari napi yang notabene seorang pengusaha.

Kedua, pemberian jasa keamanan. Secara umum kondisi rutan atau lapas di Indonesia tidak aman seperti yang dibayangkan. Tidak sebandingnya jumlah sipir dengan napi menjadikan tindak kekerasan marak terjadi di penjara. Kondisi ini dimanfaatkan sejumlah oknum di lingkungan lapas dan napi yang dipelihara petugas untuk meminta uang jasa keamanan. Jika uang keamanan tidak diberikan, sudah dipastikan ancaman kekerasan akan dialami napi.

Ketiga, pemberian izin keluar dari penjara. Sebenarnya tidak ada salahnya napi keluar dari lapas. Misalnya, untuk berobat atau cuti mengunjungi keluarga. Namun, prosedur yang harus dipenuhi yaitu adanya izin yang diberikan oleh kepala lapas dan Kakanwil Departemen Hukum dan HAM. Hak keluar napi itu diatur secara jelas dalam UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Pasal 14 huruf d mengatur hak mendapatkan pelayanan kesehatan dan pasal 14 huruf j mengatur hak cuti mengunjungi keluarga. Misalnya menikahkan anak, menikah atau melayat keluarga dekat.

Sayangnya, hak-hak tersebut sering disimpangi. Mungkin kita masih ingat kasus tertangkapnya Ramadhan Rizal, terpidana korupsi dalam pesta narkoba di sebuah hotel di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, pada 27 Agustus 2006 lalu. Padahal, seharusnya mantan panitera PT DKI itu menjalani hukuman di Lapas Cipinang. Modusnya dengan beralasan sakit dia menjalani perawatan di RSPAD Gatot Subroto.

Keempat, pemberian remisi. Salah satu jalan cepat yang dapat digunakan napi agar segera menghirup udara bebas adalah melalui pemberian remisi (pengurangan hukuman). Remisi merupakan salah satu hak narapidana sebagaimana diatur dalam UU Pemasyarakatan. Jika seorang napi berkelakuan baik selama di tahanan, kepala lapas dapat mengusulkan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk memberikan remisi kepada napi yang bersangkutan.

Sayangnya, tidak banyak napi yang tahu mengenai hak ini. Pemberiannya juga sangat bergantung pada penilaian subjektif kalangan lapas atau rutan. Hal ini sangat rentan disalahgunakan dan menjadi komoditas antara oknum petugas dan napi berduit. Berkelakuan baik diterjemahkan sebagai “tindakan napi memperlakukan petugas dengan baik”. Misalnya, memberikan sejumlah uang atau barang. Akibatnya, sering terjadi ketimpangan jumlah remisi antara satu napi dan napi lain.

Kelima, pungutan untuk tamu atau pengunjung. Sudah menjadi rahasia umum ketika ada keluarga atau tamu ingin mengunjugi napi, ternyata ada pungutan “tidak resmi” yang seolah-olah telah terstandardisasi. Untuk satu kali kunjungan, pengunjung yang akan menjenguk sanak saudara dalam tahanan dikenakan biaya antara Rp 10 ribu hingga Rp 50 ribu. Bagi terpidana sendiri, petugas lapas juga sering mengutip uang, terutama bagi mereka yang diketahui menerima sejumlah uang dari sanak saudaranya. Tidak hanya uang, makanan pun sering diminta oleh penjaga. Dengan membayar sejumlah uang suap yang lebih besar, bahkan tamu dapat mengunjungi napi tanpa terikat jam kunjungan.

Peristiwa yang terjadi di Rutan Pondok Bambu setidaknya menjadi pelajaran berharga bagi jajaran Departemen Hukum dan HAM untuk membersihkan praktik korupsi sekaligus mendorong reformasi di lingkungan pemasyarakatan. Pada aspek sistemik, perbaikan regulasi, penguatan pengawasan dan pembinaan, serta pendanaan yang cukup harus menjadi prioritas untuk diselesaikan. Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar juga harus berani mengambil tindakan tegas untuk memberhentikan sejumlah pejabat yang dinilai bertanggung jawab dan lalai dalam melakukan pengawasan. Langkah ini penting agar kasus serupa tidak terulang kembali di masa mendatang.

Emerson Yuntho, wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch

Sumber : Jawa Pos, Rabu, 12 Januari 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts