Buku Aditjondro, Emas atau Sampah?

Oleh: Jeffrie Geovanie

MARET 2006 mungkin merupakan salah satu momen tak terlupakan bagi para pengamat kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dua pakar politik, yakni John J. Mearsheimer dari Departemen Ilmu Politik Universitas Chicago dan Stephen M. Walt dari John F. Kennedy School of Government Universitas Harvard, meluncurkan paper fenomenal mereka yang berjudul “The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy”. Sebagaimana judulnya, paper tersebut mengungkapkan secara akademis apa yang menjadi kecurigaan publik AS selama bertahun-tahun: bahwa pemerintah AS, melalui kebijakan luar negerinya, memberikan dukungan bagi Israel.

Sebagai akademisi kawakan yang berkarya di kampus-kampus papan atas dunia, Mearsheimer dan Walt tentu yakin bahwa tulisan mereka dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tebal paper tersebut 80 halaman, sedangkan catatan kaki (endnotes)-nya berjumlah 211 item, yang tertuang dalam 38 halaman. Artinya, jumlah halaman catatan kakinya hampir sama dengan jumlah halaman tubuhnya. Hampir semua kalimat memiliki catatan kaki. Luar biasa!

Namun, walaupun sudah dilengkapi dengan referensi yang demikian komplet, hujan respons tetap tak terelakkan. Banyak kalangan—terutama dari golongan keturunan Yahudi, baik yang menjadi pebisnis, politikus, maupun akademisi—dibuat resah karenanya. Bahkan majalah bergengsi Foreign Affairs memberi empat halaman khusus bagi para cendekiawan ternama AS untuk “membantai” hasil kajian Mearsheimer dan Walt tersebut. Ini membuktikan bahwa kajian tersebut layak mendapat pengakuan sehingga harus ditanggapi secara serius.

Buku Aditjondro

Dengan spirit yang sama dengan Mearsheimer dan Walt, dalam bukunya yang berjudul Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century, George Junus Aditjondro berupaya mengungkap apa yang menjadi kecurigaan sekumpulan orang pasca-Pemilihan Umum 2009, yakni adanya politik uang dalam pemenangan Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden.

Perbedaan buku Aditjondro dengan paper Mearsheimer dan Walt terletak pada kesamaan antara judul dan isi. Makalah Mearsheimer dan Walt memiliki kesamaan yang hampir absolut antara judul dan isinya. Sedangkan buku Aditjondro tidak. Dalam buku tersebut, kasus Century hanya dikupas sebanyak kurang-lebih 2-3 halaman. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian judul sudah terkontaminasi oleh strategi pemasaran yang dijalankan oleh penerbit.

Perbedaan kedua terletak pada transparansi sumber data. Dalam makalahnya, Mearsheimer dan Walt mengungkapkan sumber data yang dipakainya secara gamblang. Alhasil, kesan yang timbul adalah kajian tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Di sisi lain, buku Aditjondro terkesan sulit dipertanggungjawabkan. Namun, menariknya, di antara perbedaan tersebut, secara metodologis terdapat pula kesamaan makalah Mearsheimer dan Walt dengan buku Aditjondro. Pertama, mereka sama-sama menggunakan data sekunder. Dalam ranah kajian pengetahuan sosial, hal ini dapat dilakukan melalui proses analisis isi (content analysis). Beberapa hal yang dilakukan oleh peneliti ialah mengaitkan berbagai fenomena yang ada dengan konteks waktunya.

Selesai membaca buku Aditjondro, ketika diwawancarai oleh salah satu media massa, Professor Amien Rais mengatakan kekuatan data sekunder tidak terlalu berbobot. Bisa jadi pernyataan ini tepat, tapi bisa jadi juga kurang tepat. Kualitas hasil kajian tidak sepenuhnya bergantung pada primeritas data. Kemampuan peneliti dalam mengelola data—dengan melakukan interpretasi fakta—yang diperolehnya juga menjadi faktor penentu.

Di sisi lain, di salah satu stasiun televisi, Profesor Tjipta Lesmana juga mengatakan buku Aditjondro secara akademis sangat lemah. Ini disebabkan oleh ketiadaan sumber data. Dia menekankan pentingnya referensi. Kalaupun ada keterlibatan narasumber yang harus dirahasiakan, hal tersebut dapat diatasi dengan memberikan keterangan pada bab pengantar.

Singkat kata, buku tersebut mendapat hujatan karena validitas data yang kurang layak untuk diandalkan. Bahkan kubu Yudhoyono juga telah menyatakan Aditjondro melakukan berbagai kekeliruan. Banyak kalangan—baik yang pro terhadap terhadap kubu Yudhoyono maupun yang netral—mengingatkan bahwa dalam alam demokrasi, orang bebas menuangkan opininya sepanjang tidak memfitnah dan menyebar kebohongan.

Artinya, kalau melalui bukunya Aditjondro dianggap menyebar fitnah, ia harus bertanggung jawab secara hukum. Ini jelas dapat kita pahami bersama. Namun, di sisi lain, secara politis, tidak dapat disangkal bahwa ada hal yang harus dicermati oleh kubu Yudhoyono sebelum mengambil langkah hukum terhadap sang penulis. Ketika menulis buku tersebut, sebagai seorang bijak yang dianugerahi gelar doktor oleh perguruan tinggi sekelas Cornell University, Aditjondro pasti telah memperhitungkan konsekuensi hukum dari publikasinya. Karena itu, kubu Yudhoyono juga harus berhati-hati dalam mengambil langkah hukum terhadap Aditjondro.

Adalah naif jika kita menilai bahwa tidak ditulisnya sumber referensi—bahkan keterangan—merupakan ketidakmengertian Aditjondro dalam menulis sebuah laporan investigatif. Tidak adanya referensi justru dapat mengaburkan upaya sang obyek kajian untuk memahami seberapa faktual—sekaligus seberapa besar kebohongan—seorang Aditjondro. Sungguh, ini bukan tebak-menebak yang mudah.

Bagi kubu Yudhoyono, mencelupkan hanya satu kaki ke dalam air bukanlah upaya maksimal untuk mengetahui dalamnya kolam. Di sisi lain, mencelupkan kedua kaki jelas bukanlah merupakan langkah bijak. Terlebih, Aditjondro sudah secara terang-terangan menyatakan siap digugat secara pidana untuk mempertanggungjawabkan hasil karyanya.

Jangan Dilarang

Terlepas dari validitas data yang digunakan Aditjondro, segala bentuk pelarangan, penghambatan peredaran, ataupun penarikan buku dari pasar seperti sinyalemen berbagai pihak layak mendapat kecaman. Kalaupun hal itu dilakukan oleh pemerintah, pemerintah bisa saja berdalih bahwa hal tersebut dilakukan untuk melindungi konsumen (dalam hal ini para pembaca) dari penipuan yang dilakukan oleh sang produsen (sang penulis). Namun perlu disadari bahwa hal tersebut merupakan upaya mereduksi hak asasi orang untuk memperoleh informasi. Padahal hak untuk memperoleh informasi dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Pemerintah tidak berhak menentukan mana yang boleh dibaca oleh masyarakat dan mana yang tidak. Biarkanlah pembaca yang menentukan apakah mereka telah membeli emas (gold) atau sampah (garbage). Ada baiknya kubu Yudhoyono maupun Aditjondro, bahkan kita semua, berpegang pada kredo presiden legendaris AS, Abraham Lincoln: “You can fool all the people some of the time, and some of the people all the time, but you can not fool all the people all the time.” *

Jeffrie Geovanie, Anggota Komisi I DPR RI

Sumber : Koran Tempo, Rabu, 12 Januari 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts