Korupsi dan Kita

Oleh Dr. Maqdir Ismail, SH

SEORANG penulis India, Kautilya, 2300 tahun lampau menulis; Just as it is impossible not to taste honey or poison that one may find at the tip of one’s tongue, so it is impossible for one dealing with government funds not to taste, at least a little bit of the King’s wealth. Kemudian dia lanjutkan, just as it is impossible to know when a fish moving in water is drinking it, so it is impossible to find out when government servants in charge of undertakings misappropriate money. Begitulah sulitnya untuk menghindar dan mengetahui korupsi. Begitulah korupsi itu menjadi satu kesatuan dengan kehidupan orang-orang yang bekerja, terutama yang bekerja pada pemerintah.

Pada tahun 70-an Bung Hatta mengatakan, bahwa korupsi itu sudah menjadi budaya. Bahkan secara faktual dalam masyarakat kita begitu banyak istilah yang biasa digunakan untuk korupsi kecil. Ada uang rokok, uang keamanan, uang dengar, tanda terimakasih, bahkan para pengemudi biasa melemparkan kotak korek api berisi uang kepada petugas. Uang atau semua pembayaran seperti ini selalu berhubungan dengan pekerjaan dan semua istilah ini hanyalah sekedar euphemism dalam berbahasa, sekedar penghalusan dari kata suap, sogok dan korupsi.

Memang korupsi itu adalah merupakan sikap yang buruk, tidak etis dan amoral, bahkan semua agama mengutuknya; sebab dengan korupsi orang mendapatkan kekayaan atau status karena adanya kekuasaan, pengaruh, koneksi, posisi politik atau hubungan baik dengan pemegang kekuasaan. Pada sektor kenegaraan korupsi itu mengakibatkan ongkos sosial yang besar, bahkan ada yang mengatakan seperti pandemi secara nasional, sedangkan pada sektor swasta akibatnya hanya pada grup kecil, akan bersifat epedemi lokal, tetapi tetap saja berdampak buruk.

Adalah benar belaka kalau ada yang menyatakan bahwa korupsi itu sebagai anak kandung dari monopoli, atau karena adanya kekuasaan yang mutlak. Seperti yang dikatakan oleh Lord Acton kepada Bishop Mandell Creighton di tahun 1877 “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.”

Apa yang dikemukan di atas bermakna bahwa pemberantasan korupsi itu tidak bisa dilakukan kalau hanya mengandalkan dan sepenuhnya diserahkan prosesnya kepada penegak hukum saja. Banyak contoh korupsi yang dipertontonkan oleh penegak hukum, polisi, jaksa, dan hakim sekalipun yang tidak jarang melibatkan pengacara. Rakyat dan pemerintah berkewajiban untuk menghukum pengacara “hitam” dengan menolak menggunakan jasa mereka. Pemberantasan korupsi itu harus dilakukan secara bersama, oleh aparat negara dan rakyat.

Hanya saja memang harus ada pilihan yang jelas dalam memberantas korupsi itu. Pilihannya pengembalian kerugian negara sebesar-besarnya ataukah menghukum orang setinggi-tingginya. Menghukum “koruptor” dengan hukuman yang tinggi itu patut, kalau korupsi itu dilakukan terhadap uang negara yang berasal dari APBD atau APBN. Tetapi adalah tidak patut untuk menghukum “koruptor” dengan hukuman yang tinggi terhadap uang yang tidak jelas sebagai uang negara, seperti uang Yayasan yang diperoleh sebagai tabungan pekerja atau sumbangan dari perbankan.

Dalam memberantas korupsi ini sudah layak dipikirkan dan mencontoh Financial Penalties Act 1983 di Belanda, yang mengganti hukuman badan dengan hukuman membayar denda. Dalam perkara korupsi orang yang didakwa korupsi tidak perlu dibawa ke pengadilan sepanjang dia bersedia mengembalikan uang yang diakui di “korupsi” dan membayar denda yang tinggi. Selamat tahun baru!

Dr. Maqdir Ismail, SH., Advokat, tinggal di Jakarta
-

Arsip Blog

Recent Posts