Birokrasi Presiden yang Tambun

Oleh: Miftah Thoha

KABINET kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono semakin hari semakin menunjukkan birokrasi pemerintahan yang besar. Jumlah kementerian mengikuti anjuran Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara: 34. Presiden menambah pula 10 jabatan wakil menteri.

Rupanya masih kurang besar, maka dibentuk lagi organisasi dan jabatan di sekitar Istana Presiden. Staf khusus, staf pribadi, juru bicara, unit kerja, dewan pertimbangan, satuan tugas, tim lima, hingga tim delapan yang tugasnya sudah selesai.

Lembaga birokrasi yang besar bukan saja tak mangkus, tetapi juga boros. Anggaran negara mestinya bisa dihemat untuk menyejahterakan rakyat. Timbul pertanyaan, di mana letak urgensi reformasi yang waktu kampanye diaku sebagai program kerja yang harus dijalankan? Apakah reformasi berarti menambah jumlah lembaga organisasi, pejabat, atau anggaran?

Jabatan baru mestinya secara selektif diadakan, tetapi saat ini banyak dibentuk tanpa ukuran yang jelas. Jabatan wakil menteri mestinya hanya diadakan bagi kementerian yang benar-benar memerlukan, seperti Kementerian Keuangan, Luar Negeri, Pendidikan, dan Kesehatan.

Ukuran dan kriteria jabatan wakil menteri tidak jelas sebab ada yang berduplikasi dengan jabatan eselon I yang ada. Bagaimana tata kerja dan kinerja wakil menteri yang birokrat karier ini dengan pejabat karier eselon I di suatu kementerian?

Penyakit Parkinson

Penyakit yang acapkali menghinggapi pemimpin birokrasi pemerintah ialah keinginan selalu menambah jumlah organisasinya tanpa disertai dengan evaluasi. Keinginan menambah jumlah organisasi itu lumrah dan baik-baik saja apabila telah dilakukan evaluasi terhadap lembaga-lembaga organisasi yang ada: masihkah bekerja efektif atau justru tidak? Jika tidak efektif, bisa saja suatu jabatan diperbaiki, dibubarkan, digabung, dan atau diganti dengan yang baru. Namun, jika suatu jabatan masih efektif, janganlah dibentuk organisasi baru yang tugas pokoknya mirip atau sama.

Dalam teori organisasi, penyakit yang suka menambah atau membentuk organisasi baru dinamakan proliferasi. Proliferasi tergolong penyakit birokrasi yang akut. Berdasarkan konsepnya, penyakit ini tumbuh karena pemimpin lembaga birokrasi kejangkitan dalil atau penyakit parkinson, penyakit birokrasi yang pemimpinnya merasa akan tambah berwibawa dan berkuasa kalau punya jumlah staf yang banyak tanpa alasan yang jelas.

Karena keinginan punya staf yang banyak, dibentuklah organisasi baru. Saya khawatir Presiden kejangkitan dalil parkinson, seperti yang telah menghinggapi Bung Karno, Pak Harto, dan Gus Dur. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda bahwa penyakit ini tersembuhkan, malah mewabah.

Kita ingat pada zaman Bung Karno, ada 100 menteri. Bung Karno selalu bernafsu menambah kementeriannya. Ada jabatan wakil perdana menteri yang dikenal dengan sebutan ”waperdam”, ada menteri kompartemen, ada menteri negara, dan banyak lagi organisasi yang diciptakannya.

Kita ingat pada zaman Pak Harto, ada lembaga departemen, ada kementerian negara, ada pula lembaga pemerintah nondepartemen yang tumbuh subur tanpa analisis kekembaran tugas pokok masing-masing.

Kita ingat bahwa di zaman Gus Dur dan Bu Mega tumbuh lembaga di sekitar istana dan berkembang pula lembaga nonstruktural seperti komisi-komisi. Sekarang lembaga-lembaga itu masih eksis.

Belum pernah saya mendengar Yudhoyono mengevaluasi apakah lembaga-lembaga itu masih efektif atau tidak. Tiba-tiba ia kena virus proliferasi membentuk Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R), sekarang UKP4 (Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Unit ini tak lain tak bukan adalah penjelmaan Sekretaris Pengendalian Operasi Pembangunan (Sesdalobang) ala Pak Harto.

Menyangkut kementerian dan departemen, mestinya dipahami, kedua istilah itu tidak berbeda. Kementerian merupakan nomenklatur untuk jabatan politik yang organisasinya dipimpin menteri. Departemen adalah nomenklatur jabatan administrasi (karier) yang dipimpin pejabat karier: sekretaris jenderal.

Kementerian Pendidikan Nasional, misalnya, dipimpin Menteri Pendidikan Nasional. Adapun Departemen Pendidikan Nasional dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional. Sekarang istilah departemen diganti menjadi kementerian tanpa kriteria yang jelas. Ini pemborosan!

Mengapa Proliferasi?

Yudhoyono pada pemerintahan jilid keduanya ini tampak ingin menunjukkan kebesarannya. Ia didukung oleh rakyat dalam jumlah besar pada pemilihan presiden, partai-partai koalisi, dan sekarang oleh aparat pemerintahan yang besar. Harap diingat bahwa pada pemerintahan jilid satu, Wakil Presiden Jusuf Kalla terkadang lebih menonjol sehingga ia pernah dijuluki sebagai the real President.

Partai Demokrat yang pada Pemilu 2004 bukan partai pemenang dan belum tergolong sebagai partai politik besar, pada Pemilu 2009 menjadi pemenang. Kemenangan Yudhoyono dan Partai Demokrat lebih menonjol lagi ditunjukkan dengan bergabungnya sebagian besar partai politik (selain PDI Perjuangan, Hanura, dan Gerindra) dalam koalisi pembentuk kabinet.

Maka, kebesaran itu akan lebih sempurna apabila didukung birokrasi pemerintah. Itu sebabnya, dibentuklah kementerian yang lebih besar daripada kabinet Presiden Barack Obama, Jepang, Malaysia, Thailand, dan Australia.

Janji reformasi tidak lagi penting. Ia dikalahkan oleh keinginan untuk menunjukkan kebesaran pengaruh presiden. Jika hal ini merupakan alasan dibesarkannya lembaga organisasi birokrasi pemerintah, sia-sialah reformasi itu.

Masihkah diperlukan upaya reformasi birokrasi sebagai langkah strategis untuk menciptakan tatanan pemerintah yang baik dan bersih? Jika jawabnya ”masih”, maka berpulang kepada Presiden Yudhoyono. Susunlah grand design reformasi yang menyeluruh dengan visi yang jelas ke depan.

Perlu segera dilakukan evaluasi lembaga-lembaga birokrasi fungsional yang ada. Jika evaluasinya menunjukkan ”kinerja belum efektif”, jangan lalu dibentuk lembaga baru sebagai tandingan, seperti satgas, wakil menteri, komisi, dan unit kerja. Hubungan jabatan politik dan jabatan karier birokrasi perlu segera ditata ke arah profesional. Nomenklatur jabatan politik dan jabatan karier harus ditata dengan kriteria yang jelas.

Miftah Thoha, Guru Besar MAP UGM

Sumber : Kompas, Kamis, 28 Januari 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts