Mafia Hukum di Kepolisian

Oleh: Emerson Yuntho

KOMJEN Pol Susno Duadji kembali menjadi pusat perhatian. Setelah membuat pernyataan kontroversial tentang “cicak melawan buaya” dan dicopot sebagai kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Polri, Kamis lalu (18/3) perwira nonjob berbintang tiga itu mendatangi Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Dia membeberkan informasi mengenai adanya makelar kasus pajak di tubuh Mabes Polri (Jawa Pos. 19/03/2010).

Informasi Susno soal adanya makelar kasus atau mafia hukum di kepolisian penting dicermati dan ditindaklanjuti. Fenomena mafia hukum dan korupsi yang terjadi di lingkungan kepolisian sesungguhnya bukanlah hal baru dan sudah menjadi rahasia umum. Bahkan, sebelum adanya pernyataaan Susno, kondisi itu juga diakui kalangan internal kepolisian. Hal itu bisa dilihat dari hasil penelitian mengenai praktik korupsi di kepolisian yang dilakukan oleh mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) angkatan 39-A pada 2004.

Berdasar hasil penelitian calon perwira polisi tersebut, korupsi di kepolisian dibagi dalam korupsi internal dan korupsi eksternal. Korupsi internal adalah korupsi yang tak melibatkan masyarakat di luar komunitas polisi. Contoh yang sering terjadi adalah jual beli jabatan, korupsi pada proses perekrutan anggota kepolisian, pendistribusian logistik, dan penyaluran anggaran kepolisian.

Korupsi jenis kedua adalah korupsi eksternal yang langsung melibatkan kepentingan masyarakat. Korupsi semacam itu terjadi dalam lingkup tugas polisi yang berkaitan dengan penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan penyalahgunaan wewenang.

Tidak berbeda dengan yang dilakukan mahasiswa PTIK, sebelumnya pada 2001 penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai pengurusan surat izin mengemudi dan pola-pola korupsi di lingkungan peradilan, khususnya di kepolisian, menyimpulkan bahwa korupsi di korps Bhayangkara bukan isapan jempol belaka.

Berdasar hasil penelitian ICW di enam kota besar di Indonesia, korupsi yang dilakukan anggota polisi biasanya terjadi pada penyelidikan dan penyidikan suatu kasus. Permintaan uang jasa, penggelapan kasus, negosiasi kasus, dan pemerasan merupakan pola yang umum dilakukan anggota kepolisian.

Meskipun sudah sedemikian marak, hanya sedikit aktor mafia hukum dari kepolisian yang terungkap dan diproses ke pengadilan. Mereka yang pernah diproses hukum hingga ke pengadilan, antara lain, mantan Kabareskrim Kepolisian Komjen Pol Suyitno Landung dan Brigjen Pol Samuel Ismoko yang tersandung kasus suap dari pelaku pembobolan BNI sebesar Rp 1,7 triliun serta AKP Suparman, penyidik kepolisian yang diduga memeras saksi dalam kasus korupsi.

Dalam banyak kasus, setiap pelanggaran yang dilakukan anggota kepolisian diselesaikan di Komisi Kode Etik dan Profesi Kepolisian. Namun, kenyataannya, sidang komisi itu sering memberikan keistimewaan kepada pelaku dengan menurunkan derajat pelanggaran yang seharusnya dapat dipidana menjadi sebatas pelanggaran administratif.

Penyebab munculnya mafia hukum dan korupsi di kepolisian pada umumnya merupakan kombinasi antara tingkat kesejahteraan anggota kepolisian yang jauh dari mencukupi, anggaran operasional yang minim, dan lemahnya pengawasan serta tidak efektifnya penjatuhan hukuman dari atasan.

Selama ini ada persoalan besar yang menghambat upaya pembersihan korupsi di kepolisian. Yaitu, persoalan struktural dan kultural. Contoh persoalan struktural, sering provos atau inspektorat kepolisian tidak berkutik ketika berhadapan dengan polisi yang berpangkat lebih tinggi yang menjadi “pelindung” polisi yang diduga melakukan penyimpangan. Sering pula provos atau inspektur polisi yang memeriksa ternyata berpangkat lebih rendah daridapa polisi yang diperiksa.

Persolan kultural misalnya, kalangan polisi enggan memeriksa sesama rekan seprofesi. Itu bisa jadi karena semangat untuk melindungi korps (espirit de corps) yang berlebihan sehingga merupakan aib apabila kasusnya diketahui oleh umum. Selain itu, dimungkinkan juga terjadi praktik kolusi di tengah penyidikan kasus yang membuat penyidikan berakhir dengan kesimpulan bahwa dugaan korupsi tak terbukti.

Untuk membersihkan korupsi dan mafia hukum di kepolisian, paling tidak ada tiga hal yang dibutuhkan. Pertama, pimpinan kepolisian yang memiliki kemauan kuat dan tekad serius dalam membersihkan kepolisian dari para oknum polisi. Hingga kini, belum ada figur pimpinan kepolisian yang memiliki karakter seperti itu. Komitmen serius memberantas korupsi di internal sering hanya sebatas pernyataan sejumlah petinggi kepolisian. Hasilnya tidak pernah terlihat.

Kedua, memberikan sanksi yang tegas dan memproses hingga ke pengadilan kepada anggota polisi yang korup atau menjadi mafia hukum. Keberadaan polisi nakal dan korup sangat berbahaya karena dapat merusak citra institusi tersebut, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat (public trust), serta merusak akuntabilitas kinerja aparat kepolisian itu sendiri.

Ketiga, perlu adanya lembaga di luar kepolisian yang diberi kewenangan dalam mengusut dan membersihkan perilaku menyimpang, khususnya korupsi di kepolisian. Kisah sukses pemberantasan korupsi di kepolisian bisa dilihat dari pengalaman Singapura dan Hongkong yang berhasil menyeret banyak mantan pejabat kepolisian yang terlibat korupsi ke meja hijau.

Dalam hal ini, lembaga eksternal di luar kepolisian seperti Satgas pemberantasan Mafia Hukum dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan dapat meniru kisah sukses pemberantasan korupsi di kepolisian dari kedua negara tersebut.

Testimoni Susno serta upaya Satgas Mafia Hukum dan KPK membersihkan mafia hukum di kepolisian layak mendapatkan dukungan dari semua kalangan. Perlu langkah progresif dan dorongan perubahan fundamental di kepolisian untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang mulai luntur. Saat ini masyarakat berharap agar institusi kepolisian dapat bersih dari praktik mafia hukum dan korupsi tidak hanya sesaat, namun selamanya. (*)

Emerson Yuntho, wakil koordinator Indonesia Corruption Watch

Sumber : Jawa Pos, Sabtu, 20 Maret 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts