Manfaat Tudingan Susno Duadji

Oleh: Bambang Widjojanto

WAJAH penegakan hukum kembali tercoreng. Pernyataan yang dilontarkan Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, bak ledakan halilintar di tengah terik matahari. Jenderal bintang tiga itu tanpa tedeng aling-aling melempar sinyalemen adanya “mafioso” sembari menuding keterlibatan beberapa jenderal polisi lainnya.

Pernyataan itu dapat dilihat dari berbagai perspektif. Pada perspektif proses konsolidasi demokratik, dinamika yang meliputi proses reformulasi dan restrukturisasi atas posisi orang, peran, cakupan fungsi, tugas, dan wewenang menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Dalam konteks penegakan hukum, proses yang dimaksud dapat terjadi di antara dan bahkan di dalam lembaga penegakan hukum itu sendiri. Itu sebabnya, rivalitas dan dinamika yang intensif di antara lembaga kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi sesuatu yang lumrah dan lazim.

Gusur-menggusur orang dengan alasan yang sangat personal, kepentingan kelompok, dan keinginan untuk melakukan revitalisasi semacam “pertarungan diam-diam” juga terjadi secara intensif. Persoalan menjadi rumit bila dinamika itu menggunakan wewenang upaya paksa, yang dilakukan dengan menebar fitnah dan menjurus pada proses kriminalisasi.

Pada perspektif “pembongkaran sikap”, perilaku, dan praktek yang mempunyai indikasi serta tendensi yang bersifat koruptif, kolusif, dan nepotistik, proses yang dimaksud tidak dapat dilakukan bilamana pimpinan lembaga atau kepala pemerintahan tidak memiliki komitmen serta kehendak yang kuat untuk secara sungguh-sungguh melakukan pembenahan secara sistematis dan terstruktur.

Kejahatan terorganisasi yang biasa terjadi di suatu institusi, termasuk lembaga penegakan hukum, hampir dapat dipastikan tidak akan dapat dibongkar bila tidak ada whistle-blower yang berasal dari kalangan internal sendiri yang punya keberanian untuk menjelaskan kepada publik praktek dan modus operandi kejahatan yang terjadi di kalangan internal lembaga.

Pernyataan Susno, yang menuding kolega dan sebagian pimpinan Polri justru menjadi pelaku kriminal, tidak dapat dilihat semata-mata dengan mempersoalkan siapa yang membongkar kasus tersebut sembari melacak motif di balik tindakannya tersebut. Dalam sejarah politik penegakan hukum di Indonesia, inilah pertama kalinya jenderal bintang tiga membuka “aib” institusinya sendiri.

Tentu saja, semua pihak yang berani membuat pernyataan seyogianya mempunyai data dan bukti yang material dan relevan dengan validitas yang tidak diragukan serta siap mengambil risiko terburuk bila tak dapat meyakinkan publik dan membuktikan sinyalemennya. Di sisi lain, siapa pun pihak yang dituding pasti akan marah, melakukan tindakan pembelaan, dan bahkan sebagiannya “meradang” karena merasa terluka serta teraniaya.

Indikasi kejahatan seperti yang telah diungkapkan di atas yang belum sepenuhnya benar mempunyai peluang untuk dimanfaatkan bagi kepentingan kemaslahatan yang lebih substantif. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan:

pertama, tuduhan adanya “mafioso” harus dikonfirmasi dan diklarifikasi agar dapat sungguh diketahui kebenaran atau ketidakbenarannya. Tidak seluruh aparat kepolisian brengsek, tapi juga jangan melindungi siapa pun aparat yang telah nyata dan tegas bersalah melakukan kejahatan.

Kedua, pada aspek yang lebih strategis, kajian perlu dilakukan untuk memetakan modus operandi kejahatan, sehingga kelak dapat dirumuskan metode preventif dan pola penanggulangannya secara lebih sistematis. Kepala Polri harus menjamin bahwa usul kebijakan di atas akan digunakan untuk meminimalkan setiap tindakan penyalahgunaan kewenangan yang sangat merugikan citra dan kehormatan lembaga kepolisian.

Ketiga, tuduhan mengindikasikan adanya suatu fakta dan potensi penyalahgunaan kewenangan yang tidak hanya terjadi di lembaga kepolisian, tapi juga di instansi kejaksaan serta perpajakan. Kolusi di antara aparat kepolisian dan kejaksaan sangat merusak sistem penegakan hukum; dan kriminalitas di sektor pajak menjadi sangat mengkhawatirkan, karena pajak penyumbang terbesar APBN dan hingga kini hampir tidak pernah diketahui publik adanya kasus korupsi di perpajakan yang melibatkan petugas pajak.

Keempat, penyelidikan yang obyektif untuk mengkaji masalah secara komprehensif menjadi keniscayaan. Lembaga kepolisian harus bijak untuk mengikhlaskan lembaga lainnya melakukan penyelidikan atas tuduhan yang dilontarkan aparatnya sendiri; dan tidak mungkin hanya KPK sendiri yang melakukan tindak penyelidikan atas tuduhan dimaksud, karena sebagian penyelidik dari KPK juga berasal dari instansi kepolisian, serta masih adanya trauma pascaperseteruan sehingga potensial terjadi potensi konflik kepentingan atau bias. Untuk itu, tim penyelidik diusulkan harus terdiri atas unsur KPK, public prominent persons, serta praktisi dan akademisi yang memiliki kompetensi serta integritas yang tidak diragukan publik.

Kelima, tim penyelidik seyogianya diberi keleluasaan untuk juga melakukan konfirmasi atas berbagai sinyalemen lain yang sudah menjadi rahasia umum, seperti melakukan tindak kriminalisasi atas kepentingan pihak lainnya di sektor sumber daya alam, khususnya di kasus illegal logging dan penambangan batu bara dan mineral lainnya, serta pertarungan bisnis antarpengusaha yang acap kali disinyalir menggunakan tangan kepolisian.

Akhirnya, semoga saja keinginan kuat untuk menciptakan kemaslahatan melalui kasus tuduhan yang dilontarkan Susno Duadji lebih mengemuka daripada hanya untuk sekadar mencari dan membongkar pelaku kejahatan tapi sistem yang memproduksi kejahatan tidak pernah ditangani secara utuh dan mendalam.

Bambang Widjojanto, Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Advisor di Partnership for Governance Reform.

Sumber : Koran Tempo, Senin, 22 Maret 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts