Mati dan Pajak

Oleh: Titi Muswati Putranti

TIDAK ada yang ditakuti oleh Don Vito Corleone, seorang pemimpin mafia di Amerika Serikat, selain mati dan pajak. Dalam film The Godfather era tahun 1972 yang dibintangi Al Pacino, dikisahkan betapa berkuasanya keluarga Corleone dalam menguasai bisnis kasino dan bisnis ilegal lain, tetapi tidak berkutik ketika di jerat hukum karena mengemplang pajak.

Entah karena terpaksa atau sukarela, seorang warga negara begitu patuh sehingga takut melanggar kewajiban membayar dan melaporkan pajaknya. Aparat hukum juga memegang teguh penegakan hukum sehingga dipatuhi oleh semua warga negara, baik wajib pajak maupun aparat penegak hukum.

Jika wajib pajak dituntut membayar pajak sesuai peraturan perpajakan, bagaimana dengan para penegak hukum, termasuk pejabat, pimpinan, dan staf Direktorat Jenderal Pajak? Apakah mereka juga sudah membayar pajak dan melaporkan pajak yang terutang?

Salah satu indikator membayar Pajak Penghasilan (PPh) adalah adanya penghasilan. Berapa penghasilan para pejabat? Bersediakah mereka diaudit kekayaannya? Misalnya, berapa jumlah rumah, tanah, mobil, perhiasan, serta berapa harga pembeliaannya dan rekeningnya, lalu bandingkan kekayaan dengan penghasilan yang diterima.

Slogan “lunasi pajaknya dan awasi penggunaannya” mengisyaratkan kepada masyarakat untuk mengawasi penggunaan uang pajak yang telah disetor oleh wajib pajak. Harapannya, tidak ada penyelewengan atas penggunaan uang pajak. Namun, sebelum pajak dibayar, bisa saja mulai ada usaha untuk menggerogoti uang negara tersebut.

Ibarat pengiriman barang, dari pabrik sampai ke pelabuhan, berapa biaya-biaya yang keluar sepanjang perjalanan.

Pemungutan pajak dengan dasar self assessment system memang menunjukkan adanya kemandirian wajib pajak untuk mengisi, menyetor, dan melaporkan pajak terutang sendiri tanpa intervensi dari petugas pajak. Jadi, interaksi dengan petugas pajak mungkin belum terjadi. Namun, kala terjadi pemeriksaan pajak, mulai ada interaksi dengan petugas pajak. Misalnya, pada saat wajib pajak ingin menggunakan haknya untuk meminta kelebihan pembayaran pajak (restitusi), Ditjen Pajak tidak serta-merta mengabulkan permohonan tersebut.

Kompromi Menyimpang

Dalam kontak fisik tersebut, bisa terjadi perbedaan pendapat. Bisa karena lemahnya peraturan, kurangnya pemahaman pengetahuan pajak dari wajib pajak dan aparat pajak, serta pada hal-hal lain yang mengada-ada. Dalam kontak ini, juga bisa terjadi kompromi-kompromi yang menyimpang dari ketentuan perpajakan. Sebagai contoh, pada saat pemeriksaan pajak ada dokumen atau transaksi yang tidak sesuai dengan peraturan pajak. Hasil pemeriksaan bisa terdapat pajak kurang bayar, misalnya Rp 500 miliar.

Bagaimana agar kedua orang yang sedang berhadapan bisa sama-sama tersenyum senang? Kompromi akhirnya dibuat dengan tidak lagi mengandalkan peraturan pajak, kebenaran transaksi dan dokumen. Katakanlah, disepakati kurang bayar pajak Rp 250 miliar. Bagi aparat pajak, yang penting pemerintah masih “untung”.

Apa ukuran untung? Aparat pajak diberikan target untuk memasukkan penerimaan pajak sehingga yang penting dalam pemeriksaan ada penerimaan pajak. Sebagai wajib pajak, yang penting membayar pajak lebih ringan. Berapa ongkos yang disepakati untuk “persahabatan” ini? Katakanlah sepakat 10 persen dari pajak yang terutang atau Rp 25 miliar. Jadi, wajib pajak hanya mengeluarkan uang Rp 275 miliar. Berarti lebih kecil daripada kenyataan kurang bayar sebesar Rp 500 miliar.

Jika dalam proses pemeriksaan tidak terjadi kesepakatan, dapat terjadi pemeriksa pajak akan tetap pada pendiriannya untuk mengenakan pajak kurang bayar Rp 500 miliar. Karena pengetahuan dan penerapan peraturan pajak yang sudah benar dari aparat pemeriksa pajak, tidak ada alasan bagi aparat pajak untuk melakukan kompromi. Walaupun wajib pajak masih tidak sepakat, dalam laporan pemeriksaan pajak, tetap akan tercantum kurang bayar pajak sebesar Rp 500 miliar.

Jika wajib pajak merasa kurang atau tidak puas atas suatu surat ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya, wajib pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan kepada Ditjen Pajak. Dalam proses keberatan ini, yang memutuskan adalah Ditjen Pajak. Berdasarkan peraturan, keputusan dapat berupa menerima seluruhnya, menerima sebagian, menolak, dan menambah jumlah pajak terutang.

Dalam praktiknya, banyak keputusan keberatan konsisten dengan hasil pemeriksaan, artinya Ditjen Pajak, dalam bahasa sunda, masih keukeuh atas pendiriannya. Dapat dipahami karena dua pihak bersengketa, salah satu pihak yang memutuskan.

Jika wajib pajak tidak atau belum puas dengan keputusan yang diberikan atas pengajuaan keberatan, masih dapat mengajukan banding kepada Badan Peradilan Pajak. Ironisnya, populasi hakim pajak saat ini di dominasi dari alumni Ditjen Pajak. Jadi, jika kompromi belum bisa diloloskan di arena keberatan, bisa jadi kompromi tersebut diperjuangkan di tingkat pengadilan pajak.

Untuk dapat membersihkan kondisi yang memprihatinkan dari sebagian kecil contoh penyelewengan pajak tersebut, Ditjen Pajak harus dapat mengungkapkan kebenaran kepada publik, termasuk yang menyangkut Gayus Tambunan, aparat pajak golongan IIIA. Aparat Ditjen Pajak juga harus dapat memberikan keteladanan kepada publik. Sudahkah mereka melaporkan pajak yang terutang? Aparat Ditjen Pajak mungkin juga mempunyai penghasilan lain, misalnya dari usahanya membuka toko atau usaha istrinya membuka salon kecantikan. Sudahkah aparat pemerintah lainnya yang bekerja untuk menyalurkan penggunaan uang pajak melaporkan pajak yang terutang?

Dapatkah Dirjen Pajak melakukan pembuktian secara terbalik dengan memberikan fakta bahwa di seluruh jajaran kantor Ditjen Pajak tidak ada pelanggaran. Hal ini mungkin merupakan hal yang sangat sulit dibuktikan oleh Dirjen Pajak. Namun, tidak ada kata sulit jika mau.

Persoalan pajak merupakan masalah publik. Pajak menjadi andalan penerimaan negara. Usaha reformasi administrasi pajak memang sudah banyak membuahkan hasil. Namun, jika permasalahan di atas terus berlangsung, tidak heran kalau perbandingan penerimaan pajak tidak berbanding lurus dengan produk domestik bruto (PDB).

Pajak diharapkan menjadi wujud kesadaran masyarakat (voluntary compliance) dalam memberikan kontribusi terhadap negara. Manfaat pajak harus dapat dinikmati oleh pembayar pajak, terutama akses dari pemerintah, baik akses informasi maupun akses ekonomi, termasuk juga pajak harus digunakan secara transparan. Pemerintah harus dapat menunjukkan hasil pajak digunakan untuk membangun infrastruktur, subsidi pendidikan yang dapat dirasakan oleh masyarakat, dan sebagainya.

Tidak ada kepastian selain mati dan pajak. Mati merupakan kontrak antara manusia dan Tuhan. Membayar pajak merupakan kontrak antara pemerintah dan rakyat yang disepakati dalam undang-undang. Jika kematian merupakan suatu kepercayaan dan keikhlasan manusia kepada Tuhan atas takdir-Nya, pajak menjadi suatu kepatuhan sukarela (valuntary compliance) wajib pajak kepada negara. Mungkin Corleone akan tidur dalam kedamaian dan berkata, “Sukarela membayar pajak. Sejahtera dunia.”

Titi Muswati Putranti, Ketua Pusat Kajian dan Dosen Administrasi Pajak FISIP UI

Sumber : Kompas, Senin, 5 April 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts