Negara dalam Tikaman Uang

Oleh: Yudi Latif

KEBAJIKAN tidaklah datang dari uang, tetapi dari kebajikanlah uang dan hal baik lainnya datang kepada manusia, baik kepada individu maupun negara.” Pernyataan Socrates itu perlu kita renungkan dalam menghadapi centang-perenang kehidupan bernegara dan berbangsa saat ini.

Banjir uang yang mengalir ke dunia politik hari ini membawa polusi pada demokrasi dan kehidupan publik. Segala nilai dikonversikan dalam nilai uang. Kepentingan investor nyaris selalu dimenangkan ketika nilai kebajikan sipil dan ideal kewargaan tak memiliki sarana yang efektif untuk mengekspresikan diri.

Hubungan politik digantikan oleh hubungan konsumtif. Politik mengalami proses konsumerisasi dan privatisasi. Dengan konsumerisasi, branding recognition lewat manipulasi pencitraan menggantikan kualitas dan jati diri. Dengan privatisasi, modal menginvasi demokrasi dengan menempatkan aku di atas kita yang menimbulkan penolakan atas segala yang civic dan publik.

Gejala moneterisasi yang kita saksikan tak terbatas pada masyarakat politik, tetapi merembes dalam kehidupan masyarakat sipil. Masyarakat madani sebagai reservoir nilai sipilitas dan kesukarelaan jebol ketika uang menjadi penentu, bahkan dalam pemilihan pimpinan organisasi kemasyarakatan keagamaan.

Invasi uang atas demokrasi dan masyarakat madani tidak memberi lingkungan yang kondusif bagi reformasi birokrasi. Padahal, reformasi birokrasi menjadi kata kunci dalam perwujudan aspirasi demokrasi. Ledakan partisipasi politik sering berujung pada kekecewaan ketika hiruk-pikuk pesta demokrasi tidak punya persambungan ke dalam output pemerintahan. Hal itu bisa terjadi sebab, dalam konteks negara modern, kekuasaan secara de facto tidak dijalankan parlemen atau sabda raja, tetapi oleh rutinitas administrasi. Seriuh apa pun, wacana demokrasi tak akan menghasilkan perubahan yang dikehendaki jika rutinitas administrasi (birokrasi), sebagai pelaksana terakhir roda kekuasaan, tidak memberikan respons yang sepadan.

Idealnya, demokrasi politik dan manajemen birokrasi harus berjalan berkelindan. Demokrasi menghendaki “kesederajatan di depan hukum” dan penolakan terhadap praktik kekuasaan yang bersifat pilih kasih. Dalam birokrasi modern, tuntutan itu direspons melalui apa yang disebut Max Weber sebagai “rasionalisasi” birokrasi dengan menjalankan dua prinsip utama: norma impersonal yang bersifat tanpa pandang bulu (norm of impersonality) serta peraturan yang transparan dan penuh perhitungan (calculable rules). Dengan dua panduan itu, birokrasi bisa dijalankan secara rasional, fair, efisien, jelas, responsif, luas jangkauan, dan mudah diakses.

Masalahnya, jatuh bangunnya kekuasaan dalam sejarah Indonesia kerap kali tak diikuti perubahan fundamental pada ranah birokrasi. Struktur dan watak birokrasi patrimonial yang bersifat personal dalam relasi patron-client terus diwariskan dari satu rezim ke rezim berikutnya.

Kalaupun ada, perubahan pada birokrasi Indonesia setelah reformasi politik digulirkan adalah kecepatannya belajar menemukan kesempatan memperoleh uang. Benar kata Adam Smith, “Tidak ada seni yang lebih cepat dipelajari suatu pemerintahan daripada seni belajar menguras uang dari saku rakyatnya.”

Salah satu seni dari pemerintahan memang mengambil sebanyak mungkin uang dari rakyatnya. Bedanya, dalam birokrasi yang bertanggung jawab, pemerintah lebih banyak mengambil uang dari warga yang lebih beruntung untuk diinvestasikan dalam public goods, demi terciptanya peluang bagi setiap warga untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam birokrasi korup, uang diambil tanpa pandang bulu, demi keuntungan secara pandang bulu, yakni kepentingan segelintir elite, yang menyulitkan pemenuhan hajat hidup orang banyak.

Lemahnya penegakan prinsip rule of law, yang menjamin kesederajatan setiap warga di depan hukum, menjadi rantai terlemah dalam usaha pelaksanaan birokrasi berdasarkan norm of impersonality. Usaha ini akan makin sulit ketika segala hal yang bersifat publik mengalami proses privatisasi. Watak birokrasi yang sejak lama menghamba pada daulat penguasa akan kian mengalami pengerdilan menjadi hamba dari daulat uang.

Birokrasi yang semestinya menjadi abdi segala warga negara dan kemaslahatan publik menjadi pelayan dari kepentingan privat kuasa uang. Hukum dan peraturan bisa dinegosiasikan, tergantung seberapa besar daya beli. Dari skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Bank Century, hingga kasus pajak “Gayus Tambunan”, secara telanjang bisa kita saksikan betapa birokrasi yang semestinya menjadi ajang rasionalisasi pelayanan publik berubah menjadi sarang “makelar kasus”.

Skandal Bank Century dan kasus pajak yang mengemuka harus dijadikan momentum perubahan fundamental bagi kehidupan negara. Demokrasi prosedural tidak dengan sendirinya akan membawa perubahan substantif bagi birokrasi dan kehidupan bangsa. Demokrasi prosedural tanpa kekuatan nilai-nilai sipilitas dan solidaritas kolektif justru kian melemahkan daulat rakyat seraya menguatkan tirani “minoritas” yang membonceng prosedur-prosedur demokrasi.

Delegative democracy, yang memberikan cek kosong kepada para elite politik untuk mengemban perubahan, terbukti tidak bisa diandalkan. Dalam berbagai kasus penyalahgunaan kekuasaan, mulai kasus kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi hingga kasus Prita Mulyasari, peran publik masyarakat sipil yang bekerja sama dengan media responsif dan elemen progresif dari masyarakat politik ampuh dalam membongkar persekongkolan jahat.

Kita tak boleh mengenal lelah dalam melakukan peperangan terhadap korupsi dan politik uang ini. Sebab, dalam suatu negara tempat korupsi merajalela dan uang menjadi satu-satunya ukuran, demokrasi tidak membawa berkah, melainkan kutuk.

Yudi Latif, Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan

Sumber : Kompas, Selasa, 6 April 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts