Sepenggal Hikayat Panji Semirang

Bertumpuk-tumpuk, bertindih-tindih derita menekan jiwa menyesakkan napas Cendera Kirana. Matahari tampak seperti semakin lamban beredar, memanjang-manjang langkah menyongsong hari malam.

Bagi Cendera Kirana siang hari serasa lebih lama dari pada malam. Andaikata ia mampu mendesakkan keinginannya; andaikata ia berkuasa mengatur jalan matahari, pastilah dia hapuskan hari siang. Dia buat hari malam yang abadi. Peduli apa hari siang yang penuh derita, penuh siksa bagaikan neraka! Tetapi hari malam? O, itulah hari nikmat. Hari pembebasan dari segala gangguan serigala-serigala istana, Paduka Liku dan Galuh Ajeng. Pembebasan dari murka Sri Baginda Ah, dia raja sareatnya, namun hakikatnya budak Paduka Liku dan Galuh Ajeng!


Darah tersirap ke kepala Cendera Kirana. Kegemasan mengejangkan urat-urat syaraf. Namun napsu amarah lekas pula menjadi reda, kendur karena pengaruh rasa diri lemah. Karena tak sanggup mendobrak kekuasaan pihak lawan yang jauh lebih besar itu, Cendera Kirana melepaskan angan-angannya. Kembali kepada pikiran-pikiran vang wajar. Sampailah ia pada persoalan mendapatkan jalan ke luar dari tekanan perasaan.

Pada suatu malam sunyi di suatu ruang tertutup, Cendera Kirana berunding dengan Mahadewi dan paman Menteri kepercayaan. Masalah yang dirundingkan tentu gawat, melihat cara mereka berbicara. Sedikit pun tak ada kata-kata yang dapat didengar orang dari luar ruangan.

Mahadewi mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata bisik-bisik. “Ibunda setuju dengan maksud anakanda. Ibunda pasti ikut ke mana pun anakkanda pergi. Lebih-lekas kita tinggalkan istana lebih baik.”

Mahadewi dan Cendera Kirana memandang kepada paman Menteri seolah-olah ingin mendengarkan pendapatnya.

“Mamanda bersedia mengantarkan sampai ke tempat yang dikehendaki. Dan rahasia ini akan mamanda simpan baik-baik. Sekarang mamanda mohon diri untuk menyiapkan kendaraan dan perbekalan.”

Ken Bayan dan Ken Sanggit, serta inang pengasuh yang setia kepada Cendera Kirana pada bangun lalu berkemas-kemas. Hampir semua dayang dan inang pengasuh bersatu padu hendak ikut lari dengan Cendera Kirana, putri raja yang mereka cintai. Tengah malam itu mereka sibuk bersiap-siap. Pakaian, senjata, alat-alat dan makanan dimasukkan ke dalam peti atau dibungkus dengan kain lalu dimuat ke dalam kereta.

Setelah segala persiapan selesai, di kala orang-orang masih tidur nyenyak, keluarlah Cendera Kirana dan rombongannya dari istana.

Kereta yang dihela beberapa ekor sapi itu berjalan tanpa dian; menempuh jalan yang diterangi hanya oleh sinar cahaya bintang-bintang di langit.

Sepanjang jalan Galuh Cendera Kirana dan Mahadewi merenung, memikirkan nasib hidup masing-masing. Kejadian-kejadian, suka duka hidup di masa silam, terbayang kembali di depan ruang mata; tampak bermain seperti baru terjadi di hari kemarin. Perasaan yang beraneka ragam timbul tenggelam, bercampur aduk dalam kalbu. Kini kedengaran suara mengeluh, nanti kedengaran suara sedu sedan, ditingkah bunyi roda kereta berderak-derak dan derap kaki sapi. Kereta berjalan perlahan-lahan masuk hutan ke luar hutan, melintasi jalan-jalan sempit, menyusur sungai, menuruni lembah, mendaki bukit. Penghuni hutan terbangun sejenak di malam buta, karena kaget mendengar bunyi kereta. Kera, lutung, dan siamang mengerih-ngerih membangunkan kawan, menggaruk-garuk kepala seperti orang kehilangan akal; menggaruk-garuk kulit perut seperti orang kegatalan karena gangguan kutu busuk. Ada pun yang melompat-lompat, berayun dari dahan ke dahan karena takut. Si burung hantu suaranya menceluk-celuk menyeramkan hati, hingga bulu kuduk tegak berdiri. Keluang, kampret, dan codot pada kaget, terbang berkepak-kepak, meninggalkan buah-buahan yang sedang digerogoti.

Akan tetapi, begitu kereta sapi Cendera Kirana lewat, begitu hilang pula perasaan takut penghuni hutan. Si lutung tidur lagi, ingin meneruskan impiannya yang belum habis. Keluang pun bergantungan lagi pada cabang pohon sambil makan buah-buahan. Sedang si kukukbeluk mengumandangkan suaranya supaya hutan tidak tenggelam dalam kesunyian.

Fajar menyingsing; hari malam hendak berakhir, menyongsong kedatangan sang Batara Surya. Samar-samar kedengaran di kejauhan kokok ayam berbalas-balasan. Suaranya melengking menembus udara, meri saukan hati kelana Galuh Cendera Kirana. Dengan pasti matahari timbul di ufuk sebelah timur, menyinarkan cahaya sepanjang hari, kemudian silam di ufuk sebelah barat.

Namun perjalanan Cendera Kirana tanpa kepastian, tanpa tujuan yang direncanakan; menyongsong masa depan yang lepas tanpa pegangan. Sebaliknya, ia menyerahkan diri kepada kehendak Dewata yang maha mulia, menuruti gerak nurani hatinya.

Kereta bergerak terus, melewati tapal batas Daha, masuk wilayah kerajaan Kuripan. Kereta berhenti di suatu tempat yang sama jauh letaknya antara Daha dan Kuripan.

Galuh Cendera Kirana memeriksa keadaan sekitar tempat itu, lalu timbul keinginannya untuk membuat pesanggrahan di sana. Alat-alat segera dikeluarkan dan lekas pula masing-masing bekerja menurut kecakapan dan keahliannya. Semangat rame ing gawe, sepi ing pamrih, semangat bekerja giat bergotongroyong tanpa mengharapkan upah jasa, melekaskan selesainya pekerjaan, memelihara semangat senang bekerja.

Penghuni hutan kiri kanan tempat pesanggerahan pada menyingkir jauh ke dalam rimba, karena takut jika akan timbul huru-hara.

Galuh Cendera Kirana tersenyum puas melihat hasil kerja dayang-dayang dan inang pengasuhnya, lalu mengajak mereka bersukaria sambil makan-makan dan minum-minum.

“Mamanda Menteri,” kata Galuh Cendera Kirana, “pada hemat hamba tempat ini baik sekali hamba pakai sebagai pangkal usaha mendirikan hidup baru. Hamba berangan-angan hendak menjadikan tempat ini suatu kerajaan. Bagaimana pendapat mamanda Menteri dan ibunda Mahadewi?”

Paman Menteri dan Mahadewi sangatlah bersukacita mendengar maksud Galuh Cendera Kirana dan berjanji hendak membantu sekuat tenaga. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.

Malam hari tiba dan tibalah pula saatnya untuk mengaso. Angin sejuk, cuaca terang, menenteramkan hari penghuni pesanggrahan baru. Sang Bayu meniupkan semangat hidup baru, menambah keberanian dan ketabahan hari Cendera Kirana untuk melanjutkan perjuangan hidupnya.

Galuh Cendera Kirana berdendang sambil menciumi boneka kencana kesayangannya. Hatinya senang dan tenang; pikirannya melayang mengenangkan si pencipta boneka emas, Raden Inu Kartapati.

Pagi-pagi buta Galuh Cendera Kirana bangun, terus menuju pemandian Pusparawan, lalu bersiram dengan air bunga yang serba wangi. Tanpa kelihatan orang, Galuh Cendera Kirana mengenakan pakaian pria. Putri ayu luwes sekarang menjelma menjadi seorang remaja putra yang elok parasnya.

Mahadewi, paman Menteri, dayang-dayang, dan inang pengasuh bukan alang kepalang kaget melihat kesatria cantik tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka. Disangkanya sang Batara Kamajaya turun dari kayangan. Mereka menyembah dengan khidmat sambil menunggu titah sang Batara.

Galuh Cendera Kirana tertawa di dalam hati melihat tingkah laku Mahadewi, paman Menteri, dayang-dayang, dan inang pengasuh demikian, lalu berkata, “Ibunda, mamanda Menteri! Tuan-tuan kiranya tak mengenal hamba. Hamba si anak piatu, Galuh Cendera Kirana.”

Mula-mula Mahadewi tidak percaya; masih juga ia melihat keheran-heranan. Akan tetapi akhimya Mahadewi yakin, bahwa kesatria itu betul-betui Galuh Cendera Kirana. Mahadewi bangkit dari tempat duduknya, lalu memeluk Cendera Kirana sambil tertawa girang dan memuji-muji.

Akan tetapi paman Menteri, dayang-dayang, dan inang pengasuh tampaknya masih ingin bertanya, “Apakah maksud Tuan Putri menyamar?” Cendera Kirana berkulum senyum sambil menundukkan kepala, menahan geli hatinya. Kemudian Putri berkata dengan sungguh-sungguh, “Ibunda Mahadewi dan mamanda Menteri. Hari ini hamba bermaksud hendak meresmikan tempat kedudukan kita ini sebagai suatu kerajaah. Kerajaan baru di bawah perintah hamba. Selain itu hamba resmikan pula nama hamba yang baru, yaitu Panji Semirang Asmarantaka.”

Hening sebentar. Tampak mata Mahadewi cemerlang karena kegirangan. Paman Menteri mengangguk-anggukkan kepala menandakan setuju. Dayang-dayang dan inang pengasuh berpandang-pandangan sambil tersenyum girang.

“Mamanda Menteri,” kata Panji Semirang. “Hamba mohon mamanda menyimpan baik-baik rahasia hamba. Biarkanlah orang-orang di Daha melupakan hamba. Hamba hendak berkelana, hendak membuat lembaran baru dalam lakon hidup hamba. Sekarang selesai sudah maksud mamanda Menteri menyelamatkan hamba ke luar dari istana, neraka dunia bagi hamba itu. Hamba tak lupa mengucapkan terima kasih banyak-banyak atas jasa mamanda Menteri. Semoga Dewata yang maha mulia melimpahkan karunia kepada mamanda Menteri. Dengan hantaran doa selamat hamba ikhlaskan mamanda Menteri pulang ke Daha.”

Paman Menteri Daha terharu hatinya mendengar kata-kata Panji Semirang sedemikian. Maklumlah, sebab ia mengenal Tuan Putri sejak kecil, sejak masih dalam asuhan mendiang permaisuri Puspa Ningrat. Sesungguhnya, berat hatinya meninggalkan Tuan Putri. Namun apa boleh buat!

Setelah paman Menteri Daha mundur, mulailah Panji Semirang mengatur pekerjaannya, dibantu oleh ibunda Mahadewi.

***

-

Arsip Blog

Recent Posts