Umar Kayam

Umar Kayam (lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 – meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun) adalah seorang sosiolog, novelis, cerpenis, dan budayawan juga seorang guru besar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1988-1997-pensiun).

Umar Kayam (dalam konteks percakapan antar teman biasa disapa UK), lulus sarjana muda di Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada (1955), meraih M.A. dari Universitas New York, Amerika Serikat (1963), dan meraih Ph.D. dari Universitas Cornell, Amerika Serikat (1965). Ia pernah menjabat Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan RI (1966-1969).

Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972), Direktur Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanudin, Ujungpandang (1975-1976), anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), dosen Universitas Indonesia, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, senior fellow pada East-West Centre, Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (1973), Ketua Dewan Film Nasional (1978-1979), Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, anggota penyantun/penasihat majalah ”Horison” (mengundurkan diri sejak 1 September 1993), bersama-sama dengan Ali Audah, Arif Budiman, Goenawan Mohamad, Aristides Katopo, Direktur Pusat Penelitian Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (1977-), Ketua Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (1981-) anggota Akademi Jakarta (1988-seumur hidup).

Umar Kayam termasuk yang banyak melakukan terobosan dalam banyak bidang kehidupan yang melibatkan dirinya. Ketika menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, ia dikenal sebagai salah seorang pelopor dalam terbentuknya kehidupan teater kampus. Ketika menjadi Dirjen Radio dan Televisi, ia dikenal sebagai tokoh yang membuat kehidupan perfilman menjadi semarak. Sewaktu menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972), dia mempelopori pertemuan antara kesenian modern dengan kesenian tradisional. Pada saat menjadi dosen di almamaternya, ia mengembangkan studi sosiologis mengenai sastra, memperkenalkan metode grounded dengan pendekatan kultural untuk penelitian sosial, memberikan inspirasi bagi munculnya karya-karya seni kreatif yang baru, baik di bidang sastra, seni rupa, maupun seni pertunjukan, mendirikan pasar seni di kampus, dan sebagainya.

Ia juga pernah memerankan Presiden Soekarno, pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Umar Kayam wafat pada 16 Maret 2002 setelah menderita patah tulang paha pangkal kiri. Umar Kayam meninggalkan seorang istri dan dua anak. Umar Kayam memperoleh Hadiah Sastra Asean pada tahun 1987.

Hasil Karya

Seribu Kunang-kunang di Manhattan (kumpulan cerpen, 1972) mendapat hadiah majalah Horison (1966/1967)
Totok dan Toni (cerita anak, 1975)
Sri Sumarah dan Bawuk (1975)
Seni, Tradisi, Masyarakat (kumpulan esai, 1981)
Sri Sumarah (kumpulan cerpen, 1985, juga terbit dalam edisi Malaysia, 1981)
Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (bersama Henri Peccinotti, 1985)
Para Priyayi (novel, 1992) Mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, diberikan pada tahun 1995
Parta Karma (kumpulan cerpen, 1997)
Jalan Menikung (novel, 2000)
Cerpen-cerpennya diterjemahkan oleh Harry Aveling dan diterbitkan dalam Sri Sumarah and Other Stories (1976) dan From Surabaya to Armageddon (1976).
***

Sumber: wikipedia
Foto: tempo.co
-

Arsip Blog

Recent Posts