”Kematian Sempurna” pada Masyarakat Batak

Masyarakat Batak begitu percaya bahwa kematian merupakan sebuah peristiwa yang tak kalah istimewa dengan peristiwa kelahiran. Mereka percaya bahwa orang yang mati hanya raga, sedangkan jiwanya berjalan terus menempuh perjalanan ke alam lain—alam yang sangat gaib dan tak terjanggau oleh mereka yang masih hidup. Orang yang masih hidup menganggap, perjalanan jiwa orang mati menuju alam lain itu memerlukan perlakuan khusus agar rohnya merasa “tenteram” dan “dihargai” oleh keturunannya.

Dalam tradisi Batak, orang yang mati disebut saur dan akan disembah dalam upacara saur matua, setidaknya oleh semua anaknya. Penyembahan yang diterima roh orangtua alias si mati melalui upacara saur matua dan upacara mangongkal holi dari para keturunannya, akan menambah kekuatan sahala (kekuatan) roh bersangkutan di alam lain, sementara keturunannya mendapatkan berkat sahala dari roh bersangkutan. Konsep kepercayaan awal dari hanya mengantarkan si mati ke alam barunya, berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan si mati melalui ritual pemanggilan, penghormatan, hingga pada akhirnya pemujaan terhadap roh si mati. Saking istimewanya, perlakuan terhadap jasad si mati tentunya sangat spesial; begitu pula setalah upacara penguburan usai maka keluarga yang ditinggalkan masih merasa perlu mengekspresikan kesedihan mereka yang ditinggal oleh si mati.

Kini, masyarakat Batak masih mengekspresikan pemujaan si mati dalam sebuah upacara penguburan sekunder yang disebut mangongkal holi. Disebut sekunder, karena sebelumnya telah dilakukan upacara penguburan (primer) si mati. Upacara penguburan sekunder dilalukan melalui penggalian tulang-belulang si mati dari kubur awal (primer), untuk dikuburkan kembali ke dalam kubur sekunder.

Pada masyarakat Batak, kematian (mate) di usia yang sudah sangat tu—terutama telah menikahkan semua anaknya dan memiliki cucu—merupakan kematian yang paling diinginkan. Dalam tradisi budaya masyarakat Batak (khususnya Batak Toba), kematian seperti ini disebut sebagai mate saur matua. Upacara adat kematian ini diklasifikasi berdasar usia dan status si mati. Untuk yang mati ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) maka ia belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa namun belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat: mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan ulos untuk mate dakdanak dan mate bulung berasal dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang mati.

Mate saur matua-lah yang menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Sebenarnya, masih ada tingkat kematian yang lebih di atasnya, yaitu mate saur matua bulung yakni mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga dan bahkan telah bercicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan). Baik mate saur matua maupun mate saur matua bulung keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal karena meninggal saat tidak memiliki tanggungan anak lagi.

Ketika seseorang masyarakat Batak mati saur matua, sudah seharusnya pihak-pihak kerabat segera mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu. Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak, terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan: pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu teman atau saudara semarga), dan pihak boru (kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita, keluarga perempuan pihak ayah). Pihak masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat yang membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas masing-masing.

Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya di halaman rumah duka). Ketika seluruh pelayat dari kalangan masyarakat adat telah datang (idealnya sebelum jamuan makan siang). Setelah jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak perolehan dari milik bersama). Jambar terdiri dari empat jenis berupa: juhut (daging), hepeng (uang), tor-tor (tari), dan hata (berbicara). Masing-masing pihak dari dalihan natolu mendapatkan hak dari jambar sesuai ketentuan adat. Pembagian jambar hepeng tidak wajib, karena pembagian jambar juhut dianggap menggantikan jambar hepeng. Bagi keluarga status sosial terpandang, jambar hepeng biasanya ada. Selepas itu, dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata berupa kesempatan masing-masing pihak memberikan kata penghiburan kepada anak-anak orang yang mati saur matua (pihak hasuhuton). Urutan kata dimulai dari hula-hula, dilanjutkan dengan dongan sahuta, kemudian boru / bere, dan terakhir dongan sabutuha. Setiap pergantian kata penghiburan, diselingi ritual jambar tor-tor, yaitu ritus manortor (menarikan tarian tor-tor).

Pada kesempatan manortor pihak tulang (saudara laki-laki ibu almarhum), menyelimutkan ulos ragi idup langsung ke badan mayat. Selain itu bona tulang (hula-hula dari pihak marga saudara laki-laki nenek almarhum) dan bona ni ari (hula-hula dari pihak marga ibu kakek almarhum) juga memberikan ulos (biasanya ulos sibolang). Ulos dikembangkan di atas peti mayat, sebagai tanda kasih sayang yang terakhir. Kemudian pihak hula-hula secara khusus mangulosi (menyematkan ulos) kepada pihak boru dan hela (menantu) sebagai simbol pasu-pasu (berkat) yang diucapkannya. Pihak hula-hula memberikan ulos sibolang sebagai ulos sampetua kepada istri / suami yang ditinggalkan, dengan meletakkan di atas bahu. Apabila orang yang mati telah lebih dahulu ditinggalkan istri / suaminya, tentunya ulos tidak perlu lagi diberikan). Kemudian hula-hula memberikan ulos panggabei kepada semua keturunan, dengan menyampirkan ulos (sesaat secara bergantian) di bahu masing-masing anak laki-laki yang tertua sampai yang paling bungsu (terakhir diberikan kembali ke anak lelaki tertua disertai kata-kata berkat).

Setelah jambar tor-tor dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata ungkapan sebagai balasan pihak hasuhuton kepada masing-masing pihak yang memberikan jambar hata dan jambar tor-tor tadi. Selanjutnya, salah seorang suhut mengucapkan jambar hata balasan (mangampu) sekaligus mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya upacara. Setiap peralihan mangampu dari satu pihak ke pihak lain, diselingi ritus manortor. Manortor dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak yang telah menghadiri upacara tersebut, sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa restu.

Sepulang dari pekuburan pun biasanya dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap hombung adalah ritus memberikan sebagian harta yang ditinggalkan si mendiang (berbagi harta warisan) untuk diberikan kepada pihak hula-hula. Namun mengenai adat ungkap hombung ini, telah memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya tanpa diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya. Apapun yang akan diberikan untuk ungkap hombung, keluarga yang kematian orang tua yang tergolong saur matua hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula.

Sebagian masyarakat Batak dewasa ini lebih memahami upacara saur matua bukan untuk menyembah si orang tua agar kekuatan sahala diberikan kepada anak-cucunya, tetapi sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas anugerah umur panjang kepada orang yang mati saur matua. Namun, konsep saur matua sebagai “kematian sempurna” tetap dipertahankan, karena orientasi sosial budaya masa kini juga menganggap mati di usia yang sangat tua adalah kematian yang paling baik.

(Yusandi)

***

Sumber : wacananusantara.org

-

Arsip Blog

Recent Posts