Menelusuri Pelacuran ABG di Sejumlah Kota (3).

Lampung Sumatera
"Oo, saya sering diajak pejabat," kata Susan. Gadis berusia 16 tahun asal Kotabumi Sari, Lampung itu bercerita, sejumlah pejabat dari Jakarta atau pejabat setempat mengajaknya masuk kamar hotel.

Siswa salah satu SLTA di Lampung itu, tidak terlalu susah dicari. Ia bisa dihubungi melalui perantara. Gadis manis berkulit putih itu, mengaku selalu mencatat siapa saja yang berhubungan dengannya.

"Nama dan nomor teleponnya saya catat. Semuanya saya simpan baik-baik. Mungkin suatu waktu saya butuh dia. Mungkin bisa membantu saya mendapatkan pekerjaan, " katanya. Menurutnya dengan membuka catatan itu, Susan bisa mengingat kembali wajah-wajah para pria hidung belang yang pernah bersamanya.

Seperti juga ABG lainnya di Lampung, Susan memasang tarif Rp 100.000 sampai Rp 200.000. "Itu tarif biasa di sini. Untuk pejabat apalah arti uang sebanyak itu," katanya. Para pejabat menurut Susan, tidak sayang uang bisa sudah merasa senang.

"Kalau dia senang, mereka bisa memberikan lebih banyak. Saya pernah sekali main diberi Rp 500 ribu. Biasanya setelah berpisah, saya beri dia nomor handphone saya," ujarnya.

Dengan memberikan nomor itu, Susan kemudian sering dihubungi oleh mereka yang pernah bersamanya, "Jadi saya tidak harus memberikan sebagian penghasilan saya kepada perantara," katanya.

Susan tahu betul cara 'memancing' agar pejabat yang pernah berhubungan dengannya, bisa mengulangnya kembali, "Saya selalu mengatakan jarang berhubungan badan. Juga dengan memujinya bahwa dia pria yang luar biasa," tuturnya.

Karena sudah terbiasa 'menjalin cinta' dengan pejabat, Susan jarang berhubungan dengan orang biasa, "Kalaupun ada, saya pilih mereka yang masih muda. Tapi jarang sekali," katanya. Mereka yang masih muda, biasanya sangat pelit. Tarif yang sudah diberikan sering kali ditawar rendah. Bahkan kadang-kadang merayu mengajak pacaran.

"Bila sudah dilayani, dia minta gratis," ujarnya. Para anak muda menurut Susan, juga sering kali menawarkan obat-obatan untuk mabuk.

Di Bandarlampung terdapat beberapa tempat mangkal para gadis ABG seperti pusat perbelanjaan Tanjungkarang Plaza-Artomoro Jl Kartini, Kafetaria King Super Market Tanjungkarang lantai dasar, Kafe King Supermarket Jl Raden Inten, beberapa diskotek seperti Tower, Swisspub, Santana.

Ayu, 18 tahun, seorang gadis ABG di Casablanca bercerita, ia bisa dibawa tanpa bayar, "Itu kalau saya suka, diajak nonton atau makan juga jadi," katanya.

Tapi kalau yang mengajaknya om-om senang, bandot tua, atau tampang pejabat dia pasang tarif agak tinggi, apalagi sampai nginap beberapa hari. Menurut pengakuan Ayu, asal Palembang ini, dia pernah di-booking pejabat yang menjadi pimpro selama beberapa hari.

"Saya dibayar cukup besar," ujarnya. Karena itu, setiap bertemu 'tamu' Ayu selalu menawarkan diri agar diajak beberapa hari.

"Kalau mereka nginap beberapa hari di Lampung, ya saya juga diajak," ujarnya. Sistem booking beberapa hari, sangat menguntungkan karena tidak perlu lagi mencari mangsa lain. "Juga tidak terlalu capek. Kan tidak setiap malam harus main. Biasanya cuma cium-ciuman atau berangkulan dan menemaninya tidur," ujarnya.

ABG ini juga mengaku punya langganan mulai pejabat PNS, aparat keamanan, mahasiswa, hingga wartawan.

"Mereka semua baik-baik. Uangnya juga lancar. Beberapa dari mereka menjadi pacar saya," katanya. Dengan mempunyai pelanggan seperti itu, Ayu tidak terlalu takut terkena penyakit. "Saya tahu mereka bukan orang sembarangan, pasti jauh dari penyakit," ujarnya.

Menurut Ayu, jika ada bos-bos atau pejabat yang cinta berat sama anak-anak ABG yang cantik, kadang-kadang dipelihara sebagai istri simpanan atau istri gelap.

Mereka dicarikan kontrakan kamar atau disewakan rumah tinggal. Ada di antara mereka yang melahirkan dan punya anak. Namun, umumnya cewek-cewek ABG yang telanjur hamil di luar nikah, biasanya bayinya diserahkan ke pihak rumah sakit atau dijual pada orang yang mau mengurusnya.

Seperti Linda, 17 tahun, misalnya terpaksa drop out dari sekolahnya sebuah SMU swasta, gara-gara dia pacaran kelewat batas lalu hamil dengan pacarnya, memilih pintas terjun ke dunia pelacuran.

Sekarang dia menjadi istri gelap seorang pejabat dari Jakarta, "Bila dia tidak ada, saya main di diskotek, mencari teman kencan. Saya tidak tahu persis dia tahu atau tidak," ujar Linda. Sebagai istri gelap yang tidak pernah dinikahi, dia tidak takut seandainya sang suami meninggalkannya.

Mereka rata-rata anak-anak sekolah dari desa yang merantau ke ibu kota Provinsi Lampung. Sampai saat ini, orang tua Linda belum mengetahui pekerjaan anaknya, "Mereka menyangka saya masih bersekolah," katanya.

Ada juga gadis ABG yang sekolahnya berantakan terpaksa jadi penjaja seks karena kesulitan ekonomi, misalnya orang tuanya terkena PHK. Anak-anak ini juga sengaja disuruh orang tuanya dengan alasan membantu biaya adik-adik yang masih sekolah.

Pelacur ABG di Lampung umumnya tinggal indekos dalam satu rumah yang disewa beberapa orang secara patungan. Umumnya mereka tinggal dekat dengan tempatnya mangkal.

Misalnya kalau sering mangkal di diskotek kawasan Jl Yos Sudarso mereka tinggal di daerah Panjang atau Telukbetung. Kalau mereka mangkal di Tanjungkarang seperti Artomoro dan King Super Market, mereka tinggal sekitar Jl Raden Intan atau Jl RA Kartini atau di kawasan Enggal dan Kelurahan Pelita.

Kalau ABG yang masih sekolah atau kuliah, biasanya mencari mancari mangsa di diskotek cari. Para gadis remaja itu, hampir setiap malam terutama malam minggu memenuhi ruang diskotek di Lampung. Mereka yang nongkrong di diskotek biasanya selalu minta dibelikan ekstasi.

Bahkan ABG-ABG ini juga ada yang menjadi korban obat-obatan terlarang seperti ekstasi, sabu-sabu, atau putaw. Sudah ada beberapa korban yang tewas karena menenggak obat-obatan terlarang melebihi dosis. Misalnya pesta obat terlarang di sebah motel melati Jl Soekarno-Hatta tahun lalu, dua cowok dan satu cewek terkapar dan sekarat, namun jiwanya tertolong setelah berhasil dibawa ke rumah sakit dan dirawat beberapa hari. Kemudian ada seorang anak gadis pelajar tewas di sebuah hotel berbintang setelah menenggak obat terlarang dengan pasangannya.

Cirebon Jawa Barat
PEONG. Itu sebutan untuk pelacur ABG di Cirebon. Seperti juga di sejumlah kota lainnya, mereka biasanya keluyuran malam di diskotek. Di Kota Udang itu, mereka lebih suka di diskotek di New Land Grand Hotel Cirebon.

Di antara irama musik yang berdentum keras, seorang gadis mengenakan celana biru ketat, dengan T-shirt warna putih yang juga ketat, sendirian, bergerak lincah mengundang perhatian. ''Kalau Mas berminat, nanti akan saya hubungkan,'' bisik seorang pramuria yang berdiri sebelah meja menawarkan jasa (bukan hanya sekali) sambil juga menawari tambahan minuman. Mungkin lantaran dijawab beberapa kali nanti saja, akhirnya sang pramuria 'nekat' memanggil sang cewek tadi. ''Kristin,'' ujarnya singkat sembari mengulurkan tangan.

Kristin, cewek ABG berusia 17 tahun, kulit kuning langsat bermata agak sipit mirip amoy, mengaku asal Cirebon. Aroma alkohol menyeruak lewat mulutnya. Sekali-sekali, ia terbatuk, katanya sedang pilek. "Tidak sering, sih, yang pasti kalau malam Minggu saya ke sini," tuturnya.
Ia anak ketiga dari empat bersaudara. Merasa frustrasi dengan mantan pacarnya yang setelah 'menghisap madunya', pergi entah ke mana. "Aku tak tahu ia kini ada di mana. Buat apa mikiran yang sudah lewat. Bikin pusing.'' Sementara anak hasil kumpul kebonya diadopsikan kepada keluarga tak berketurunan yang tinggal di Kuningan. Kadang-kasdang saja Kristin menengok Doni--nama anak berumur 1,5 tahun.

Orang tuanya pensiunan militer yang bekerja di perusahaan ekspor-import yang saat ini sudah bangkrut. ''Usaha apa sih yang tidak terpengaruh,'' ujar Kristin sambil membandingkan diskotek itu yang sesudah krisis jumlah pengunjungnya turun hingga 50%.

"Lihat tuh, banyak kursi yang kosong,'' tuturnya menunjuk meja sekeliling.

Kristin tak berterus terang asal sekolahnya, ''Kok tanya detail banget, sih,'' katanya.

Sebagai peong ABG, ia biasa di-booking dengan tarif antara Rp 250.000 hingga Rp 350.000. Itu kalau short time. Bila menginap, bayarannya Rp 500.000 yang kemudian dipotong buat tip 'broker' berkisar Rp 50.000 sampai Rp 75.000.

Kristin, yang kandas di kelas dua SMU, sebenarnya lebih memilih 'solo karier' ketimbang terikat seorang germo. ''Repot amat, lagian mereka suka memeras.'' Tiba-tiba Kristin menyelinap pamitan, lantaran HP-nya ada yang menghubungi. Ketika ditanyakan apa ada yang booking, ia cuma nyengir.

Tepat pukul 02.30 lampu di ruangan diskotek dengan uang masuk Rp 12.500 itu tiba-tiba menyala terang, berbarengan dengan berhentinya dentuman musik yang berkesinambungan itu. ''Bagaimana Mas, jadi booking nggak nih?'' rajuk Kristin berbisik. ''Gampang aja Kris, toh nomor HP-mu sudah tercatat. Kapan-kapan saja.''

Di halaman diskotek, terlihat dari lobi Kristin yang kali ini ditemani rekan seprofesinya tengah negosiasi dengan dua orang lelaki. Sejurus kemudian keempatnya beringsut dengan mobil sedan entah ke mana.

Seperti juga di berbagai kota lain, pelacur ABG di Kota Cirebon belakangan marak. Mereka bisa ditemui selain di New Land Grand, juga di alun-alun yang masih sejalur di Jl Siliwangi.

Mereka juga biasa mangkal di Grage Mall di Jl Dr Sucipto. Di diskotek lain semisal di Mitas Grand Hotel di Jl Tuvarep. ''Dulunya yang rame di Mitas, tetapi sekarang kalah pamor dengan New Land Grand,'' tutur seorang pengunjung.

Dua ABG pria yang menjadi germo sejumlah ABG di Cirebon menceritakan bahwa jaringan pelacur ABG di daerah itu cukup rapi.

"Jangan takut, pasti aman berhubungan dengan mereka. Kalau yang di Bandung ceweknya cakep-cakep, di sini juga tidak kalah cakep-nya'' tutur Andre New Land Grand Hotel. Ia didampingi germo lainnya, Danu seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Bandung.

Dalam catatan Andre, jumlah pelacur ABG di Cirebon mencapai 50 orang. Mereka berasal dari beberapa SMU setempat. Antara lain SMU yang terletak di Jl Panjaitan, di Jl Pangeran Drajat. Ada juga beberapa mahasiswi. ''Tapi yang paling banyak anak dari SMU di Jl Panjaitan,'' tutur Andre.

Menurut Danu, para pelacur ABG tidak semata-mata mencari uang. Ada kalanya sekadar mencari kepuasan dan yang jenis ini kalau di-booking asal diberi pil ekstasi atau pil setan dan sejenisnya sudah bisa diajak 'masuk kamar'.

Menurut pengamatan mahasiswa bertubuh sedang ini, latar belakang mengapa mereka terjerumus ke lembah nista itu berbagai macam. Tapi yang umum sekaligus klasik lantaran broken home dan kurang perhatian orang tua. Orang tua bercerai, suka cekcok, jarang di rumah. Kira-kira seringnya begitulah.

Untuk menghindari kehamilan, masih menurut Danu, biasanya para peong demikian mereka disebut di Cirebon, menggunakan genaelosit atau cumbrit. Keduanya bisa diperoleh di toko-toko obat.

Menurutnya, yang disebut pertama, bila ingin yang ampuh, mintalah yang kemasannya boks kertas, jangan plastik. Isinya dua butir, harga per butir Rp 15.000. Genaelosit bisa mencegah kehamilan sampai dua bulan. ''Habis dua bulan, ya harus minum lagi,'' ujar Danu seperti sedang memberi nasihat.

Menurutnya, para ABG yang mangkal di alun-alun umumnya yang kelas 'krotak' atau bawah. Hal itu dibenarkan Andre, ''Aku nggak kenal dengan cewek-cewek yang di sana.'' Andre menyebut beberapa nama pelacur ABG papan atas yakni Emi, Devi, Susan, serta Puput yang menjadi primadona di antara mereka.

Tapi Puput adalah yang paling cantik. Ia mengaku sering dibawa keluar kota oleh pelanggannya. "Saya baru saja dari Bandung," katanya. Di luar kota, bila berpisah dengan pembawanya, ia sering kali menggaet pelanggan lain.

Ada beberapa daerah di Jawa Barat yang diketahui persis liku-likunya oleh Puput, "Tapi Bandung yang paling saya kuasai. Di sana juga banyak teman saya," katanya.

Ia juga tidak keberatan bila dibawa ke Jakarta, atau ke tempat lainnya seperti ke Jawa Tengah atau Jawa Timur. "Pokoknya bayarannya sesuai, saya akan ikut," ujarnya

Padang Sumatera
"SIAPA bilang di Padang tidak ada pelacur ABG. Gampang kok mendapatkannya di Minang Plaza," kata seorang ABG ketika diajak kencan seorang pengusaha muda. Ia Menceritakan, setiap kali ingin berkencan dengan gadis ABG, dia selalu mencarinya ke tempat itu. Karena di situlah tempat mereka pasang aksi.

Ketika menceritakan pengalaman kencannya dengan anak muda berkantong tebal yang digaetnya di sebuah wartel kompleks pusat perbelanjaan di kawasan Air Tawar, Fivi, 16 tahun, mengaku ditraktir makan lalu diajak puter-puter memilih celana jins. "Karena dia baik saya nggak nolak waktu diajak bobok bareng di penginapan dekat Pantai Bungus," katanya sambil cekikikan.

Kalau tahu caranya, tidak terlalu sulit memang. Karena pusat perbelanjaan megah di jantung Kota Padang itu terletak dekat dengan rumah indekos para pelajar SMU maupun mahasiswi sejumlah kampus perguruan tinggi negeri dan swasta.

Sehingga sangat strategis dijadikan tempat berkumpulnya para ABG yang ingin cuci mata sekaligus bursa bagi yang mau cara mangsa. Apalagi di lantai atas gedung tersebut ada Music Room MP yang selalu ramai dikunjungi para ABG maupun para lelaki hidung belang.

Di lantai bawah ada sebuah wartel dan kafe yang selalu dipenuhi ABG. Dengan sedikit kerdipan mata para ABG yang rata-rata berwajah lumayan (maklum mereka mengaku pelajar dan mahasiswa) itu akan tersenyum. Lalu boleh pilih.

Selain Fivi, banyak ABG lain yang mengaku menjalani profesi penjaja seks karena terpaksa untuk menutupi biaya sekolah atau biaya kuliah. Namun tak sedikit pula yang menggeluti dunia esek-esek itu akibat terjerat obat-obatan terlarang.

Shanti, 16 tahun, mengaku terjerat narkotik ketika masih bersekolah di SMU di Pekanbaru. Ketika dipindahkan ke sebuah sekolah swasta di Padang, orang tuanya yang bekerja di perusahan minyak berharap Shanti bisa menjadi anak baik dan menjauhi narkotik serta obat terlarang.

Namun celakanya, di sekolah swasta dekat kawasan Air Tawar itu dia malah berteman dengan anak-anak pecandu sabu-sabu. Di rumah indekosnya seputaran Ulak Karang, mereka sering pesta narkoba.

Bila malam Minggu, waktunya lebih banyak dihabiskan di music room terkenal dekat daerah Pelabuhan Teluk Bayur. Di tempat ini pengunjungnya ramai, dan tak pernah dijamah razia, kata Shanti. Kalau mau triping atau teler tak ada yang peduli.

"Biasanya pria yang saya suka, tidak menolak kalau diajak on. Bila sudah triping badan ini enteng. Sehingga kalau dia yang ngajak tidur sesudah itu, saya tidak menolak, asal dia mau memberi sedikit uang jajan," tutur Shanti.

Dia mengaku pernah diberi amplop berisi sepuluh lembar Rp 50 ribuan oleh seorang pengusaha mobil.

Kisah Rina, 17 tahun, lain lagi. Gadis baru gede berwajah imut-imut ini mengaku terperangkap perbuatan maksiat karena diajari pacarnya, Dody, mahasiswa sebuah PTS di kawasan Khatib Sulaiman, Padang. Bencana itu berawal ketika dia dipacari Dody yang ternyata pecandu sabu-sabu.

"Mulanya Dody menyuruh saya mencoba sedikit. Semula saya tolak. Tapi karena terus dirayunya. Saya coba juga, ee, lama-lama saya jadi ketagihan. Akhirnya tiada hari kami lalui tanpa barang itu yang kemudian selalu berlanjut dengan hubungan badan," tutur Rina.

Sewaktu hubungan Rina retak dengan Dody, akibat sang kekasih mendapatkan 'mainan' baru, Rina sangat terpukul. Bukan karena ditinggal Dody, tapi karena kesulitan mendapatkan 'barang' yang selama ini disediakan sang pacar.

Karena ketagihan sabu-sabu semakin menjadi-jadi, sementara uang tidak punya, tak ada jalan lain saya terpaksa menjual diri. "Keputusan pahit ini terpaksa saya ambil. Karena kalau sedang sakaw obatnya cuma itu. Bila tidak dapat saya bisa gila," ujar Rina.

Dengan wajah cantik, kulit kuning langsat dan rambut sebahu, tak terlalu sulit bagi Rina mencari mangsa yang berduit. Dalam melakukan negosiasi biasanya Rina hanya mau diajak kencan ke hotel-hotel berbintang. Sebab kencan di hotel melati mengandung risiko bisa ditangkap tim razia Satpol Pamong Praja Padang.

"Dalam seminggu saya bisa mendapat uang antara Rp 300 ribu sampai Rp 600 ribu. Jadi cukuplah untuk kebutuhan membeli shabu atau putaw seharga Rp 200.000 per minggu," ujarnya.

Karena mengaku kepalang basah, Rina kemudian melengkapi diri dengan handphone. Padahal sebelumnya dia cuma beroperasi menggaet mangsa dengan nampang pada sebuah wartel di Jl Pondok.

Kalau lagi apes, tak jarang dia juga aktif mengontak relasinya lewat wartel. Jika harga cocok Rina tinggal menunggu untuk disamperin di pintu wartel.

Miranda, 17 tahun, lain lagi kisahnya. Pelajar sekolah menengah di bilangan Jl Sudirman itu, tidak terlalu sulit dijumpai sepulang jam sekolah.

Ketika diajak ke sebuah kafe dekat Pantai Padang, gadis manis yang suka dipanggil Mira ini mau berkisah dengan syarat identitas aslinya dirahasiakan.

Dengan lepas Mira mengaku ternyata mencari uang itu tidak susah. Sebagai pelajar merangkap penjaja seks untuk kelas terhormat (maksudnya kelas menangah) dia bisa memenuhi segala kebutuhannya tanpa harus menunggu kiriman dari orang tuanya yang menjadi toke getah di Jambi.

Dengan penampilan biasa-biasa saja, sepintas Mira tak berbeda dengan temannya yang lain. Kalau kencan sehabis jam sekolah, dia selalu minta diantarkan ke sebuah tempat sebelum pukul 18.00 agar tidak dicurigai ibu kosnya.

Bila malam Minggu, dia agak bebas keluar. Kesempatan ini selalu dimanfaatkannya untuk kencan menjelang tengah malam. Dia mengaku tidak menentukan tarif, karena tujuannya untuk bersenang-senang. "Kalau habis tidur dikasih Rp 100 ribu atau Rp 250 ribu saya terima saja. Asal yang mengajak pria berpenampilan perlente," katanya.

Sumatra Barat yang dikenal sebagai daerah yang memiliki adat dan agama kuat, suasana kehidupan kaum remaja di Kota Padang ternyata tak lepas dari pengaruh kehidupan kota besar, seperti Medan dan Jakarta. Meski kalangan orang tua dan pendidik cenderung menutup-nutupinya, bisa dipastikan puluhan remaja ABG di Padang sudah jadi penganut seks bebas.

Pekanbaru Sumatra
Mendongkrak Tarif dengan 'Handphone'
GELAK tawa Sari berderai sembari menempelkan telepon genggamnya di kuping sebelah kanan. Gadis ABG berusia 17 tahun dan memiliki body tinggi langsing itu terus berkomunikasi dengan sekali-sekali matanya menggoda pria yang melewatinya di lantai V Senapelan Plaza, Pekanbaru.

Sari yang tidak tamat SMU itu mengaku ketagihan dengan pil gila 'inex'. Karena itu tidak jarang dia mau saja diajak ke mana saja jika ada yang mau memberikan sebutir. ''Harganya mahal, saya nggak tahan jika sehari saja nggak nekan (triping-red),'' kata remaja berlesung pipit itu sambil terus memencet sejumlah angka di handphone-nya.

Menurut Sari, dirinya terjerembab di dunia sesat itu baru satu tahun. Akibat pergaulan bebas, sekolahnya pun menjadi korban. Semula dia termasuk anak yang pendiam, baik itu di rumah maupun di sekolah. Tapi setelah mulai mengenal cinta dengan seorang mahasiswa, dia sering diajak ke diskotek. Mulailah dirinya mengenal apa itu house music serta pil setan.

Malang baginya, karena ketagihan pil inex, tubuhnya mau saja diobok-obok oleh sang pacar. ''Saat itu semuanya telah saya serahkan kepada dia. Tapi setelah dia puas malah dia menggandeng cewek lain di depan mata saya sendiri,'' sungut ABG yang mengaku pernah berjilbab saat masih sekolah.

Entah pelarian atau ketagihan namanya, Sari bertambah larut dengan berbagai jenis obat yang diakuinya bisa menghilangkan semua masalahnya. Sementara untuk terus melanjutkan sekolah dirinya merasa tidak mood lagi. ''Tapi di sini yang mangkal di plaza banyak juga anak sekolah, malah ada yang masih SMP,'' ujar Sari.

Dengan wajah tertunduk Sari mengakui jika ditanya soal tarif bisa mencapai Rp 250 ribu hingga 300 ribu. ''Lumayanlah bisa untuk bayar rekening handphone dan beli inex,'' ujar cewek hitam manis yang mengaku tinggal di kawasan Pintu Angin, Jalan Sultan Syarif Qasyim.

Malah gadis yang pernah bercita-cita menjadi peragawati ini mengakui dengan menggenggam handphone bisa menaikkan tarif karena terasa lebih percaya diri dan terkesan kelas tinggi dalam menggaet pria berduit.

Diakuinya, tarif itu tidak mutlak. Ada juga pria yang disukainya, tanpa tarif dia langsung ke hotel. ''Saya punya pacar lagi Mas, dia sering membagi pil. Untuk satu pil saja saya mau diajak ke mana saja,'' katanya. Hebatnya, pacar Sari tidak pernah cemburu, di saat Sari di-booking salah seorang pria. Bahkan Andi, pacar Sari, siap mencarikan mangsa untuk Sari.

''Saya kurang suka dengan anak sekolah, karena banyak yang kere. Saya suka laki-laki yang agak mapan. Itu bisa terlihat dari penampilannya. Apalagi di kota ini banyak pengusaha yang berhasil,'' ujar Sari yang baru setahun mengenali dunia semipelacuran ini.

Tarif ABG yang lebih dikenal dengan istilah 'lontong' di Pekanbaru memang tergolong mahal. Untuk mendapatkan 'daun muda' itu bisa merogoh kocek minimal Rp 500 ribu. Tapi jika sudah berlangganan, terkadang bisa saja dengan sebutir inex dapat pelayanan gratis di penginapan.

Bisnis esek-esek para ABG ini sangat kentara di pusat pertokoan, seperti Matahari Plaza dan Senapelan Plaza. Apalagi Diskotek Orion, Senapelan Plaza di Jalan Teuku Umar buka siang pada Sabtu, dan Minggu.

Fenomena keberadaan ABG di pusat pertokoan sudah menjadi rahasia umum. Seperti di pusat pertokoan Matahari Plaza, Jl Pepaya, dengan berpakaian sedikit mencolok dan bergerombol mereka 'mejeng' seperti sedang menunggu seseorang.

Pada umumnya alasan mereka lebih menyukai plaza sebagai tempat mangkal antara lain dengan gampang ngajak shopping bila ada bos-bos yang ingin mem-booking.

Pada Sabtu dan Minggu mereka bergerombol mejeng di setiap lantai di Matahari Plaza. Dari cara berpakaian jelas kentara, antara lain T-shirt serta celana jins ketat hingga menampakkan perut dan sepatu berhak tinggi sambil menggenggam handphone.

Hari Sabtu, pemandangan di lantai V di Senapelan lebih hidup, karena ABG berkeliaran menunggu tawaran untuk naik ke atas (diskotek).

''Pada umumnya para ABG yang berkeliaran menunggu tawaran masuk ke diskotek adalah ABG kurang mampu. Mereka mau saja diraba-raba, asal ada yang mengajak naik ke atas,'' ujar Yudhi, salah seorang makelar ABG di lokasi tersebut. Tapi ABG yang nongkrong di plaza-plaza biasanya sudah memiliki langganan tetap.

ABG itu, lanjut Yudhi, sesampai di dalam diskotek akan melepaskan diri dari pembawanya. "Biasanya, para ABG seperti itu, lebih suka nongkrong di diskotek daripada diajak keluar. Jika ingin mengajak keluar, tunggu hingga dia 'on','' bisik pria yang mengaku hidup dari kelincahan menawarkan ABG.

Yudhi juga mengatakan bahwa tidak semua ABG yang mangkal mengintai mangsa dengan lagak sedikit mencuri perhatian. Ada juga sambil bermain video game.

Mereka dengan tertawa lepas bermain seperti anak-anak lainnya. ''Tapi itu sudah pasti ABG yang memiliki langganan, jadi nggak perlu lagi mencari,'' kata Yudhi.

Irna, salah seorang ABG yang masih duduk di bangku kelas II salah satu SMU swasta di Pekanbaru. Dia paling suka berjingkrak-jingkrak di tengah ingar-bingar musik diskotek. Karena itu setiap Sabtu, sepulang sekolah, Irna dan teman-temannya yang membawa pakaian ganti di tasnya langsung menuju Orion House Music di Senapelan Plaza.

Mereka tak mau disamakan dengan para 'lontong' yang siap melayani di penginapan ataupun hotel. Tetapi jika mereka mendapatkan pasangan yang membuat 'syur' di lantai diskotek, mereka rela diraba-raba, tapi dengan imbalan cukup setengah butir inex.

''Jangan samakan kami dengan lontong-lontong itu, kami tetap menjaga yang satu itu. Kalau hamil, bisa berabe hidup saya,'' cetus Irna, sambil menggoyang-goyang kepalanya.

Berbeda dengan Irna, rekannya Yuyun, 17, malah dengan menantang dirinya pernah di-booking laki-laki. Dengan alasan belajar bersama di rumah teman, Yuyun ternyata belajar di arena diskotek sambil 'triping'. ''Tapi yang mem-booking harus melalui seleksi, saya nggak mau yang gaek (tua). Pokoknya senang sama senang, saya nggak mikiran soal tarif, yang penting ada inex, gampanglah itu,'' ujar Yuyun.

Yuyun berterus terang bahwa dirinya kecandungan obat terlarang melalui salah seorang temannya. Sedangkan keperawanannya memang sudah amblas saat duduk di bangku kelas III SMP. Karena itu dia tidak lagi berpikir panjang untuk terjun ke bisnis esek-esek. ''Tapi saya bukan mencari uang, yang penting happy,'' tutur ABG yang mengaku asli Riau.

Bandung Jawa Barat
'Kang, Bagaimana kalau Kita ke Atas'
MASIH mengenakan pakaian seragam sekolah putih abu-abu, Lusi berdiri di dekat lampu pengatur lalu lintas di Jl Asia Afrika, Bandung. Ia akan segera mendekat bila ada di antara antrean mobil yang membunyikan klakson atau memberi isyarat dengan lampu.

Seperti sudah biasa, ia menarik pembuka pintu dan duduk di samping pengemudi, "Mau diajak ke mana, Kang," katanya. Itu adalah kalimat pembuka setiap dia masuk ke dalam mobil. Tanpa menunggu jawaban, ia akan menyambung, "Ke plaza dulu ya."

Di salah satu pusat pertokoan yang berada di alun-alun, Lusi langsung menyelinap ke counter pakaian wanita. Ia mengambil sebuah T-shirt. Setelah itu, dia mengatakan, "Bagaimana kalau kita ke atas." Maksudnya ia mengajak ke daerah Lembang.

Lusi menceritakan, ia sudah biasa berkencan di Lembang, "Di sana banyak hotel. Lagi pula lebih aman, nggak ada yang lihat," katanya. Ia menyebut sejumlah hotel di Lembang. Antara lain Gumilang Sari, Panorama, Putri Gunung, Telaga Sari, Pondok Kahuripan, Lebak Gunung, dan Juvante.

Lusi seperti sudah terbiasa ke sejumlah hotel itu. Dia bercerita, kalau tamu dari luar kota, biasanya membawanya ke sebuah hotel yang lokasinya agak tersembunyi di kaki gunung, "Tapi pukul 10 malam, saya sudah minta diantar pulang," katanya.

Di hotel mana pun dia berkencan, tidak pernah menginap karena takut dicurigai orang tuanya. Bila terlambat pulang, ia selalu beralasan pergi main ke rumah temannya. Dan orang tuanya percaya.

Lusi, siswa sebuah SLTA cukup ternama di Kota Bandung itu, mengaku tidak setiap hari mencari 'mangsa'. "Kalau lagi iseng saja," katanya. Dia memasang tarif Rp 200 ribu untuk sekali kencan.
Lain lagi cerita Yanti. Mahasiswa semester pertama sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung. Ia biasa berkeliaran di Cihampelas, "Sambil jalan-jalan lihat pakaian, biasanya ada yang ngajak," kata gadis hitam manis itu.

Ia sebetulnya ada dalam 'jaringan' wanita terorganisasi di Bandung. Bila ada yang membutuhkan, dia biasa dihubungi oleh teman prianya yang mempunyai hubungan dengan karyawan sebuah hotel, "Saya biasa menemani tamu hotel yang rapat," katanya.

Gadis asal Tasikmalaya itu, biasanya di-booking ke hotel terkenal di Lembang, "Melayani para bos," katanya. Yanti memasang tarif juga Rp 200 ribu. Tapi bila melayani orang rapat, sering kali mendapat tips yang cukup besar.

Yanti terjun ke dunia prostitusi ketika masih kelas dua SLTA di Bandung. Ia tergoda oleh ajakan teman-temannya, "Mereka sering memperlihatkan uang bergupel-gumpel. Pakaiannya juga bagus-bagus," katanya.

Pertama kali Yanti ikut 'mejeng' bersama temannya di sekitar alun-alun. Ketika itu dia memperhatikan betul gaya temannya memancing perhatian pria. Dia pun mencoba-coba dan tergaet seorang pria dari Jakarta yang usianya sekitar 35 tahun.

"Itu pertama kali saya dibawa ke hotel. Rasanya takut juga sih. Tapi karena pria itu ganteng, saya jadi suka," katanya. Saat itu ia memang sudah tidak perawan lagi, karena sudah berkali-kali berhubungan dengan pacarnya.

Dengan pria yang pertama kali membawanya ke hotel itu, ia sempat menjalin asmara selama beberapa bulan. Setiap pria tersebut datang ke Bandung, selalu mengontak Yanti untuk menemaninya. Tapi lama-lama ia jarang muncul bahkan tidak pernah muncul sama sekali, "Sudah tidak pernah lagi jumpa dia," ujarnya.

Yanti tidak sendiri mencari 'mangsa' di Cihampelas. Di pasar jins terkenal di Bandung itu, menurut Yanti terdapat sejumlah ABG yang pura-pura belanja. Ciri-cirinya tidak terlalu sulit dikenali, biasanya mereka keluar masuk toko tanpa membeli apa pun, dan suka berlama-lama melihat pakaian bila ada pria yang diincar.

Para ABG di Cihampelas itu, oleh tamu biasanya dibawa ke hotel yang membuka short time, seperti Pondok Kahuripan, Lebak Gunung, dan Juvante. Juga sejumlah penginapan yang berada sepanjang Jl Pasir Kaliki sampai Lembang.

Di Bandung ada juga gadis ABG yang berkeliaran di diskotek. Mereka bisa dijumpai pasang aksi di Jl Braga. Kepada pria yang mendekatinya, langsung diajak ke diskotek.

"Sebutir dua butir juga jadi," kata Rina. Maksudnya ia bersedia diajak melakukan apa pun bila diberikan ekstasi.

Bila diberikan pil yang satu itu, pelajar kelas tiga SLTA itu, tidak pernah memilih-milih pria yang mengajaknya berkencan, "Tempat chek in banyak di sini," katanya.

Di tempat-tempat terbuka alias umum, tanpa rasa canggung dan malu, biasa dijumpai wanita yang 'menjajakan' diri.

"Hai, mau ke mana? Mau ngamar nggak?" begitu pertanyaan yang meluncur dari mulut-mulut bergincu merah bak tanpa perasaan berdosa. Pelacur yang bergaya vulgar macam begitu bisa ditemui di Alun-alun Bandung dan sekitarnya, meliputi Jalan Asia Afrika, Dewi Sartika, Dalem Kaum, Sudirman, Otto Iskandinata, Banceuy, dan ABC.

Tak sedikit di antara mereka yang tergolong ABG alias anak baru gede. Hanya saja kawasan pusat kota ini lebih banyak 'dikuasai' perempuan dewasa yang juga mengaku ABG. "Cari ABG? ABG yang mana? Atas Bawah Gondrong?" kata wanita yang mengaku bernama Ani diiringi cekikikan.

Di Bandung, trennya memang para ABG 'asli' lebih banyak mejeng di pusat-pusat perbelanjaan seperti Bandung Indah Plaza (BIP) di Jalan Merdeka, dekat Balai Kota. Atau di Jalan Juanda atau Dago, terutama di sekitar pasar swalayan Superindo dan Plaza Dago.

Sedangkan yang tergolong masih dekat dengan Alun-alun Bandung, para ABG banyak bergerombol di King Shopping Center Jalan Kepatihan dan Diskotek LA di Jalan Asia Afrika.

Sudah menjadi rahasia umum kalau para ABG itu 'bisa dipakai' siapa saja. Berbeda dengan para senior mereka, para ABG ini kebanyakan tidak menawarkan diri dan menolak cara-cara vulgar. Bahkan umumnya langsung menolak kalau diajak secara langsung untuk transaksi seks.

"Sorry, kita bukan perempuan begituan," begitulah jawabannya kalau ada pria yang, menurut ukuran mereka, nggak tahu 'sopan santun'.

'Jalan-jalan, 'Beliin' Baju, Oke'

MEREKA sangat membenci pria yang tidak mengenal sopan santun. Seperti yang dituturkan Yuni, yang mengaku masih sekolah di SLTP, "Sebel deh sama cowok kayak gitu. Padahal kalau dia bisa baik-baikin kita, kalau udah waktunya, ntar juga dikasih."

Memang para ABG Bandung umumnya tidak mau disebut pelacur. "Kan kita nggak dibayar dan kalaupun saya mau ngelakuin begituan, kan bukan karena bayarannya tetapi memang karena saya suka," jelas Yuni yang mengungkapkan dirinya dan umumnya teman-teman nongkrongnya, berasal dari keluarga yang kurang harmonis.

"Kalau dia ngajak kita jalan-jalan, lalu jajan, lalu beliin baju, atau ngasih hadiah apa gitu, ya oke. Itu kan karena dia mampu," tegas Yuni. "Nggak pake begituan juga, kalau saya suka, dia nunjukin perhatian, orangnya enakan, saya kasih juga."

Para ABG yang biasa hidup dalam pergaulan bebas tanpa batas ini umumnya merasa kesepian karena kurang perhatian keluarga. Umumnya juga bukan dari keluarga dengan latar belakang ekonomi pas-pasan. "Mami sama Papi pada sibuk semua," kata remaja sebuah SMU yang mengaku bernama Lia. "Kita sih nggak mau banyak mikir. Pokoknya kalau masih bisa hidup senang-senang begini, ya kita lakuin," katanya soal 'pelariannya' ini.

Meskipun umumnya tidak mau disebut pelacur karena mengaku tidak pernah pasang tarif, tetapi pada prakteknya banyak lelaki hidung belang yang kena batunya. Paling tidak itulah pengakuan Iis, mengaku siswi SMU BPI, ketika menceritakan pernah ngerjain om-om yang mendekati dirinya.

"Sesudah dapat traktiran makan dan minum, Iis mengajak dia masuk ke Yogya (Departement store BIP). Dia mau saja dan membayar setelan baju yang lumayan mahal. Kira-kira bajunya ama bawahan (rok) aja, Rp 300 ribu," jelas Iis. Dan Iis tentu saja pada malam Minggu itu harus mau melayani hasrat om itu di hotel sampai pagi. "Mama Papa nggak tahu kalau Iis udah biasa hubungan suami istri. Dan kalau kita pulang pagi, Mama Papa pikir kita cuma ke disko aja," kata Iis.

Bayaran Rp 300 ribu itu buat Iis memang bukan harga mati. Karena menurut dia pernah juga ada yang 'kebagian jatah' meskipun cuma mentraktir makan dan minum saja. "Pernah habis tripping, terus pas mau pulang pukul dua pagi, pas nunggu taksi disamperin cowok. Katanya, mau bareng nggak? Ya mau aja," kisah Iis.

"Lantas dia mengajak makan. Habis itu dia bilang cari hotel yuk. Berhubung saya juga lagi kepengen, ya udah jadi saja," kata Iis yang mengaku tidak pernah minta bayaran. "Cowok itu nggak bayar saya, cuma nganterin pulang pakai taksi," lanjutnya.

Buat Iis dan beberapa temannya, 'aturan main' yang seperti itu menunjukkan komitmen mereka untuk benar-benar tidak mau disebut pelacur. Meskipun sudah berusaha menunjukkan perbedaan dan posisi sekuat itu tetap saja masyarakat dan termasuk juga para 'pemakai jasa' mereka menganggap para ABG itu sebagai perempuan sewaan alias pelacur. Bahkan boleh dibilang pelacur gres dengan tarif murah.

Di kalangan lelaki hidung belang umumnya tersebar cerita bahwa dengan cuma punya uang Rp 30 ribu rupiah di kantong, para pria iseng bisa menikmati layanan seks kelas satu yang 'dingin-dingin empuk'. Dan mengenai murahnya tarif pelacur ABG itu diakui juga oleh Dian yang ditemui saat mejeng di Jalan Juanda.

"Gampang, kok Mas, asal bisa ngajak ngobrol mereka, ya sambil nraktir dong, kalau Mas mau mereka juga mau kok," kata Dian menunjuk ke arah teman-teman seusianya yang tengah bercengkerama di depan Swalayan Superindo. "Yang penting, sama-sama suka," tegasnya.

Berdasarkan cerita Dian, para lelaki hidung belang paling-paling harus menambah biaya sewa kamar hotel kelas melati. Hotel-hotel di kawasan Jalan Setiabudi dan Jalan Raya Lembang umumnya diketahui memberikan layanan atau tarif khusus kepada pasangan bukan suami istri ini. Misalnya, Hotel Giri Elok dan Gumilang Sari.

"Kalau di Jalan Dago, kita bisa pakai Hotel Buah Dua," jelas Dian yang tahun ini baru lulus SMU. Menurut Dian, tarif short time hotel-hotel itu umumnya sekitar Rp 35.000.

Dian juga mengatakan umumnya para ABG ini senang dengan pria yang bergaya dan mudah bergaul. "Makanya kalau mau ketaksir sama mereka, pakaian, gaya rambut, parfum, ya harus trendi, kayak mereka gitu," jelas Dian yang mengaku mulai kenal gaya hidup seks bebas itu sejak masuk di kelas I SMU, dua tahun silam.

Cerita Dian soal 'tradisi' ABG 'bebas' ini tak sepenuhnya benar. Paling tidak ada kontroversi dengan pengakuan Nola, murid sebuah SMU di Dago. "Saya cuma mau kencan sama pria yang keren dan berselera tinggi," katanya.

Serupa dengan Dian, Nola memang tak mempermasalahkan tarif kencan, bahkan bisa gratis. "Yang penting mau nraktir di restoran yang kelasnya oke, terus mau beliin baju dan yang pasti punya mobil yang asyik buat jalan-jalan," kata Nola yang ceplas-ceplos ini.

Lantas Nola mengakui bahwa untuk menyenangkan dirinya itu tidak jarang seorang lelaki harus mengeluarkan dari koceknya Rp 300 ribu - Rp 500 ribu. "Heran juga, kok mereka nggak keberatan, padahal kalau mau murah juga banyak," kata Nola yang semampai dengan kulit putih mulus ini.

Para ABG yang dapat 'dipakai' ini umumnya mudah dikenali dengan dandanan mereka yang ngetrend dengan baju pendek sehingga kelihatan pinggang dan pusarnya, atau menggunakan rok mini yang modis. Meskipun sama-sama seksi, biasanya sangat berbeda dengan pelacur senior dari cara merias wajah.

Para ABG biasanya tidak tampil terlalu menor atau make up kelewatan tebal. Mereka masih dengan gaya muda ceria. Selain itu para ABG lebih pintar memantas-mantas diri sesuai dengan mode yang lagi in.

Perbedaan lainnya, mereka pun tidak pernah menawar-nawarkan diri, entah karena memiliki kepercayaan diri yang tinggi alias pe-de, karena umumnya memang cantik alamiah, atau karena memang itu 'kiat' pemasarannya. Yang pasti, para ABG ini biasa bergerombol dan asyik dengan dunia mereka sendiri, sampai ada yang mengajak berkenalan dan berkencan. Saat itulah mereka menjadi sama dengan umumnya wanita bayaran.

Meskipun tarif mereka sering lebih murah, para ABG 'pemuas nafsu' ini lebih nyaman berpraktek ketimbang para senior yang lebih 'profesional'. Para ABG hampir tidak pernah dirazia polisi. Mungkin karena mereka tampak seperti anak-anak kemarin sore yang terkesan masih ceria bermain di pusat keramaian Kota Kembang.

Medan - Sumut
Di Medan, 'Onces' Mengincar 'Tubang'
BRONCES atau onces itu panggilan khusus untuk pelacur ABG di Medan. Di kalangan onces pun memberikan istilah tersendiri pula untuk mangsanya. Tubang (tua bangka) tapi tebal kocek.

Tubang yang istilah umumnya adalah "om senang" incaran para onces, di plaza atau lantai disko. Biasanya tempat yang disenangi remaja Medan adalah Ari King-King di Hotel Dano Toba, atau House Musik di Jl Perdana Medan, dan masih ada beberapa tempat lainnya.

Dentuman musik yang menggema di Ari King-King Discotiq, membawa suasana malam yang semakin dingin itu menjadi hangat. Tiga ABG di salah satu sudut lantai disko asyik terus bergoyang, matanya terus melahap semua pengunjung yang datang. Mereka bergaya meliuk-lukkan tubuhnya agar menjadi perhatian tamu yang baru datang.

Masuk Ari King-King memang harus waspada bagi yang belum biasa, sebab bisa-bisa terjebak dalam kelompok khusus pengguna ekstasi atau shabu. Yang pasti penggemar dua jenis narkoba itu setiap masuk tempat hiburan pasti membawa serta barang tersebut.

Pengunjung yang ingin onces biasanya menghidupkan korek api, pelayan pun datang. Pesan minuman, sekaligus onces. Para onces yang sejak tadi terus mengamati arah hidupnya api geretan, memberi kode pada sang pelayan. Lewat gerak bahasa kepala, meski dalam situasi remang-remang itu si onces mengerti yang mana yang dikehendaki. Malam itu, tiga onces sepertinya sudah terlalu lama bergoyang namun belum ada tawaran. Mata mereka semakin liar. Sebab malam sudah semakin larut.

Begitu menerima kode dari sang pelayan, mereka serentak memandang. Ternyata yang tinggi semampai berjins ketat warna cokelat tua, dengan blus ngepas putih, rambutnya tergerai sebatas pinggang, ada giwang kecil di telinganya, yang dapat tawaran.

Ita, 17, nama onces yang cakep itu. Diajak ngobrol dia langsung akrab, dan bercerita apa adanya. Ita tak segan mengemukakan asal mulanya dia terjun ke dunia yang digelutinya.

Tujuan pertama karena Ita ingin senang dan ingin menikmati semuanya. Kalau tidak, cuma bisa lihat di televisi. ''Ita kan kepingin mewah, beli pakaian mahal. Ngarepin dari bokap, wah nggak bakalan, ah.... Tapi sampai sekarang juga mereka nggak tahu kok,'' katanya.

Ita yang mengaku masih duduk di kelas III salah satu SMU Swasta di Medan mengaku, pertama kali di-booking seorang tubang. Selama tiga hari, Ita dibayar Rp 1 juta. Seperti disambar geledek rasanya Ita menerima uang sebanyak itu. Sementara selama ini untuk sekolah saja pun terus sulit biaya.

Ayahnya juga pegawai di sebuah bar kecil kawasan Nibung Raya, Medan, seperti kurang perhatian pada keluarga. Ita saat itu kelas II SMU, tiga lagi adiknya menunggu. Ibunya sering sakit-sakitan. Dia pernah bertanya kepada temannya yang hidupnya kelihatan mewah. Ternyata melakukan cara itu.

''Kegadisanku dibayar Rp 1 juta. Tapi aku rela. Semuanya demi hidup. Diam-diam aku bayar semua keperluan sekolah adik-adikku. Untuk menutupi pekerjaan di mata orang tua, aku mencoba mengambil pakaian jadi, dan menjualnya secara cicil, kepada tetangga dan teman-teman. Aku libatkan dua adikku untuk mengutip cicilannya. Tak ada orang yang mencurigaiku. Sambil menjajakan pakain, aku juga bersedia jika diajak 'ngamar'. Sering itu terjadi," katanya.

Ada om membeli satu kemeja, dan sepasang kaus kaki seharga Rp 500.000,- berikut dirinya. Atau terkadang Rp 200.000,- pun jadi. Bahkan di bawah tarif itu juga pernah. Yang penting saku dapat uang dan senang. Jalan ke mana saja, makan enak, tidur di tempat yang luks dia jalani. "Kalau tidak pulang alasanku, keluar kota."

Tapi belakangan ini Ita mulai bosan dengan cara itu. Ia ingin naik kelas, dan mulai masuk diksotek satu berganti ke diskotek lainnya di kawasan Kota Medan. Dagangannya pun mulai dipegang adiknya.

Kalau di diskotek sebenarnya uang tidak terlalu banyak, kalau sabar memang ada. "Tapi aku senang bisa dapat ekstasi gratis, yang penting kita mau gabung, untuk on. Kalau sudah on kita bisa lupa yang lain, jadi duitnya apes. Aku sih... selalu ingat, bahwa aku berbuat semua ini untuk uang. Jadi untuk on, aku ikut kalau kepingin," katanya.

Ita malam itu kebetulan masih menunggu temannya yang biasa memberinya ekstasi. Sambil mengisap rokok putihnya dalam-dalam, lalu mengepulkan asapnya ke udara. Dia bercerita tentang awal perjalanannya sampai ke dunia bonces, yang tidak diketahui sampai kapan bisa ditinggalkannya. Ketika itu Ita masih di kelas II dan sangat perlu uang. Tidak tahu ke mana lagi mau diminta. Seorang teman menyuruh Ita menemui Tante May di kawasan Jl Mandala By Pass, Medan.

Ita datang dan langsung minta kerja, May paham akan perminaan Ita. May minta Ita berjanji tidak bakal ada tuntutan di belakang hari. May membawa Ita ke Deli Plaza, kenalan dengan seorang tubang. Awalnya Ita ngeri melihat orangnya, ternyata dia baik hati.

Ita selalu memberi advis baik kepada calon pembeli, seperti lebih dulu menghidupkan korek api bila calonnya ingin merokok. Merapatkan duduk dengan menempelkan payudara di lengan si pria. Sesekali Ita mencium leher tepat di bawah telinga teman duduknya, atau meletakkan lengannya di paha. Tapi ada juga pria yang cukup dengan kerdipan mata, dan tatapan manja. Ita juga mengaku, tak semua pira gampang digoda. Satu kali Ita pernah kena batunya, letih menggoda, pria itu tetap tegar.

"Orangnya ganteng, perlente, dan tebal kocek. Tak satu pun onces yang berusaha merayunya berhasil, semua gagal. Akhirnya kalau pria itu ke Ari King-King kita hanya memandang dari jauh. Tapi pria itu juga mau memberikan kita uang, karena sudah menemaninya. Lumayan juga, untuk ongkos taksi," katanya

Ita mengaku, tujuannya memang uang dan kemewahan, tapi tetap ingin sekolah. Minimal tamat SMU, buat bekal, suatu ketika sudah tak berada di dunia onces lagi.

Ita sudah pernah aborsi. Tapi hamilnya baru satu bulan, biayanya waktu itu Rp 1,5 juta. Istirahat dua minggu, lalu bekerja lagi. Tapi Ita tetap sekolah, hanya tiga hari permisi, alasan sakit. Kepada orang tuanya, Ita beralasan mens datangnya tersendat, jadi terlalu sakit. Ibunya malah membuatkan jamu agar haidnya lancar.

"Itu adalah pengalaman yang tidak bisa saya lupakan. Untuk menjaga agar tidak hamil saya lakukan dengan suntikan. Sampai sekarang masih aman," katanya.

Perasaan Takut Memang Selalu Ada
CICI, 15 tahun, seorang pelajar SLTP swasta kelas III yang kost di kawasan Jl Gatot Subroto, Medan, awalnya terjun ke dunia pelacuran karena kehabisan uang, sementara kiriman dari orang tuanya di Tanah Karo sudah habis untuk berfoya-foya.

Untuk menghilangkan suntuk, suatu hari Cici nongkrong di Olympia Plaza, Medan. Tak sadar ada seseorang berdiri di sisi Cici ketika ia sedang asyik melihat-lihat satu blus bagus dan mahal. ''Cantik ya... mau?'' kata orang itu, Cici senyum. Pria itu menyuruh Cici mengambilnya, sambil membujuk. Cici pun mengambil pakaian itu. Lalu berkenalan dan mereka makan.

Setelah itu Cici di bawa ke kota dingin, Brastagi. Satu malam Cici bersama pria perlente dan ganteng itu. Setelah malam pertama Cici menangis karena takut hamil dan rasa sakit ketika pipis. Dia membujuk sambil memberi Cici uang, untuk membeli obat antihamil dan krem olesan supaya tidak perih. Jumlahnya, lumayan Rp 300.000. Kesulitan Cici pun teratasi.

Perasaan takut memang selalu ada, tapi karena 'lukanya' sudah sembuh, Cici jadi ketagihan. Terus sering mangkal di plaza itu, berganti-ganti pasangan siapa saja yang mengajak. Sejak itu Cici tidak peduli lagi, kapan pun kiriman orang tuanya datang.

Kalau tidak di plaza, Cici mangkal di Copa Cobana. Di tempat itu Cici tidak perlu jauh-jauh kalau ada yang minta, sebab sudah tersedia kamar berikut segala makanan yang ingin dipesan. Dengan musiknya juga enak di tempat itu.

Di Copa, memang onces-nya hampir seluruhnya sebaya Cici. Di tempat ini tak semua bisa diajak ngamar. Ada yang hanya untuk peci-peci saja. Artinya sebatas peluk cium. Umumnya tamu yang datang ke Copa Tubang yang sudah pantas dipanggil eyang oleh onces. Banyak yang berbadan gemuk, minta diladeni semuanya. Kata Tia, teman Cici yang spesialis peci.

Tia memang perlu penampilan dan gaya, meskipun orang tuanya tergolong menengah. Tapi karena Tia ingin yang lebih, lalu mencari jalan sendiri. Tia mengaku sudah tiga bulan di Copa, dan bisa mejeng, dan bisa beli apa saja. Kalau omnya baik, uang tipnya lumayan, Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Kalau ada yang mengajak, Tia selalu berterus terang, masih ingin sekolah, dan selalu mengingatkan si om akan anaknya yang sebaya dengannya. Karena Tia ingin cari biaya seolah. Biasanya om itu kasihan melihat Tia.

Tia penampilannya selalu dengan rok mini, dengan pakaian dalam di lapisan celana short ketat yang sulit dibuka. Dan tidak bisa di-obok-obok. Tapi untuk pinggang ke atas, memang Tia mempersilakannya. Tia merasa senang, pulang sekolah ke Copa, banyak teman. Orang tua mengiranya tetap les bahasa Inggris. "Memang saya tetap hapal, bila ditanya ayah, tetap bisa menjawab," katanya.

Jadwal les yang lima kali seminggu, paling satu atau dua kali diikuti. Kadang dalam seminggu sama sekali tidak masuk, tergantung selera. Tapi ke Copa, Tia jarang berseragam sekolah karena pernah dilarang, dulu temannya pernah kena razia dengan seragam itu.

Cici dan Tia memang berteman setelah kenal di Copa. Cici kost bersama 12 orang di satu rumah. Ibu kostnya tidak pernah curiga karena sebelumnya Cici memang sering ke luar rumah untuk les, atau kerja kelompok. Karena teman kelompoknya juga sering ke tempat Cici dan ada yang bermalam. Tapi teman-temannya ada yang mulai usil melihat penampilan Cici yang terus-menerus ganti baju mahal. Untuk menyumbat mulut rekannya, Cici tak segan meminjamkan baju, sepatu, tas atau sandal, bagi teman kostnya yang ingin gaya. Ada juga yang tahu kalau Cici anak orang kaya di kampungnya.

Pengalaman Yuni, 16 kelas II SMU swasta dan kelompoknya yang berlima lain lagi. Mereka mangkal di kafe tenda depan Stadion Teladan Medan. dari tempat itu mereka biasa dijemput mobil. Dan kalau Yuni dan rekan belum tiba, pemilik kafe yang masih bujangan itu selalu memberi penjelasan kepada si penjemput. Ataupun meneelpon Yuni lewat telepon umum. Yuni dan rekan tampil masih dalam seragam sekolah.

Mereka biasa ganti pakaian di toko atau plaza, setlah dibelikan si om, atau ada juga pria-pria muda. Tapi mereka lebih senang dengan om karena duitnya diobral, "kita bebas mau makan apa saja," katanya.

Yuni selalu mengenakan tas besar, baju dan sepatu masuk di dalamnya. Sebelum pukul 19.00, Yuni sudah harus pulang. Karena jam itu adalah waktunya pulang les. Yuni selalu berganti baju di mobil. Dan menyimpan pakaian barunya ke dalam tasnya. Bila orang tua bertanya, asal baju tersebut Yuni menjawab ringan, ''Beli di Monza, hanya Rp 5.000 pakai uang jajan."

Di Medan memang dikenal, Monza (Mongonsidi Plaza), tempat berdagang pakaian bekas impor. Di sini banyak pakaian berkualitas tinggi kalau rajin memilih harganya murah, karena bekas. Yuni selalu membuat pakaian baru itu lecek, (kumal) dan menyimpan mereknya. Bila sudah dicuci dua atau tiga kali, dipasang kembali. Tak da yang tahu, kalau yang tahu kalau Yuni sudah punya gaun mahal.

Uang bagi Yuni nomor dua, yang penting punya barang-barang mahal, minimal buat koleksi.

Sementara Rose, 19, mahasiswi salah satu PTS di Medan lain lagi ceritanya, keluarganya cukup terpandang dalam bidang ekonomi, tapi Rose suka pesta seks dengan sabu-sabunya. Sekarang Rose lagi istirahat karena sakit. Ia mengaku kena sakit kelamin dan kecanduan narkoba. Rose dengan kelompoknya sering ke Fire Diskotek Thamrin Plaza, kalau mau, mereka cari hotel mewah. Sampai delapan orang satu kamar. Setelah masing-masing puas, mereka pulang esok paginya.

Uang, mobil, pakaian, bagi Rose tidak masalah, tapi Rose ingin bebas, mencari kenikmatan tanpa ikatan. Hampir semua hotel berbintang, sudah dijelajahi Rose dan kelompoknya delapan orang. Mobil mereka dari mulai Daihatsu Rocky, sampai Suzuki Vitara, dan Mercy.

Tapi mereka gandrung ekstasi. Yang dicari Rose gadis berkulit kuning langsat dengan rambut dicat pirang sebatas pinggang itu, semata hanya kepuasan dan kebebasan.

Tempat mangkalnya di mana saja yang mereka senangi, sering juga di kafe tenda, sebab semua mereka menggunakan HP dan pager, mudah dihubungi. Mereka kelompok kelas tinggi.

Kalau Rose naksir cowok teman sekampusnya, kelompok ini berupaya menjebaknya agar ikut bersama mereka. Biasanya Rose dibantu rekan-rekannya dan sering kali berhasil. Biasanya kalau ingin tukar pasangan selalu sama-sama. Bagi pasangan baru, tidak akan bisa lepas sebelum mereka betul-betul puas.
Tamat
-

Arsip Blog

Recent Posts