Menjelang Senja Hari di Pelacuran Lor 13 Geylang

Pelacuran di negara modern seperti Singapura ternyata lebih terbuka. Mereka tidak dilokalisasikan, tapi menjajakan dirinya di pinggiran jalan, dan bahkan di tengah kota seperti Orchad Road.

Pengunjung pujasera di pojok Lorong 13 Geylang pada 3 Juli lalu ramai. Semua kursi yang tersedia terisi pembeli. Menjelang senja itu mereka ada yang makan dan minum bir. Meja di dekat jalan yang cukup menarik perhatian. Dua pasangan sejoli terlihat mesra sekali. Si cewek yang mengenakan baju ketat menyuapi lelaki setengah abad-an. Cewek di meja belakang juga begitu. Sesekali dua cewek berparas cantik ini bercanda sambil bahunya bersentuhan dengan teman lelakinya. Sesekali juga dua amoi tadi menuangkan bir bila sudah habis di gelasnya.

"Uhhh... begitu ya cara dia melayani lelakinya," ujar Nooraini dengan logat bahasa Melayu Singapura, mengomentari pekerja seks komersial di kawasan Geylang tersebut.

Seratus meter masuk jalan itu, seorang cewek sedang menyetop taksi. Kepalanya lalu masuk sela pintu taksi sebelah kanan, sedang tangan kanannya memegang kaca reben. Ia dan supir taksi lantas terlibat pembicaraan. Tak tahu apa yang dibicarakan.

Sementara pantat montoknya digoyangkan ke kanan dan kiri hingga paha mulusnya kelihatan. Setiap orang yang melintas, matanya melirik ke wanita tersebut. Si seksi itu akhir masuk ke dalam taksi. Sekejab mobil sedannya berhambus, dan hilang di ujung Lorong 13.

Tak jauh dari situ ada empat cewek seksi berdiri di pinggir jalan. Mereka mengenakan pakaian tank top. Baju bagian depan terbuka dan sedikit nampak menyembul payudaranya.

Di antara mereka terlihat membedaki wajah, ngasi roll on ke tiaknya, dan nyisir rambut. Setelah berdandan mereka pun merumpi sambil menunggu lelaki hidung belang yang mau menggaetnya.

Di ujung Lorong 13, seorang cewek terlihat bersandar di dinding minimarket. Ia hanya diam dengan matanya memandang jalan. Cukup lama cewek berbaju putih itu bertahan di situ. Matanya terkadang melirik pembeli di pintu masuk minimarket pas di samping kirinya. "Itu dia juga (pelacur)," tukas Nooraini menunjuk ke arah wanita Chinase itu.

Malamnya sekitar 20.00 waktu setempat seorang wanita sedang menelepon di depan Hotel Hyatt, Orchad Road. Dia mengenakan baju putih yang terbuka lebar di bagian belakang. Di punggungnya ada tato besar yang menutupi setengah badan. Di depan, baju cewek berparas manis itu sedikit terbuka hingga belahan payudaranya terlihat. Tapi sekejab kemudian wanita berkulit Indonesia itu berlalu. "Saya tak tahu," kata Zaitun, pegawai di sebuah instansi Singapura saat menjawab apakah wanita bertato tadi pelacur atau bukan. Warga jiran tersebut hanya tersenyum kala berpapasan dengan cewek yang pakaiannya menggoda lelaki. Di Singapura, pelacur seperti di atas jumlahnya ribuan orang. Kupu-kupu malam di sana berasal dari Usbekistan, Filipina, Thailand, Indonesia, Vietnam, dan lokal. "Tapi kebanyakan Chinase seperti di lorong tadi," kata Noor, salah seorang supir suatu instansi di Singapura.

Memang di sepanjang Lorong 13 tak kelihatan pekerja seks komersial selain Chinase. Pelacur-pelacurnya umumnya bermata sipit dan berkulit putih bersih. Mereka, warga lokal biasanya mangkal di pinggiran kiri-kanan badan jalan.

Kala malam deretan wanita berdiri di pinggiran jalan itu. Di tempat pelacuran yang sudah ada pada tahun 1819 itu tinggal milih, yang berparas cantik atau yang manis. Bila cocok bayaran langsung bisa go head. “Di sini kalau malam ramai. Mereka akan melambai-lambai tangannya,’’ ujar Nooraini yang masih berdarah Bugis, Sulawesi itu.

Sebenarnya bukan hanya Lorong 13 saja, tempat mangkal cewek nakal. Lorong 10, dan 12 misalnya, adalah tempat pelacur-pelacur Indonesia yang berasal dari Kepri terutama Batam. Cuma mereka ada pada akhir pekan. Yaitu Jumat, Sabtu, dan Minggu. Sisa hari lainnya, mereka 'berjual' di Batam.

Mereka ini 'go internasional' bukan karena sudah laris di pasar lokal, tapi terhimbas dari penutupan perjudian. Sebab, sejak penutupan permainan 303, kehidupan malam di Batam jadi mati. Warga Singapura yang biasa didampingi cewek saat mengadu nasib di ketangkasan tidak lagi ada. Akibatnya, tempat usaha keraokean, massage dan tempat hiburan lain banyak yang gulung tikar. Makanya, pekerja seks komersial tadi berlabuh ke negara tetangga yang cukup ditempuh 45 menit saja.

Tarif pelacur jalanan di negeri jajahan Raffles ini bervariasi. Mulai 30 hingga 80 dolar Singapura. "Untuk short time ya sekitar tiga puluh Sin dolar," tegas lelaki yang beristri orang Malang, Jawa Timur itu.

Tarif segitu lumayan besar bila dirupiahkan. Ya, sekitar Rp200 ribuan. Ini tentu sangat jauh tinggi dibanding tarif di Lokalisasi Batu 15, Tanjungpinang dan Payalabu di Karimun. Atau pun Lokalisasi Samyong Batam. Rata-rata sekali short time, pelacur lokalisasi ini hanya berkisar Rp75-Rp100 ribu. Bahkan perawan saja hanya dibayar Rp150 ribu.

Penjaja seks di lokalisasi Tanjungpinang, Batam, dan Karimun umumnya ditempatkan pada satu kawasan yang tertutup. Mereka 'diasramakan' yang dijaga ketat mami dan centengnya. Dan saat transaksi harus melalui mami. Duit kencannya pun harus disetor dulu ke germo. Kalau yang sudah lama, tentu pelacurnya dapat bagian duit. Tapi yang baru jangan harap dapat uang. Alasan bosnya, si wanita tuna susila ini wajib melunasi hutangnya dulu. Yaitu biaya makan, sewa rumah, dan biaya perjalanan dari kampung sampai ke lokalisasi.

Itu untuk kelas bawah. Kalau pelacur kelas menengah juga ada. Mereka ini berada di ruko-ruko di tengah kota. Seperti di Batam,yaitu sekitar pertokoan Nagoya dan Jodoh. Sedangkan Karimun, misalnya di Kapling atau di tempat pijat plus. Dan di Tanjungpinang, kawasan pertokoan Bintan Plaza.

Pelacur ini sering disebut cewek aquarium. Karena kelas menengah,tarif kencan kilat cukup lumayan besar, sekitar Rp200-Rp300 ribu. Sedangkan long time sekitar Rp500-Rp800 ribuan. Ssst... itu belum masuk biaya kamar hotel ya.

Sumber : http://mahirakoe.multiply.com
-

Arsip Blog

Recent Posts