Arti dan Fungsi Upacara Daur Hidup Pada Masyarakat Betawi

Berlangsungnya suatu sistem akan sangat bergantung pada kemampuan unsur-unsurnya dalam memenuhi fungsinya masing¬-masing, karena kesatuan fungsional unsur-unsur inilah yang membentuk bangun suatu sistem. Apabila salah satu unsurnya terganggu dan tidak berfungsi lagi, maka bangun sistem itu pun secara keseluruhan akan mengalami gangguan. Demikian pula halnya dengan kebudayaan. Keberadaan dan kelangsungan suatu kebudayaan akan sangat bergantung pada kemampuan fungsional dan eksistensial dari unsur-unsurnya.

Bila kita merujuk pada konsep unsur-unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, yang mengemukakan 7 unsur kebudayaan yang universal (cultural universal), di mana sistem kepercayaan merupakan salah satu dari ketujuh unsur tersebut, maka persoalan mengenai upacara-upacara daur hidup merupakan bagian dari sistem kepercayaan. Namun demikian, aktifitas upacara daur hidup ini pun tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial, bahasa, kesenian, sistem hukum dan unsur-unsur budaya lainnya, karena semua unsur-unsur ini terdapat aktifitas upacara-upacara tradisional, khususnya upacara daur hidup. Dalam kenyataannya, memang di antara ketujuh unsur kebudayaan itu berada dalam suatu hubungan fungsional dari eksistensial, di mana unsur budaya yang satu tidak dapat.di paskan dari unsur budaya lainnya; dan keberadaan salah satu unsur melengkapi keberadaan unsur budaya lainnya. Ini adalah salah satu teori yang dapat menjadi landasan dalam menganali¬sis masalah kebudayaan dan unsur-unsurnya, termasuk upacara¬-upacara daur hidup.

Dalam pada itu, wujud suatu kebudayaan pun dapat ditinjau dari 3 aspek, yaitu : pertama, wujud kebudayaan sebagai tata¬kelakuan atau sistem ide. Dalam hal ini, kebudayaan dapat dilihat sebagai kompleks norma dan nilai-nilai yang mengatur dan me¬latarbelakangi serta menjadi pedoman bagi setiap pendukung kebudayaan yang bersangkutan dalam mewujudkan tindakan¬nya. Dalam wujud ini, kebudayaan merupakan sesuatu yang abstrak, dan hanya dapat dilihat melalui gejala-gejala yang nampak.

Kedua, wujud kebudayaan sebagai kompleks tingkah laku manusia. Kebudayaan dalam wujud ini dapat dilihat sebagai kompleks dan pola-pola aktivitas yang merupakan manifestasi dari kompleks nilai yang berada di balik perilaku. Perilaku di sini merupakan gejala-gejala yang dapat diamati dan dapat di¬observasi melalui pengamatan terhadap berbagai bentuk akti¬fitas, seperti aktifitas upacara, kesenian, pola-pola interaksi, dan sebagainya.

Ketiga, wujud kebudayaan materi (material culture). Dalam • wujud ini kebudayaan nampak sebagai benda-benda budaya, karya-karya seni, bangunan/arsitektur, dan sebagainya. Ketiga wujud kebudayaan ini berada dalam suatu pola hubungan siber¬netik, di mana unsur bagian bawah membangun unsur bagian alas, yang secara keseluruhan menampakkan bangunan suatu ke¬budayaan.

Teori ini pun dapat dijadikan landasan menganalisis kebu¬dayaan dan unsur-unsurnya, termasuk upacara-upacara tradi¬sional. Dengan bertolak pada kedua teori inilah, upacara-upa¬cara data hidup pada masyarakat Betawi dianalisis dan diungkap¬kan nilai nilai hudayanya.

Pandangan Orang Betawi mengenai Upacara Daur Hidup
Bahwa setiap kebudayaan memiliki persepsi tersendiri ter¬hadap masalah masa-masa krisis dalam kehidupan manusia. Demikian pula halnya dengan masyarakat Betawi. Mereka mempercayai bahwa ada tahap-tahap tertentu dalam perjalanan hidup manusia yang dipandang sebagai masa kritis. Pada saat-saat demi¬kian, individu yang bersangkutan dipandang sangat riskan, dan ia berada dalam masa transisi dari satu tahap kehidupan ke tahap berikutnya, sehingga diperlukan aktifitas-aktifitas atau upacara¬-upacara tertentu untuk menangkal dan menghindari kemungkin¬an gangguan yang akan datang pada individu yang bersangkutan. Aktifitas-aktifitas ini dimanifestasikan dalam bentuk upacara daur hidup. Di antara masa kritis yang dipandang penting oleh orang Betawi untuk diantisipasi adalah masa bayi di dalam kan¬dungan, khususnya pada usia kehamilan tujuh bulan, masa kanak-¬kanak, dan masa memasuki jenjang kehidupan rumah tangga. Masa-masa kritis ini selalu diperingati dengan penyelenggaraan upacara, yang tujuannya bukan saja untuk mengantisipasi terhadap bahaya atau kemungkinan gangguan yang akan mengenai individu yang bersangkutan, melainkan juga sebagai ungkapan rasa ber¬syukur dari individu maupun pihak keluarganya, karena ia telah selamat melampaui tahap hidup yang telah dilaluinya.

Sesungguhnya, banyak makna dan arti dan penyelenggaraan upacara-upacara daur hidup yang biasa dilaksanakan oleh orang Betawi, yang kaitannya erat dengan jenis upacara itu sendiri, dan dengan masa-masa kritis yang dipandang penting oleh masya¬rakat Betawi.

Beberapa jenis upacara daur hidup yang dipandang penting oleh orang Betawi, seperti upacara kehamilan, upacara Khatam Al Quran, upacara khitanan, dan upacara perkawinan. Upacara-upacara ini dipandang penting dalam siklus hidup orang Betawi. Berikut ini penjelasan lebih lanjut dan pelaksanaan upacara-upacara ter¬sebut, berupa uraian analitis.

1. Upacara Nujuh Bulanin
Masa kehamilan adalah suatu masa yang dipandang sangat penting dan sangat berharga dalam kehidupan rumah tangga orang Betawi. Khususnya kehamilan anak pertama, adalah sangat diharapkan oleh setiap ibu rumah tangga orang Betawi, karena dengan mengandung bayi menunjukkan bahwa ia telah dapat memenuhi fungsinya sebagai seorang istri. Oleh sebab itu, masa ke¬hamilan ini disambut dengan penuh kegembiraan, baik oleh si istri maupun oleh suaminya, dan bahkan oleh orang tua suami istri tersebut.
Akan tetapi, di balik kegembiraan itu, terbersit pula sebercik kekhawatiran dan suami istri tersebut akan bayi yang tengah dikandungnya itu. Kekhawatiran ini pada dasamya timbul karena mereka mempunyai harapan-harapan atas anak yang akan dilahir¬kannya, dan mereka merasa khawatir kalau harapannya ini tidak terwujudkan kelak. Oleh sebab itu, masa kehamilan ini dipandang sebagai saat kritis yang akan menentukan jalan hidup si bayi kelak di kemudian hari. Oleh sebab itu pada masa kehamilan ini biasa ditandai dengan penyelenggaraan upacara-upacara tradisional.

Upacara "Nujuh bulanin" misalnya, dipandang sangat penting, karena pada usia kehamilan demikian, bayi yang tengah dikan¬dung, badannya telah berbentuk dan telah diberi roh oleh Tuhan. Dengan kata lain, pada usia demikian, si bayi sudah berada dalam keadaan sempurna. Akan tetapi, masa itu pun dianggap kritis, karena usia bayi masih terlalu muda dan dipandang sangat riskan dan mudah terkena gangguan, dan masa itu pun dipandang sebagai masa-masa pembentukan dasar-dasar watak. Oleh sebab itu, dalam upacara "Nujuh bulanin", dukun beranak, yang biasanya bertin¬dak sebagai pemimpin upacara senantiasa memberikan petuah¬-petuah, yang di dalam petuah-petuah tersebut terkandung harapan terhadap bayi yang tengah dikandung. Hal ini dapat dilihat dan bayi mantera yang dibacakan oleh dukun beranak pada waktu memimpin upacara "nujuh bulanin", yang berbunyi:

assalamaamualiakum, waalaikum salam,
sami Allah nutup iman,
masukaaken si jabang bayi,
masuk aken si putih,
si jabang bayi rep sirep sing idup putih.

bunyi mantera di atas jelas mencerminkan harapan agar si bayi ke¬lak menjalin kehidupannya di atas bumi, menempuh jalan 'putih',- yakni jalan kebenaran. Harapan ini juga tercermin pada mantra lainnya, yang biasanya diucapkan dukun beranak (paraji) pada saat mengurut perut si ibu hamil, masih dalam rangka penye¬lenggaraan upacara "nujuh bulanin", yang berbunyi:

Assalaamualaikum,
sekarang si jabang bayi lu ditutupi bulan,
supaya lu selamet menjadikan orang bener,
nantii kali udah waktu medal,
di surge yang lempeng, yang bener.

Jalan lurus dan benar yang diharapkan oleh Orang Betawi, adalah jalan hidup yang telah ditujukan oleh agama Islam, yakni menjalani perintah agama, dan taat serta patuh kepada kedua orang tua.

2. Upacara Masa Kanak-Kanak
Tibanya saat kelahiran, tidak berarti bahwa masa kritis itu te¬lah terlampaui, karena masih ada tahap-tahap selanjutnya yang juga penuh resiko dan dipandang kritis dalam perjalanan hidup manusia. Setelah bayi lahir sesungguhnya awal dari perjalanan hidupnya, maka untuk mewujudkan harapan-harapan yang dikan¬dung oleh kedua orang tuanya. Semenjak kecil si anak telah diajari dengan berbagai macam pengetahuan yang akan menuntunnya dan menjadi pedoman hidupnya kelak di kemudian hari. Pengetahuan yang diajarkan kepada si anak, selain pengetahuan budaya, adalah juga pengetahuan agama Islam. Ketika si bayi baru lahir, dide¬ngungkan azan yang biasanya dilakukan oleh ayah si bayi atau oleh kakeknya. Maksudnya tiada lain adalah untuk 'memperkenal¬kan nama Allah. Ini menunjukkan betapa kuat pengaruh agama Islam bagi kehidupan masyarakat Betawi.

Setelah anak berusia 40 hari dilakukan upacara cukur rambut yang disertai dengan "marhaban". yakni pembacaan Hikayat Nabi Muhammad S.a.w. Kembali hal ini membuktikan kuatnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan masyarakat Betawi, bah¬wa apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad S.AW. dijadikan sebagai contoh dan teladan bagi pengikutnya. Itu pula yang ingin mereka wujudkan dengan menyelenggarakan upacara cukur rambut dan "Marhaban".

Bagi kebanyakan orang Betawi, pengajaran membaca kitab suci Al Quran, dipandang sangat penting dan sangat diutamakan, karena pengetahuan membaca Al Quran dipandang sebagai dasar bagi pengajaran agama. Oleh sebab itu ada suatu upacara khusus yang menandai bahwa seseorang anak telah selesai mempelajari salah satu tahap pengajaran agama, yakni pelajaran membaca Al Quran. Upacara ini dinamakan upacara "Khatam Al Quran".

Menurut pandangan masyarakat setempat, kepatuhan terhadap agama harus ditanamkan semenjak kanak-kanak atau semenjak dini, sehingga nilai-nilai keagamaan akan tertanam dan meresap di dalam sanubari si anak. Caranya adalah dengan mewasjibkan anak-anak berusia antara 6-7 tahun pergi belajar mengaji mengirimkan mereka ke lembaga-lembaga yang mengurus masalah keagamaan. Suatu lembaga keagamaan sudah pula dibentuk secara turun temurun, yaitu mereka yang dittunjuk untuk memberi pelajaran agama sekaligus membimbing anak-anak agar mereka memahami aturan-aturan dan norma-norma agama Islam. Hal ini dipandang masyarakat Betawi sebagai kebutuhan yang mutlak, agar mereka kelak dapat menyesuaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Sebagai sarana sosialisasi, cara ini amat penting sebab memungkinkan si anak dapat membe¬dakan mana yang benar dan kelakuan mana yang menyimpang dan norma-norma keagamaan.

Upacara khatam Al Quran pada hakekatnya mempunyai tuju¬an sebagai sarana untuk memberitahukan kepada khalayak ramai, bahwa sejumlah anak telah menyelesaikan pelajaran mengaji. Mak¬sud lainnya ialah untuk memberikan penghargaan kepada anak-¬anak tersebut atas jerih payahnya belajar mengaji Al Quran. Sete¬lah selesai belajar, suatu hal yang wajar apabila para orang tuanya merasa bangga dan bahagia atas keberhasilan anak-anaknya. Oleh sebab itu dilakukanlah serangkaian upacara dan diberikannya anak-anak itu seperangkat pakaian yang maksudnya tidak lain sebagai ekspresi dari rasa bahagia mereka.

Di lain pihak, anak-anak merasa bangga sebab pada saat upaca¬ra berlangsung, mereka menjadi obyek perhatian masyarakat yang hadir dalam upacara tersebut- Sebagian orang tua akan mendorong pula untuk mengirim anaknya ke lembaga-lembaga pendidikan keagamaan tersebut supaya dapat merasakan kebahagiaan seperti yang dialamai oleh para orang tua yang tengah mengkhatamkan anak-anaknya.

Oleh karena upacara Khatam Al Quran tidak dikaitkan dengan kepercayaani terhadap makhluk halus lainnya, maka semua sesajian yang dihidangkan semata-mata hanya untuk menjamu para un¬dangan serta anak-anak yang diupacarakan. Demikian pula doa-doa yang dibacakan seluruhnya mengandung makna sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas.

Satu masa peralihan pada masa kanak-kanak yang juga dipan¬dang sangat penting adalah peralihan dari masa kanak-kanak ke ma¬sa remaja muda, yang ditandai dengan upacara khitanan. Pada ma¬syarakat pelaksanaan upacara khitanan mempunyai beberapa tujuan seperti "mengislamkan", dan sebagai media bagi si anak (individu) untuk memasuki tahapan kehidupan baru yang akan dijalaninya.

Seorang akhli folklor berbangsa Perancis, yakni Van Gennep, menyatakan bahwa dalam tahap-tahap pertumbuhannya sebagai individu, yaitu sejak ia lahir, kemudian masa kanak-kanaknya, melalui proses menjadi dewasa dan menikah menjadi orang tua, hingga saatnya ia meninggal, manusia mengalami perubahan-peru¬bahan biologi serta perubahan dalam lingkungan sosial budayanya yang dapat mempengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis men¬tal. Untuk menghadapi tahap pertumbuhannya yang baru, maka dalam lingkaran hidupnya itu manusia juga memerlulan"regene¬rasi" semangat kehidupan sosial. Selanjutnya Van Gennep menje¬laskan pula, bahwa dalam masa-masa peralihan, seseorang perlu dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan sosialnya yang baru nanti, dan karena itu dalam banyak upacara inisiasi, para anak muda yang sedang menjalani upacara itu diper¬siapkan untuk kehidupan sosialnya yang baru sebagai orang dewa¬sa dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1985 : 32-33).

3. Upacara Perkawinan
Perkawinan bagi banyak masyarakat dianggap sangat penting. Tidak terkecuali dengan masyarakat Betawi, peristiwa perkawinan dipandang sebagai peristiwa sosial dan keaga¬maan. Bagi masyarakat setempat, perkawinan bukan saja dipan¬dang sebagai peristiwa peralihan status seseorang dan status lajang (bujang/gadis) ke kehidupan berumah tangga menjadi suami istri, tetapi juga dipandang sebagai pemenuhan kewajiban agama. Oleh sebab itu, dalam upacara perkawinan tampak adanya percampuran unsur-unsur adat istiadat dan unsur-unsur agama, dalam hal ini agama Islam.

Di samping itu, perkawinan juga dipandang sebagai suatu wa¬dah atau media untuk menunjukkan gengsi kemasyarakatan (social prestige). Tidak jarang suatu upacara perkawinan dirayakan secara besar-besaran dan memakan biaya serta tenaga yang tidak sedikit. Semakin besar penyelenggaraan upacaranya, khususnya dalam perkawinan yang biasanya dibarengi dengan berbagai jenis hiburan, maka cenderung akan semakin meningkat status keluarga tersebut di mata masyarakatnya. Selain itu, tampak pula adanya pertim¬bangan efisiensi dalam penyelenggaraan hiburan. Dewasa ini, jenis hiburan yang menjadi trend di masyarakat Betawi dalam rangka pesta perkawinan adalah pertunjukan layar tancep. Segi efisiensi dari pertunjukan ini ialah si penyelenggara tidak usah repot-repot mengurusi konsumsi dan makan teknisi. Mereka cukup mem¬berikan uang sewa film berikut upah teknisnya. Cara begini diang¬gap lebih praktis oleh mereka daripada menyelenggarakan pertun¬jukan kesenian tradisional, seperti topeng betawi, cokek, gambang kromong, dan lain-lain yang dianggap merepotkan. Sebagaimana diketahui, bahwa personil kesenian tradisional cukup banyak, sehingga tuan rumah (penyelenggara upacara) merasa repot kalau harus menjamu dan melayani mereka. Itu sebabnya mereka cende¬rung lebih memilih pertunjukan layar tancep daripada kesenian daerah mereka sendiri.

Penyelenggaraan berbagai jenis upacara daur hidup seperti yang telah diuraikan di atas, menunjukkan pandangan masyarakat Betawi terhadap masa-masa kritis yang dianggap penting dalam perjalanan hidup manusia. Inilah sesungguhnya yang melatarbela¬kangi penyelenggaraan berbagai jenis upacara daur hidup di ka¬langan masyarakat Betawi. Kenda¬ti di sana sini tampak adanya perubahan bentuk penyelenggaraan upacara, namun pada hakekatnya persepsi masyarakat dan sistem nilai yang melatarbelakangi masih tetap mereka pegang teguh.

4. Fungsi Religius dari Upacara Daur Hidup
Koentjaraningrat dalam salah sebuah buku karangannya mengemukakan tentang lima komponen religi, yaitu :

1) emosi keagamaan,
2) sistem keyakinan,
3) sistem ritus dan upacara,
4) peralatan ritus dan upacara,
5) umat agama.

Kelima komponen ini satu sama lain saling terkait dan keseluruhannya merupakan satu sistem dari sistem religi.

Emosi keagamaan yang menggetarkan jiwa manusia menye¬babkan manusia mempunyai sikap serba religi. Sistem keyakinan menggambarkan gagasan dan konsepsi manusia tentang Tuhan, tentang alam gaib, alam akhirat, roh-roh nenek moyang. Sistem keyakinan juga menyangkut sistem nilai dan sistem norma keaga¬maan, ajaran kesusilaan yang mengatur tingkah laku manusia.

Sistem ritus dan upacara berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang atau mahluk-mahluk halus lainnya. Sistem ritus dan upacara juga merupakan manifestasi hubungan manusia dengan Tuhan dan kekuatan-kekuatan supernatural.

Dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan ber¬macam-macam sarana dan peralatan, serta para pelaku yang tidak dalam keadaan keseharian, melainkan dalam keadaan yang dianggap serba suci dan bersih, termasuk dalam berpakaian.

Komponen kelima adalah umat beragama, yang bisa berwujud sebagai keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatan yang lebih luas, kesatuan komunitas, seperti desa, dan organisasi-organi¬sasi keagamaan.

Demikian, penyelenggaraan upacara daur hidup pada masya¬rakat Betawi tidak terlepas dan kelima komponen di atas. Ada suatu perasaan tidak enak bahkan perasaan berdosa dari masyara¬kat setempat bila mereka tidak melaksanakan upacara-upacara daur hidup yang telah mentradisi di kalangan mereka. Ini terjadi karena telah begitu mendalamnya tradisi tersebut di dalam diri masing-masing individu, sehingga tidak menyelenggarakannya dirasakan sebagai suatu penyimpangan dan akan berakibat dosa.

Dalam kaitannya dengan sistem keyakinan, kekhawatiran yang mereka rasakan, mereka hubungkan dengan kekuasaan Tuhan dan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga isi kekhawatiran mereka bilamana tidak menyelenggarakan upacara daur hidup adalah takut terkena bencana dan malapetaka. Untuk menghindari malapetaka yang mereka yakini bakal menimpa, maka mereka pun melaksanakan upacara-upacara sebagaimana yang dituntutkan oleh adat dan oleh sistem kepercayaan mereka. Selain itu, penyelenggaraan upacara-upacara itu pun dianggap sebagai wujud bakti mereka kepada Tuhan yang mereka yakini.

Upacara-upacara daur hidup yang dilaksanakan oleh masya¬rakat Betawi cenderung lebih bersifat keagamaan yang didominasi oleh agama Islam. Oleh sebab itu, dalam penyelenggaraannya tidak banyak peralatan upacara yang dikaitkan dengan kepercayaan mereka terhadap arwah-arwah nenek moyang maupun kekuatan-kekuatan gaib lainnya, selain kepada Tuhan.

Penyelenggara upacara, bergantung pada jenis upacara yang dilaksanakan. Bila yang dilaksanakan adalah upacara kehamilan, maka yang bertindak sebagai penyelenggara adalah keluarga inti, yakni suami istri yang bersangkutan. Pihak kerabat terdekat khususnya orang tua kedua belah pihak, senantiasa terlibat dan ikut andil sebagai penyelenggara. Mereka biasanya tidak hanya menyumbangkan tenaga dan pikiran, melainkan juga biaya ikut menanggungnya. terlebih lagi bila upacara yang diselenggarakan adalah upacara perkawinan.

5. Fungsi Sosial dan Upacara Daur Hidup
Dan hasil analisisnya mengenai ritus dan upacara peralih¬an pada umumnya, berdasarkan data etnografis dari seluruh dunia, Van Gennep sampai pada kesimpulannya yang mengatakan, bah¬wa : ritus dan upacara religi secara universal pada dasarnya ber¬fungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat.

Pendapat di atas juga dapat diterapkan pada masyarakat Betawi. Penyelenggaraan berbagai jenis upacara daur hidup pada masyarakat setempat, selain mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial yang menonjol dari penyelenggaraan upacara daur hidup di antaranya adalah untuk membangkitkan emosi kemasyarakatan, serta sekaligus berfungsi sebagai sarana kontrol sosial. Dalam pelaksanaan upacara daur hidup, tampak adanya rasa kesatuan dan persatuan dari tiap-tiap anggota masya¬rakat maupun para kerabat penyelenggara upacara. Kebutuhan tenaga yang cukup besar dapat diperoleh melalui bantuan yang diberikan oleh para tetangga maupun kerabat. Di sini solidaritas sosial tampak menonjol.

6. Fungsi -Fungsi Kepariwisataan
Dalam era pembangunan dewasa ini, di mana semua sektor digiatkan guna menunjang proses pembangunan nasional di segala bidang, masalah kepariwisataan menjadi cukup penting dan strategis. Dalam upaya mengembangkan sektor kepariwisataan, aspek kebudayaan merupakan penunjang yang sangat penting.

Sebagaimana di maklumi hahwa panorama Indonesia yang indah dan nyaman menawarkan asset kepariwisataan yang dapat meningkatkan pendapatan negara. Selain itu, kekayaan budaya Nusantara juga tidak kalah menariknya dengan wisata alam, dan dapat mengundang wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Berbagai jenis upacara tradisional yang dimiliki oleh semua suku bangsa di Nusantara, adalah modal wisata budaya yang perlu terus dikembangkan. Modal ini cukup potensial, mengingat yang menjadi sasaran para wisatawan adalah "keanehan-keanehan" yang lain dari suasana di lingkungan budaya mereka.

7. Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Upacara Daur Hidup
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa kebudayaan dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu aspek tata kelakuan sebagai kompleks nilai, wujud kelakuan sebagai pola-pola tindakan, dan sebagai wujud benda (kebudayaan materi). Nilai-nilai budaya hanya dapat diungkapkan melalui telaahan terhadap unsur-unsur yang nampak atau menggejala. Demikian pula nilai-nilai yang terkandung di dalam penyelenggaraan upacara daur hidup, dapat diungkapkan melalui arti dan lambang dari setiap aktifitas maupun benda-benda upacara dalam keseluruhan sistem upacara yang bersangkutan. Berikut ini akan diuraikan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam pelaksanaan upacara daur hidup yang telah dideskripsikan di muka.

8. Nilai Kegotongroyongan
Nilai kegotongroyongan tercermin dalam pengerahan tenaga yang diperoleh secara spontanitas pada saat seseorang atau suatu keluarga akan menyelenggarakan suatu upacara daur hidup. Para tetangga terdekat maupun para kerabat, tanpa harus diundang terlebih dahulu akan datang untuk memberikan bantuan kepada keluarga yang mempunyai hajatan. Kadangkala bukan hanya tenaga yang mereka sumbangkan, tetapi juga dalam bentuk bahan makanan, seperti beras, lauk pauk, serta kue-kue seperti dodol.

Malninowsky menjelaskan, bahwa sifat kegotongroyongan bukan semata-mata tanpa pamrih, melainkan terwujud sebagai prinsip reciprosity (prinsip timbal balik) di antara sesama anggota masyarakat. Pamrih atau balasan yang akan diterima tidak datang pada saat itu, akan tetapi akan tiba pada saatnya nanti.

Bila diamati, prinsip timbal balik ini ternyata juga mewarnai bentuk kegotongroyongan pada masyarakat Betawi. Para tetangga yang datang membantu ataupun yang memberikan sumbangannya dalam bentuk bahan-bahan makanan, tidak hanya semata-mata dilakukan sebagai pemenuhan kewajiban sosial, melainkan ada tujuan tertentu, yaitu mereka mengharapkan balasan bilamana suatu saat mereka mengadakan upacara atau selamatan yang serupa, mereka juga akan mendapat bantuan dari tetangganya. Motivasi inilah yang mendorong mereka untuk memberikan sumbangannya kepada tetangga yang punya hajat.

9. Nilai Musyawarah
Pada masyarakat bangsa kita, nilai musyawarah adalah sangat diutamakan, bahkan yang menjadi ciri hakiki dari demokrasi Pancasila adalah musyawarah untuk mufakat. Nilai ini digali dari kebudayaan di daerah-daerah sehingga dengan sendirinya sudah mengakar pada tiap-tiap suku bangsa di Indonesia. Demikian juga halnya dengn masyarakat Betawi.

Nilai musyawarah untuk mufakat senantiasa diterapkan dalam kehidupan masyarakat Betawi, hal ini nampak pada penye¬lenggaraan upacara daur hidup. Seseorang individu atau suatu keluarga yang akan menyelenggarakan upacara daur hidup, akan terlebih dahulu bermusyawarah dengan kaum kerabat terdekat¬nya. Dalam musyawarah ini dibicarakan masalah pembiayaan, waktu serta segala sesuatu yang akan diperlukan kelak pada waktunya. Biasanya hasil musyawarah inilah yang akan menjadi pegangan mereka dalam melaksanakan upacara. Khususnya dalam penyelenggaraan upacara-upacara daur hidup yang berskala "be¬sar", seperti upacara perkawinan dan upacara khitanan, musya¬warah ini menjadi sangat penting, karena selain menyangkut peren¬canaan biaya, juga rencana tenaga kerja.

10. Nilai Anak
Dalam sistem kekerabatannya, masyarakat Betawi menganut sistem bilateral, artinya kerabat dari kedua belah pihak suami dan istri sama-sama dipertimbangkan dan dimasukkan ke dalam daftar kerabatnya. Jadi, bila dilihat dari sistem ini, maka pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara anak laki-laki maupun anak perempuan di mata mereka. Akan tetapi, dalam penyelenggaraan upacara daur hidup, tampaknya ada suatu perbedaan nilai dari orang tua ter¬hadap anak laki-laki dengan anak perempuan. Nilai yang dimaksud di sini adalah harapan orang tua terhadap anaknya. Perbedaan ini tampak pada waktu penanaman ari-ari (placenta). Sebelum di¬kuburkan, ari-ari perempuan diberi bumbu-bumbu dan diberi benang dan jarum, sedangkan untuk ari-ari bayi laki-laki, selain diberi bumbu juga diberi pinsil dan buku. Barangkali ini mengan¬dung makna pengharapan, bahwa anak laki-laki kelak diharapkan untuk bersekolah yang tinggi hingga menjadi orang yang pandai dan berguna, sedangkan anak perempuan diharapkan untuk men¬jadi ibu rumah tangga. Demikian pula tempat penanaman atau tempat menguburkan ari-ari tersebut ada perbedaan antara bayi laki-laki dengan bayi perempuan. Ari-ari bayi perempuan biasanya dikuburkan di samping sebelah kiri rumah atau di dekat peda¬ringan (tempat menyimpan beras), sedangkan ari-ari bayi laki¬-laki dikuburkan di samping sebelah kanan rumah atau dihanyut¬kan ke kali. Ini pun mengandung makna harapan bahwa anak perempuan nantinya supaya lebih banyak di rumah dan bekerja sebagaimana layaknya seorang ibu rumah tangga, sedangkan anak laki-laki diharapkan pergi ke luar untuk mencari nafkah.

Mungkin interpretasi ini terlalu naif dan apriori, akan tetapi adanya perbedaan ini tidak dapat dipungkiri. Dapat juga dijelas¬kan lebih lanjut, bahwa perbedaan pengharapan ini bertolak dari persepsi mereka tentang diferensiasi kerja secara seksual yang didasarkan pada pandangan mereka tentang kodrat laki-laki dan perempuan. Bahwa laki-laki kodratnya adalah sebagai pe¬mimpin dan kepala rumah tangga, sedangkan wanita adalah sebagai ibu rumah tangga.

Kesimpulan
Masyarakat Betawi, seperti juga kelompok-kelompok suku bangsa lainnya di Indonesia memiliki kekhasan budaya tersendiri yang membedakannya dari suku-suku bangsa lainnya dan sekaligus memberikan karakteristik dan identitas sebagai suatu kelompok masyarakat yang berbudaya. Kekhasan kebudayaan Betawi, nam¬pak pada penyelenggaraan upacara-upacara daur hidup. Kendati upacara daur hidup ini sifatnya universal dan ada pada hampir semua kebudayaan di dunia, akan tetapi dalam penyelenggaraan¬nya memiliki kekhasan dan keunikan masing-masing.

Penyelenggaraan upacara-upacara daur hidup selain mencirikan identitas budaya suatu masyarakat juga sekaligus memiliki fungsi¬-fungsi terapan dalam kaitannya dengan kehidupan keagamaan dan kehidupan sosial. Dalam kaitannya dengan kehidupan keagamaan, upacara daur hidup pada masyarakat Betawi, berfungsi membang¬kitkan emosi keagamaan. Emosi keagamaan ini timbul karena sistem keyakinan mereka yang didominasi oleh agama Islam, sehingga dalam pelaksanaan upacara-upacara ini lebih mencirikan unsur-unsur agama Islam.

Selain itu, nampak pula unsur-unsur adat istiadat yang telah melembaga pada masyarakat yang bersangkutan. Unsur-unsur agama dan adapt istiadat ini tampak membaur dalam pelaksanaan upacara daur hidup pada masyarakat Betawi, sehingga secara sepintas agak sulit membedakan mana yang unsur agama dan mana yang unsur adat istiadat.

Upacara daur hidup sebagai aktifitas budaya dilatarbelakangi oleh sistem nilai yang hidup dalam alam pikiran mereka. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan upacara daur hidup terkandung nilai¬nilai budaya Betawi yang dipedomani dan menjadi kerangka acuan dalam mewujudkan berbagai tindakan. Nilai-nilai budaya ini dapat diungkapkan melalui pengkajian terhadap aktifitas upacara itu sendiri serta kajian terhadap sistem perlengkapan dan peralatan yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan upacara tersebut.

Sistem nilai di sini erat pula berkaitan dengan pandangan hi¬dup masyarakat setempat mengenai tahap-tahap yang dianggap penting dalam perjalanan hidup manusia (stage along the life cycle). Dalam kerbudayaan Betawi, tahap-tahap yang dianggap penting adalah masa-masa kehamilan, khususnya pada usia ke¬hamilan tujuh bulan; masa kanak-kanak, masa mempelajari ajaran-¬ajaran agama Islam, yang ditandai dengan upacara Khatam Al Quran dan upacara khitanan; serta masa perkawinan. Semua tahapan hidup yang dianggap penting itu senantiasa diperingati dengan menyelenggarakan upacara pada tiap-tiap daur hidup.

Selain memiliki fungsi keagamaan, upacara daur hidup juga mempunyai fungsi sosial. Penyelenggaraan upacara daur hidup ternyata dapat menghidupkan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan yang dilatar belakangi oleh nilai-nilai kegotongroyongan, dan nilai-nilai musyawarah, disamping itu dapat juga mengaktifkan fungsi sosial kontrol.

Daftar Pustaka
Abdurachman, dkk., (1986) Pakaian Adat Tradisional DKI Jakar¬ta, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Depdikbud, Jakarta.

Astrid, S. Susanto (1975), Pandangan Umum, Burni Cipta, Cetak¬an I, Bandung.

Darmo Sutopo, R. (1983), "Pandangan Orang Jawa terhadap Leluhur", dalam Analisis Kebudayaan, tahun ke-4 Nomor 2.

Heru Satoto, B. (1985), Simbolisme dalam Budaya Jawa, PT. Hanindita, Yogyakarta.

Kleden, Ninuk P. (1987), Teater Topeng Betawi, Sebagai Teks dan Maknanya: Suatu Tafsiran Antropologi, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.

MCalat.oa, dkk. (1981), Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah DKI Jakarta, Proyek Inventarisasi dan Dokumen¬tasi Kebudayaan Daerah, Depdikbud, Jakarta.

Koentjaraningrat, (1967), Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta.

----,(1970), Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Penerbit Ja mba tan, Jakarta.

Koentjaraningtat, (1974), Kebudayaan, Mentalitet dan Pem¬bangunan, Gramedia, Jakrta.

Sumber :
Yunus Ahmad H. dkk., 1993, Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup pada Masyarakat Betawi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.

Ritual Masyarakat Aceh Dalam Menyambut Kelahiran Anak (suatu tinjauan kekinian)

Oleh: Cut Zahrina, S.Ag.

Pendahuluan
Penting untuk kita ingat dan kita catat bahwa strukturalisme adalah suatu paradigma dalam antropologi seperti yang telah dikemukakan oleh Levi-Strauss. Ada beberapa pemikiran teori yang juga dapat membangun pemahaman struktural menurut fokus perhatian dan arah yang berbeda. Tentu dalam hal ini kita harus kembali menyinggung konstribusi besar dari Emile Durkheim, Marcell Mauss, Ferdinand de Saussure dan ahli linguistik Swiss yang mengembangkan pendekatan struktural dalam bahasa.

Pusat perhatian lain yang penting dalam strukturalisme adalah ritual. Fungsionalis seperti Malinowski dan Radcliffe-Brown mengadopsi pernyataan Durkheim bahwa agama merefleksikan struktur dari sistem sosialnya dan fungsi untuk memelihara sistem tersebut dari masa ke masa.

Variasi mite-mite sebagaimana yang dituturkan oleh orang-orang di sekitar dipandang dapat mencerminkan perbedaan-perbedaan sistem-sistem sosial mereka. Sistem politik yang terpusat diasosiasikan dengan keyakinan pada Tuhan Yang Maha Tinggi, yang kurang memiliki makhluk-mahkluk yang lebih rendah sebagai perantara dirinya dengan manusia biasa. Sistem tersebut tidak tersentralisasi namun akan diasosiasikan dengan agama-agama di mana terdapat sejumlah dewa dengan status yang setara. Secara khusus, masyarakat yang berasaskan garis keturunan (lineage-based) seperti masyarakat Nuer dan Tallensi dapat dikaitkan dengan pemujaan nenek moyang.

Di Eropa, para antropolog yang lebih dekat hubungannya dengan Durkheim mengikuti proposisi bahwa suatu sistem kepercayaan dalam kebudayaan memiliki logika internal yang memberikan makna bagi tindakan ritual. Seperti halnya aliran Inggris, mereka bereaksi terhadap penulis-penulis sebelumnya yang menafsirkan adat sebagai survival dari yang dianggap tahap-tahap sebelumnya dalam evolusi sosial manusia.

Antropolog Inggris berpendapat bahwa kehadiran setiap adat seharusnya dijelaskan dalam konteks efek kontemporernya terhadap sistem sosial. Para penulis seperti Hertz (1960 dan van Gennep 1960 berpendapat bahwa makna setiap adat harus diangkat dideduksi dari tempatnya dalam struktur kognitif. Dalam tulisannya, The Preeminence of the right hand. Hertz, mendokumentasikan suatu kecenderungan umum di antara banyak kebudayaan untuk mengasosiasikan tangan kanan dengan kekuatan dan keteraturan, sementara tangan kiri dengan kekacauan dan kelemahan. Ia menyimpulkan bahwa oposisi struktural antara kanan dan kiri bermakna bagi oposisi yang lebih umum antara benar dan salah. Ia menganggap hal ini sebagai satu kasus kecenderungan umum bagi kebudayaan primitif untuk berpikir dalam oposisi dualistik. Dalam konteks biologi suatu kecenderungan statistik bagi banyak orang yang menggunakan tangan kanan dominan akan lebih benar daripada yang menggunakan tangan kiri ditransformasikan oleh kebudayaan ke dalam oposisi mutlak yang terisi oleh makna dalam suatu upacara. Upacara yang berkembang dalam masyarakat telah menjadi kebutuhan dan dijadikan sebagai kegiatan ritual dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam wacana ini penulis ingin mengemukakan upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Aceh dalam menyambut kelahiran anak pertama. Kelahiran manusia dapat dijelaskan dengan pengertian akan kelahiran subtansi-subtansi infrahuman yang dianggap materil bagi kelangsungan kehidupan bermasyarakat.

Perspektif Antropologi Terhadap Upacara
Upacara merupakan rangkaian kegiatan ritual masyarakat, dalam buku the Rites of Passage (van Gennep) berpendapat bahwa kejadian dalam kehidupan manusia terbagi atas tiga bagian. Ia yakin terdapatnya kecenderungan pada manusia untuk mengonsepsikan perubahan status sebagai suatu model perjalanan dari satu kota atau negeri kekota atau kenegeri yang lain, sebagaimana dikatakannya suatu teritorial passage.

Perjalanan teritorial meliputi tiga aspek yaitu pemisahan dari tempat asal, peralihan dan penggabungan ke dalam tujuan. Seperti halnya oposisi antara tangan kanan dan tangan kiri bisa berlaku lebih umum, oposisi moral. Dengan demikian perjalanan teritorial dapat berlaku bagi setiap perubahan status dalam masyarakat. Ritual kelahiran, memasuki masa dewasa, kematian, semuanya memiliki struktur yang sama. Sebagaimana ditekankan van Gennep ia ingin mengangkat ekstraksi berbagai ritus dari seperangkat upacara seremoni dan menanggapi ritus-ritus tersebut terisolasi dan mengangkatnya dari konteks yang memberi makna kepadanya dan menunjukkan posisinya dalam keseluruhan dinamika.

Masyarakat Aceh banyak mengenal berbagai macam upacara, setiap upacara identik dengan acara makan-makan yang seringkali berlangsung setelah acara seremonialnya atau dinamakan dengan kanduri. Sekarang ini upacara yang tetap berlangsung dalam masyarakat Aceh di antaranya adalah : upacara turun ke sawah, upacara tolak bala,
upacara perkawinan, upacara kehamilan anak pertama, upacara kematian dan lain-lain.

Upacara-upacara tersebut masih dipertahankan karena dibutuhkan oleh masyarakat, untuk memenuhi tuntutan adat. Menurut masyarakat Aceh, adat harus dijalankan dan dipenuhi, selain itu kita harus mematuhinya juga. Seperti pepatah Aceh menyebutkan bahwa : Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita.

Pepatah ini mengibaratkan bahwa adat dengan anak itu diposisi yang sama-sama penting, apabila anak yang meninggal itu masih ada bekasnya yaitu kuburan sedangkan apabila adat yang hilang kita tidak tahu ke mana mesti kita mencarinya. Ungkapan tersebut juga merupakan wujud kesadaran masyarakat tentang pentingnya adat-istiadat, yang telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap kelangsungan kehidupan sosial budaya masyarakat di Aceh. Bahkan bagi kalangan masyarakat Aceh, adat telah mendapat tempat yang istimewa dalam perilaku sosial dan keagamaannya. Begitulah makna adat yang dipahami oleh masyarakat Aceh sejak zaman kerajaan hingga sampai sekarang ini, apabila pada satu moment kita tidak menjalankan adat atau berupa upacara yang telah ditentukan maka yang bersangkutan merasa sedih dan dirinya merasa sangat terhina karena tidak dihormati secara adat yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Salah satu contoh adalah upacara sebelum dan sesudah kelahiran bayi, banyak sekali rangkaian upacara-upacara adat yang akan dilaksanakan. Semua itu erat kaitannya dengan adat istiadat Aceh dan juga tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah yang dianjurkan dalam ajaran Islam.

Adat Aceh Apabila Istri Dalam Keadaan Hamil
Seorang isteri pada saat hamil anak pertama, maka sudah menjadi adat bagi mertua atau maktuan dari pihak suami mempersiapkan untuk membawa atau mengantarkan nasi hamil kepada menantunya. Acara bawa nasi ini disebut ba bu atau mee bu.

Upacara ini dilaksanakan dalam rangka menyambut sang cucu yang dilampiaskan dengan rasa suka cita sehingga terwujud upacara yang sesuai dengan kemampuan maktuan. Nasi yang diantar biasanya dibungkus dengan daun pisang muda berbentuk pyramid, ada juga sebahagian masyarakat mempergunakan daun pisang tua. Terlebih dahulu daun tersebut dilayur pada api yang merata ke semua penjuru daun, karena kalau apinya tidak merata maka daun tidak kena layur semuanya.

Sehingga ada mitos dalam masyarakat Aceh kelak apabila anak telah lahir maka akan terdapat tompel pada bahagian badannya. Di samping nasi juga terdapat lauk pauk daging dan buah-buahan sebagai kawan nasi. Barang-barang ini dimasukkan ke dalam idang atau kateng (wadah). Idang ini diantar kepada pihak menantu perempuan oleh pihak kawom atau kerabat dan jiran (orang yang berdekatan tempat tinggal).

Upacara ba bu atau Meunieum berlangsung dua kali. Ba bu pertama disertai boh kayee (buah-buahan), kira-kira usia kehamilan pada bulan keempat sampai bulan kelima. Acara yang kedua berlangsung dari bulan ketujuh sampai dengan bulan kedelapan. Ada juga di kalangan masyarakat acara ba bu hanya dilakukan satu kali saja. Semua itu tergantung kepada kemampuan bagi yang melaksanakannya, ada yang mengantar satu idang kecil saja dan adapula yang mengantar sampai lima atau enam idang besar. Nasi yang diantar oleh mertua ini dimakan bersama-sama dalam suasana kekeluargaan. Ini dimaksudkan bahwa perempuan yang lagi hamil adalah orang sakit, sehingga dibuat jamuan makan yang istimewa, menurut adat orang Aceh perempuan yang lagi hamil harus diberikan makanan yang enak-enak dan bermanfaat.

Dalam ilmu kesehatanpun memang dianjurkan untuk kebutuhan gizi cabang bayi yang dikandungnya, namun apabila itu tidak dituruti maka berakibat buruk pada anak yang dikandungnya kalau istilah bahasa Aceh roe ie babah (ngences). Masyarakat Aceh upacara bawa nasi suatu kewajiban adat yang harus dilakukan, sampai saat sekarang masih berlangsung dalam masyarakat. Lain halnya pada Masyarakat suku Aneuk Jamee Kabupaten Aceh Selatan terdapat adat bi bu bidan (memberi nasi untuk ibu bidan) maksudnya seorang anak yang baru kawin dan hamilnya sudah 6 bulan sampai 7 bulan maka untuk anak tersebut sudah dicarikan ibu bidan untuk membantu proses kelahirannya. Pada upacara kenduri dimaksud kebiasaan masyarakat, ibu bidan akan dijemput oleh utusan keluarga ke rumah bidan lalu dibawa kerumah yang melakukan hajatan. Acara serah terima, melewati beberapa persyaratan antara lain :

1. Pihak keluarga yang melakukan hajatan mendatangi ibu bidan dengan membawa tempat sirih (bate ranub) sebagai penghormatan kepada ibu bidan dan sebagai tanda meulakee (permohonan).

2. Setelah ibu bidan hadir di rumah hajatan, maka keluarga yang melakukan permohonan tersebut dengan acara adat menyerahkan anaknya yang hamil tersebut agar diterima oleh bidan sebagai pasiennya.

3. Sebagai ikatan bagi bidan pihak keluarga menyerahkan seperangkap makanan yang sudah dimasak, untuk dibawa pulang ke rumah bidan, lengkap dengan lauk pauknya sesuai dengan kemampuan keluarga yang melakukan hajatan disertai juga dengan menyerahkan selembar kain dan uang sekedarnya.

Acara puncak bi bu bidan adalah kenduri dengan didahului pembacaan tahlil dan doa, acara tersebut biasanya dilakukan pada jam makan siang dan ada juga pada malam hari setelah shalat Isya. Setelah upacara selesai maka ibu bidan diantar kembali ke rumahnya, mulai saat itu anaknya yang hamil telah menjadi tanggungjawabnya ibu bidan.

Pada saat bayi telah lahir disambut dengan azan bagi anak laki-laki dan qamat bagi anak perempuan. Teman bayi yang disebut adoi (ari-ari) dimasukkan ke dalam sebuah periuk yang bersih dengan disertai aneka bunga dan harum-haruman untuk ditanam di sekitar rumah baik di halaman, di samping maupun di belakang. Selama satu minggu tempat yang ditanam ari-ari tersebut dibuat api unggun, hal ini untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti : Adanya orang ilmu hitam yang memanfaatkan benda tersebut, tangisan bayi diwaktu malam dan dari serangan binatang pemangsa seperti anjing. Pada hari ke tujuh setelah bayi lahir, diadakan upacara cukuran rambut dan peucicap, kadang-kadang bersamaan dengan pemberian nama. Acara peucicap dilakukan dengan mengoles manisan pada bibir bayi disertai dengan ucapan :

” Bismillahirahmanirrahim, manislah lidahmu, panjanglah umurmu, mudah rezekimu, taat dan beriman serta terpandang dalam kawom”.

Pada saat inilah bayi telah diperkenalkan bermacam rasa di antaranya asam, manis, asin. Ini merupakan latihan bagi bayi untuk mengenal rasa, bisa dia bedakan antara satu rasa dengan rasa yang lainnya. Sebelumnya, bayi hanya mengenal ASI eklusif yang dia dapatkan dari ibunya.

Pada zaman dahulu upacara turun tanah dilakukan setelah bayi berumur satu sampai dua tahun, bagi kelahiran anak yang pertama upacaranya lebih besar. Namun untuk saat sekarang ini masyarakat tidak mengikutinya lagi, apalagi bagi ibu-ibu yang beraktifitas di luar rumah seperti pegawai negeri, pegawai perusahaan, dan karyawati di instansi tertentu. Ke luar rumah sampai satu tahun dan dua tahun itu dianggap tidak efisien dan tidak praktis lagi. Bagi ibu-ibu pada zaman dahulu, selama jangka waktu satu atau dua tahun tersebut mereka menyediakan persiapan-persiapan kebutuhan upacara.

Pada saat upacara tersebut, bayi digendong oleh seorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang mengendong tersebut memakai pakaian yang bagus maka sewaktu bayi diturunkan dari rumah, bayi dipayungi dengan sehelai kain yang dipegang pada setiap sudut kain oleh empat orang. Di atas kain tersebut dibelah kelapa, dengan makksud agar bayi tidak takut mendengar bunyi petir. Belahan kelapa dilempar kepada sanak famili dan wali karongnya. Salah seorang keluarga bergegas-gegas menyapu tanah dan yang lainnya menampi beras, ini dilakukan apabila bayinya perempuan. Namun apabila bayinya laki-laki, maka yang harus dikerjakan adalah mencangkul tanah, mencincang batang pisang atau tebu, memotong rumput, naik atas pohon seperti : pinang, kelapa, mangga, dll. Pekerjaan ini dimaksudkan agar anak perempuan menjadi rajin dan bagi laki-laki menjadi ksatria. Setelah semua selesai, selanjutnya bayi ditaktehkan (diajak berjalan) di atas tanah dan akhirnya dibawa keliling rumah sampai bayi dibawa pulang kembali dengan mengucapkan assalamualaikum waktu masuk ke dalam rumah.

Analisis Perubahan dan Pergeseran dalam konteks Kekinian
Untuk saat sekarang ini upacara menyambut kelahiran anak pertama, telah terjadi perubahan. Perubahan adat yang terjadi hanya sedikit saja namun tidak pernah bergeser dari makna yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Aceh. Di sini penulis dapat mengutarakan bahwa inti rangkaian upacara ini adalah symbol dari suka cita. Ini dilatarbelakangi oleh rasa bahagia yang ada pada pasangan suami isteri yang baru berumah tangga, begitu juga bagi kedua orang tua mereka yang sudah menanti-nanti kehadiran cucunya. Salah satu pergeseran budaya dari upacara ini, misalnya sekarang ini bawa nasi ada sebahagian masyarakat mengantikan dengan bawaan mentah yaitu uang.

Hal yang demikian sudah sering kita dengar dari masyarakat Aceh, ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya karena mertuanya jauh, tidak ada yang masak. Ini mereka anggap menyulitkan dan juga merepotkan., jadi mereka mengambil jalan yang praktisnya yaitu mengasihkan uang senilai hantaran nasi yang mau dibawa. Terlebih dahulu ini telah menjadi kesepakatan antara orang tua kedua belah pihak, baik pihak isteri maupun suami, sehingga tidak menimbulkan permasalahan. Namun peraturan ini tidak berlaku bagi sama-sama besan yang berdekatan, bagi mereka diharuskan untuk menjalankan adat tersebut. Waktu pelaksanaan bawa nasipun, sekarang telah banyak berubah, masyarakat Aceh zaman dahulu melakukan sampai dua kali, namun sekarang ini telah dipraktiskan dengan sekali hantaran saja. Perubahan ini, masyarakat menganggap biasa dan lebih praktis baik dari segi waktu dan kerja.

Namun diharapkan upacara ini janganlah sampai hilang, karena upacara ini telah menjadi bahagian dari adat Aceh yang harus kita lestarikan. Dari upacara ini terwakili beberapa nilai ketauladanan, di antaranya nilai penghormatan dan nilai kebersamaan dalam menyambut kebahagian. Kebahagian yang ada tidak hanya dinikmati terbatas pada keluarga itu saja, akan tetapi dirasakan juga oleh tetangga maupun saudara sekampung yang menghadiri undangan dalam acara makan tersebut.

Ketika bayi sudah lahir kebiasaan-kebiasaan masyarakat pada zaman dulu banyak yang sudah ditinggalkan. Mereka telah mengikuti anjuran-anjuran dari bidan rumah sakit tempat mereka melakukan persalinan, misalnya bayi yang baru lahir tidak boleh diberikan makanan. Kebiasaan dulu bayi yang baru lahir langsung diberikan pisang, kalau di Aceh biasanya pisang wak (pisang monyet) kebiasaan-kebiasaan ini telah berubah.

Perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat untuk melahirkan pada bidan rumah sakit, tidak lagi pada bidan kampung. Pergeseran budaya ini telah ada, namun bidan-bidan kampung tetap difungsikan untuk mengurus bayi dan ibunya. Walaupun bidan kampung, sebahagian di antara mereka telah mendapatkan pelatihan dari bidan rumah sakit, sehingga dia dalam mengurus bayi dan ibunya tidak menyimpang dari anjuran rumah sakit.

Upacara turun tanah, disimbolkan pada kesucian ibu bayi yang baru saja melewati masa persalinan. Dalam prosesi upacara ini juga melibatkan bayi yang baru lahir, di mana pada saat upacara berlangsung bayi dibawa ke luar rumah. Ibu yang baru melahirkan dianggap tidak suci lalu tidak dibolehkan untuk ke luar rumah, disebabkan karena dia dalam keadaan masa nifas, haids dan wiladah.

Pada saat turun tanah di sinilah puncaknya bahwa dia telah suci terbebas dari darah kotor sehingga dia telah boleh ke luar rumah. Begitu juga dengan bayinya, sebetulnya bayi yang belum berumur satu bulan masih dianggap rentan dengan penyakit sehingga bayi tidak dibolehkan untuk ke luar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa apa dia sakit dan sebab lainnya yang sangat mendesak.

Namun, pada saat upacara turun tanah pertama sekali bayi mengenal dunia luar. Di sinilah bayi diajarkan dengan dunia luar, di mana kita itu harus giat bekerja dan jangan malas-malasan, karena kalau sifatnya malas akan berakibat buruk bagi kehidupannya kelak. Rangkaian dari upacara ini adalah proses pembelajaran sehingga dapat kita ambil iktibar dalam kehidupan kita sehari-hari, adat istiadat yang terdapat dalam suatu upacara harusnya tetap dilestarikan karena adat merupakan salah satu cerminan dari budaya bangsa.

Penutup
Adat menyambut kelahiran anak adalah kebiasaan masyarakat Aceh dengan mengadakan upacara yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam ajaran Islam. Ketentuan tersebut telah menjadi kepercayaan dan tradisi orang-orang tua yang dilakukan pada masa dahulu.

Serangkaian upacara tersebut seperti ba bu (bawa nasi ), cuko oek (cukur rambut), peucicap (memberi rasa makanan), akikah dan turun tanah dinilai penting dan bermakna dalam kehidupan, sehingga perlu untuk dijalankan sesuai dengan ketentuan adat yang telah ditetapkan. Di zaman serba modern sekalipun, kegiatan ritual ini akan menjadi aset wisata budaya. Zaman boleh saja modern, namun adat dan budaya jangan sampai hilang, jadi kita berusaha bagaimana adat dan budaya tersebut tetap tampil disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Penulis:
Cut Zahrina, S.Ag. adalah Tenaga Honorer pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh

Tradisi Kebo-Keboan

Pengantar
Banyuwangi adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di sana ada sebuah etnik yang bernama Using[1]. Di kalangan mereka, khususnya yang berdiam di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, ada sebuah upacara tradisional yang sangat erat kaitannya dengan bidang pertanian yang disebut sebagai “Kebo-keboan”. Maksud diadakannya upacara itu adalah untuk meminta kesuburan tanah, panen melimpah, serta terhindar dari malapetaka baik yang akan menimpa tanaman maupun manusia yang mengerjakannya.

Sejak kapan upacara kebo-keboan diadakan? Sampai kini belum ada yang mengetahuinya secara pasti. Namun, menurut cerita yang berkembang secara turun-temurun di kalangan masyarakat Krajan, kisah dibalik adanya upacara kebo-keboan tersebut berawal ketika Dusun Krajan mengalami pagebluk, yaitu timbulnya berbagai macam hama penyakit yang menyebabkan kematian tanaman pertanian. Untuk mengatasi bencana tersebut, salah seorang tokoh masyarakat setempat yang bernama Buyut Karti mengadakan ritual dengan cara menirukan perilaku seekor kerbau yang sedang membajak sawah. Dan, ternyata ritual tersebut mampu menjadi penghalau dari berbagai macam bencana yang menimpa Dusun Krajan. Akhirnya, ritual yang kemudian dinamakan kebo-keboan itu dilakukan secara rutin setiap tahun sekali.

Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Telibat dalam Upacara
Upacara kebo-kebon di Dusun Krajan dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang jatuh pada hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Sura (tanpa melihat hari pasaran). Dipilihnya hari minggu sebagai hari penyelenggaraan dengan pertimbangan bahwa pada hari tersebut masyarakat sedang tidak bekerja (libur), sehingga dapat mengikuti jalannya upacara. Sedangkan, dipilihnya bulan Sura dengan pertimbangan bahwa Sura, menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, adalah bulan yang keramat.

Sebagaimana upacara pada umumnya, upacara kebo-keboan di Krajan juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara ini adalah sebagai berikut: (1) tahap selamatan di Petaunan; (2) tahap ider bumi atau arak-arakan mengelilingi Dusun Krajan; dan (3) tahap ritual kebo-keboan yang dilaksanakan di daerah persawahan Dusun Krajan.

Pemimpin dalam upacara kebo-keboan ini bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan. Pada tahap selamatan di Petaunan, yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah kepala Dusun Krajan. Sedangkan, yang bertindak sebagai pemimpin upacara saat mengadakan ritual ider bumi dan kebo-keboan adalah seorang pawang yang dianggap sebagai orang yang ahli dalam memanggil roh-roh para leluhur.

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan upacara adalah: (1) para aparat Dusun Krajan; (2) beberapa kelompok kesenian yang ada di wilayah Alasmalang; (3) empat orang atau lebih yang nantinya akan menjadi kebo-keboan dan (4) warga masyarakat lainnya yang membantu menyiapkan perlengkapan upacara maupun menyaksikan jalannya upacara.

Jalannya Upacara
Satu minggu menjelang waktu upacara kebo-keboan tiba, warga masyarakat yang berada di Dusun Krajan mengadakan kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan rumah dan dusunnya. Selanjutnya, satu hari menjelang pelaksanaan upacara, para ibu bersama-sama mempersiapkan sesajen yang terdiri atas: tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung ayam dan lain sebagainya. Selain itu, dipersiapkan pula berbagai perlengkapan upacara seperti para bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman padi. Seluruh sesajen tersebut selain untuk acara selamatan, nantinya juga akan ditempatkan di setiap perempatan jalan yang ada di Dusun Krajan.

Pada malam harinya para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung, pala kependhem, pala kesimpar. Tanaman tersebut kemudian ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan. Selain itu, mereka mempersiapkan pula bendungan yang nantinya akan digunakan untuk mengairi tanaman palawija yang ditanam.

Pagi harinya, sekitar pukul 08.00, diadakan upacara di Petaunan yang dihadiri oleh panitia upacara, sesepuh dusun, modin, dan beberapa warga masyarakat Krajan. Pelaksanaan upacara di tempat ini berlangsung cukup sederhana, yaitu hanya berupa kata sambutan dari pihak panitia upacara, kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh modin dan diakhiri dengan makan bersama.

Selanjutnya, para peserta upacara yang terdiri dari para sesepuh dusun, seorang pawang, perangkat dusun, dua pasang kebo-keboan (setiap kebo-keboan berjumlah dua orang), para pembawa sesajen, pemain musik hadrah, pemain barongan dan warga Dusun Krajan akan melakukan pawai ider bumi mengeliling Dusun Krajan. Pawai ini dimulai di Petaunan kemudian menuju ke bendungan air yang berada di ujung jalan Dusun Krajan. Sesampainya di bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) akan segera membuka bendungan sehingga air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami tanaman palawija oleh para pemuda. Sementara, para peserta upacara segera menuju ke areal persawahan milik warga Dusun Krajan. Di persawahan inilah kebo-keboan tersebut memulai memperlihatkan perilakunya yang mirip seperti seekor kerbau yang sedang membajak atau berkubang di sawah. Pada saat kebo-keboan sedang berkubang, sebagian peserta upacara segera turun ke sawah untuk menanam benih padi.

Setelah benih tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih padi yang baru ditanam tersebut. Benih-benih yang baru ditanam itu dipercaya oleh warga masyarakat Dusun Krajan dapat dijadikan sebagai penolak bala, mendatangkan keberuntungan serta membawa berkah. Pada saat para peserta memperebutkan benih tersebut, para kebo-keboan yang sebelumnya telah dimantrai oleh pawang sehingga menjadi trance, akan segera mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai pengganggu. Namun, para kebo-keboan itu tidak sampai mencelakai para pengambil benih karena sang pawang selalu mengawasi setiap geraknya. Setelah dirasa cukup, maka sang pawang akan menyadarkan kebo-keboan dengan cara mengusapkan pitung tawar pada bagian kepalanya. Setelah itu, mereka kembali lagi ke Petaunan.

Sebagai catatan, sebelum tahun 1965 pelaksanaan ider bumi tidak hanya mengelilingi sepanjang jalan Dusun Krajan saja, melainkan juga ke arah batu besar yang ada di empat penjuru angin yang diawali dengan berjalan ke arah timur menuju Watu Lasa, kemudian ke barat menuju Watu Karang, lalu ke selatan menuju Watu Gajah dan ke arah utara menuju Watu Naga.

Sesampainya di Petaunan, peserta upacara kembali ke rumah masing-masing sambil membawa padi yang tadi mereka ambil di sawah untuk dijadikan sebagai penolak bala dan juga sekaligus pembawa berkah. Malam harinya, mereka kembali lagi ke Petaunan untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih yang mengisahkan tentang Dewi Sri. Lakon tersebut dipentaskan dengan harapan agar warga Dusun Krajan mendapatkan hasil panen padi yang melimpah. Dan, dengan dipentaskannya kesenian wayang kulit di Petaunan itu, maka berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara kebo-keboan di Dusun Krajan.

Nilai Budaya
Upacara kebo-keboan di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kabupaten Banyuwangi, jika dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat, makan bersama dan doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.

Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.

Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, dan lain sebagainya.

Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang ditujukan kepada Tuhan agar mendapat perlindungan, keselataman dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupan.

Sumber : http://kampungmahbang.co.cc

Kebo-Keboan Banyuwangi

Masyarakat Banyuwangi yang mayoritas petani memiliki ritual sakral untuk meminta berkah keselamatan. Tradisi tersebut dikenal dengan nama kebo-keboan. Ritual ini menggunakan kerbau sebagai sarana upacara. Namun, kerbau yang digunakan binatang jadi-jadian yakni manusia berdandan mirip kerbau, lalu beraksi layaknya kerbau di sawah.

Sejarah Kebo-Keboan
Ritual kebo-keboan digelar setahun sekali pada bulan Muharam atau Suro (penanggalan Jawa). Bulan ini diyakini memiliki kekuatan magis. Konon, ritual ini muncul sejak abad ke-18. Di Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi.

Munculnya ritual kebo-keboan di Alasmalang berawal terjadinya musibah pagebluk ( epidemi - red ). Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak warga kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam kondisi genting itu, sesepuh desa yang bernama Mbah Karti melakukan meditasi di bukit. Selama meditasi, tokoh yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh menggelar ritual kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol kemakmuran.

Keajaiban muncul ketika warga menggelar ritual kebo-keboan. Warga yang sakit mendadak sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan dilestarikan. Mereka takut terkena musibah jika tidak melaksanakannya.

Persiapan Upacara
Ritual yang meminta berkah keselamatan sebelum memulai musim tanam padi itu dimulai berbagai persiapan seperti memasang pintu gerbang terbuat dari hasil bumi, hingga menanam segala jenis pohon di tengah jalan. Tanaman inilah yang akan dilewati kerbau jadi-jadian. Pohon ditanam di sepanjang jalan menuju empat arah mata angin yang mengelilingi desa.

Bermacam tanaman hasil bumi menghiasai di tiap jalan kampung, sebagai simbol ungkapan syukur kepada penguasa alam Untuk mendapat kesan suasana persawahan, jalan desa pun dialiri air yang berasal dari sungai setempat. 12 tumpeng, simbol waktu perputaran kehidupan manusia yang disajikan dinikmati bersama-sama.

Berbagai pernik ornamen hiasan sudah terpajang, umbul-umbul, killing (baling-baling kicir angin), paglak (dangau tinggi di tengah sawah) terlihat megah di hamparan sawah dengan latar belakang Pegunungan Raung, Ijen, dan Gunung Merapi. Semua warga desa sudah siap dengan kue tradisional serta sesaji untuk upacara ritual. Hampir semua orang tampak anggun dengan busana adatnya.

Warga menyambut ritual ini mirip perayaan hari raya. Hari pelaksanaan upacara dihitung menggunakan kalender Jawa kuno. Biasanya kepastian itu diputuskan para sesepuh adat. Pada hari pelaksanaan, seluruh warga membuat tumpeng ayam.

Sesajen ini dimasak secara tradisional khas suku Using, yakni pecel ayam, daging ayam dibakar dan dicampur urap kelapa muda.

Menjelang siang hari, warga berkumpul di depan rumah masing-masing. Beberapa orang bergerombol di pusat desa bersama para pejabat dan undangan. Dipimpin sesepuh adat, warga berdoa menggunakan bahasa Using kuno. Usai berdoa, warga berebut menyantap tumpeng yang diyakini mampu memberikan berkah keselamatan.

Ritual Ider Bumi
Usai pesta tumpeng, ritual Kebo-Keboan ini diawali dengan visualisasi Dewi Sri ( Dewi Padi ) yang ditandu oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki bertubuh kekar dengan dandanan dan bertingkah aneh seperti kerbau ( sekujur tubuh mereka dilumuri arang plus rambut palsu warna hitam beserta tanduk, tidak lupa lonceng kayu berwarna hitam tergantung di leher layaknya kerbau ) dan dihalau oleh para petani yang membawa hasil panennya. Prosesi ini disebut sebagai ider bumi ( prosesi mengelilingi kampung dari hilir hingga ke hulu kampung ). Namun sebelumnya, pawang kerbau memberikan tapung tawar agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan pada sikerbau jadi-jadian itu. Puluhan manusia kerbau diarak keliling kampung. Layaknya kerbau, mereka berlari dikendalikan seorang petani. Bau kemenyan dan bunga merebak. Sebelum keliling kampung, seluruh manusia kerbau dikumpulkan dan diberi ritual khusus ( seluruh "kerbau" dimandikan di sumber air tak jauh dari desa setempat. Biasanya, usai dimandikan mereka itu akan tidak sadarkan diri karena kemasukan makhluk gaib penunggu desa ). Puluhan kerbau jadi-jadian berjalan bergerombol. Jalan yang dilalui arak-arakan sengaja dibanjiri air. Tujuannya, kerbau yang lewat bisa berkubang. Polah tingkah mereka pun berubah layaknya kerbau. Menyeruduk siapa saja yang ada di depannya. Penonton pun berlarian menghindari serudukan "kerbau". Penonton yang tertangkap harus rela dilumuri arang hitam yang ada di sekujur tubuh "kerbau". Dalam kondisi tak sadar, mereka diarak diiringi gamelan angklung.

Iring-iringan berjalan pelan ke arah empat penjuru desa. Di masing-masing arah, ditempatkan sesaji simbol tolak-balak. Sesaji terdiri atas bunga dan berbagai jenis hasil bumi. Di belakang gerombolan kerbau, sebuah kereta terbuat dari berbagai hasil bumi ikut berjalan pelan. Ini adalah kereta yang ditumpangi Dewi Sri. Sesosok perempuan cantik duduk dikelilingi beberapa petani. Di depannya, empat perempuan tua membawa peralatan ke sawah. Ini simbol petani yang akan bekerja di sawah.

Selain iring-iringan kerbau dan kereta Dewi Sri, acara ritual ini juga melibatkan seluruh elemen di kampung, mulai dari laki-laki, perempuan, tua-muda, dan anak-anak sampai sanak famili yang berada di luar kampung. Bahkan hampir seluruh kesenian adat suku Using yang ada di Banyuwangi juga terlibat. Ada gandrung, barong, janger, patrol, balaganjur, angklung paglak, jaranan, kuntulan, dan wayang kulit,ada juga reog Ponorogo. Upacara ini tidak melulu seni pertunjukan terpadu tapi juga sebagai seni instalasi komunal yang memperlihatkan energi kualitas dan spiritual bersama.

Perjalanan arak-arakan berakhir di pusat kampung. Di tempat ini, Dewi Sri turun dari kereta dan memberikan berkah kepada petani. Sosok Dewi keberuntungan ini membagikan benih padi. Lagu pujian berkumandang mengagungkan kebesaran dewi kemakmuran ini. Selama ritual ini kerbau yang kesurupan berubah jinak. Mereka mendekat dan tunduk pada sosok Dewi Sri yang tersenyum ramah.

Kebo-keboan diakhiri dengan prosesi membajak sawah. Sepasang manusia kerbau menarik bajak di tengah sawah berlumpur. Layaknya kerbau asli, mereka berkeliling di hamparan sawah yang siap ditanami. Lalu, benih biji padi disebar. Warga langsung berebut biji yang baru disebar. Benih itu diyakini memberikan kesuburan.

Setelah berebut benih, warga, termasuk anak-anak, saling bergumul dengan manusia kerbau dalam lumpur. Mereka menikmati suasana sawah yang siap ditanami. Uniknya, saat penonton mengambil bibit padi itu, para "kerbau" mengamuk dan terus menyeruduk.
Kegiatan ini yang paling dinanti warga. Mereka akan puas setelah mendapat benih dan ikut berkubang dalam lumpur, papar Indra Gunawan yang mengaku keturunan ke-6 sesepuh Desa Alasmalang.

Nama Alasmalang berasal dari kata alas (hutan) dan malang (melintang). Alasmalang berarti hutan yang melintang di atas bukit panjang. Di tempat ini terdapat makam keluarga Mbah Karti dan keturunannya. Di sini terdapat batu mirip tempat tidur yang dikenal dengan nama watukloso. Batu ini dahulu tempat istirahat Mbah Karti. Hingga kini, sebagian besar warga Alasmalang adalah keturunan Mbah Karti.

Sumber :
Imam D.Nugroho_iddaily.net
hatisamudera.multiply.com
Majalah Travel Club
www.cybertokoh.com by arixs
Irul Hamdani - detikSurabaya

Ritual Fantastik Kebo-Keboan

Para kerbau manusia seperti kesurupan mengejar siapapun yang mengambil bibit padi yang ditanam. Masyarakat berebut, ikut berkelit untuk mendapatkan bibit padi itu karena dipercaya bisa digunakan sebagai tolak balak maupun keberuntungan.

Hari semakin larut. Para ibu masih sibuk memasak kue dan menyiapkan perlengkapan sesaji di dapur. Berbagai jenis hewaan ternak telah terlelap tidur di kandangnya masing-masing. Di sisi lain, suara ramai namun damai di sepanjang jalan utama desa.

Laki-laki tua-muda, anak-anak, dan perempuan pun ikut membantu menyiapkan dan memasang hiasan perlengkapan upacara yang terdiri dari pala gumantung (buah-buahan yang bergantung, seperti pisang, jeruk, durian, dan mangga), pala kependhem (umbi-umbian dalam tanah, seperti ubi kayu, ketela, kacang tanah, kentang, talas, ganyong, jahe, dan lengkuas), dan pala kesampir (polong-polongan, seperti kacang panjang, kecipir, kara, dan bunci). Kesemuanya ditata dan dihias rapi sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan.

Itulah gambaran suasana yang terlihat pada awal sebuah upacara ritual kesuburan yang dilakukan masyarakat Using di Desa Alas Malang, upacara tersebut bertujuan untuk mendapatkan keselamatan, penyemhuhan, kesuburan, dan pembersihan diri dari Tuhan Yang Maha Esa.

Keesokan hari, pemandangan di desa itu sungguh menakjubkan. Berbagai pernik ornamen hiasan sudah terpajang, umbul-umbul, killing (baling-baling kicir angin), paglak (dangau tinggi di tengah sawah) terlihat megah di hamparan sawah dengan latar belakang Pegunungan Raung, Ijen, dan Gunung Merapi. Semua warga desa sudah siap dengan kue tradisional serta sesaji untuk upacara ritual. Hampir semua orang tampak anggun dengan busana adatnya.

Prosesi upacara diawali dengan selamatan di tengah jalan utama desa. Semua panganan diletakkan di atas tikar, lembar-lembar daun, nasi tumpeng di atas ancak (tempat yang terbuat dari batang daun pisang dan bambu). Lengkap dengan lauk pauk dan sayur yang ditata dalam takir (tempat yang terbuat dari daun pisang) serta masakan khas pecel pitik (ayam panggang yang diurap kelapa) telah siap. Seluruh elemen kampung terlibat, dari orang dewasa hingga anak-anak. Doa dipimpin oleh tokoh agama Kyai, kemudian nasi tumpeng dan kue dibagikan kepada para pengunjung dan warga setempat sebagai berkat. Tiap-tiap warga menyiapkan kue untuk para kerabat atau pengunjung yang datang.

Ritual Ider Bumi
Selanjutnya acara Ider bumi (prosesi mengelilingi kampung dari hilir hingga ke hulu kampung). Upacara bersama ini begitu unik dan menarik sekaligus memiliki dimensi dari masyarakat yang akar kepercayaan agraris dan spiritualnya masih kuat.

Acara ritual ini melibatkan seluruh elemen di kampung, mulai dari laki-laki, perempuan, tua-muda, dan anak-anak sampai sanak famili yang berada di luar kampung. Bahkan hampir seluruh kesenian adat yang ada di Banyuwangi juga terlibat. Ada gandrung, barong, janger, patrol, balaganjur, angklung paglak, jaranan, kuntulan, dan wayang kulit. Upacara ini tidak melulu seni pertunjukan terpadu tapi juga sebagai seni instalasi komunal yang memperlihatkan energi kualitas dan spiritual bersama.

Pada acara Ider Bumi, ritual Kebo-Keboan ini diawali dengan visualisasi Dewi Sri (Dewi Padi) yang ditandu oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki bertubuh kekar dengan dandanan dan bertingkah aneh seperti kerbau dihalau oleh para petani yang membawa hasil panennya. Suasana kian meriah karena diiringi alunan musik tradisional khas Using yang hinggar binggar.

"I'm very happy to be here, I have never seen an exciting festival like this before," ungkap Starech, wisatawan Cekoslovakia yang berada di desa ini selama 3 hari pada upacara adat Kebo-Keboan Februari lalu. Hal serupa juga diungkapkan beberapa wisatawan asal Eropa.

Pada bagian akhir upacara adalah prosesi membajak sawah dan menanam bibit padi. Para kerbau manusia seperti kesurupan mengejar siapapun yang mengambil bibit padi yang ditanam. Masyarakat berebut, ikut berkelit untuk mendapatkan bibit padi itu karena dipercaya bisa digunakan sebagai tolak bala maupun keberuntungan. Kegiatan berakhir pada tengah hari. Sementara pada sore hari dan malam hari, kesenian tradisional disajikan, termasuk pementasan wayang kulit senuilam suntuk.

Lestarikan Budaya
Ritual Kebo-Keboan adalah salah satu ragam seni budaya tradisi Banyuwangi disamping Ritual Seblang, Petik Laut, Rebo Pungkasan, Endog-endogan, Barong Ider Bumi yang telah diagendakan secara rutin oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

"Kebudayaan berbasis lokal yang bernilai luhur ini akan tetap kita lestarikan dengan penataan yang lebih komprehensif dan suistanable agar menumbuhkan rasa apresiatif masyarakat terhadap nilai-nilai tradisi," ungkap drh H Budianto, Msi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.

"Bagi yang senang berpetualang, alam Banyuwangi menyediakan goa-goa angker dan hewan liar di Alas Purwo, ombak yang spektakuler di Pantai Plengkung, kawah yang menakjubkan di Gunung Ijen, mengintip Penyu bertelur di Sukamade dan masih banyak lagi panorama alam lain seperti air terjun, sungai berkelok-kelok serta sejuknya udara perkebunan cengkeh, coklat, karet, dan kopi", tambahnya.

Tips Perjalanan
Kalau ingin berwisata budaya menyaksikan ritual Kebo-Keboan ini, datang saja ke Jawa Timur, tepatnya di Desa Alas Malang, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi. Waktu kunjungan yang tepat pada setiap bulan Suro/Muharam (Kalender Islam), biasanya setelah panen padi atau menjelang musim tanam.

Upacara Cukur Rambut di Daerah Betawi

Setelah bayi berusia 40 hari, maka dilakukan Upacara Cukur Rambut. Maksud dan tujuan diselenggarakannya upacara ini ada¬lah untuk membuang rambut bawaan bayi dari dalam kandungan ibunya atau membuang "bulu haram". Bagi masyarakat bisa mem¬buang "sawan", artinya bayi yang digunting rambutnya nanti tumbuh sehat dan dijauhkan dari berbagai macam penyakit. Upacara ini tidak sekedar mencukur rambut bayi melainkan juga disertai dengan "marhaban", yaitu pembacaan kitab Maulid Nabi, berupa rangkaian kalimat puitis dalam bahasa Arab yang ber¬isikan kisah tentang Nabi Besar Muhammad SAW.

Dalam pelaksanaan upacara ini, tuan rumah yaitu kakek dari si bayi yang akan digunting rambutnya, menyambut tamu-tamu yang diundang yang terdiri dari Bapak Kyai setempat dan bebera¬pa undangan bapak-bapak yang berpakaian muslim, setelah semuanya berkumpul, tuan rumah mengucapkan sedikit sambutan dan ucapan terima kasih atas kedatangan para tamu untuk ikut mem¬berikan doa restu pada si bayi.

Perlengkapan yang disiapkan untuk upacara gunting rambut di antaranya adalah:

Gunting rambut kecil.
Kelapa hijau yang dilubangi bagian atasnya.
Bunga tujuh macam
Minyak wangi.

Pembacaan kitab Maulid dipimpin oleh Bapak kyai atau Ustadz. Selesai membaca puji-pujian, bayi digendong oleh bapak¬nya atau engkongnya (kakeknya) didampingi oleh pembawa nampan, (baki) yang berisi kelapa hijau, mangkok yang berisi air kembang, gunting kecil dan minyak wangi.. Bayi di arak kehadap¬an para peserta upacara. Dengan membaca Bismillahirakhmaanirra¬hhim, rambut bayi digunting, diawali oleh Bapak Kyai (Ustadz), kemudian diikuti oleh yang lainnya hingga semuanya kebagian. Caranya menggunting rambut yakni gunting dicelupkan di dalam air kembang, lalu dipegang beberapa helai rambut si bayi kemudi¬an digunting. Potongan rambut diletakkan di air kelapa. Setelah menggunting rambut, penggunting ditetesi minyak wangi pada ba¬junya oleh pembawa nampan.

Beberapa hari kemudian barulah rambut bayi dicukur habis. Potongan rambut "sawan" tadi dikumpulkan, lalu dimasukkan bersama ke dalam kelapa muda tadi. Sebelum rambut dikubur, rambut itu ditimbang di timbangan emas dan dinilai seharga nilai emas yang nantinya akan disumbangkan kepada fakir miskin sebagai sedekah.

Maksud sedekah ini mengandung harapan agar si bayi kelak menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat, nusa, bangsa dan agama, serta berbakti kepada orang tuanya. Ini mengingatkan, bahwa kelapa (yang dipakai menyimpan potongan rambut bayi), merupakan salah satu tanaman yang seluruh bagian pohonnya berguna bagi manusia. Dari akar hingga pucuk daunnya, apalagi buahnya berguna bagi manusia.

Sumber :
Yunus Ahmad H. dkk., 1993, Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup pada Masyarakat Betawi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya

Upacara Sunat/Khitanan di Daerah Betawi

Bagi orang Betawi, seorang anak laki-laki yang telah berusia sekitar 7 tahun atau lebih harus dikhitan. Khitanan merupakan daur hidup yang dianggap penting, karena setelah dikhitan seorang anak baru boleh disebut muslim. Menurut adat bersunat, bahwa :

"Orang-orang yang beragama Islam, haruslah disunat, masuk Rukun Islam, agar suci dalam menunaikan ibadah sembah¬yang".

Pernyataan di atas menunjukkan bukti kesetiaan/kepatuhan manusia terhadap Tuhan Allah SWT, agar anak tersebut menjadi anak yang saleh. Bagi seorang anak yang berasal dari keluarga muslim, khitanan biasa dilakukan setelah menamatkan 30 juz ayat suci Al Quran atau setelah khatam Al Quran.

Khitanan secara tradisional dilakukan oleh seorang "tukang sunat" atau disebut "Bengkong". Kini tidak jarang orang Betawi yang menggunakan tenaga mantri atau dokter untuk mengkhitan anaknya. Untuk melaksanakan khitanan, tukang sunat biasanya dipanggil ke rumah yang punya hajat.

Selempang terbuat dari kain satin atau beludru yang dihiasi manik-manik dan dipakai di atas gamis di dalam jubah. Selempang dipasang dari bahu kiri menyerong ke pinggang kanan, yang ke¬mudian diikat di atas pinggang.

Sesajian yang disiapkan dalam upacara khitan, yaitu : beras, pisang raja bulu satu sisir, sebutir kelapa, kue-kue tradisional, biasanya berupa dodol, wajik, uli, serta seekor ayam jantan.

Sebelum dikhitan, selepas waktu ashar, anak yang akan di¬khitan terlebih dahulu dimandikan, kemudian dikenakan pakaian indah yang biasanya disewa. Bahan pakaian terbuat dari kain satin yang mengkilap, terdiri dari celana panjang yang longgar dan kemeja tangan panjang serta mengenakan "alpiah" yang bentuknya memanjang ke atas. Hiasan lainnya berupa ikat pinggang yang besar dan diberi asesoris. Anak yang akan di sunat dalam busana ini biasa disebut "Pengantin Sunat". Pakaian pe¬ngantin sunat ini terdiri dari :

a. Baju luar memakai jubah haji berwarna putih dan memakai hem putih pada bagian dalamnya.
b. Celana panjang/pantalon sewarna dengan baju.
c. Kepala memakai alpiah, terbus Arab yang dirangkai dengan rangkaian bunga melati.
d. Sepatu pantofel dengan kaos kaki panjang berwarna putih.
e. Selempang atau ikat pinggang besar yang penuh dengan hiasan
f. Kembang/rangkaian bunga dilingkarkan di leher.

Pakaian kebesaran anak sunat ini lebih banyak memperlihat¬kan dari busana Arab. Hal ini dapat dilihat dari beberapa buah nama bagian pakaian adat tersebut, misalnya tutup kepala yang disebut "alpiah", jubah panjang yang disebut "gamis", dan baju luar yang disebut "jubah/jube".

Bentuk jubah/jube menyerupai bentuk kaftan, dengan belahan Italia hagian muka, berlengan panjang sampai pergelangan tangan, berkrah tinggi mirip krah baju Cina. Pada pinggirannya diberi renda emas. Pada uniumnya dasar warna jubah pengantin sunat berwarna merah, hijau, dan biru.

bentuk gamis mirip dengan baju koko, panjangnya kurang lebih 5 cm, lebih pendek dari baju jubah. Bentuk krahnya tinggi, dengan belahan dada. Umumnya gamis pengantin sunat terbuat dari kain satin atau voile dengan dasar warna putih atau krem.

Tutup kepala di kenal dengan sebutan "alpiah", dibentuk dari lipatan kain agak tinggi dan berbentuk bundar, mirip dengan topi Kaisar Manchu, biasanya dihias dengan ronce bunga melati.

Selempang terbuat dari kain satin atau beludru yang dihiasi manik-manik dan dipakai di atas gamis di dalam jubah. Selempang dipasang dari bahu kiri menyerong ke pinggang kanan, yang kemudian diikat di atas pinggang.

Setelah pengantin sunat ini berpakaian rapi, siap menunggangi kuda berhias atau tandu sesuai dengan kaul yang diucapkan oleh orang tuanya. Kuda berhias ini disewa lengkap dengan musik kendang, kenong dan biasa gong, biasa juga diiringi musik rebana yang dimainkan oleh para remaja putri/putra. Kemudian pengantin sunat diarak keliling kampung dengan para pengawalnya menuju ke tempat keramat, biasanya ke kuburan tempat dimakamkannya "pendiri desa" untuk meminta berkahnya. Sebelum waktu magrib arak-arakan telah selesai dan tiba di rumah kembali.

Selepas magrib diadakan acara selamatan. Para undangan hadir untuk membacakan doa selamat diteruskan dengan Maulidan. Setelah acara pembacaan ayat-ayat suci Al Quran, hidangan disuguhkan kepada para tamu, lalu acara dilanjutkan dengan kesenian/hiburan.

Dahulu, masyarakat Betawi jika mempunyai hajat sunatan, biasa menyelenggarakan hiburan kesenian antara lain : lenong, topeng, tanjidor, sambrah, dan lain-lain.

Keesokan harinya sebelum matahari terbit, si anak dimandi¬kan. Anak yang akan disunat direndam beberapa saat dengan maksud untuk mendapatkan kekebalan pada saat dikhitan, hingga rasa sakit akan berkurang. Setelah dimandikan, ia dibawa ke halaman di samping rumah. Di tempat itu ia dipangku oleh kakek¬nya, sementera sesajen dan peralatan sunat sudah disiapkan. Tukang sunat dan beberapa orang tua kerabat hadir pula untuk menyaksikan khitanan. Kemudian tukang sunat melaksanakan khitanan, dengan memotong kulit ujung penis sianak, kira-kira 1 cm panjangnya. Alat yang dipergunakan untuk memotong yaitu pisau yang terbuat dari bambu dan telah diberi ramuan. Posisi anak waktu di sunat yakni dipangku oleh engkongnya (kakeknya), kaki direntangkan ke kiri dan ke kanan, matanya ditutup kain sarung yang dipakainya. Setelah itu tukang sunat membacakan mantera-mantera dan doa-doa yang ditutup dengan salam, maka selesailah acara khitan tersebut.

Si anak kembali dipangku oleh kakeknya dan dibawa ke dalam rumah, di mana telah disiapkan tempat duduk. Pakaian yang dikenakan oleh anak setelah dikhitan adalah kemeja biasa dan sarung yang pada bagian mukanya diberi sabut kelapa, yang berfungsi menjaga agar kain sarung tidak menggores luka pada batang penis si anak.

Anak yang telah dikhitan didudukkan di atas kursi yang sudah disiapkan, dialasi dengan karpet dan di kiri kanannya diletakkan kursi untuk duduk orang tuanya. Tamu-tamu yang hadir memberikan selamat dan doa restunya kepada anak yang dikhitan, sambil memberikan uang secara suka rela kepada anak yang dikhitan sebagai pengobat rasa sakit.

Sementara itu "Bengkong" telah selesai melaksanakan tugasnya. Keluarga yang punya hajat membekali sesajen, ayam jantan hidup.

Sumber :
Yunus ahmad H., 1993, Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup pada Masyarakat Betawi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya

Fungsi Dan Peranan Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Deli

Oleh : Ramlan Damanik
Fakultas Sastra
Jurusan Sastra Daerah
Universitas Sumatera Utara

I. Pendahuluan
Upacara perkawinan bagi masyarakat Melayu merupakan hal yang sangat sakral. Begitu sakral upacara ini sehingga merupakan bagian yang paling utama dalam ritus-ritus peralihan (rites of he passage). Hal ini seperti yang terlihat pada uraian berikut ini.

A. Upacara Adat Perkawinan Masyarkat Melayu Deli
Manusia sebagai makhluk berbudaya mengenal adat istiadat perkawinan yang dipatuhi dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan suatu perkawinan. Adat istiadat perkawianan dalam suatu masyarkat berfungsi sebagai pedoman tingkah laku dalam melaksanakan upacara perkawinan.

Dalam perkawinan merupakan salah satu tahap inimasi dalam daur kehidupan manusia yang sangat penting. Melalui perkawinan seseorang akan mengalami peruabahan status, yakni dari status bujangan menjadi berkeluarga, dengan demikian pasangan tersebut diakui dan diperlukan sebagai anggota penuh dalam masyarakat. Dalam sistem kekerabatan, perkawinan seseorang juga akan mempengaruhi sifat hubungan kekeluargaan, bahkan dapat pula menggeser hak serta kewajiban untuk sementara anggota kerabat lainnya. Misalnya seorang abang yang tadinya bertanggung jawab atas adiknya seorang gadis, tetapi dengan terjadinnya ikatan tali perkawianan maka hak dan kewajiban seorang abang sudah berpindah kepada suami sang adik.

Setiap upacara perkawinan itu begitu penting baik bagi yang bersangkutan maupun bagi anggota kekerabatan kedua belah pihak penganting. Sehingga dalam proses pelaksanaannya harus memperhatikan serangkaian aturan atau tata cara biasanya sudah ditentukan secara adat yang berdasarkan kepada hukum-hukum agama.

Rangkaian penyelenggaraan proses perkawinan masyarakat Melayu khususnya masyarakat Melayu Deli terdiri dari beberapa tahap, mulai dari minang hingga pernikahan berlangsung. Sebuah perkawinan yang normal biasanya didahului dengan masa pertunangan/ikat janji antara pihak pria dengan pihak wanita yang lamanya sekitar satu tahun. Kemudian dilanjutkan dengan pernikahan atau peresmian. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan yang direstui kedua orang tua ataupun keluarga masing-masing pihak, biasanya dilaksanakan menurut tata cara atau adat istiadat perkawianan masyarakat Melayu Deli yang belandaskan kepada kaidah-kaidah ajaran agama Islam serta pengaruh tradisional.

Masyarkat Melayu Deli mempunyai tata cara perkawinan terdiri dari 27 bagian yaitu:
1. Merintis
2. Risik kecil
3. Jamu sukat
4. Risil besar
5. Meminang
6. Naik emas
7. Ikat janji
8. Akad nikah
9. Malam berhinai curi
10. Malam berhinai kecil
11. Malam berhinai besar
12. Mengantar pengantin laki-laki
13. Hempang pintu
14. Bersanding
15. Tepung tawar
16. Tepung tawar
17. Cemetuk
18. Makan nasi hadap-hadapan
19. Serah terima pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan
20. Mandi berdimbar
21. Sembah keliling
22. Malam bersatu
23. Naik halangan (naik lepas pantang)
24. Meminjam kedua pengantin oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan
25. Memulangkan kedua pengantin kembali oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga pengantin perempuan
26. Naik sembah besar
27. Pengantin pindah kerumah sendiri

Pada zaman dahulu kedua puluh tujuh bagian adat istiadat perkawinan ini harus dilalui satu persatu. Tetapi pada zaman sekarang ini, sesuai dengan yang penulis amati dan teliti khususnya di kelurahan Titi Papan kecamatan Medan Deli, banyak terdapat penghilangan bagian-bagian tata cara perkawinan tersebut. Tata cara perkawinan yang dilaksanakan masyarakat Melayu Deli khususnya yang berada di kelurahan Titi Papan kecamatan Medan Deli disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kesepakatan antara kedua belah pihak keluarga pengantin. Adapun tata
cara perkawinan yang sering dilaksanakan masyarakat Melayu Deli khususnya di kelurahan Titi Papan pada zaman sekarang ini, yakni upacara-upacara sebelum pernikahan dan upacara-upacara dalam pelaksanaan peresmian. Upacara-upacara yang dilaksanakan sebelum pernikahan adalah merisik kecil dan meminang. Dalam acara peminangan dilaksanakan tiga upacara sekaligus yakni merisik resmi, meminang dan ikat janji. Dalam upacara-upacara yang diselenggarakan dalam pelaksanaan peresmian yakni acara penyambutan rombongan pengantin pria dengan pencak silat, hempang batang/buluh, tukar tepak tengah halaman, bertukar payung, perang bertih/bunga rampai, disambut dari persembahan, hempang pintu. Upacara-upacara ini dilakukan di luar rumah. Dan acra yang dilaksanakan di dalam rumah yakni pijak batu lagan, hempang kipas di pelaminan, bersanding, marhaban/doa, tepun tawar, makan nasi hadap-hadapan, penyerahan pengantin pria kepada keluarga pengantin wanita.

Upacara-upacara inilah yang sering dilaksanakan masyarakat Melayu Deli khususnya di Kelurahan Titi Papan kecamatan Medan Deli dalam upacara adat perkawinan pada zaman sekarang ini.

B. Peranan Pantun dalam Acara Peminangan Masyarkat Melayu Deli
Sebelum acara peminangan dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan acara merisik kecil, sifat pertemuan merisik kecil ini tidak resmi. Acara merisik kecil dilaksanakan apabila seorang pemuda berniat hendak meminang seorang gadis yang disuakainya atau atas pilihan orang tuanya. Menurut adat istiadat Melayu Deli diutuslah seorang atau dua orang yang dipercayai. Dalam adat Melayu Deli utusan ini dinamakan utusan penghubung atau bintara sabda. Acara merisik kecil sebenarnya dirahasiakan oleh pihak kelaurga yang meminang (pihak laki-laki), karena apabila maksudnya ditolak oleh pihak keluarga yang menerima pinangan (pihak perempuan), hal ini akan memerikan aib kepada keluarga yang bersangkutan.

Dalam pelaksanaan merisik kecil ini boleh juga dilakukan oleh orang tua pemuda yang akan meminang tetapi terlebih dahulu sudah diketahui bahwa pinangan tersebut akan diterima oleh pihak perempuan. Hal-hal yang dibicarakan dalam merisik kecil adalah syarat-syarat yang berkenan dengan peminangan gadis tersebut seperti:

a Mengenai mahar atau mas kawin

b Mengenai uang kasih sayang. Uang kasih sayang ini merupakan bantuan dari pihak laki-laki untuk biaya pesta perkawinan.

c Hak pengantin seperti isi kamar berupa lemari, tempat tidur dengan perlengkapannya, toilet dan sebagainya.

d Pakaian sepersalinan, sebagai pemberian sipemuda kepada calon istrinya.

e Kelangkahan, apabila seorang gadis yang dipinang mempunyai kakak baik laki-laki maupun perempuan yang belum dipinang. Maka kakak si gadis tersebut akan mendapat kelangkahan berupa pakaian sepersalinan. Menurut adat istiadat Melayu Deli kelangkahan ini merupakan suatu penghargaan dan menghormati sang kakak yang belum dipinang. Jika gadis yang akan dipinang tidak mempunyai kakak yang belum dipinang maka kelangkahan ini tidak ada.

f Penentuan tanggal peminangan dan yang lainnya jika ada dianggap penting Dalam pertemuan yang akan resmi ini, kedua belah pihak masih boleh tawar menawar sampai tercapai kata sepakat. Dalam menetapkan syarat-syarat ini, utusan dari pihak laki-laki sudah tentu berpedoman kepada amanah yang diterimanya untuk disampaikan kepada keluarga laki-laki. Apabila syarat-syarat yang diminta pihak perempuan dapat dipenuhi oleh pihak laki-laki, selanjutnya dilaksanakan acara peminangan pada hari yang telah disepakati oleh kedua belah pihak keluarga.

Pada hari yang telah disepakati oleh kedua belah pihak keluarga, rombongan pihak keluarga laki-laki (pihak laki-laki) datang kerumah pihak keluarga perempuan (pihak perempuan) dengan membawa tepak sirih yang telah diisi sirih tersusun rapi dan cembul-cembulnya diisi pinang, gambir atau kacu, kapur dan tembakau. Tepak sirih yang dibawa ke rumah keluarga perempuan yakni sebuah tepak pembuka kata, sebuah tepak merisik, sebuah tepak meminang, sebuah tepak naik emas, sebuah tepak ikat janji. Jumlah tepak sirih yang dibawa sebanyak lima buah atau lebih disesuaikan dengan kedudukan atau kemampuan. Selain tepak sirih juga dibawa
cincin sebagai tanda pengikat gadis yang dipinang atau sebagian sayarat-sayarat yang diminta oleh pihak perempuan seperti uang mahar, uang kasih sayang, pakaian sepersalinan dan kelangkahan. Di rumah pihak keluarga perempuan menanti tiga buah tepak yakni sebuah tepak pembuka kata, sebuah tepak meminang dan sebuah tepak ikat janji. Fungsi tepak sirih dalam acara peminangan menurut adat istiadat msyarakat Melayu Deli merupakan alat untuk mensahkan setiap yang dibuat.

Setibanya rombongan pihak laki-laki di rumah perempuan semua perlengkapan acara adat yakni tepak yang dibawa dan tepak menanti beserta barang-barang perlengkapan yang dibawa rombongan pihak laki-laki diletakkan di sebuah hamparan dan upacara segera dimulai. Upacara dilaksanakan di atas sebuah hamparan yang sudah disediakan oleh ahli bait. Dalam acara peminangan masyarkat Melayu Deli pada zaman sekarang ini dilaksanakan tiga upacara sekaligus yakni merisik, meminang dan ikat janji dan upacara ini dipandu para telangkai. Pengertian telangkai menurut adat istiadat Melayu Deli adalah utusanahli bait pihak keluarga untuk menyampaikan maksud atau keinginan. Jumlah telangkai yang bertugas dalam acara peminangan sebanyak enam orang yakni tiga orang dari pihak laki-laki, satu orang bertugas sebagai juru bicara (juru sabda) dan dua orang bertugas sebagai pendamping juru bicara (bintara
sabda) dan tiga orang dari pihak perempuan, satu orang bertugas sebagai juru bicara (juru sabda) dan dua orang bertugas sebagai pendamping juru bicara (bintara sanda). Juru bicara kedua belah pihak duduk berhadap-hadapan dan masing-masing juru bicara didampingi oleh bintara sabda, setelah kedua belah pihak telangkai duduk berhadapan, acara dibuka lebih dahulu oleh juru bicara pihak perempuan dengan menyorongkan sebuah tepak sirih (tepak sirih pembuka) kepada juru bicara pihak laki-laki sambil berkata:

Sungai Deli airnya tenang
Mengayuh biduk sambil berdendang
Sungguh kami merasa senang
Kami ucapkan selamat datang

Diufuk cerah mentari pagi
Bukan menyanjung bukan memuji
Tiada usai kami menanti
Kiranya tuan selamat sampai kemari

Kemudian diucapkan salam: Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Selamat datang kami ucapkan
Mohon serta keberkahan dan kemampuan
Kehadirat Allah kita tujukan
Semoga pertemuan mendapat kesyukuran

Menurut adat Resman Melayu
Apabila kita kedatangan tamu
Tepak sirih disorong selalu
Begitu adat sejak dahulu

Kapur dan gambir tembakau di dalam
Pinang menghadap sirih menyembah
Tertegun rasa hati di dalam
Semoga tamu yang datang membawa tuah

Sambil memegang tepak sirih untuk dihadadapkan kepada tamu, kemuidian juru bicara pihak perempuan (ahli bait) melanjutkan perkataannya.

Tepak sirih kami persembahkan
Sila nikmati dimakan
Ujud beriring serta kiasan
Setepak sirih sejuta pesan

Setapak sirih penuh berisi
Jika sudah tuan hamba rasai
Seandai pahit usah dikeji
Seumpama manis usah dipuji

Seperti kata sebuah pantun :
Ikan bilis ikan tenggiri
Dimakan nenek puan dari malaka
Silahkan makan sirih kami
Sebagai obat pelepas dahaga

Makna yang terdapat di dalam pantun pembuka kata tersebut adalah ucapan selamat datang dari tuan rumah kepada tamu yang telah sampai dengan selamat, tidak lupa mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT serta memanjatkan doa agar pertemuan yang dilaksanakan diberkati-Nya. Menurut adat istiadat masyarakat Melayu Deli tepak sirih diberikan sebagai tanda tuan rumah merasa bahagia dan berharap tamu yang datang membawa kabar baik, serta mempersilahkan juru bicara pihak laki-laki menyorongkan sebuah tepak pembuka kata yang telah dibuka, posisi tangkai sirih menuju juru bicara pihak perempuan sambil berkata seperti
berikut ini:

Ikan kakap hendak digulai
Digulai lemak santan kelapa
Mohon maaf majelis ramai
Sambutlah salam dengan suara

Mengucapkan salam: Assalam’Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selain bersyukur kehadirat Tuhan
Kami datang membawa pesan
Salam takzim penuh keikhlasan
Ari keluarga yang tidak jauh dari pangkalan

Sungguh tuan hamba berlapang hati
Menerima kami di rumah ahli bait yang bertuah ini
Disongsong tepak penuh berisi
Takjub pula rasa di hati

Menang setapak laksana Hang Tuah
Dengan Hang Jebal kawan berseru
Disongsong tepak dihela sembah
Demikian adat puak Melayu

Dosorong tepak dihela sembah
Mohon restu sanak keluarga
Mohon disantap budiman bertuah
Sekapur sirih pembuka kata

Sambil menyorong tepak sirih dengan kedua belah tangan dan mempersilahkan juru pihak perempuan untuk memakan sirih tersebut. Makna yang terdapat di dalam pantun di atas untuk mengungkapkan fungsi tepak sirih menurut adat istiadat masyarakat Melayu Deli, selain berfungsi sebagai segel untuk mengesahkan suatu perjanjian, tepak sirih juga berfungsi sebagai alat komunikasi baik dalam kata maupun perbuatan dan tepak sirih disorongkan oleh pihak laki-laki sebagai tanda untuk menyampaikan maksud dan tujuan tertentu.

Usahalah tuan naik perahu
Usaha tuan hamba berlagak latah
Lambat laun orang pun tahu
Bukan karena kemudi patah
Patah galah dalam perdahu
Bukan kami berlagak latah
Kuasa Allah siapa yang tahu ?

Kalau ada kaca di pintu
Mari letakkan di dalam perahu
Kalau sudah tekad tuan begitu
Tanamlah, kausa Allah siapa yang tahu

Maka yang di dalam pantun di atas adalah juru bicara pihak laki-laki memperkenalkan dirinya kepada ahli bait dan mengatakan bahwa dirinya adalah seorang utusan yang diutus oleh keluarga Abdul Djalil bin Sulaiman. Untuk menyampaikan salam takzim beliau kepada ahli bait. Di samping itu ia juga membawa pesan dan amanah yang harus disampaikan menurut adat istiadat masyarakat Melayu Deli yakni dengan cara bepantun. Maksud dan amanah yang ingin disampaiakn adalah untuk mempererat tali silaturahmi antara kedua belah pihak kelaurga.

Setelah juru bicara pihak laki-laki memperkenalkan diri kepada pihak perempua, selanjutnya diadakan acara merisik. Acara merisik dimulai oleh juru bicara pihak laki-laki untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya beserta rombongan untuk menanyakan apakah dari pihak perempuan bersedia menerima pinangan dari pihak laki-laki. Maksud dan tujuan tersebut disampaikan dengan menyorongkan tepak merisik sambil berpantun. Seperti pantun berikut ini :

Kacang bukan sembarang kacang
Kacang melilit di pohon mangga
Kami datang, bukan sembarang datang
Datang bertamu, ingin bertanya

Birik-birik terbang berkawan
Terbang tinggi di atas awan
Tepak sirih kami persembahkan
Ingin merisik bunga di taman

Maksud dan tujuan yang disampaikan oleh juru bicara pihak laki-laki dijawab juru bicara pihak perempuan dengan suatu pantun nasehat suapaya pihak laki-laki tidak menyanyakan anak gadis ahli bait yang sudah dipinang orang dan tidak terjadi salah paham antara kedua belah pihak keluarga. Seperti pantun berikut :

Birik-birik terbang berlima
Terbang tinggi berkawan-kawan
Tepak perisik belum kami terima
Awas jangan terusik bunga larangan

Kemudian juru bicara pihak laki-laki menguraikan keadaan jasmani dan rohani pemuda yang ingin melamar anak gadis ahli bait. Keadaan jasmani dan rohani si pemuda disampaikan dengan cara berpantun. Seperti kita lihat dalam pantun berikut ini:

Yang pertama sekali Nabi Allah Adam
Nenek manusia kafir dan Islam
Mula asalnya di Darussalam
Di tempa Jibril tanah segenggam

Allah jadikan Adam seorang diri
Tinggi di sungai sehari-hari
Dilihatnya burung dua sejoli
Inginlah Adam hendak beristri

Tuan dan puan sekalian, kami mempunyai seekor kumbang si Pazly Anshari
bin Abdul Djahil nama gerangan
Kumbang kami telah dewasa
Lazim disebut muda remaja
Hasrat hatinya ingin terbang ke angkasa
Kami takut kelak bala menimpa
Lalu mufakatkan kami seluruh keluarga
Maksud hendak mencari penawar bisa

Yang kami risaukan
Ianya selalu terbang
Pergi pagi pulangnya petang
Tapi percayalah datuk dan hadirin sekalian
Ianya bukan si kumbang jalan
Dan bukan pula dagang terbuang
Ianya mempunyai tempat dan sarang

Tapi lain pula keadaannya sekarang
Hal-hal yang lalu banyak berkurang
Kini ianya lebih banyak berdiam di sarang
Hati kami ini susah dan bimbang

Tidurnya tak nyenyak
Makan tak kenyang
Melihat ianya demikian
Hati kami menjadi bimbang

Kemudian kami tanyakan pada kumbang kami tersebut. Wahai kumbang
mengapa Engkau susah dan selalu gelisah. Ia menjawab dengan tersipu-sipu dan
berusahalah kami membawa kumbang kami tersebut untuk berobat dan melihat
penyakit anak kami tersebut. Tetapi seperti kata pantun :
Bukan dokter tak handalan
Bukan dukun tak mujarab
Kepada nujan pak Belalang sudah kami tanyakan
Kiranya sekuntum bungalah yang menjadi penyebab

Kumbang pernah melintas di tanam
Terlihat mekarnya kuntum melati
Terpaut wajah jadi impian
Selalu terbawa di dalam mimpi

Tidak ubahnya :
Dentam dentum bunyi rabbana
Badan kurus jiwa merana
Berari sudah kena panah asmara
Makan tak kenyang tidur pun tak lena

Kami datang hendak menyatakan maksud
Hati dari kumbang kami tersebut
Kiranya kami ndak salah bertanya
Tak salah ataupun sumbang
Apakah bunga yang dirumahnya ini
Sudah ada kumbang lain yang menyerinya ?
Selanjutnya terjadi tanya jawab antara juru bicara kedua belah pihak
keluarga untuk mengetahui siapa yang menjadi idaman pemuda yang meminang
tersebut. Tanya jawab antara juru bicara kedua belah pihak keluarga dengan
berpantun seperti berikut ini :
Sungguh tuan hamba orang jauhari
Pandai berkias pandai berperi
Dari jauh datang kemari
Kiranya ada yang hendak dicari

Haluan menuju pulau Labuhan Pasang kajang di waktu pagi
Walaupun kami tak pegang pedoman
Jarang sesat kami kemari
Sungguh ada bunga di taman
Sudah ditilik dengan teliti
Mana yang menjadi idaman
Mawar merah atau melati

Sebelum tuan melangkah maju
Inginlah kami memberi tahu
Bunga di tanam bukanlah satu
Ada bunga mawar, melati dan bunga labu

Bunga mawar
Orang pintar, sukar berkelakar
Sangat disesalkan sudah ada yang melamar
Nun jauh dari Madaskar

Bunga melati
Orangnya rapi, pandai pula menggaji
Sifatnya penggeli
Tapi ianya nenek kami, hendak ?

Bunga kami yang ketiga adalah bunga labu
Sungguh cantik tidak berbau
Orang pemalu, tapi taat kepada ayah ibu
Cuma ia suka pula makan kue putu
Biarpun semerbak wangi si bunga mawar
Dan melati emnjadi bunga pujian
Seandainya layu gugur terbuang
Tak meninggal kesan

Cantik-cantik si bunga labu
Walaupun cantik tak berbau
Tidak kami bimbang dan ragu
Karena ianyalah kami ndak tuju

Kemudian juru bicara pihak keluarga laki-laki menyerahkan tepak perisik kepada juru bicara pihak keluarga perempuan sebagai tanda anak gadis yang dimaksud memang berada di rumah ahli bait.

Makna pantun yang terdapat di dalam acara merisik tersebut, bahwasanya menurut adat istiadat masyarakat Melayu Deli meminang anak menunjukkan betapa tingginya martabat seorang wanita. Dalam tata cara adat meminang yang pertama dilaksanakan adalah merisik, yakni menanyakan tentang siapa nama dan dari mana asal usulnya pemuda yang meminang dan siapa pula nama anak gadis ahli bait yang diinginkannya. Anak gadis yang akan dipinang si pemuda dalam acara merisik diibaratkan sebagai bunga labu jika gugur akan menghasilkan buah berbeda dengan bunga mawar dan melati apabila mekar terlihat indah tetapi setelah gugur tidak
bersemi lagi.

Setelah acara merisik selesai dilaksanakan, dilanjutkan dengan acara peminangan. Acara peminangan ini tidak sesulit seperti acara merisik. Meskipun demikian tepak sirih memingan disorongkan sambil berklata seperti berikut ini :

Sungguh tuan hamba berlapang dada
Pucuk dicinta ulam yang tiba
Yang dicinta sudah berada
Yang menanti sudah bersedia

Kami disambut dengan gembira
Disambut pula dengan adat dan lembaga
Dihadiri sanak famili dan keluarga
Kami ini bukalah Belanda meminta
Diberi sejengkal ingin sehata
Buka pula kami menghasak antara

Sekali melangkah dayung
Dua tiga pulau terjangkau
Sekali emmbuka pura
Dua tiga hutang terbayar

Dayung sudah diranghah
Teluk dan lubuk sudah dilampaui
Tanjung dan rantau sudah dihanyuti
Biduk menggilir tangkahan menanti
Tali terurai baik diikat
Tempat bertambat
Semoga selamat naik ke darat

Nah Datuk, hendak meminanglah kami ini

Kapak pinang tolong rebahkan
betik ranun tengah halaman
Tepak meminang kami persembahkan
Ingin memetik bunga di taman

Sebelum tepak meminang diterima dan dimakan oleh juru bicara pihak perempuan terlebih dahulu ia meminta bintara sabda kanan dan kiranya untuk membawa tepak yang diajukan juru bicara pihak laki-laki kepada orang tua atau wali anak gadis yang dipinang untuk mengadakan musyawarah apakah pinangan tersebut diterima atau tidak. Juru bicara pihak laki-laki diminta menunggu keputusan musyawarah tersebut. Permintaan ini disampaikan dengan berpantun. Seperti pantun berikut ini:

Telangkai datang kami terima
Sejak dahulu kami mufakat
Andai ada kata bersama
Sanak famili kaum kerabat
Baru pinangan kita buat.

Setelah bintara sabda yang diutus telah membawa kembali tepak meminang dari juru bicara pihak laki-laki dan mengatakan bahwa pinangan diterima apabila sanggup memenuhi syarat-syarat adat yang diajukan. Hal ini disampaikan kepada juru bicara pihak laki-laki dengan berpantun. Seperti pantun berikut ini :

Bulat kata dek pakat
Bulat air dek pembuluh
Sanak famili kaum kerabat
Seorangpun tak ada yang mengeluh

Kalau hendak memakan betik
Kupas kulit buang biji
Kalau bunga kami hendak dipetik
Penuhi syarat patuhi janji

Jika pinangan hendak dibuat
inginlah kami mengajukan syarat
Seumpama beban dapat diangkat
Apalagi doa famili kaum kerabat
Pakai saja sila keempat kata musyawarah serta mufakat
Walaupun liar dapat diikat

Kemudian disebutkan syarat-syarat adat yang diminta pihak keluarga perempuan yakni : mahar atau mas kawin, perlengkapan kamar, pakaian seperssalinan, uang kasih sayang, kelengkapan kalau ada yang dilengkapi. Apabila pihak laki-laki mengatakan sanggup memenuhi syarat-syarat adat yang diminta, selanjutnya diadakan acara tukar tepak antara kedua belah pihak kelaurga sebagai tanda pinangan pihak laki-laki diterima.

Maka pantun yang terdapat di dalam acara peminangan adalah pihak laki-laki mengatakan ingin melamar anak gadis yang berada di rumah ahli bait dan pinangan tersebut diterima apabila pihak laki-laki dapat memenuhi syarat-syarat adat yang diajukan oleh pihak perempuan. Syarat-syarat adat yang diajukan tersebut tidaklah berat karena dapat dimusyawarahkan untuk mencari jalan terbaik.

Hal ini menunjukkan masyarkat Melayu Deli memutuskan segala sesuatu dengan musyawarah dan mufakat. Setelah selesai acara peminangan, acara selanjutnya yakni ikat janji dilaksanakan untuk membicarakan tentang pelunasan syarat-syarat adat yang diminta oleh pihak keluarga perempuan sebagai tanda bertunangan. Juga membicarakan tentang hari pernikahan dan peresmian. Pada acara ini juru bicara pihak laki-laki memberikan tepak naik emas, cincin tanda bertunangan dan sebagian syarat-syarat yang diminta pihak perempuan dalam acara peminangan. Sambil mengucapkan pantun seperti berikut ini:

Tepak emas persembahan kami
Sebagai tanda cincin diberi
Bila masanya kami kemari
Kalaupun hutang kami lunasi
Kalaupun janji kami tetapi

Selesai menyerahkan tepak naik emas, cincin tanda bertunangan dan sebagian syarat-syarat yang diminta pihak perempuan, selanjutnya masing-masing juru bicara dari pihak laki-laki dan pihak perempuan bertukar tepak ikat janji dan bersalaman sebagai tanda kedua belah pihak keluarga telah terikat dengan suatu perjanjian dan harus ditepati karena janji yang diucapkan dan diikrarkan pada acara ikat janji ini menurut adat istiadat Melayu Deli apabila diikrarkan ada saksi dan hukumannya. Apabila pihak perempuan yag mengingkari janji segala pemberian pihak laki-laki dikembalikan janji semua yang diberikan kepada pihak perempuan kepada seluruh hadirin yang hadir pada acara peminangan tersebut tanggal pernikahan dan peresmian sambil mengucapkan pantun seperti berikut ini :

Jika tidak salah bilangan
Menunggu bulan empat senama
Semoga tidak ada halangan
Datang tuan kami terima

Maka pantun yang terdapat di dalam acara ikat janji adalah kedua belah pihak keluarga berjanji untuk menepati perjanjian yang duiucapkan dan diikrarkan. Acara ikat janji telah selesai dilaksanakan dan ditutup dengan doa. Dengan demikian selesai pula acara adat peminangan menurut adat istiadat Melayu Deli.

C. Peranan Pantun dalam Acara Peresmian Masyarakat Melayu Deli
Acara peresmian dilaksanakan untuk mempersatukan dua orang anak manusia pria dan wanita dalam suatu ikatan perkawinan menurut tata acara adat dan agama. Secara agama dilaksanakan acara akad nikah. Alad nikah penting dilaksanakan karena bersifat keagamaan sesuai dengan kepercayaan suku Melayu Deli yakni agama Islam. Acara akad nikah dilaksanakan menurut ajaran agama Islam dipimpin oleh tuan kadhi dan dua orang saksi kemudian pengantin laki-laki
mengucapkan ijab kabul sebagai ayarat sah nikah yang dilaksanakan. Menurut tata cara adat perkawinan suku Melayu Deli, khususnya di kelurahan Titi Papan kecamatan Medan Deli, upacara-upacara yang sering dilaksanakan dalam acara penyambutan pengantin beserta rombongan dengan acara hempang batang/buluh, silat berlaga, tukar tepak di tengah halaman, bertukar payung, perang bertih/bunga rampai, disambut tari persembahan, hempang pintu, pijak batu lagan, hempang kipas di pelaminan, bersanding. Dilanjutkan dengan acara marhaban/doa, tepung tawar, makan nasi hadap-hadapan dan acara penyerahan pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan (serah terima pengantin). Perlengkapan perlengkapan adat yang harus disediakan dalam acara peresmian dari pihak pengantin laki-laki sebuah balai, tepak sirih, sebuah payung yang sudah dihias, bunga rampai dan enam buah uncang yang diisi dengan uang logam berfungsi sebagai kunci emas. Dari pihak pengantin perempuan perlengkapan-perlengkapan adat yang disediakan bambu atau dahan kelapa yang masih muda beserta daunnya, kain panjang, sebuah balai, tepak sirih, bunga rampai, batu di dalam sebuah talam yang ditaburi dengan bunga rampai dan sebuah payung yang sudah dihiasi.

Sesuai dengan adat istiadat Melayu Deli pada hari peresmian kedua pengantin harus memakai pakaian adat Melayu yakni pakaian teluk belanga untuk pengantin laki-laki beserta semua perlengkapannya. Di pinggang sebelah kanan tersisip sebilah keris, di tangan kanannya memegang sirih genggam yang terbuat dari karton atau sejenisnya berbentuk kerucut dibalut dengnan kain beludru atau kertas emas, di dalamnya diletakkan daun sirih yang telah diukir dan dua atau tiga tangkai bunga. Sedangkan pengantin perempuan memakai busana kebaya panjang
dan bersanggul tegang atau bersanggul mahkota sesuai keinginan pengantin perempuan tersebut dan ditangan kanannya memegang sirih genggam. Setelah segala sesuatu siap, rombongan pengantin laki-laki berangkat menuju ke rumah pengantin perempuan. Kira-kira 100 atau 200 meter dari rumah pengantin perempuan, rombongan pengantin laki-laki berhenti sejenak untuk memberitahukan kepada pihak keluarga pengantin perempuan bahwa rombongan pengantin perempuan dapat mempersiapkan diri untuk melaksanakan acara penyambutan pengantin. Dalam acara penyambutan pengantin peragaannya dipimpin oleh para telangkai adat utusan dari pihak keluarga pengantin laki-laki dan perempuan. Peragaan acara yang sedang berlangsung disampaikan dengan menggunakan pantun untuk menyampaikan maksud dari kedua belah pihak pengantin dan menjelaskan kepada tamu yang hadir tentang upacara yang sedang berlangsung sehingga membuat suasana pesta menjadi meriah.

Ketika dilihat rombongan pengantin laki-laki telah menuju rumah pengantin perempuan, mulailah telangkai adat yag bertugas sebagai juru bicara pihak keluarga pengantin perempuan menyambut rombongan pengantin laki-laki dengan pantun pembuka kata sebagai upacara selamat datang. Seperti pantun-pantun berikut ini:

Diutusnya Muhammad rasul terbilang
Bawa ajaran yang penuh terang benderang
Hilanglah gelap terbitlah terang
Selamatlah kita dari dahulu sampai sekarang
dan masa yang akan datang

Tuan dan Puan izinkan kami berucap kata
Hajat baik serta mulia
Bermacam-macam gaya bahasa yang sudah menjadi budaya bangsa
Terutang pula dalam UUD’45 pasal 32
Dalam garis-garis besar haluan negara
GBHN konon namannya

Diungkapnya ulang sepintas lintas
Terkenang kian ke masa silam
Adat zaman bahari bermacam ragam adat negeri
Tak lapuk dek hujan tak lekang dek panas
Adat budaya jadi tumpuan
Pusaka datuk nenek dari zaman ke zaman
itulah pula yang ia tinggalkan

Nun jauh disana
rombongan pengantin telah tiba dengan selamat
Diiringi kaum kerfabat
Sungguh seronok dilihat

Bagaimana hati kita tak merasa bahagia
Yang dinanti telah tiba
Bukan main rasanya bahagia
Wajib disambut dengan adat lemabaga

Cempedak jambu tanaman kami
Sungguh sarat dahan berubah
Takkan Melayu hilang di bumi
Demikian sumpah Hang Tuah

Lubuk Pakam si rantau panjang
Rantau panjang kampung nelayan
Hidup berpaham puak Melayu
Ajaran agama jadi amalan

Makna yang terdapat di dalam pantun pembuka kata di atas adalah mengucapkan Selawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia ke jalan yang besar dan diridhoi oelh Allah SWT sehingga membawa keselamatan bagi umat manusia dari dunia sampai akhirat. Seraya meminta izi kepada tamu yang hadir dalam acara peresmian tersebut untuk memakai bahasa Melayu (pantun) yang sudah menjadi budaya bangsa Indonesia dalam melaksanakan upacara dan sebagai bangsa yang cinta dengan budaya bangsa berubah agar adat budaya Melayu Deli yang telah ada dari zaman dahulu sampai sekarang dilestarikan pemakaiannya. Ketika rombongan pengantin laki-laki sampai dengan selamat, rombongan tersebut disambut dengan adat istiadatr sampai dengan selamat, rombongan tersebut disambut dengan adat istiadat Melayu Deli sehingga adat Melayu Deli tidak hilang dari permukaan bumi. Hal ini sesuai dengan sumpah yang diikrarkan oleh laksamana Hang Tuah. Dalam kehidupan sehari-hari masayarakat Melayu Deli menyesuaikan adat istiadar yang belaku di masyarakat dengan ajaran agama Islam.

Setelah pengantin laki-laki sampai di halaman rumah pengantin perempuan, dilaksanakan acara hempang batang/buluh. Jalan masuk ke rumak pengantin dihadang oleh dua orang pemuda yang memegang ujung kiri dan kanan dahan kelapa yang terlebih dahulu sudah dihiasi sebagai penghadang jalan masuk ke rumah pengantin perempuan. melihat jalan masuk ke rumah dihadang, terjadilah berbalas pantun antara utusan (juru bicara) kedua belah pihak pengatin. Seperti kita lihat dalam dialog-dialog pantun berikut ini :

Kini payung telah terkembang
Tinggal emnunggu angin yang datang
Tak usah ragu tak usah bimbang
Hanya memadu resam terbilang
Hajat baik bukan menghadang
Harap lewati si hempang batang

Assalamu’ alaikum kami ucapkan
Kepada tuan dan puan handai dan taulan
Kami datang pengantin beserta segenap rombongan
Tetapi kami heran mengapa pula jalan kami ada hadang-hadang

Walaikum salam kami ucapkan
Kepada pengantin berserta rombongan
Syarat adat tolong sediakan
Baru hempang batang kami singkirkan

Lama sudah tegak berdiri
Dengan pengantin beserta rombongan
Apa syarat adat yang kami patuhi
Supaya lekas emmpelai kami duduk di pelaminan

Ujung Tanjung pekan Labuhan
Simpang Dobi di Titi Papan
Orang kampung ada berpesan
Syarat adat tolong tunjukkan

Tanjung Tiram di Batu Bara
Lima laras letak istana
sudah paham kami yang tuan minta
Jangankan kunci emas setukan sudah kami bawa

Juru bicara pengantin laki-laki memberikan kunci emas kepada penjaga hempang batang, kunci emas yang diberikan dilihat oelh para utusan pengantin perempuan untuk memastikan sesuai atau tidak syarat adat yang diminta. Kemudian rombongan pengantin laki-laki dipersilahkan untuk memasuki halaman rumah pengantin perempuan sambil berpantun :

Di ufuk cerah mentari pagi
Selasih diminum di petang hari
Silahkan masuk ke halaman kami
Masih banyak rintangan yang harus tuan lalui

Makna pantun yang terdapat di dalam acara hempang batang di atas adalah utusan pihak pengantin perempuan tidak bermaksud menghadang jalan rombongan pengantin laki-laki. Acara hempang batang dilaksanakan sebagai salah satu acara adat istiadat masyarkat Melayu dalam acara penyambutan pengantin. Penghadang jalan dapat disingkirkan kepada penjaga . Setelah kunci emas diberikan rombongan pengantin laki-laki dipersilahkan untuk memasuki rumah pengantin perempuan.

Acara hempang batang telah selesai dilaksanakan, selanjutnya rombongan pengantin laki-laki disambut dengan acara silat berlaga ini dilakuykan oleh pendekar-pendekar silat dari kedua belah pihak pengantin. Pendekar silat ini pengantin laki-laki melalui acara silat berlaga dengan membuka langkah disambut pendekar silat pihak pengantin perempuan. Pendekar silat pihak pengantin laki-laki menyerang untuk masuk dan pendekar silat pihak pengantin perempuan tidak emmberikan izin masuk ke halaman rumah. Di akhir silat, pendekar pihak pengantin perempuan setapak demi setapak mundur dan mempersilahkan rombongan pengantin laki-laki masuk ke halaman rumah pengantin perempuan. Dalam acara silat berlaga ketika para pendekar-pendekar silat sedang berlaga dimeriahkan dengan pantun yang dikumandangkan oleh juru bicara pihak pengantin perempuan. Seperti pantun berikut ini :

Sungai payung namanya kampung
Tempat lahirnya laksamana hang Tuah
silat berlaga sambung menyambung
Majelis penyambutan menjadi meriah

Makna pantun dalam acara silat berlaga di atas adalah acara silat berlaga dilaksanakan untuk memeriahkan suasana penyambutan rombongan pengantin laki-laki. Setelah acara silat berlaga selesai dilaksanakan, selanjutnya dengan acara tukar tepak di tengah halaman. Tukar tepak di tengah halaman dilaksanakan oleh dua orang wanita utusan daru kedua belah pihak pengantin. Acara tukar tepak di tengah halaman dilaksanakan di atas tikar yang telah dibentangkan di halaman rumah pengantin perempuan. Kedua utusan pengantin laki-laki dan wanita duduk berhadapan, lalu keduannya saling bersalaman dan menukar tepak sirih yang dibawanya. Acara tukar tepak di tenagh halaman dimeriahkan dengan pantun yang dikumandangkan oelh juru bicara pihak pengantin perempuan. Tujuan pantun yang dikumandangkan supaya janagan terjadi perselisihan antara kedua belah pihak pengantin. Seperti apa yang dikatakan juru bicara pihak pengantin perempuan berikut ini :

Keris kedah kelang malaka
Bandar Serawak kotanya ramai
Habis sudah silang sengketa
Tukar tepak tanda berdamai

Makna pantun yang terdapat di dalam acara tukar tepak di atas adalah acara tukar tepak dilaksanakan dalam acara penyambutan rombongan pengantin laki-laki sebagai tanda perdamaian dan mempererat tali persaudaraan antara kedua belah pihak keluarga pengantin. Acara tukar tepak telah selesai dilaksanakan, acara penyambutan rombongan pengantin laki-laki dilanjutkan dengan acara tukar payung antara kedua belah pihak pengantin. Acara tukar payung dilaksanakan untuk menyambut pengantin yang datang. Seperti kata pantun berikut ini :

Digulung benang digulung tali
Dirajut benang buat selendang
Payung datang payung menanti
Guna menyambut pengantin yang datang

Makna pantun yang terdapat dalam acara tukar payung di atsa adalah acara menukar payung antara kedua belah pihak pengantin dilaksanakan untuk menyambut rombongan pengantin laki-laki.

Selesai dilaksanakan acara tukar payung, rombongan pengantin laki-laki disambut dengan acara perang bertih/bunga rampai yang dilaksanakan oleh dua orang ibu-ibu dari kedua belah pihak penagntin. Acara perang bertih/bunga rampai rampai ini dimeriahkan dengan pantun yang dikumandangkan oleh juru bicara pihak pengantin perempuan. Pantun yang diucapkan seperti bunyi pantun berikut ini :

Perang bertih dan bunga rampai
Tiup seruling dendang di palu
Majelis penyambutan menjadi ramai
Karena tibanya pengantin baru

Makna pantun yang terdapat di dalam acara perang bertih di atas menyambut rombongan penagntin laki-laki dengan menaburi bunga rampai.

Setelah perang bertih/bunga rampai dilaksanakan, rombongan penagntin dipersilahkan mamasuki halaman rumah pengantin perempuan sambil dikumandangkan pantun sidiran untuk pengantin lak-laki. Seperti pantun berikut ini :

Buah sentul buah rambutan
Ulam pegaga tumbuh di taman
Senyum simpu; pengantin berjalan
Rasa nak cepak duduk di pelaminan

Makna pantun diatas adalah pengantin laki-laki yang sedang berjalan tersenyum dan di dalam hatinya ingi cepat duduk di pelaminan. Di depan pintu masuk rumah pengantin perempuan, pengantin laki-laki disambut dengan tari persembahan, yang dilakukan oleh para penari-nari dari pihak penagntin perempuan. Dalam acara tari persembahan ini, pantun dikumandangkan oleh juru bicara pihak pengantin perempuan untuk memeriahkan acara tari persembahan yang sedang berlangsung. Pantun yang diucapkan seperti pantun berikut ini :

Tari persembahan lembaga adat
Untuk emnyambut tamu terhormat
Silaturahmi bertambah erat
Kedua mempelai selalu mufakat

Makna yang terdapat di dalam pantun di atas adalah tari persembahan dilaksanakan untuk menyambut tamu yang dihormati, serta mempererat tali silaturahmi atau persaudaraan antara kedua belah pihak keluarga pengantin dan kedua pengantin selalu seiasekata dalam menjalankan kehidupan berumah tangga.

Selesai tari persembahan dipergelarkan oleh para penari dari pihak penagntin perempuan, selanjutnya dilaksanakan acara hempang pintu, pintu di jaga oleh dua pria 9pemuda) yang berdiri di kiri dan kanan pintu, masing-masing memegang ujung kain panjang yang direntangkan. Melihat pintu dihadang oleh kedua pemuda, terjadilah berbalas pantun antara juru bicara kedua belah pihak pengantin. Tentang maksud dan tujuan pihak keluarga pengantin perempuan menghadang pengantin laki-laki di depan pintu. Seperti kita lihat dalam dialog pantun antara bicara kedua belah pihak pengantin berikut ini :

Kagum melihat kain terhalang
beginikah adat resam melayu
Hajat yang baik kami yang datang
Mengapa pula ada hempang pintu
Hempang pintu resam melayu
Kain panjang dipegang erat
Begitulah adat zaman dahulu
Pintu dihempang menurut adat

Kalau tuan hamba pergi ke Gundaling
Cobalah makan si buah jeruk
Tapi kita sudah berundang
Apakah sudah dibawa penawar sejuk?

Orang Melayu masak ketupat
Berisi pulut bercampur santan
Tapi kita sudah berunding
Apakah kita kan sudah mufakat
Masalah apa pula yag menjadi hambatan

Simpang laras sudah berdiri
Bukan satu tapi dua
Kalau hendak masuk sediakan kunci
Baru pintu kami buka
Pisang emas masak setandan
kami letakkan di atas meja
Kunci emas akan kami berikan
Tolong pintu segera dibuka.

Sambil memberikan dua buah uncang kepada penjaga pintu. Juru bicara penagntin laki-laki meminta agar pintu segera dibuka, tetapi dijawab oleh juru bicara pihak pengantin perempua bahwa belum dapat dibuka karena ada satu syarat lagi yang harus dipenuhi yakni jari tangan pengantin laki-laki harus terlihat berinai. Seperti yang terdapat dalam pantun berikut ini :

Indah nian pulau kampai
Nelayan mudik di hari senja
Jari pengantin sudahlah berinai
Merupakan adat pustaka

Mendengarkan pantun yang diucapkan oleh juru bicara pihak pengantin perempuan, juru bicara pihak pengantin laki-laki emnajwab pertanyaan tersebut dengan pantun :

Pasir putih pantainya landai
Disiram ombak selat Malaka
Jari pengantin sudahpun berinai
Kalau tak percaya silahkan Periksa

Juru bicara pihak pengantin laki-laki mempersilahkan memeriksa jari pengantin laki-laki, ketika terlihat oleh pihak keluarga pengantin perempuan bahwa jari pengantin laki-laki dipersilahkan masuk ke dalam rumah.

Makna pantun yang terdapat dalam acara hempang pintu dia tas adalah pihak pengantin laki-laki mengatakan bahwa maksud kedatangan rombongan penagntin laki-laki adalah baik, tetapi mereka terkejut melihat pintu rumah pengantin perempuan ada penghalang. Acara hempang pintu dilaksanakan karena sudah menjadi adat istiadat masyarakat melayu Deli dari zaman dahulu. Pintu dapat dibuka apabila pihak keluarga pengantin lak-laki memberikan kunci emas sebagai syarat adat dan menunjukkan kepada juru bicara penagntin perempuan bahwa jari
tangan pengantin laki-laki memakai inai.

Acara hempang pintu telah selesai dilaksanakan, selanjutnya rombongan pengantin laki-laki dipersilahkan masuk ke rumah. Sebelum dilanjutkan dengan acara hempang kipas, pengantin laki-laki terlebih dahulu harus memijak batu lagan diiringi dengan pantun yang diucapkan oleh juru bicara pihak pengantin perempuan. Pantun yang diucapkan seperti pantun berikut ini :

Batu lagan di dalam talam
Hinjakkan kaki di atas batu (kaki kanan pengantin laki-laki memijak batu
yang berada di dalam talam)
Silahkan pengantin masuk ke dalam
Sudah emnajdi anak menantu

Makna pantun di atas sebagai tanda bahwa pengantin laki-laki sudah menjadi bagian keluarga pihak pengantin perempuan. Selesai dilaksanakan acara pijak batu lagan, dilanjutkan dengan acara sembah mertua yakni menyalami orang tua pengantin perempuan yang sudah menanti di depan pelaminan. Acara sembah mertua diiringi dengan pantun yang diucapkan oleh juru bicara pihak pengantin perempuan. Pantun yang diucapkan seperti pantun berikut ini :

Bukan merbuk sembarang merbuk
Merbuk bersarang di dalam tempua
Bukan sembah sembarang sembah
Sembah menantu untuk mertua

Makna pantun di atas adalah pengantin laki-laki yang melayani orang tua pengantin perempuan sebagai tanda bahwa pengantin laki-laki sudah menjadi bagian dari pihak keluarga pengantin perempuan permpuan dan menghormati orang tua pengantin perempuan seperti orang tua kandungnya sendiri.

Sampai di depan pelaminan pengantin laki-laki belum boleh duduk di atas pelaminan karena di depan pelaminan dijaga dua orang wanita yang berdiri disebelah kanan dan kiri pelaminan. Masing-masing memegang ujung kain panjang yang direntangkan. Acara ini disebut hempang kipas. Dalam acara ini para penjaga pelamianan menuntut agar syarat adat hempang kipas diberikan. Dalam acara ini terjadi tanya jawab (berbalas pantun antara jurubicara kedua belah pihak pengantin). Bertindak sebagai juru bicara dalam acara hempang kipas ini adalah dua orang ibu bidan (mak inang). Isinya tanya jawab antara juru bicara (mak inang ) kedua belah pihak pengantin tersebut seperti pantun-pantun berikut ini :

Nenek Maharani pandai menari
Pandai emnari serampang dua belas
Hempang pintu sudah kami lalui
Mengapa pula ada sihempang kipas

hempang kipas hempang menanti
Menurut adat zaman ke zaman
Jika ndak masuk sediakan kunci
Baru pengantin duduk di pelaminan

Lamalah sudah tegak berdiri
Denga pengantin serta rombongan
Apa syarat sebagai kunci
Kami tak tahu tolong tunjukkan

sungai Deli di tanah Deli
belikan emas di hari petang
Bukan kunci sembarang kunci
Kunci emas tolong sediakan

Situasi bangsa indonesia sekarang ini mengalami krisis ekonomi (moneter) dan krisis kepercayaan, pantun di bawah ini disesuaikan dengan situasi bangsa Indonesia.

Hari ini masak genjer
Dimasak pula dengan ikan basah
Zaman ini zaman moneter
Jangan pula banyak bertingkah

Pisang emas masak setandan
Mari letakkan di atas meja
Kunci emas kami berikan
Hempang kipas tolong dibuka

Sungguh enak semban tuka-tuka
Di dalam lukah ikan paitan
Sebagai pelunak ikan paitan
Sebagai pelunak hati penjaga
Itulah syarat yang kami mintakan

Sambil mempersembahkan pengantin laki-laki duduk di pelaminan.

Makna pantun yang terdapat di dalam acara hempang kipas tersebut adalah juru bicara (mak inang) pengatin lak-laki mengatakan bahwa setelah hempang pintu dilalui oleh rombongan pengantin laki-laki, masih ada lagi hempang kipas. Pelamian dapat di buka apabila pihak keluarga pengantin laki-laki memberikan kunci sebagai syarat adat.

Selesai upacara hempang kipas pengantin laki-laki dipersialhkan duduk di pelaminan. Pengantin laki-laki duduk disebelah kanan pengantin perempuan, kemudian bertukar sirih genggam. Pelaksanaan tukar sirih genggam ini dipimpin oleh bidan pengantin dan memeriahkan dengan pantun. Seperti yang diucapkan oleh juru bicara (mak inang) pengantin perempuan berukut ini :

Sirih genggam bunga berkarang
Sungguh indah mata mememandang
Kalau dahulu terbayang-bayang
Tapi sekarang ini tidak ada lagi yang menjadi penghalang boleh dipegang-pegang.

Makna pantun di atas sebagai suatu pernyataan bahwa sejak saat ini, sang suami berkewajiban memberi nafkah lahir dan batin kepada istrinya. Dan sang istri berkewajiabn melayani suaminya sebagai istri yang sah menurut ajaran agama Islam.

Acara tukar sirih genggam selesai dilaksanakna, selanjutnya dilaksanakan acara marhaban dan disertai doa Tujuan acara marhaban untuk memanjakan puji syukur kehadirat Allah SWT dan mendoakan kedua pengantin hidup berbahagia dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. Acara marhaban dan disertai doa merupakan salah satu tata cara adat istiadat masyarakat Melayu Deli yang bersendikan ajran agama Islam.

Selesai marhaban dan doa dikumandangkan, selanjutnya dilaksanakan acara tepung tawar. Acara tepung tawar dikenal sebagai salah satu tradisi adat istiadat melayu terutama dalam adat istiadat Melayu Deli, acara tepung tawar dari sejak zaman dahulu sampai sekarang masih tetap dipakai atau diselenggarakan dalam acara perkawinan. Penampung tawaran dilaksanakan oleh kedua belah pihak keluarga pengantin. Tahap pertama yang menampung tawari pengantin adalah pihak keluarga pengantin perempuan kemudian dilanjutkan pihak kelurga pengantin laki-
laki. Dalam acara tepung tawar ini diucapkan pantun-pantun nasihat oleh juru bicara pihak pengantin perempuan untuk mengatakan makna dan tujuan diadakan acara tepung tawar suapaya tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Makna dan tujuan diadakan acara tepung tawar seperti yang terdapat pada pantun-pantun berikut ini:

Kain plekat coraknya asli
Dibawa mandi di laut tawar
Sudah mufakat sanak famili
Maka dibuatlah acara si tepung tawar

Sungguh indah resam Melayu
Sudah menjadi pusaka lama
Bukan mudah mencampur baur
Antara adat dan agama

Nuri dan tiung burung di belukar
Getah menjerat kedua kakinya
Hati-hati menepung tawar
Salah niat syirik jadinya

Sambil memanggil para penampung tawar, bait-bait pantun sebagai penggiring acara tepung tawar terus dikumandangkan supaya acara tepung tawar menajdi meriah. Pantun-pantun penggiring acara tepung tawar yang dikumandangkan oleh juru bicara pihak pengantin perempuan seperti pantun-pantun berikut ini :

Tepung tawar lembaga adat
Penggiring pengantin tetap selamat
Dirinya damai sehat afiat
Seia sekata selalu mufakat
Bahan dipakai untuk tepung tawar
Dibagi tiga bahagian besar
Pengupah semanagt kemabli tegar
Ujud semula sebagai penawar

Beras kuning dan beras putih
Padi direndang menjadi bertih
Kasih sayang tiada terpilih
Terbit dari hati yang bersih

Limau purut dikerat-kerat
Bercampur langir tanda sepakat
Daun perinjis disimpan erat
Tiada bercerai hingga kiamat

Setelah selesai memanggil para penampung tawar, acara tepung tawar ini ditutup dengan pantun seperti berikut ini :

Tepung tawar dirinjis-rinjis
Pada mempelai dua sejoli
Terima kasih kami kepada majelis
Memberi restu kami kepada majelis

Tepung tawar selesailah sudah
Memenuhi lembaga adat pusaka
Pada Illahi kita meminta
Semoga mempelai bahagia
Selamat sejahtera sepanjang masa

Makna pantun yang terdapat di dalam acara tawar adalah acara tepung tawar di buat karena ada kata sepakat antara kedua belah pihak keluarga pengantin. Menurut sejarah acra tepung tawar merupakan warisan budaya Hindu tetapi setelah agama Isalam masuk ke Indonesia, dan dianut oleh masyarakat Melayu terutama Melayu Deli, maksud dan tujuan diadakan tepung tawar disesuaikan dengan ajaran agama Islam yakni alat-alat atau bahan-bahan yang digunakan dalam acara tepung tawar dijaki dan dianalisiskan makna dan tujuannya agar tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Acara tepung tawar merupakan salah satu tradisi masyarakat Melayu Deli sebagai ungkapan doa restu dari kedua belah pihak kelaurga pengantin supaya pengantin selalu berbahagia dalam menjalankan kehidupan berumah tangga.

Setelah selesai acara tepung tawar dilaksanakan, dilanjutkan dengan acara makan nasi hadap-hadapan. Acara makan nasi hadap-hadapan dihadiri oleh perempuan (ibu-ibu) saja dari kedua belah pihak keluarga pengantin, sedangkan laki-laki menurut adat istiadat Melayu Deli tidak boleh ikut serta. Kedua pengantin dibawa kesuatu ruangan atau di depan pelaminan yang sudah terhidang hidangan nasi hadap-hadapan lengkap dengan lauk-pauk, kue, haluwa dan bunga-bunga yang berbuat dar manisan buah-buahan. Posisi yang biasa dilakukan dalam makan nasi hadapa-hadapan yakni kedua pengantin duduk berbaris empat persegi panjang. Dan di depan pengantin diletakkan sebuah pahar berisi empat nasi lemak atau nasi minyak, diatas nasi tersebut tertancap bunga yang terbuat dari manisan buah-buahan. Acara makan nasi hadap-hadapan ini dipimpin oleh wanita yang bertindak sebagai juru bicara dan di dalam adat Melayu Deli disebut mak inang ditambah dua orang pendamping pengantin dan setiap acara yag berhadap-hadapan dimulai dengan dikumandangkannya pantun berikut ini :

Menurut adat resam Melayu
Sudah teradat sejak dahulu
Bila tepung tawar telah berlalu
Nasi hadp-hadapan menanti pula

Sanak keluarga duduk berkumpul
Bersama juadah sudah diatur
Kedua pengantin tersenyum simpul
Melihat keluarga saling bertutur

Nasi pengantin terhidang sudah
Lauk pauknya kue dan haluwa
Disusun rapi ditata indah
Laksana taman bertabur bunga.

Setelah pantun di atas dikumandangkan, juru bicara pihak pegantin perempuan (mak inang) memerintahkan kepada kedua pengantin untuk berebut bunga di atas nasi hadap-hadapan sebanyak tiga kali cabut dan bunga yang dicabut harus berlainan warna. Setelah acara emncabut bunga selesai, jur bicara pihak pengantin perempuan menyuruh kedua bidan pendaping untuk memusing tempat nasi hadap-hadapan sebanyak tiga kali dan mambasuh tangan kedua pengantin karena acara berebut ayam panggang segera dimualai. Acara berebut ayam panggang diiringi dengan pantun yang dikumandangkan mak inang untuk menyatakan maksud dan tujuan dari acara makan nasi hadap-hadapan tersebut. Seperti pantun berikut ini :

Nasi dihidangkan mangkok bertalam
Dihiasi dengan bunga-bungaan
Nasi diisi seekor ayam
Akan direbut dengan cetakan

Setelah tangan dibasuh bersih
Menunggu aba-aba bidan pengantin
Dengan nama Tuhan Maha Pengasih
Perebutan dimulai lahir dan batin

Tangsan dibenam ke dalam nasi
Mereka mencari kian kemari
Ayam panggang tujuan di hati
Hendak dikuasai seorang diri

Keras-keras buah Malaka
Beragam bentuk ke Melayu
Bergegas tangan meraba-raba
Ayam panggang hendak dituju

Tetapi apa konon telah terjadi
Suami tersentuh tangan sang istri
Diremas mesra jari jemari
Ayam panggang tak lagi peduli

Bidan pengantin menjadi curiga
Mengapa perebutan tak selesai juga
Di dalam hati bidan tertawa
Terbayang pengalaman di masa muda

Medan dahulu bernama Deli
Warganya ramah rukun berjiran
Sibuk mempelai asyik mencari
Siapa dulu dia mendapat
Dialah menjadi pemimpin rumah tangga sejati

Ketika ayam panggang yang direbut sudah diketahui siapa pemegangnya, diumumkan kepada hadirin yang hadir dengan berpantun-pantun, seperti pantun berikut ini :

Nasi hadap-hadapan mengandung makna
Lambang mufakat seia sekata
Hasil rebutan diumumkan pula
Kepada sidang majelis yang berbahagia

Sang suami mendapat kepala
Lambang pemimpin di rumah tangga
Sang istri mendapat paha
Lambang kesuburan yang mulia

Mak inang memerintahkan kedua pengantin duduk berhadapan, untuk bersulang minum dan dan makan. Selanjutnya mak inang memberi aba-aba supaya acara bersulang dimulai sambil mengumandangkan pantun seperti berikut ini :

Nasi hadap-hadapan mengandung arti
Bagi pengantin muda bestari
Bersuap-suapan suami istri
Lambang kasih murni nan cinta

Acara makan nasi hadap-hadapan ditutup dengan pantun seperti pantun berikut ini :

Nasi hadap-hadapan selesailah sudah
Merupakan lembang adat Melayu
Majelis keluarga menjadi meriah
Silaturahmi rukun hidup terpadu

Makna pantun yang terdapat di dalam acara makan nasi hadap-hadapan di atas adalah apabila acara tepung tawar telah selesai dilaksanakan dilanjutkan dengan acara makan nasi hadap-hadapan. Acara makan nasi hadap-hadapan menimbulkan kesan silaturahmi bertambah erat antara kedua belah pihak keluarga pengantin sebab sebelum acara dimulai kedua belah pihak keluarga pengantin sudah memperkenalkan diri. Nasi hadap-hadapan yang terhidang diibaratkan seperti taman bunga yang indah. Setelah tangan pengantin dicuci bersih, acara mencari mustika terpendam(ayam panggang) dimulai dengan menyambut nama Allah SWT untuk dikuasai seorang diri tetapi apa yang terjadi ketika suami menyentuh tangan istrinya, mencari ayam panggang tidak selesai dan di dalam hati bidan pengantin tertawa karena terbayang pengalaman di masa muda. Pemenang merebut ayam panggang diumumkan kepada yang hadir di dalam acara tersebut. Apabila suami mendapat kepala ayam panggang melambangkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan apabila istrinya mendapat paha ayam melambangkan sebagai seorang ibu yang akan memberikan keturunan. Acara makan nasi hadap-hadapan mengandung arti cinta kasih murni antara istri dan merupakan salah satu adat istiadat masyarkat Melayu Deli.

Acara makan nasi hadap-hadapan telah selesai dilaksanakan, selanjutnya dilaksanakan acara serah terima pengantin laki-laki kepada pihak keluarga pengantin perempuan. Acara serah terima pengantin dilaksanakan sebelum rombongan yang mengantar pengantin laki-laki pulang. Pengantin duduk bersimpuh dan pengantin laki-laki duduk bersila, beralaskan permadani atau kain panjang di depan pelaminan. Acara serah pengantin ini dimulai oleh wakil pihak keluarga pengantin laki-laki untuk menyampaikan kata-kata serah terima. Kemudian kata penyerahan dari pihak keluarga pengantin laki-laki disambut oleh yang mewakili pihak keluarga pengentin perempuan. Kata-kata yang diucapkan dalam acara serah terima pegantin disampaikan dengan cara berpantun yakni untuk menyampaikan kata-kata nasihat atau petuah-petuah orang tua. Seperti pantun berikut ini :

Selain daripada ucapan
Syukur wahai Tuhan
Dan terima kasih yang tiada hingganya
Padamu wahai budiman

Hutang wajib dibayar, janji wajib ditepati
Maka pada hari ini kami datang menepati janji
Mengantar anak kami pengantin laki-laki
Untuk dipersandingkan dengan anak kami Nilawati
Di rumah yang bertuah ini

Maka selesailah sudah hutang kami
Oleh sebab itu sekejab lagi kami akan memohon diri
Tetapi, sebelum kami bergerak sila melangkah keluar
Bendul pintu rumah yang bertuah ini
Inginlah kami lebih dahulu menyerahkan anak kami
Pengantin laki-laki

Pada saat ini kami menyerahka anak kami, Fazly Anshari kepada tuan,
karena mulai saat ini resmilah ianya menjadi anak bagi keluarga tuan di rumah ini.
Dalam kata penyerahan ini inginlah kami menyatakan, bahwa anak kami Fazly Anshari
Umur baru setahun jagung
Darah biru setumpuk pinang
Tegap tinggi, bukan pada dengan ilmu dihitung
Tetapi karena dek lemak daging dan tulang

Sebab itu jangan heran kalau ia :

Belum paham resam-resi
Belum mahir basa basi
Belum fasih bertutur sapa
Usahkan beradat berlembaga

Anak kami Fazly Anshari

Sekejab kagi kami akan kembali
Tetapi engkau tinggal di sini
Jangan bimbang jangan sangsi
Karena engkau sudah menjadi anak dari keluarga di rumah yang bertuah ini

Jangan engkau seperti :

Merak khayangan
Hanya pandai bersolek diri
Hilir mudik ekor dikembangkan
Mencari puji meminta puji

Indah budi baik pererti
Coba engkau lihat rumpun padi
Kian berisi kian runduk ke bumi
Tak bosan berbakti kepada insani

Anaknda kedua pengantin baru, hidup berumah tangga tidaklah :

Selamannya tenang seperti air di tempatnya
Tetapi bak lautan
Terkadang renang terkadang beriak bergelombang
Bahkan badai ribut dan bertopan

Terbang sekawan burung enggang
Hinggap di dalam pohon kenari
Hidup berumah tangga tegang menegang
Silang sengketa jangan dicari

Padamu wahai jauhari
Bolehkah kami menumpang tari
Mudah-mudahan umur kita sama panjang
Dilain kesempatan kita bertemu kembali

Maka pantun-pantun yang terdapat di dalam acara serah terima pengantin di atas adalah ucapan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena acara peresmian dapat dilaksanakan. Untuk memenuhi janji yang diucapkan dan diikrarkan pada acara ikat janji, selesai hutang janji dibayar. Pada saat ini pengantin laki-laki diserahkan kepada keluarga pengantin perempuan dan resmi menjadi bagian keluarga di rumah ahli bait. Kemudian diucapkan kata-kata nasehat kepada kedua pengantin agar dapat menjalankan kehidupan berumah tangga yang penuh dengan rintangan dan godaan. Selesai acara serah terima pengantin dilaksanakan, selesai pulalah acara adat peresmian akan tetapi acara opesta diteruskan untuk menyambut tamu-tamu
yang diundang.

Daftar Pustaka
Admansyah, Tengku. 1987. Peranan Budaya Melayu Sebagai Sub Kultur Kebudayaan Nasional. Medan : Yayasan Karya Budaya Nasional.

Ali, Muhammad. 1987. Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi.Bandung: Angkasa

Aminuddin. 1993. Sekitar Masalah Sastra. Minang : Yayasan Asih, Asah, Asuh

Damono, Soepardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Djajasudarman, T. Fatimah. 1993. Metode inguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung : Eresco.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta : Balai Pustaka

Fang, Liaw Yock. 1993. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 2. Jakarta : Erlangga.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yokyakarta : Pustaka Pelajar.

Hardjana, Andre. 1981. Kritik sastra. Jakarta : Gramedia.

Ikram, Achdiati. 1989. Bunga Rampai Bahasa Intermasa.

Lubis, Mochar. 1997. Sastra dan Tekniknya. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Panuti, Sudjiman. 1994. Filologi Melayu. Jakarta : Pustaka Jaya.

Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung : Angkasa.

Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung : Angkasa.

Suprapto. 1991. Kumpulan Istilah Apressiasi Sastra Bahasa Indonesia. Surabaya :
Indah.

Subagyo, P. Joko. 1991. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Jakarta : Rineka
Cipta.

Siregar, Ahmad Samin. 1994. Apresiasi Puisi. Medan : USU Press.

Siregar, Ahmad Samin. 1994. Bunga Rampai Sastra Tradisi di Indonesia. Medan :
USU Press.

Sitorus, J. 1995. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Tarsito.

Waluyo, Herman. J. 1994. Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastar. Surakarta :
Sebelas Maret Universitas Press.

Sastra dan Budaya. Jakarta :

-

Arsip Blog

Recent Posts