Fenomena Anak-anak Yang Dilacurkan di Sumatera Utara

Anak-anak yang dilacurkan telah cukup menggejala di kota-kota besar diIndonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan bahkan kota-kotayang kecil seperti Yogyakarta dan Surakarta. Masalah ini cukupmemprihatinkan karena korbannya adalah penduduk yang dari sudut kematangan seksual belum dewasa. Mereka belum cukup mengetahui risiko dari hubungan seksual sehingga kehamilan dini dan penularan PMS (Penyakit Menular Seksual)dengan seluruh implikasinya dapat terjadi pada mereka. Prakktik itu jugadapat mempengaruhi perkembangan pribadi dan masa depan merekaMasalah anak-anak yang dilacurkan merupakan masalah yang sampai hari ini belum terpecahkan.

Pemerintah menganggap masalah ini adalah masalah kecil yang tidak begitu menganggu stabilitas dan atmosfer politik di Indonesia.Belum ada pemikiran pemerintah untuk menyusun program mengentaskan masalahini. Pemerintah masih terlalu sibuk menyelesaikan konflik antar kepentinganyang sedang bermain. Sayangnya anak-anak terus saja dikirim ke ladang-ladang pelacuran apakah itu lokalisasi terselubung, hotel, karaoke dan sebagainya.Artinya korban demi korban terus saja berjatuhan sementara respon atasmasalah ini masih sedikit yang memberikannya. Dalam masalah anak-anak yangdilacurkan ini banyak pihak yang terlibat dan menerima manfaat atasberlangsungnya bisnis ilegal ini. Namun bagi anak, hal ini sangat merugikan khususnya bagi masa depannya.Anak-anak dijadikan pelacur lebih dikarenakan oleh permintaan pasar yangmeningkat. Tingginya permintaan terhadap anak-anak terutama yang berusia14-17 tahun karena mereka dianggap "suci" dari berbagai virus dan penyakit.Seorang mucikari yang berhasil menyediakan seorang gadis muda yang masih perawan maka dia bisa meraup untung jutaan rupiah untuk satu kali transaksi dengan seorang pelanggan. Dengan alasan-alasan ini pula maka mucikari dengansegala upaya berusaha mendapat "rumput muda".

Upaya ini biasanya merekalakukan secara terorganisir, dengan jalur-jalur yang tertutup-rapi, danhanya orang-orang tertentu saja yang bisa memasukinya.Anak-anak yang di bawah umur lebih mudah dibujuk dan diming-imingikesenangan dan pekerjaan, sehingga dengan gampang dijual ke lokasi-lokasiyang memerlukannya. Para pembujuk ini dalam istilah sindikat disebut"kolektor" beroperasi di pusat-pusat keramaian seperti mal, plaza bahkansampai ke desa-desa. "Kolektor" ini biasanya sudah terlatih mengenali calon-calon mangsa yang gampang tergiur dengan tawaran sejumlah uang ataupekerjaan. "Kolektor" ini sendiri sebenarnya dipekerjakan oleh bos sindikat(mucikari/germo).Pada Februari 1999 penulis pernah melakukan investigasi terhadap para"kolektor" di beberapa plaza dan mal di Medan. Hasilnya para calon korban,yang biasa mereka sebut ABG (Anak Baru Gede) yang umumnya berasal daridaerah pinggiran kota dan memiliki latar belakang keluarga menengah kebawah. Mereka ini sangat mudah diajak ke tempat-tempat mewah dan jarang menolak ajakan tesebut. Setelah calon korban menerima ajakan tersebut"kolektor" membawanya ke tempat mucikari. Di sini "kolektor " akan mendapattips yang besarnya sekitar Rp.100.000-Rp.200.000, tergantung pada kecantikandan keperawanan si korban.Dan ternyata begitu banyak dijumpai kasus anak-anak yang dilacurkan diSumatera Utara. Anak-anak ini biasanya dikirim ke lokalisasi pelacuran diPulau Sicanang, Belawan (Medan) dan Bandar Baru (Deli Serdang), Warung Bebek(Deli Serdang), hotel-hotel kecil di Medan bahkan sampai ke Pulau Batam(Riau).Di Sumatera Utara faktor yang lebih banyak mempengaruhi munculnya anak-anakyang dilacurkan lebih dominan disebabkan oleh faktor penipuan oleh parasindikat penjual wanita yang berkedok sebagai perantara pencari kerja. Inibisa dibuktikan dengan berbagai dokumen pemberitaan media massa yangmengungkap pengalaman anak-anak yang berhasil kabur dari "ladang pelacuran".

Angka Kejadian
Laporan investigasi wartawan Fokus (Fokus, 9-15 Desember1998) di lokalisasiBandar Baru, Deli Serdang, Sumatera Utara menemukan ada sekitar 200-300 perempuan dipekerjakan dalam bisnis seks dan lebih dari setengahnya adalah anak-anak berusia berkisar 15-17 tahun. Seorang informan, sebut saja Nur (16tahun) menyatakan bahwa dia dijanjikan akan dipekerjakan di Restoran PadangBulan namun kenyataannya dia dijual ke Barak Naga, Bandar Baru. Sementarauntuk kabur sangat sulit, karena ketatnya penjagaan.Jumlah anak-anak yang ditemukan oleh investigasi wartawan tersebut bukanlahuntuk membesar-besarkan masalah. Fakta adanya anak-anak yang dilacurkan inidiakui oleh Dinas Sosial Propinsi Sumatera Utara. Tahun 1998 ketika instansi ini melakukan pendataan terhadap pelacur di Sumatera Utara mereka menemukananak-anak berusia di bawah 18 tahun sebanyak 281 orang "bekerja" ditigalokalisasi yaitu Bandar Baru (Deli Serdang), Bukit Maraja (P. Siantar), danWarung Bebek (Deli Serdang). Jumlah ini belum termasuk yang dijumpai didiskotik, dan pub yang mencapai 500 orang. Dinas Sosial propinsi SumateraUtara mengakui masih banyak anak-anak yang dilacurkan yang belum terdata,atau cenderung memalsukan umurnya (Dinas Sosial Propinsi Sumatera Utara,1999)Anak-anak yang dilacurkan ini masih harus mengalami kekerasan. Kasus penyekapan dan penjualan 600 anak di bawah umur untuk dijadikan pelacur anakdi Dumai, Riau yang terjadi pada bulan Maret 2000 lalu membuktikan faktaini. Sebagian besar anak-anak yang disekap ini berasal dari Medan.Terangkatnya kasus ini disebabkan oleh tiga orang dari mereka berhasil diambil oleh keluarganya dengan membayar sejumlah uang untuk kebebasanmereka, dan selanjutnya keluarga salah seorang dari mereka ini mengadukankasus ini ke polisi untuk dapat diusut lebih lanjut (Kompas, 26 Maret 2000).

Kasus yang hampir sama terjadi kembali pada 25 Maret 2000. Dua orang gadismuda berusia 15 tahun disekap dan nyaris terjual ke tempat pelacuran dipulau Batam. Penyekapan itu sendiri berlangsung di Medan dan kedua gadis tersebut berasal Tembung, pinggiran Medan. Untungnya keluarga korbanmengetahui anak gadisnya disekap dan bersama kerabatnya yang polisi membebaskan kedua anak gadisnya. (Radar Medan, 27 Maret 2000).Kasus yang menarik untuk diungkapkan kasus yang dialami oleh Fitriani (16tahun) penduduk Jalan Letda Sujono Medan. Fitri gadis manis yang berkulitputih menceritakan pengalamannya ketika diajak ke Bandar Baru, kabupatenDeli Serdang untuk bekerja di rumah makan dengan gaji besar. Dia tidak tahukalau Bandar Baru itu adalah lokalisasi pelacuran di Sumatera Utara.Setelah permisi sama orang tuanya, Fitri pergi bersama tiga orang temannyayaitu Afrida (15 tahun), Kiki (16 tahun), Florida (16 tahun). Sesampainya diBandar Baru Fitri sudah mulai curiga karena dia diinapkan di sebuah rumahyang didalamnya telah menunggu beberapa perempuan muda. Fitri ingin pulang tetapi tidak bisa.Malam itu dia harus merelakan keperawannnya kepada pria turunan dan dibawake Bungalow Kumala Bandar Baru. Selama satu bulan Fitri dipaksa melayani setiap tamu yang mem-booking-nya. Dan selama satu bulan itu juga diaberhasil mengumpulkan uang sejumlah Rp. 2 juta. Terbongkarnya kasus ini, setelah Florida (teman Fitri) hamil yang inginmakan martabak di Medan. Oleh mucikari Florida diizinkan turun ke Medan.Namun sampai di Medan dia mengadukan kasus ini ke orang tuanya dan kekepolisian.Orang tua Florida meminta agar germo/mucikari dihukum "Mereka harus dihukumberat dan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku karena sudah merusakmasa depan anak saya", katanya.

Nasib anak-anak yang dilacurkan ini sangat tidak menyenangkan, ini terlihatdari kasus yang ada di Lokalisasi Bandar Baru, Deli Serdang. Anak-anak yang menolak perintah germo untuk melayani kebuasan nafsu para hidung belang yangdatang, maka dengan garang germo akan menyiksa mereka malah ada yang sampai gegar otak karena kepalanya dibenturkan ke tembok dan jadi gila ( WanitaIndonesia, Februari 1998).

Studi Pelacuran Anak
Di Indonesia sendiri studi yang telah dilakukan tentang anak-anak yangdilacurkan sangat minim sekali. Beberapa penelitian yang berhasil mengungkap masalah ini misalnya penelitian yang dilakukan oleh Irwanto dkk (1998) diDesa Bongas. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Koentjoro(1989), Hull dkk (1997) dan Wibowo dkk (1989). Dari ketiga penelitian inidapat disimpulkan bahwa munculnya anak-anak yang dilacurkan lebih banyakdisebabkan oleh motif ekonomi dan budaya. Hull dkk (1997) menambahkan faktorpendidikan yang rendah, ketidaktaatan terhadap agama Islam. Malah diIndramayu orang tua ikut serta dalam semua proses ritual, pendidikan dan persiapan seorang anak menjadi pelacur. Orang tualah yang memberikan persiapan spriritual-mistis, menghubungkan dengan seorang germo, danmemastikan bahwa penghasilan anaknya tidak untuk dihambur-hamburkan. Merekapula yang selalu mendoakan dan meramu sajian agar anak-anaknya memperoleh tamu yang banyak.

Bagong Suyanto (1999) juga pernah melakukan penelitian tentang anak-anakyang dilacurkan di Surabaya. Dari penelitiannya ini ditemukan bahwa penyebabmasuknya anak-anak dalam pentas pelacuran lebih disebabkan karena faktorpenipuan, pemaksaan dan ketidakmengertian mereka, bukan karena kesukarelaan mereka untuk memilih pekerjaan sebagai pelacur. Mereka tidak pernahberkeinginan atau bercita-cita untuk menjadi pelacur.Penelitian lain yang perlu diungkapkan adalah apa yang dilakukan olehMuhammad Farid (1999). Walaupun sebenarnya penelitian ini hanyalah sebataspada kajian pustaka semata. Dari penelitian ini ditemukan fakta bahwa kasusanak-anak yang dilacurkan dari tahun ke tahun menunjukkan gejala peningkatan. Fakta-fakta dilapangan yang membenarkan argumentasi ini cukup signifikan. Dia mencontohkan dengan mengutip dari Majalah Gatra tanggal 7Oktober 1995 ditemukan bahwa ada sekitar 250 anak dari Blitar (Jawa Timur) diperdagangkan ke kompleks lokalisasi di Bukit Maraja, Sumatera Utara. Tahunberikutnya jumlah ini menjadi sekitar 300 orang. Dalam penelitian inidiungkapkan beberapa kota yang sering sekali menjadi lokasi pelacuran anakantara lain adalah Denpasar, Lombok, Pontianak, Medan, dan Batam. Daerah ini selain merupakan daerah tujuan wisata asing (Denpasar dan Lombok) juga secara geografis berdekatan dengan negara tetangga (Pontianak, Medan danBatam).Penelitian Farid ini menjadi indikasi yang cukup kuat untuk memberikanargumentasi bahwa kasus anak-anak yang dilacurkan menjadi kecenderungan yangperlu segera diwaspadai dan disikapi. Bila tidak, maka Indonesia akanmenjadi jalur perdagangan anak internasional. Bila dikaitkan denganpenelitian sebelumnya maka ada tiga titik perhatian yang berbeda.

Irwanto(1998), Hull (1997), Wibowo (1989) dan Koentjoro (1989) melihat padaaspek-aspek sosial budaya yang mempengaruhi munculnya pelacuran anak maka Bagong (1999) cenderung menitikberatkan pada faktor-faktor yang menyebabkananak-anak direkrut dan kemudian dilacurkan. Disini titik perhatian sudahmulai terfokus pada perdagangan anak walaupun Bagong sendiri tidakmenyebutkan studinya sebagai studi trafficking. Sementara itu Farid sudah memfokuskan pada aspek trafficking atau perdagangan anak, walaupun studi inisendiri sangat lemah dengan informasi-informasi kwantitatif.

Penelitian-penelitian yang disebutkan di atas lebih mengarah pada penelitian eksplorasi atau pendalaman akan fenomena masalah anak-anak yang dilacurkanatau perdagangan anak. Penelitian tersebut belum diarahkan pada studikebijakan yang mengungkapkan respon pemerintah dalam melihat fenomena perdagangan anak dan upaya-upaya yang sudah ditempuh oleh pemerintah dalam mengatasi atau mengurangi meluasnya permasalahan perdagangan anak.

Kekerasan da Implikasinya
Anak-anak yang dilacurkan dimanapun berada baik yang berada di lokalisasimaupun di non lokalisasi acap kali menerima perlakuan-perlakuan yang tidakwajar. Perlakuan tidak wajar tersebut pada umumnya diberikan oleh orangdewasa. Hal ini terjadi akibat lemahnya posisi anak yang sering dianggap objek. Perlakuan yang tidak wajar tersebut biasanya terjadi dalam bentukkekerasan maupun pelecehan seksual.Bahwa kekerasan terhadap anak bertolak dari timpangnya hubungan sosial ataurelasi sosial antara anak-anak dan orang dewasa, yang berakar pada budaya.

Yang paling dominan adalah cara pandang orang dewasa terhadap anak, terutamasebagai objek yang lemah, Mereka --- anak-anak--- adalah orang-orang lemahyang bisa diperlakukan seenaknya.Umumnya korban kekerasan seksual terhadap anak yang dilacurkan ini tidakhanya akan menderita akibat trauma fisik (misalnya cidera tubuh), namunterutama sekali akan menderita stres mental yang amat berat bahkan seumurhidup, yaitu apa yang dinamakan stres pasca trauma, sebab pada dasarnya kekerasan seksual itu lebih merupakan trauma psikis daripada trauma fisik.Bila dikaitkan dengan anak-anak yang dilacurkan maka penyebab kekerasanadalah status sosial, sistem kerja yang unik yang tidak tergantung pada ketentuan yang umum tetapi tergantung pada germo dan perilaku pelanggan-pelanggan yang tidak waras. Bahkan dikarenakan mereka termasuk jenis kerja yang tidak diakui pemerintah, maka segala kekerasan yang mereka alami dianggap sebagai resiko yang hanya ditanggung oleh mereka sebagaikonsekwensi dari hasil yang mereka lakukan.Selain trauma psikis sebagai dampak kekerasan seksual, juga peluangtertularnya HIV/AIDS sangat besar bagi anak-anak yang dilacurkan.

Mereka umumnya kurang paham akan arti pentingnya seks sehat. Para pelangganpunmerasa yakin si anak adalah suci dari berbagai penyakit, dan tidak merasapenting untuk menggunakan kondom. Padahal peluang tertularnya HIV/AIDSterhadap anak-anak yang dilacurkan cukup besar, hal ini disebabkan karenamereka berada dalam posisi yang lemah, dan pasrah menerima keadaan yang tidak memihak ini.Sampai saat ini memang belum diketahui data mengenai jumlah anak-anak yangdilacurkan tertular HIV/AIDS namun bila melihat resiko yang akan dideritanyamaka cukup beralasan kalau keberadaan mereka dalam bisnis seks segeradihapuskan.

Bila dibandingkan dengan negara-negara barat, orang dewasa yangmelakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur (meskipun atas dasar sukasama suka) dianggap melakukan tindak kriminal (melanggar hukum) dan dapatdijatuhi hukuman berat.Indonesia tidak mengenal hukum seperti ini, karenanya praktik seperti inidapat berlangsung secara leluasa, dan sejauh ini belum terdengar tindakanbagi hukum para pelakunya. Perlindungan hukum bagi anak-anak yang dilacurkand i Indonesia juga sangat lemah. Indonesia hanya memiliki KUHP warisanBelanda. Peraturan lainnya yang bisa menjerat para sindikat tidak ada sama sekali. KUHP sendiri dalam memberikan sanksi pidana kepada para pelaku atau sindikat anak-anak yang dilacurkan sangat lemah dan tidak berpihak padakorban. KUHP juga sudah sangat ketinggalan dalam memberikan batasan umuranak, yaitu di bawah 15 tahun, sementara kecenderungan internasional adalahdi bawah 18 tahun.

Disamping itu lemahnya penegakan hukum terhadap penjualan anak -anak dalamsindikat bisnis pelacuran lebih disebabkan adanya faktor kolusi antaramucikari/germo dengan aparat keamanan. Kolusi ini sudah berlangsung cukuplama sehingga untuk dapat menanggulanginya diperlukan kerjasama denganberbagai pihak untuk melakukan tekanan terhadap pemerintah. Dukungan internasional dalam rangka menekan pemerintah Indonesia sangat efektif dalammemberantas sindikat penjualan anak-anak dalam bisnis pelacuran.

-

Arsip Blog

Recent Posts