Gambang Kromong Melayu Betawi, Jangan Lupa Budaya Sendiri

Jakarta - Membuka bulan ulang tahun Jakarta ke 486, Teater Abang None yang tergabung dalam IANTA, menggelar pentas teater Betawi bertajuk Soekma Djaja, di Gedung Kesenian Jakarta pada Rabu dan Kamis lalu. Para Abnon kali ini membawa sebuah kisah getir soal wajah Jakarta yang makin tua tapi makin tak ramah terhadap kesenian tradisional Betawi.

Betul, Jakarta sejak dulu adalah kota multikultural dengan berbagai akulturasi dan perkawinan budaya yang melahirkan budaya Betawi tersendiri. Namun masa jaya ke-Betawian dengan Gambang Kromong dan ondel-ondel kini seolah jadi barang purba untuk generasi mudanya.

Dibuka dengan alunan musik gambang kromong yang khas, Abang narator berbaju hijau dengan dialek Betawi pun masuk dan berpantun sahut-sahutan dengan para pemain musik tentang keluarga Maman Djaja. Setelah itu klip berita Tommy Tjokro muncul mengulas kurangnya perhatian terhadap kesenian tradisi saat ini.

Tak lama adegan pertama dibuka di terminal bus Karet tempat lalu-lalang metromini yang mengepulkan asap dan warga Jakarta beragam profesi memulai harinya. Warung nasi uduk Mpok Odah menjadi persinggahan obrolan Jaelani atau Jay (Bobtriyan Tanamas) dengan Engkong (Ahmad Bastian Ibrahim) yang memaksa Jay untuk meneruskan usaha gambang kromong miliki ayah Jay, Babe Maman (Doddy Eriandoko).

“Babe lo udah penyakitan, potong kuku aja kaga bisa. Kalo gua jadi lu, kagak perlu sekolah tinggi-tinggi. Jatohnya ngamen juga!” kata Engkong Zakaria.

Tapi Jay malu dan ingin jadi orang kaya modern. Maka ia menutupi identitas dirinya sebagai anak seniman gambang kromong sederhana terhadap teman-teman kampusnya, terutama Nadine (Nissia Ananda) yang agak naksir padanya.

Sementara itu adik Jay, Yadi (Lutfi Ardiansyah) yang duduk di bangku kelas 3 SMU, justru bersemangat meneruskan gambang kromong dengan ngamen tiap hari bersama adiknya Lia (Nurfitri Aprilia) penari cokek, dan kelompok ondel-ondel seperti Ji’i, Rais, Daus, dan Jebul.

Jay dan Yadi lalu berantem karena masalah gambang kromong, hingga dilerai oleh Babe. “Kalo udah nggak ada baru pada tahu rasa lo!” kata Babe.

Tak disangka, Nadine dan teman-teman Jay bertemu rombongan Yadi dan tertarik mengangkat dan mengembangkan ide pertunjukkan gambang kromong untuk tugas kuliah mereka bertema ‘penetrasi budaya’.

Jay keberatan dan berusaha mengalihkan ke ide lain. Sebuah tragedi merenggut nyawa Yadi, sehingga Jay dihadapkan pada rasa kehilangan besar sekaligus kesempatan besar untuk melakukan sesuatu bagi keluarganya.

Solusi agar kebudayaan tradisi Betawi bisa mengikuti perkembangan jaman tanpa kehilangan esensinya, yaitu dengan mengkombinasikannya dengan budaya modern yang telah masuk. Itulah yang disampaikan oleh lakon Soekma Djaja.

Bagian tersebut ditampilkan melalui pertunjukkan musikal yang manis di akhir cerita. Para none dengan kebaya warna-warni dan para abang sebagian dengan kostum Betawi, sebagian kostum hip hop, menyanyikan lagu Keroncong Kemayoran yang syahdu, diiringi aransemen modern plus unsur rap dan DJ. Soal gambang kromong yang dikalahkan organ tunggal dan dangdutan pun terselip.

Gimmick lain yang cukup mengundang senyum misalnya tingkah polah karakter Jebul yang selalu ‘berbeda dimensi’ dengan karakter lain. Beberapa dialog berusaha menghibur dan ikut modernisasi, dari sempalan ringtone handphone yang berbunyi “Demi Tuhaann...”, cetar membahenol, sindiran reporter TV yang tak tahu etika, sampai pantun-pantun berima yang jenaka tersaji.

Berwarnanya kehidupan Jakarta ditampilkan dengan sederhana dan cukup baik dari kostum, dekorasi, dan properti seperti detil terminal, metromini lengkap dengan asapnya, rumah dan bale-bale Maman Djaja, warung, dan lain-lain.

Akting yang ditampilkan para abnon Jakarta ini boleh juga diberikan jempol, tak terkesan kacangan. Untuk adegan dramatis, bahkan cukup mengharu biru seperti ketika Babe harus melerai Jay dan Yadi, atau ketika tawuran dan penusukan terjadi secara tiba-tiba, menghenyakkan mata dan hati di bangku penonton.

Juga ketika suasana duka merasuki keluarga Maman Djaja. Beberapa nama lulusan abnon seperti Tommy Tjokro, Melisa Gandasari, Fiba Fitrisia, Maria Selena, dan Sylviana Murni pun tampil cameo.

Meski demikian Teater Abnon kali ini masih terkesan agak malas untuk mengembangkan ide cerita dengan lebih kaya lagi. Pesan tentang melestarikan budaya, sudah beberapa kali digaungkan sebelumnya dengan beragam cara. Solusi yang diberikan juga terlalu mudah, dan dialog-dialog yang disajikan terlalu berlama-lama dan kurang efektif.

Namun pesan soal jangan melupakan kesenian tradisional, juga gambaran buruknya dampak dari tawuran masih bisa terdengar jelas di luar durasi yang terasa kepanjangan itu. Makna kata Soekma Djaja berarti kemenangan hati, dan semoga Teater Abang None pun memenangkan hati warga Jakarta untuk ikut menengok kembali nasib gambang kromong di jaman penetrasi budaya K-Pop ini.

-

Arsip Blog

Recent Posts