Gambilangu : Lokalisasi Dua Wilayah Sejarah dan Pembinaan Lokalisasi Gambilangu

1. AWAL TERBENTUKNYA GAMBILANGU
Ini merupakan hasil penelitian selama masih bekerja di PKBI Jateng, memang masih berupa draf kasar, makanya bagi siapapun yang tertarik untuk membaca sekaligus memberi masukan2, saya sangat berterima kasih banyak.

Gambilangu merupakan salah satu kompleks lokalisasi terkenal yang terdapat dalam dua wilayah Semarang dan Kendal. Gambilangu sebenarnya bukan nama wilayah tempat praktik seksual tersebut. Sampai sekarang Gambilangu Semarang terletak di Dukuh Rowosari Atas Kelurahan Mangkang Kulon Kecamatan Tugu Kodya Semarang, sedang Gambilangu Kendal terletak di Dukuh Mlaten Atas Kelurahan Sumberejo Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Sampai saat ini tempat lokalisasi tersebut terkenal dengan nama Gambilangu atau GBL. Nama Gambilangu berasal dari kata gambir dan langu. Gambir merupakan nama sebuah pohon yang banyak tumbuh di daerah tersebut. Buah pohon ini biasanya dikonsumsi oleh para orang-orang tua untuk menggosok giginya atau sekedar dikunyah (nginang) untuk membersihkan mulut. Bau buahnya langu, bau khas yang hanya dimiliki oleh pohon gambir.[1] Sekarang nama Gambilangu hanya dipakai oleh salah satu Dukuh yang masih terdapat dalam wilayah Kelurahan Sumberejo. Nama Dukuhnya adalah Dukuh Gambilangu. Kita juga tahu bahwa tempat penimbunan kayu (TPK) KPH Kendal masih menggunakan nama TPK Gambilangu. Nama Gambilangu sudah tidak dipakai lagi karena adanya perluasan wilayah Kotamadya Semarang pada tahun 1976 yang mencakup sebagian wilayah Gambilangu masuk menjadi wilayah Kotamadya Semarang. Namun nama Gambilangu tidak lekang oleh waktu meski secara resmi sudah tidak dipakai lagi. Tidak heran daerah-daerah yang ada sekarang walaupun sudah berganti nama masih disebut sebagai Gambilangu. Sekarang orang kalau mendengar nama Gambilangu, langsung diidentikkan dengan nama sebuah lokalisasi (Gambilangu) meskipun sudah berganti nama.

Sebelum menjadi tempat lokalisasi daerah Gambilangu ini mungkin merupakan tempat pemukiman kumuh yang awalnya dihuni oleh beberapa orang. Rumah-rumah yang didirikan juga sangat sederhana sekali, masih berupa bangunan-bangunan dari gedeg yang belum permanen. Pada tahun 1970-an Gambilangu masih berupa sebuah hutan atau alas kecil yang daerahnya berbukit-bukit, masih banyak tegalan-tegalan, pohon-pohon besar dan binatang-binatang liar seperti babi hutan. Para penghuni di sana membuka lahan atau tanah dengan membabat hutan untuk tempat tinggal mereka. Mereka membeli tanah pada saat itu dengan harga yang murah sekali. Pada tahun 1972 harga tanah per meter di daerah Gambilangu adalah Rp. 50,-. untuk membuat rumah di sana secara borongan masih seharga Rp. 40.000,-. Rumah yang didirikan masih belum permanen karena masih terbuat dari papan, belum ada rumah yang terbuat dari tembok.[2] Rumah-rumah yang sederhana inilah yang menjadi cikal bakal sebagai tempat pelacuran.

Penghuni daerah ini pada awalnya adalah Bu Jaenah yang tinggal di daerah yang sekarang termasuk dalam Dukuh Rowosari Atas. Rumah yang ditempati awalnya bukan seperti rumah bordil yang kita tahu sekarang ini. Rumahnya dulu hanya dipakai atau disewa sebagai tempat untuk menginap oleh para tamu yang membawa wanita atau perempuan kemudian melakukan hubungan seksual di sana. Rumah tersebut layaknya sebuah losmen sederhana. Belum ada anak buah atau pekerja seks yang tinggal di rumah tersebut. Wanita-wanita nakal ini dibawa oleh para lelaki hidung belang dan diajak kencan di rumah milik Bu Jaenah tersebut. Setelah Bu Jaenah tinggal di sana dan membuka usaha seperti tersebut maka lambat laun daerah itu mulai ramai didatangi oleh para penghuni baru. Para penghuni baru ini banyak diantara mereka adalah gali atau kriminal dan orang-orang yang bermasalah. Para penghuni diantaranya adalah Pak Slamet Prayitno, Rochim, Dakir dan lain-lain. Mereka ini datang dan menetap di sana pada sekitar tahun 1971 dan 1972. Orang-orang ini adalah termasuk para pembuat masalah atau gali meskipun Slamet adalah seorang polisi. Awalnya mereka pertama kali dianjurkan oleh Pak Ahmadun untuk menempati daerah Gambilangu yang saat itu masih sangat jarang sekali penduduknya. Mereka disuruh menempati tanah-tanah kosong di Gambilangu agar mereka tidak membuat masalah di masyarakat luar. Masuknya tiga orang ini maka Gambilangu menjadi sebuah tempat pelacuran liar. Mereka pada saat itu sudah mempunyai anak-anak asuh atau pelacur yang bertempat tinggal di rumah mereka.[3] Para sopir yang mengangkut kayu ke Semarang banyak yang menjadi pelanggan para pelacur ini. Selain sopir para hidung belang itu adalah para kriminal dan orang-orang yang bermasalah secara sosial maupun psikologis. Banyaknya para tamu dan pengunjung membuat penghuni daerah itu membuka usaha warung makan atau minuman. Minuman-minuman keras tentu saja menjadi konsumsi yang sangat tepat bagi para pengunjung yang memang ingin mencari kesenangan di tempat itu. Penghuni di daerah itu selain sebagai mucikari atau germo juga menjadi pedagang, tapi tidak sedikit juga yang memang murni berdagang di daerah tersebut.

Gambilangu kemudian berubah nama menjadi Sumberejo. Perubahan nama ini tidak jelas kapan terjadinya. Mungkin saja terjadi pada tahun 1976 pada saat adanya perluasan wilayah Kotamadya Semarang. Kelurahan Gambilangu berubah menjadi Kelurahan Sumberejo. Sumberejo berasal dari kata sumber dan rejo. Dulunya di daerah tersebut terdapat sumber air dan dikonsumsi oleh orang banyak. Rejo sendiri artinya adalah ramai. Sumberejo berarti sumber air yang daerahnya ramai dihuni oleh penduduk.[4] Sekarang daerah Sumberejo yang masih dikenal dengan nama Gambilangu tersebut menjadi daerah pemukiman penduduk yang ramai.

2. Pelacuran Pada Jaman Dulu
Pekerja seks tidak muncul baru-baru ini saja. Mereka sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu sebelum Masehi. Para pekerja seks dengan aktifitas menjual jasa seks ini diperkirakan sudah ada sejak sekitar tahun 3000 sebelum Masehi, pada saat kekuasaan matriarkat mulai digeser dengan kekuasaan patriarkat. Pada saat ini mulai muncul lembaga-lembaga pelacuran suci dan terekam dalam bentuk tulisan.[5] Pelacuran suci ini merupakan peninggalan atau tradisi ritus seksual yang berlangsung pada Zaman Batu. Tradisi ritus seksual ini tetap dipertahankan meski ada upaya untuk menggeser kedudukan kaum perempuan. Tradisi ritus seksual ini tetap dipertahankan dengan melakukan ritual-ritual seksual kuno di kuil-kuil. Upacara ini dipimpin oleh para pendeta wanita kuil yang suci sekaligus seorang pekerja seksual. Para pendeta wanita kuil inilah yang disebut sebagai pekerja seks pertama dalam sejarah. Pada saat ini ikon Sang Dewi Agung yaitu Inanna atau disebut juga Ishtar masih sangat berpengaruh. Ishtar yang merupakan Dewi Agung dipersonifikasikan sebagai seorang pekerja seks. Para pekerja seks ini di Mesopotamia pada saat itu menempati posisi tinggi di bidang sosial ekonomi dan politik. Di Mesopotamia yaitu di Sumeria kebesaran dan keagungan pekerja seks digambarkan lewat syair Gilgamesh yang ditulis sekitar tahun 2000 sebelum Masehi. Dalam syair tersebut para pekerja seks tersebut sangat dihormati dan dianggap suci bahkan pekerjaannya pun dianggap mendidik.[6] Hal tersebut berbeda dengan keadaan para pekerja seks sekarang yang penuh stigma dan diskriminasi atas keberadaan serta pekerjaan mereka di masyarakat.

Di Babilonia, para pekerja seks yang juga merupakan pendeta wanita ini terbagi dalam berbagai tingkatan hierarki. Entu dan naditu menempati kelas tertinggi, mereka ini merupakan para pendeta wanita kelas tinggi. Di bawah mereka tedapat qadishtu dan ishtaritu yang memiliki spesialisasi sebagai penyanyi, musisi, dan penari. Hidup dan kerja mereka ini dipersembahkan untuk dewi Ishtar. Menempati posisi terendah adalah harimtu yaitu pekerja seks yang selain bekerja di kuil juga bekerja di jalanan. Harimtu ini adalah seorang pekerja seks jalanan pertama dalam sejarah yang bekerja secara bebas untuk tujuan komersial. Walaupun begitu mereka ini tetap memberikan persembahan-persembahan berupa barang-barang berharga dari hasil pekerjaan mereka untuk kuil sebelum melakukan ritual seksual. Di Mesir para pendeta wanita yang juga merupakan pekerja seks ini diturunkan dari posisi sentralnya. Mereka kemudian berperan sebagai penari, dan musisi semisekular. Para pendeta pria mengusir mereka dan kemudian mereka membentuk rombongan sandiwara (troupe) yang anggotanya adalah para pekerja seks yang pandai menyanyi dan menari.[7] Hal ini sangat kontras sekali dengan kenyataan para wanita pekerja seks dewasa ini, khususnya di Indonesia. Umumnya para pekerja seks di Indonesia sekarang ini yang bekerja secara terang-terangan mempunyai tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Rata-rata mereka hanya mengecap pendidikan setingkat sekolah dasar. Kita bisa bandingkan dengan pekerja seks di jepang (geisha) yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang bahkan melebihi wanita-wanita jepang pada umumnya. Mereka pintar menyanyi, main musik, tingkah laku dan gaya bicara mereka pun sangat sopan dan terlatih.

Seiring dengan semakin kuatnya dominasi kaum pria (patriarkat), keberadaan dan pengaruh pekerja seks ini di masyarakat tidak sentral lagi. Peraturan-peraturan mulai dibuat oleh kaum pria sebagai bentuk diskriminasi terhadap mereka. Pada tahun 1100 sebelum Masehi di Assyria, para pekerja seks ini diharuskan memakai jaket kulit khusus dan sama sekali dilarang memakai kerudung untuk membedakan mereka dari wanita-wanita umumnya. Di Yunani pada abad ke-6 sebelum Masehi, pekerja seks ini dibedakan secara terang-terangan dengan isteri. Pada saat ini, Solon yang menjadi penguasa Yunani membedakan tipe wanita antara isteri dan pekerja seks. Selain isteri yaitu, semua wanita yang berusaha hidup bebas dari pria, budak yang bekerja di luar rumah, orang asing, wanita miskin disebut sebagai pekerja seks. Pada masa itu Solon mengorganisir pelacuran-pelacuran yang ada di Athena sehingga Negara mempunyai banyak rumah-rumah bordil di seluruh Athena yang sudah pasti membawa banyak keuntungan materi bagi Solon dan pemerintahannya. Para pelanggan membayar servis dari pekerja seks kepada seorang pejabat Negara yang disebut sebagai pronobosceion. Mungkin ini merupakan sebutan untuk mucikari pada masa itu.[8]

3. TERBENTUKNYA LOKALISASI
Lokalisasi merupakan tempat untuk melokalisasikan para pekerja seks dalam suatu lokasi tertentu yang jauh dari pemukiman penduduk. Kenyataannya di dalam kompleks lokalisasi tersebut tidak murni sebagai tempat untuk melokalisasikan para pekerja seks dengan aktifitasnya. Selain para pekerja seks terdapat juga penghuni-penghuni lain yang memang murni bertempat tinggal di dalam kompleks lokalisasi berbagi lahan dan tempat tinggal dengan penhuni lainnya yang menjadi germo atau mucikari. Sehingga di dalam kompleks lokalisasi tersebut penduduk yang tidak mempunyai usaha bordil tumbuh dan berkembang, mempunyai anak dan keturunan. Hal ini nantinya menjadi fenomena tersendiri bagi benih-benih baru yaitu anak-anak yang lahir dan tumbuh besar dalam kompleks lokalisasi. Ini mau tak mau menjadi problem sosial baru selain aktifitas pelacuran yang sudah jelas ada di dalam kompleks tersebut. Secara mental dan psikologis anak-anak penghuni lokalisasi ini mendapat pengaruh yang sangat besar dari lingkungan tempat tinggal mereka.

Ada dua mazhab atau pemikiran yang berkaitan dengan pengendalian pelacuran dan permasalahannya. Mazhab-mazhab tersebut adalah :
mazhab kaum moralis dan kaum fanatik yang sangat mencela pelacuran dan segala hal yang terkait dengan pelacuran tanpa mempertimbangkan ekses negatif dari kampanye tersebut. Kelompok ini tidak setuju dengan keberadaan lokalisasi dan tempat-tempat khusus untuk mengendalikan praktik-praktik seksual yang dilakukan oleh para pekerja seks. Mereka juga berpandangan bahwa sebaiknya para pekerja seks ini ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Pandangan yang picik dari kaum fanatik dan moralis ini akan menjurus kearah perijinan pelacuran dalam bentuk sindikat.[9] Kaum moralis dan kaum fanatik ini menganggap bahwa para pekerja seks ini tidak perlu diberi perhatian khusus mengenai leberadaan mereka apalagi dibina atau direhabilitasi dalam suatu kompleks lokalisasi tertentu. Hal ini akan menyebabkan timbulnya pelacuran-pelacuran terselubung dalam bentuk sindikat yang dipastikan lebih membahayakan karena hal tersebut tidak akan mungkin untuk dikontrol keberadaannya.

mazhab yang lebih praktis menentang pendapat mazhab sebelumnya dengan berpendapat bahwa kita tidak dapat mengusir para pekerja seks tersebut tanpa melibatkan sebab-sebabnya dan sebab-sebab tersebut tidak dapat dipindahkan secepatnya. Program-program meliputi daerah-daerah rehabilitasi, izin-izin umum, pengobatan medis, perlindungan para pekerja seks dari tindakan kekerasan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab serta peningkatan pendidikan kesehatan. Program tersebut bukanlah utopia belaka, tapi secara nyata akan menciptakan sesuatu yang lebih sesuai untuk seluruh keadaan daripada yang ada sekarang.[10] Pendapat dari mazhab ini secara tidak langsung menganjurkan dan mendukung adanya sebuah lokalisasi untuk memberikan rehabilitasi dan pembinaan kepada para pekerja seks sehigga mereka bisa dijamin keamanan dan kesehatan mereka untuk melakukan praktik seks agar tidak diganggu oleh pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab. Di dalam lokalisasi ini juga diharapkan dapat memberikan pembinaan dan pendidikan keterampilan kepada para pekerja seks sebagai bekal yang akan mereka pakai apabila kelak kembali ke masyarakat.

Gambilangu sebagai sebuah kompleks lokalisasi yang terbagi menjadi dua wilayah mempunyai batas-batas wilayah. Batas-batas wilayah kompleks lokalisasi Gambilangu secara umum yaitu : sebelah barat berbatasan dengan kelurahan Sumberejo, sebelah selatan berbatasan dengan Dukuh Rowosari bawah, sebelah timur berbatasan dengan kelurahan Mangkang Kulon dan sebelah utara berbatasan dengan sawah yang pinggirnya terdapat rel kereta api.

Lokalisasi Gambilangu sangat strategis karena dekat dengan teminal Mangkang, terminal induk untuk bis-bis trayek Semarang – Kendal. Sepanjang wilayah Mangkang Kulon sampai Kaliwungu banyak terdapat pabrik-pabrik yang letaknya juga tidak terlalu jauh dari Gambilangu. Konsumen yang menjadi tamu di Gambilangu paling besar berasal dari para pekerja pabrik. Terdapat juga sopir, pegawai pemerintah atau PNS, pekerja tambak, pelajar dan mahasiswa dan lain-lain. Mereka datang ke Gambilangu tidak hanya untuk tujuan seksual tapi juga untuk karaoke, mabuk, ataupun judi. Tidak lupa juga banyak diantara para tamu tersebut adalah para pelaku kriminal atau gali yang datang memang untuk bersenang-senang.

Pelacur atau pekerja seks merupakan seorang atau siapa saja yang memberikan jasa seks kepada orang lain untuk ditukar dengan barang atau uang sebagai bentuk pembayaran atas jasa seks tersebut. Jumlah uang atau barang yang diberikan kepada pekerja seks tersebut tergantung pada kesepakatan dua belah pihak. Pekerja seks merupakan wanita yang dipandang tidak bersusila, karena mereka bekerja dengan cara melakukan hubunga intim di luar pernikahan.[11] Dalam New Horizons In Criminology wanita pekerja seks diartikan sebagai wanita yang menjual dirinya kepada laki-laki dengan menerima bayaran dari servis yang diberikannya.[12] Berarti pengertian wanita pekerja seks di sini adalah wanita yang melakukan hubungan seksual dengan seseorang atau siapa saja di luar pernikahan dan menerima bayaran dari jasa seks yang diberikan tersebut. Pemerintah tidak mengakui istilah pekerja seks untuk menyebut para wanita yang memberikan jasa seks ini. Pemerintah lebih menyukai istilah pelacur atau wanita tuna susila karena untuk menghindari kesan dianggap sebagai salah satu alternatif jenis kesempatan kerja padahal pelacur tidak diterima dan diakui dalam konsep definisi statistik.[13] Antara pemerintah dan lembaga-lembaga yang peduli terhadap perempuan khususnya kepada para wanita yang melacurkan diri terjadi perbedaan penyebutan istilah antara wanita tuna susila dan wanita pekerja seks. Memang bukan menjadi sebuah permasalahan yang besar dan hanya kepantasan istilah untuk menyebut para wanita pelacur ini. Istilah pekerja seks untuk menyebut para wanita yang melacurkan diri ini mulai muncul pada sekitar tahun 1990-an. Dalam tulisan ini kita akan memakai istilah pekerja seks tanpa tendensi apapun.

Pelacuran merupakan aktifitas melacur atau menjual jasa seks kepada seseorang atau siapa saja yang dilakukan oleh seseorang atau siapa saja yang ditandai dengan pemberian barang atau uang sebagai bentuk pembayaran atas servis yang diberikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pelacuran atau prostitusi mengandung pengertian pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan.[14] Dalam lokalisasi tersebut para pekerja seks dapat melakukan aktifitas transaksi seksual tanpa harus takut ditangkap atau dijaring oleh aparat keamanan dan pemerintahan.

Setelah daerah kompleks lokalisasi banyak dihuni, orang-orang yang tinggal di daerah tersebut juga membuka praktik rumah bordil. Slamet, Rochim dan Dakir merupakan tokoh-tokoh sentral yang berperan menyulap Gambilangu menjadi sebuah lokalisasi. Tidak lama setelah mereka tinggal dan membuka usaha praktik bordil di Gambilangu, orang-orang ini menjadi pengurus-pengurus resosialisasi lokalisasi Gambilangu. Bentuk kepengurusannya mungkin masih sederhana dan tidak seperti sekarang ini. Slamet menjadi ketua resos sedang Rochim dan Dakir menjadi pengurus bersama orang-orang yang lainnya.

Perluasan Kotamadya Semarang menyebabkan sebagian wilayah Kabupaten Kendal masuk menjadi wilayah Kotamadya Semarang. Perluasan wilayah Kotamadya Semarang ini berdasarkan atas Peraturan Pemerintah Repubilk Indonesia tanggal 26 April 1976 No. 16 tahun 1976 yang berisi tentang perluasan Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang. Perluasan wilayah ini didasarkan juga atas Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah tanggal 24 Mei 1976 No. Pem. 176/1976 yang berisi tentang Pembagian Wilayah Administratif Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang.[15] Dengan adanya pemekaran wilayah Kotamadya Semarang ini berakibat pula terhadap terbaginya wilayah kompleks lokalisasi Gambilangu yang semula hanya berada di wilayah Kendal. Sebenarnya kompleks lokalisasi Gambilangu ini dulunya terletak dalam wilayah Kabupaten Kendal tetapi sejak tahun 1976 dengan adanya pemekaran wilayah Kodya Semarang maka sebagian wilayah kompleks lokalisasi yang sebelumnya masuk wilayah Kabupaten Kendal menjadi wilayah Semarang. Sehingga sampai saat ini lokalisasi Gambilangu terbagi menjadi dua wilayah Semarang dan Kendal. Untuk perluasan wilayah Kotamadya Semarang ini sebagian wilayah dari Kabupaten Kendal menjadi wilayah Kotamadya Semarang yang meliputi Kecamatan Tugu dengan 11 desanya dan Kecamatan Mijen dengan 13 desanya. Perluasan ini juga mencakup sebagian wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Semarang yang meliputi sebagian Kecamatan Gunungpati dengan 13 desanya dan sebagian Kecamatan Ungaran dengan 13 desanya. Sebagian dari wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Demak yang meliputi Kecamatan Genuk dengan 16 desanya menjadi daerah paling timur yang masuk ke dalam wilayah Kotamadya Semarang.[16]

Untuk menandai pemisahan dua wilayah tersebut, masing-masing daerah mendirikan tugu sebagai batas wilayah baik Kendal maupun Kotamadya Semarang. Sungguh aneh dan lucu sekali karena dua wilayah tersebut tidak mau mengakui dan memasukkan wilayah Gambilangu dalam wilayahnya masing-masing. Dua wilayah ini mendirikan tugu sebagai batas wilayah di luar Gambilangu dan terkesan tidak mau menarik Gambilangu ke dalam wilayahnya. Mungkin karena keberadaan Gambilangu sebagai daerah kompleks lokalisasi sehingga dua daerah tersebut tidak mau mengakui Gambilangu sebagai daerahnya. Di dalam kompleks lokalisasi pun batas-batas antara wilayah Kotamadya Semarang dan Kabupaten Kendal tidak begitu jelas. Anehnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang didapat dari pajak wilayah Gambilangu tetap masuk kas daerah dua wilayah tersebut. Ini layaknya sebuah ego sektoral masing-masing wilayah dan mengesankan ketamakan dua daerah untuk mengambil PAD ke dalam kas daerahnya sedang mengenai keberadaan kompleks lokalisasi Gambilangu beserta permasalahannya, dua wilayah ini terkesan berlepas tangan.[17] Ini merupakan salah satu kendala yang berarti untuk penanganan permasalahan lokalisasi dan praktik pelacuran yang ada di daerah Gambilangu Semarang dan Kendal.

Pada tahun 1983 Dukuh Rowosari atas Gambilangu Semarang termasuk dalam wilayah RT 9 Kelurahan Mangkang Kulon. Jaswadi yang sejak kedatangannya pada tahun 1973 dan telah berprofesi sebagai mucikari ditunjuk menjadi ketua RT 9. Sekarang sejak tahun 1990-an RT 9 telah dimekarkan menjadi tiga RT yaitu RT 1, RT 2, dan RT 3 yang masuk dalam wilayah RW VI. Jaswadi kemudian ditunjuk menjadi ketua RW VI sampai sekarang. Pada saat itu yang menjadi ketua resos pertama kali adalah Bu Supaat. Setelah selesai tugas beliau diganti oleh Pak Sugeng Susanto. Pengurus ketiga adalah Pak Sugeng Pamudji dan yang terakhir masih sampai sekarang adalah Bu Kaningsih. Masa kepengurusan sebagai ketua resos ini adalah tiap tiga tahun sekali. Kaningsih telah terpilih untuk kedua kalinya.

Sejak tahun 1976 yang membagi wilayah Gambilangu menjadi dua wilayah Semarang dan Kendal, dua lokalisasi tersebut benar-benar berbeda cara pengelolaan dan pengorganisasiannya. Dua lokalisasi tersebut mempunyai pengurus-pengurus resos yang berbeda satu sama lainnya. Pada tahun 1979 lokalisasi Gambilangu sempat ditutup oleh Pemerintah Kabupaten Kendal dan Gambilangu Kendal tidak diizinkan dibuka sebagai tempat praktik asusila. Meskipun sudah ditutup namun sampai sekarang daerah tersebut tetap menjadi kompleks lokalisasi. Penutupan lokalisasi Gambilangu ini berdasarkan Perda atau Peraturan Daerah TK II Kabupaten Kendal No. 8 tahun 1979 dan SK. Bupati Kabupaten Kendal No. KS. 106.E.82/141.106 tentang pemberantasan pelacuran dan penutupan rumah pelacuran. Dalam Perda ini tercakup tiga Kecamatan di Kabupaten Kendal yang memiliki daftar mucikari yang ditutup usaha bordilnya oleh pemerintah Kabupaten Kendal. Jumlah mucikari dalam Kecamatan Kaliwungu sebanyak 72 orang, sedang Kecamatan Cepiring sebanyak 16 orang dan Kecamatan Pegandon sebanyak 6 orang. Dari daftar ini kita bisa tahu bahwa jumlah mucikari yang membuka praktik rumah bordil di kompleks lokalisasi Gambilangu sebanyak 72 orang mucikari. Dua Kecamatan lainnya tersebut mungkin juga membuka praktik liar perbordilan di luar Gambilangu.

Lokalisasi Gambilangu yang disulap dari lokalisasi liar sejak awal tahun 1970-an sampai terpisah menjadi dua wilayah Semarang dan Kendal dulu mempunyai anak-anak asuh atau pekerja seks yang patuh dan taat kepada mucikari atau gemonya. Setiap germo rata-rata mempunyai 5 orang anak asuh dan tinggal dalam satu rumah dengan germonya tersebut. Mereka membagi pendapatan mereka separuh-separuh dengan germonya tersebut. Rata-rata tarif sekali kencan dengan pelacur di Gambilangu sampai tahun 1980-an adalah Rp.3000,- sampai Rp.5000,-.[18] Ini adalah tarif pelacur kelas rendah. Biasanya tarif mereka sekitar US$1,5 – US$3 untuk setiap transaksi. Sedang tarif untuk pelacur kelas menengah adalah sekitar Rp.25.000,-Rp.30.000,- pertransaksi.[19] Dengan membagi pendapatan dengan germonya, para pekerja seks ini mendapat makan setiap hari dari germonya.

Sekarang tarif rata-rata dari servis seorang pekerja seks yang terdapat di lokalisasi Gambilangu sebesar Rp. 50.000,- pertransaksi. Pendapatan ini harus mereka kurangi dengan membayar kamar kepada germo atau mucikarinya sebesar Rp. 15.000,- dan ini sekaligus untuk membayar makan mereka setiap hari di rumah bordil tersebut. Pendapatan para pekerja seks di dalam kompleks Gambilangu tidak hanya melulu dari hasil “ngamar” dengan konsumen tetapi juga dari “saweran” apabila mereka menemani tamunya karaoke. Saweran ini merupakan sejenis uang tips yang diberikan kepada pelacur oleh tamu karena telah menemani mereka berkaraoke atau bernyanyi selama beberapa waktu. Umumnya besar kecilnya jumlah uang saweran yang diberikan kepada setiap pekerja seks oleh tamu berbeda-beda atau tidak mesti tergantung lama sebentarnya menemani mereka berkaraoke, tetapi tergantung juga dari pintar atau tidaknya mereka merayu tamu untuk memberi uang lebih.

Selama berkaraoke atau bernyanyi para tamu ini biasanya diselingi dengan minum minuman keras atau mabuk. Jarang sekali mungkin ada tamu yang tidak mabuk pada saat berkaraoke di Gambilangu. Rata-rata ongkos untuk berkaraoke di dalam kompleks lokalisasi Gambilangu sebesar Rp. 15.000,- per jam.

Harga minuman keras di dalam kompleks lokalisasi Gambilangu sudah pasti lebih mahal daripada di luar. Harga minuman keras tradisional Semarang di luar kompleks yaitu congyang sekitar Rp.15.000,- perbotol sedang dalam kompleks lokalisasi rata-rata setiap warung menjual seharga Rp.20.000,- perbotol. Begitu juga dengan harga minuman keras mansion house atau whiskey botol kecil di luar sekitar Rp.15.000,-16.000,- perbotol di dalam kompleks lokalisasi bisa dijual mencapai harga rata-rata sebesar Rp.20.000,- perbotol. Minuman-minuman softdrink seperti coca-cola, fanta, sprite ataupun teh botol yang dijual di dalam kompleks lokalsasi bisa mencapai harga dua kali lipat dari harga aslinya yang dijual umum.

Adanya karaoke inilah yang membuat kompleks lokalisasi Gambilangu menjadi semarak setiap hari. Dari pagi umumnya sekitar pukul 09.00 sampai 23.30 WIB terdengar selalu dentum suara musik karaoke dengan suara penyanyinya yang beragam. Kadang ada yang terdengar kehilangan kontrol pada saat bernyanyi sehingga mau tidak mau mengubah komposisi lagu dan musiknya. Keadaan ini tidak jauh beda dengan pasar malam, hanya bedanya tidak hanya terjadi pada saat malam hari tetapi juga pada siang hari dan terus berlangsung setiap hari. Karaoke itu mengalami jeda atau tidak boleh dibunyikan khusus pada setiap hari Jumat dari pagi sampai pukul 13.00 atau berakhirnya sholat Jumat baru karaoke boleh dimainkan. Selain itu juga karaoke akan off saat magrib selama satu jam dari pukul 17.30 sampai pukul 18.30 WIB. Ini bertujuan untuk menghormati mereka yang mau melakukan ibadah sholat Jumat dan ibadah sholat magrib. Ini agaknya menjadi peraturan umum dan tidak tertulis di dalam kompleks lokalisasi dan selalu ditaati meskipun tidak menutup kemungkinan kadang-kadang dilanggar juga oleh mereka.

Di dalam kompleks lokalisasi Gambilangu tidak jarang terjadi peristiwa atau kejadian kriminal. Kompleks lokalisasi merupakan tempat berkumpulnya para pelaku kriminal untuk bersenang-senang ataupun memang untuk tujuan kriminal. Tidak heran apabila kompleks lokalisasi merupakan daerah yang tidak diperuntukkan untuk masyarakat umum karena mengingat rawannya daerah tersebut. Setiap hari pasti akan ditemukan orang mabuk, sering sekali para tamu “ribut” atau berkelahi satu sama lain karena hal-hal kecil yang menyinggung perasaan, dan pasti akan ditemukan para pekerja seks yang berpakaian seronok untuk menarik perhatian para tamu sehingga mereka bisa kencan dengannya.

Pada tahun awal reformasi yaitu 1999 terjadi peristiwa di Gambilangu Kendal. Peristiwa tersebut karena adanya euphoria reformasi yang menginginkan ditutupnya kompleks lokalisasi Gambilangu Kendal oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan dirinya dari salah satu kelompok kaum agamawan. Peristiwa tersebut menyebabkan terjadinya bentrok antara kelompok kaum agamawan tersebut dengan penduduk lokalisasi dalam hal ini diwakili oleh para pengurus resos sebagai pihak yang mempertahankan keberadaan kompleks lokalisasi tersebut. Peristiwa tersebut dapat diselesaikan dengan baik oleh seluruh unsur yang terkait baik itu dari elemen pemerintah maupun masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Peristiwa-peristiwa kecil ataupun besar yang terjadi di dalam kompleks Gambilangu bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan instansi yang melakukan pembinaan di dalamnya melainkan menjadi tanggung jawab semua pihak tanpa terkecuali sehingga permasalahan-permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan mudah untuk kebaikan semua.

4. Pembinaan dan Rehabilitasi terhadap Pekerja Seks
Dalam lokalisasi ini para pekerja seks ini dibina atau dibimbing oleh aparat pemerintahan bekerja sama dengan pengurus dan lapisan masyarakat terkait. Selain diberikan pembinaan, para pekerja seks ini juga diperiksa kesehatannya. Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh Puskesmas dan Dinas Kesehatan yang terdekat atau terkait dengan lokalisasi tersebut. Keamanan dalam kompleks lokalisasi merupakan kerjasama pengurus, penduduk dan pihak kepolisian atau keamanan seperti Polsek, Babinsa, Binamitra, Satpol PP. Bagian Sosial dan Dinkesos dua wilayah juga selalu memberikan pembinaan dan bimbingan kepada para pekerja seks dalam lokalisasi Gambilangu. Semua unsur terkait saling bekerja sama untuk memberikan rehabilitasi dan pembinaan pengetahuan serta keterampilan kepada para pekerja seks ini.

Pembinaan dan bimbingan yang dilakukan oleh pengurus resos dan bekerja sama dengan instansi-instansi terkait serta lapisan-lapisan masyarakat dimaksudkan untuk memberikan bekal kepada para pekerja seks ini sehingga nantinya mereka dapat mempunyai bekal keterampilan dan pengetahuan yang bisa mereka manfaatkan apabila ingin kembali ke masyarakat.

Pengurus mempunyai kegiatan pembinaan rutin terhadap pekerja seks yang ada di Gambilangu yaitu olahraga dan pemeriksaan kesehatan. Pembinaan ini dilakukan setiap minggu oleh masing-masing pengurus resos baik Gambilangu Kendal maupun Gambilangu Semarang. Pengurus Gambilangu Kendal mengadakan pemeriksaan rutin kesehatan setiap hari Rabu dan olahraga setiap hari Sabtu. Pengurus resos Gambilangu Semarang mengadakan pemeriksaan rutin kesehatan setiap hari Senin dan mereka mengadakan olahraga setiap hari Rabu. Olahraga mereka adakan di depan gedung pertemuan - yang juga dipakai sebagai tempat pemeriksaan kesehatan setiap pagi - sekitar jam 07.00 – 09.00. Khusus Gambilangu Kendal, para pengurus membawa pekerja seks ini ke pangkalan, yaitu terminal bus Mangkang untuk pemanasan fisik, setelah itu mereka melakukan olahraga poco-poco di depan gedung pertemuan.

Pemeriksaan kesehatan dilakukan untuk mengantisipasi penyakit-penyakit menular seksual yang rawan diderita oleh para pekerja seks. Mereka termasuk sebagai salah satu pihak paling beresiko untuk terkena penyakit menular seksual. Mereka juga menjadi pihak yang bisa menularkan penyakit-penyakit menular seksual tersebut kepada para laki-laki hidung belang yang menjadi tamu mereka. Pemeriksaan kesehatan ini sebenarnya merupakan kegiatan “suntikan liar” yang dilakukan oleh pihak puskesmas kepada para pekerja seks dengan memberikan suntikan antibiotik kepada mereka. Kita tahu tidak semua PMS (penyakit menular seksual) atau IMS (infeksi menular seksual) bisa disembuhkan dengan mengkonsumsi antibiotik. Bahkan antibiotik tersebut bisa menyebabkan imunitas yang berarti penyakit tersebut menjadi kebal dengan dosis tertentu sehingga harus ditambah lagi dengan dosis yang lebih tinggi dan begitu seterusnya.

Pada saat dilakukan pemeriksaan rutin kesehatan para pekerja seks membayar uang iuran sebesar Rp.7000,- Rp.8000,- nantinya uang tersebut selain digunakan untuk membiayai pembinaan atau suntikan tiap minggunya tersebut, pengurus menggunakan uang tersebut untuk pajak PAD, sumbangan kepada pihak seperti keamanan dan pihak lain yang berperan aktif dalam upaya rehabilitasi dan pembinaan di dalam kompleks lokalisasi Gambilangu.

5. KESEHATAN PEKERJA SEKS
Para pelacur merupakan salah satu pihak yang rawan tertular atau menularkan PMS atau IMS. Pekerjaan yang mereka lakukan adalah termasuk pekerjaan beresiko tinggi yang ada kaitannya dengan penyakit seksual ini. Mereka selalu bergonta-ganti pasangan seksual adalah sebab utama mereka menjadi pihak yang sangat rawan untuk tertular dan menularkan penyakit seksual. Dari hubungan seksual yang sering bergonta-ganti pasangan dan tidak memakai pengaman alias kondom tersebut maka penyakit kelamin itu akan cepat sekali mereka konsumsi. Apabila mempunyai penyakit seksual maka mereka menjadi pihak yang menularkan penyakit tersebut kepada para tamu mereka.

Penyakit kelamin tidak melulu menjadi permasalahan para pelacur baik yang ada di dalam lokalisasi maupun yang berpraktik secara liar di ruas-ruas jalan dalam kota. Penyakit-penyakit menular seksual ini bisa jadi mengenai atau menularkan pihak-pihak tertentu yang notabene tidak mempunyai sejarah perilaku yang menjurus kearah konsumsi penyakit tersebut. Penyakit ini bisa mengenai para ibu rumah tangga dan anak-anak mereka yang ditularkan melalui bapak atau suami yang sering jajan sembarangan.

Pada tahun 1968 jumlah penderita penyakit syphilis di Kotamadya Semarang sebanyak 77 orang. Jumlah penderita penyakit gonorrhea sebanyak 1.831 orang. Pada tahun 1971 jumlah penderita penyakit syphilis berkurang menjadi 6 orang, dan jumlah penderita gonorrhea juga berkurang menjadi 838 orang. [20] Dari tahun 1973 sampai tahun 1975 jumlah prevalensi yang terkena penyakit kelamin syphilis dan gonorrhea di Kotamadya Semarang tercatat sebanyak 3.184 orang. Penderita syphilis pada periode tersebut sebanyak 410 orang sedangkan penderita penyakit gonorrhea sebanyak 2.774 orang.[21] Dalam data-data di atas tidak disebutkan pihak-pihak mana yang menjadi pengidap atau yang terpapar penyakit kelamin tersebut. Kemungkinan besar memang para pelacur yang memang sangat rentan untuk mengidap penyakit kelamin tersebut. Kalau memang para pelacur, tidak dsebutkan juga para pelacur yang bekerja di dalam atau di luar lokalisasi yang menderita penyakit kelamin itu.

5. 1. Persepsi Penghuni Lokalisasi tentang Kesehatan
Para penghuni lokalisasi baik itu pelacur, mucikari, dan masyarakat mempunyai pengetahuan yang kurang sekali tentang kesehatan terutama kesehatan reproduksi. Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan ini menimbulkan mitos-mitos yang mereka percaya dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari mereka dalam kompleks lokalisasi.

Dalam kegiatan maping selama bulan Agustus kita banyak menemukan mitos-mitos yang dipercaya oleh sebagian anak asuh berkaitan dengan kesehatan dan kehidupan sehari-hari mereka.

Mitos-mitos yang berkaitan dengan kesehatan adalah sebagai berikut :
membersihkan alat kelamin dengan menggunakan odol, membersihkan alat kelamin setiap hari dengan menggunakan daun sirih, minum obat kalau merasa sakit dan tidak dilanjutkan kalau sudah merasa sembuh, mengkonsumsi dan membeli obat sembarangan yang tidak sesuai dengan anjuran medis, adanya anggapan bahwa kondisi alat kelamin yang “peret” adalah yang baik dan sehat bagi mereka adanya kepercayaan bahwa kegiatan penyuntikan rutin bisa menjaga kesehatan mereka, diantara anak asuh masih banyak yang mempraktikkan cara cebok yang salah, sebagian anak asuh sering melukai diri mereka sendiri apabila menghadapi masalah yang dirasa berat terutama berkaitan dengan pacar atau suami, kondom diyakini gampang bocor dan tidak enak kalau memakainya.

Selama kegiatan maping bulan Agustus kita berupaya untuk menjelaskan bahwa mitos-mitos yang dipercaya oleh para anak asuh ini adalah salah. Kita menerangkan dan memberikan solusi yang benar tentang kesehatan reproduksi terutama pemeliharaan alat kelamin sehari-hari. Mitos-mitos ini banyak terutama banyak terungkap ketika kami melakukan kegiatan PRA (Parsipatory Rural Appraisal).

Kegiatan PRA ini kami jadwalkan diadakan dua kali dalam sebulan yaitu pada minggu kedua dan keempat setiap bulan. Kegiatan PRA ini merupakan kegiatan diskusi kecil informal dengan kelompok pelacur, mucikari dan kelompok masyarakat. Kegiatan ini diadakan pada hari Jumat pukul 09.00 WIB sampai pukul 11.00 WIB. Diadakan pada hari Jumat karena saat itu pelacur baru boleh beraktifitas setelah selesai sholat Jumat sekitar jam 13.00 sehingga kita tidak mengganggu aktifitas mereka. Awalnya kegiatan PRA ini dilakukan di gedung pertemuan masing-masing lokalisasi tapi kemudian kami pindahkan atau kami adakan di Drop in Centre yang terdapat dalam kompleks lokalisasi Gambilangu Kendal. Kami mendapat dukungan dan kerjasama yang sangat baik selama melakukan kegiatan ini dari pengurus resos dan termasuk juga dari kelompok dampingan dengan bersedia datang apabila diundang untuk kegiatan ini.

Umumnya para pelacur juga mempunyai riwayat kesehatan yang buruk. Sebagian pelacur yang dimaping selama bulan Agustus pernah menjadi pengguna narkoba (user). Ciri-ciri fisik mereka bisa dilihat dari bekas sayatan-sayatan luka yang ada di seluruh tangan mereka. Namun kita harus hati-hati mengidentifikasi mereka yang tangannya penuh luka sayatan, karena bisa jadi bekas sayatan luka tersebut bukan karena dia dulunya mantan junkies tapi karena kebiasaan mereka sendiri yang sering melukai diri mereka sendiri apabila menghadapi masalah. Mereka melukai diri mereka sendiri apabila mempunyai masalah terutama masalah keluarga dan masalah yang ada kaitannya dengan laki-laki baik itu suami ataupun pacarnya. Ini merupakan fenomena yang masih berkembang diantara para pelacur. Kita belum mengetahui motifnya, mungkin mereka mengira kalau mereka melukai diri mereka sendiri maka masalah yang mereka hadapi akan berkurang karena tidak adanya teman sharing terhadap masalah tersebut. Kalau memang demikian, itu adalah salah satu tugas tambahan kita untuk bisa menjadi teman sharing sehingga mereka tidak melakukan tindakan bodoh tersebut lagi (Akhriyadi).


[1] Wawancara dengan Ahmadun tanggal 9 Juni 2005
[2] Wawancara dengan Jaswadi tanggal 9 Juni 2005
[3] wawancara dengan Ahmadun dan Jaswadi tanggal 9 Juni 2005
[4] wawancara dengan Ahmadun tanggal 9 Juni 2005
[5] Husein. Pelacuran Bermula dari Upacara Keagamaan. (Jakarta : Femina, 1997), hlm. Bonus. Lihat juga Nickie Roberts. Whores in History. (London: HaiperCollins Publisher, 1992).
[6] Ibid. ,
[7]Iibid. ,
[8]Ibid. ,
[9] Soedjono D. Pathology Sosial. Disadur dari Harry elmer Barnes & Negley K Teeters, New Horizons In Criminology. (Bandung: Alumni, 1970), hlm. 60 – 61.
[10] Ibid. , hlm. 61.
[11] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 2. 1990, hlm. 995 & 739.
[12] Soedjono D. op cit. , hlm. 57.
[13] Terence H Hull et al. Pelacuran di Indonesia Sejarah dan Perkembangannya. (Jakarta: Sinar Harapan, 1997), hlm. 39.
[14] Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1991.
[15] Pemerintah Kota Semarang. Kumpulan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Semarang. (Semarang : Pemerintah Kota Semarang, 1976), hlm. 292.
[16] Sekretariat Negara Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1976 No 1 – 59. (Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1976), hlm. 285 – 287.
[17] Wawancara dengan Achmadi tanggal 15 Juni 2005
[18] Wawancara dengan Jaswadi tanggal 9 Juni 2005.
[19] Akhriyadi Sofian. Sejarah Lokalisasi Pelacuran Sunan Kuning di Kelurahan Kalibanteng Barat Kecamatan Semarang Barat tahun 1966 – 1984. (Semarang: Fakultas Sastra UNDIP, 2004), hlm. 63. Lihat juga Terence H Hull et al. Pelacuran di Indonesia Sejarah dan Perkembangannya. (Jakarta: Sinar Harapan, 1997), hlm. 102.
[20] Ibid. , hlm. 100. Lihat juga Sumber Buku Statistik Kotamadya Dati II Semarang tahun 1971 Kantor Biro Pusat Statistik Jawa Tengah Semarang.
[21] Ibid. , Lihat juga Bappeda dan Kantor Sensus & Statistik Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah.. Jawa Tengah Dalam Angka tahun 1973 – 1975. (Semarang: Bappeda dan Kantor Sensus & Statistik Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah , 1975), hlm. 86.

-

Arsip Blog

Recent Posts