Kerajaan Bedahulu

Seperti kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatra, dan pulau lain, keberadaan kerajaan di Bali tidak terlepas dari pengaruh Hindu-Buddha. Hal tersebut bisa dilihat dari nama raja pertamanya yang bernama Sri Kesari Warmadewa yang artinya “Yang Mulia Pelindung Kerajaan Singha” (I Gusti Gede Ardana, 1988). Sri Kesari Warmadewa terkenal juga dengan nama Selonding. Mengenai asal-muasal Sri Kasari Warmadewa samapai saat ini terdapat beberapa pendapat.

Pendapat pertama mengatakan bahwa Sri Kesari Warmadewa asli berasal dari daerah Bhumi Kahuripan dan istananya disebut Singhamandawa atau Singha Mandapa yang berarti Pendopo Singha (dekat pura Besakih sekarang). Pendapat lainnya mengatakan bahwa Sri Kesari Warmadewa diperkirakan berasal dari kerajaan Sriwijaya yang datang ke Bali pada akhir abad ke-9, Sri Kesari Warmadewa menjadi raja di Bhumi Kahuripan dengan istananya Singhamandawa. Pendapat tersebut sebenarnya memiliki kesamaan dalam hal letak kerajaan yang diperintah Sri Kesari Warmadewa yaitu di Bhumi Kahuripan (dekat pura Besakih sekarang).

Pendapat yang mengatakan bahwa Sri Kesari Warmadewa berasal dari kerajaan Sriwijaya dan diperkirakan sebagai keturunan dari Balaputradewa diperkuat oleh kesamaan cara penulisan prasasti , kesamaan dalam menganut agama Buddha Mahayana dan kesamaan nama dinasti Warmadewa. Perbedaan kedua pendapat tersebut terletak pada asalnya Sri Kasari Warmadewa sebelum menjadi raja di Bhumi Kahuripan, dan kesamaannya adalah bahwa Sri Kesari Warmadewa pada awalnya memerintah di Bhumi Kahuripan.

Jalannya Pemerintahan

Awal mula sejarah kerajaan Bali perpusat di daerah dekat Pura Besakih sekarang dan pada waktu pemerintahan Sri Kesari Warmadewa disebut Bhumi Kahuripan denan istananya Singhamandawa. Nama istilah kerajaan Bedahulu atau Bedulu berasal dari sikap politik propaganda ekspansi Gajah Mada pada abad ke 14 Masehi. Menurut pendapat Dede Yasa Warmadewa mengatakan bahwa Bedahulu adalah pelesetan dari Bedulu untuk mendeskreditkan Raja Sri Asta Sura Ratna Bhumi Banten dengan mengatakannya Beda Hulu dengan melukiskan raja ini memiliki kepala babi, agar rakyat Bali tidak mau lagi tunduk di bawah raja siluman. Beda Hulu bermakna beda kepala, yang sebenarnya menunjukkan bahwa kepala pemerintahan Bali berbeda dengan Majapahit.

Kerajaan Bali atau Bedahulu merupakan sebuah kerajaan yang berkuasa sekitar abad ke-8 sampai ke-14 Masehi, yang memiliki pusat pemerintahan di Pejeng atau Bedulu, Kabupaten Gianyar. Kerajaan Bedahulu diperintah oleh raja-raja keturunan dari Warmadewa. Pada sekitar abad ke-14 Kerajaan Bedahulu berhasil ditaklukkan oleh Majapahit dan dijadikan sebagai negara bawahan. Setelah Bedahulu dikuasai Majapahit, Gajah Mada menempatkan Sri Kresna Kapakisan sebagai raja di Pulau Bali, namun karena pada masa pemerintahan Sri Kresna Kapaksian suasana Kerajaan Bedahulu masih tidak menentu atau masih kacau karena masyarakat Bali tidak mau tunduk. Akibat masihnya masih tidak tunduknya masyarakat Bali kepada pemerintahan Sri Kresna kapaksian maka diutus Arya Kepakisan yang merupakan keturunan raja-raja Kadiri dari Prabu Airlangga yang merupakan masih keturunan Dinasti Warmadewa. Setelah hadirnya Arya Kepakisan inilah maka rakyat Bali mulai dapat diatur dan kekacauan pun mereda. Keterangan tentang adanya sebuah kerajaan yang bercorak Hindu di Bali diperkuat oleh keterangan beberapa prasasti seperti:

Prasasti Bali yang tertua berangka 804 Saka (882 M) mengenai: pemberian izin kepada para biksu dan pendeta agama Buddha untuk membuat pertapaan di bukit Cintamani;

Prasasti berangka 818 Saka (896 M) dan 883 Saka (911 M) mengenai: tempat suci dan tidak menyebutkan nama raja;

Prasasti yang ditemukan di Desa Blanjong, dekat Sanur; permukaan prasasti ditulis sebagian dengan huruf Nagari (huruf India) dan sebagian dengan huruf Bali kuno, sedangkan bahasanya Sansekerta. Tarikh candrasangkala-nya berbunyi Khecarawahni-Murti artinya 836 Saka (914 M).

Pada 915 Masehi muncul raja lain di Bali, yakni Sri Ratu Ugrasena yang berasal dari kerajaan Singhamandawa. Kerajaan Singhamandawa terdapat di Sukawana. Pada masa tersebut diceritakan ada persaingan antara Ugrasena dengan Sri Kasari Warmadewa. Sri Kasari Warmadewa akhirnya memindahkan pusat pemerintahanya ke Pejeng.

Persaingan Sri Kasari Warmadewa – Ugrasena mungkin sekali berubah menjadi kerjasama, apakah melalui perkawinan atau hal lain, karena setelah berakhirnya masa Sri Ratu Ugrasena, yang menjadi raja di Bali adalah dari Wangsa Warmadewa keturunan Dalem Sri Kasari, yakni Sang Ratu Aji Tabanendra Warmadewa. Ratu Aji Tabanendra Warmadewa ini memerintah selama 12 tahun (955-967 M), dan bergelar Sri Candrabhaya Singhawarmadewa atau Indra Jayasingha Warmadewa. Ia memerintah bersama istrinya, Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Warmadewi, yang mendirikan pemandian Tirta Empul Tampaksiring pada 960 M. Semasa pemerintahannya, Ratu Tabanendra Warmadewa memperkenankan pendeta Siwa mendirikan pertapaan di Air Madatu, tempat dimakamnya Sang Ratu Ugrasena (situasi ini mirip di Jawa pada masa Kerajaan Mataram, di mana ada persaingan kekuasaan sekaligus kerjasama antara dua dinasti, Sanjaya dan Sailendra). Selanjutnya kekuasaan digantikan oleh putraanya, Sri Jana Sadhu Warmadewa.

Pada 983 M, Bali dikuasai oleh Ratu Maharaja Sriwijaya Mahadewi. Setelah itu, raja yang berkuasa adalah Sri Dharma Udayana Warmadewa yang memerintah pada 989-1011 M. Sebelum menjadi raja, Udayana pernah pergi ke Jawa Timur untuk mempersiapkan diri menjadi raja dengan mendirikan pemandian Jalatunda pada 987 M. Masa pemerintahan Sri Udayana adalah masa kejayaan keturunan Warmadewa di Bali. Beliau mempersunting putri dari Jawa Timur, Mahendradatta Gunaprya Dharmapatni, putri raja Kerajaan Watu Galuh, Sri Makuta Wangsa Wardhana. Saudara Mahendradatta adalah Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama Tunggadewa, yang menggantikan ayahnya menjadi raja Watu Galuh.

Pada masa pemerintahan Udayana, datang Mpu Kuturan yang melakukan perubahan terhadap agama Hindu dengan menyatukan sembilan sekte di Bali menjadi Tri Murti, dan agama yang disepakati pun adalah agama Siwa-Buddha. Raja Udayana memiliki 3 orang putra, yang pertama adalah Sri Airlangga, lahir pada 1000 M yang kelak menjadi Raja Kahuripan; yang kedua, Sri Wardhana Marakata Pangaja Tungadewa (1011-1049 M), menjadi raja menggantikan ayahnya; dan yang ketiga, Sri Anak Wungsu, yang naik takhta menggantikan kakaknya (1049-1079 M). Sejak 1088 M, kekuasaan di Bali dijalankan oleh putri Sri Anak Wungsu yaitu Ratu Sakalindhu Kirana (1088-1101 M), dengan gelar Paduka Sri Maharaja Sri Sakalindu Kirana Sana Guna Dharma Laksmi Dhara Wijaya Utunggadewi atau Paduka Sri Maharaja Gon Karunia Pwa Swabhawa Paduka Sri Saksatnira Harimurti Jagatpalaka Nityasa. Ia merupakan raja wanita pertama di Bali. Kemudian dari istri yang lain, Udayana memiliki dua orang anak, Sri Suradhipa, menjadi raja pada 1101-1119 M, dan Sri Jayasakti yang melanjutkan roda pemerintahan (1119-1150 M). Sejak saat itu tidak banyak perubahan dalam sejarah kerajaan di Bali, pergantian raja terus berganti seiring dengan berjalannya waktu.

Struktur Pemerintahan

Raja-raja Bali yang banyak meninggalkan keterangan tentang susunan pemerintahan pada masa raja bersangkutan tersebut memerintah adalah Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu badan penasihat pusat. Dalam prasasti tertua bertarikh 882 – 914 M diketahui, badan ini disebut dengan istilah “panglapuan“. Sejak zaman Udayana, badan ini disebut dengan istilah “pakiran-kiran i jro makabaihan”, di mana anggotanya terdiri atas beberapa orang senapati dan pendeta Siwa dan Buddha.

Peninggalan

Dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu, disebut-sebut beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli raja-raja.

Pura

Pura Pucak Bukit Sinunggal; salah satu Pura Dang Kahyangan yang ada di Bali Utara, terletak di Desa Tajun, Kubutambahan. Pura ini merupakan salah satu sisa-sisa peninggalan Kerajaan Bedahulu. Berdasarkan prasasti Raja Sri Kesari Warmadewa tertanggal 19 Agustus 914, Pura Gunung Sinunggal yang dahulu disebut Hyang Bukit Tunggal terdapat di Desa Air Tabar, daerah Indrapura. Desa Indrapura kini disebut Desa Depaa, sedangkan yang memelihara Pura Bukit Tunggal itu adalah Desa Air Tabar. Di desa itu terdapat sejumlah tokoh, masing-masing Mpu Danghyang Agenisarma, Sri Naga, Bajra dan Tri.

Pura Bukit Sinunggal merupakan salah satu peninggalan masa Kerajaan Bedahulu ketika mencapai kejayaannya. Kerajaan Bedahulu atau Bedulu adalah kerajaan kuno di pulau Bali pada abad ke-8 sampai abad ke-14, yang memiliki pusat kerajaan di sekitar Pejeng atau Bedulu, Kabupaten Gianyar, Bali. Diperkirakan kerajaan ini diperintah oleh raja-raja keturunan dinasti Warmadewa.

Pura Bukit Sinunggal terletak di sebuah bukit, dengan ketinggian kurang lebih 600 meter di atas permukaan laut. Terdapat sebanyak 113 anak tangga sepanjang 300 meter menuju mandala Pura Bukit Sinunggal. Di areal paling bawah, terdapat sebuah candi bentar (gerbang gapura) dengan dua buah apit lawang di kanan-kiri. Terdapat beberapa pelinggih berupa meru yang disebut Pelinggih Ida Hyang Pasupati, Ratu Gede Macaling, dan sebagainya. Dengan luas areal sekitar dua puluh are dengan lingkungan sejuk, asri, serta banyak ditumbuhi berbagai macam tumbuhan pegunungan yang menambah keindahan pura.

Namun Goa Gajah belum diketahui asal-usulnya secara pasti. Nama ini diperkirakan perpaduan dengan nama Pura Goa (sebutan masyarakat setempat dengan nama kuno yang termuat dalam prasasti-prasati, yakni Ergajah dan Lwa Gajah. Nama-nama Antakunjarapada dan Ratnakunjarapada mengandung pula arti gajah (kunjara) Disini dulu tempatnya kaum Brahmana mangadakan Tapa Berata, bilamana anda masuk ke dalam gua. di kiri kanan dan di Ujung dalam gua, anda akan melihat tempat strategis seperti tempat untuk mengadakan yoga semadi. Di luar are Goa terdapat patung Ganeca dan permandian penduduk desa yang masih digunakan sampai sekarang. Dikitarnya terdapat tempat-tempat bersejarah seperti yeh Pulu, Samuan Tiga, gedong Arca, Arjuna Bertapa, Kebo Edan, Pusering Jagat, Penataran Sasih dan lain-lain.

Setidaknya, ada empat buah prasasti yang berkaitan dengan keberadaan kerajaan-kerajaan di Bali, yakni:

Prasasti Bali yang tertua berangka 804 Saka (882 M); isinya mengenai pemberian izin kepada para biksu dan pendeta agama Buddha untuk membuat pertapaan di bukit Cintamani;

Prasasti berangka tahun 818 Saka (896 M) dan 883 Saka (911 M); isinya mengenai tempat suci dan tidak menyebutkan nama raja.

Prasasti yang ditemukan di Desa Blanjong, dekat Sanur. Permukaan prasasti ditulis sebagian dengan huruf Nagari (huruf India) dan sebagian dengan huruf Bali kuno, sedangkan bahasanya Sansekerta. Angka berupa candrasangkala, berbunyi “Khecarawahni-Murti”, artinya tahun 836 Saka (914 M);

Prasasti yang ditemukan di Jawa Timur, hanya menerangkan bahwa Bali pernah dikuasai Singasari pada abad ke-10 dan Majapahit abad ke-14.

Pengaruh kepercayaan zaman prasejarah, terutama zaman Megalitikum, masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimbolkan dalam wujud bangunan pemujaan berupa teras piramid atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan punden berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu.

Pada masa permulaan hingga masa Raja Sri Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu Siwa dan Buddha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata (Siwa – Buddha) sebagai pembantu raja.

Sri Asta Asura Ratna Bhumi Banten yang memerintah dari 1337-1343 M, disebut juga Dalem Sri Bedahulu. Ia merupakan raja dinasti Warmadewa terakhir di Bali, karena sejak 1343, Bali ditaklukkan oleh Majapahit, di mana prajurit Majapahit yang menyerang Bali berada di bawah pimpinan Sang Adityawarman dan Gajah Mada.

Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan saat Bali diperintah Raja Astasura Ratna Bhumi Banten dan Patih Kebo Iwa. Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang arya. Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan Kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah, terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kapaksian untuk memimpin pemerintahan di Bali, namun karena pada masa pemerintahan Sri Kresna.

***

Sumber: wacananusantara.org

Foto: wacananusantara.org
-

Arsip Blog

Recent Posts