Kerajaan Berau, Jejak Penggabungan Lima “Nagari”

Kerajaan Berau merupakan institusi pemerintahan yang pernah berdiri di Kalimantan pada abad ke-15, kemudian terpecah dua pada awal abad ke-19, menjadi Kesultanan Sambliung dan Kesultanan Gunung Tabur. Lingkup wilayah yang dahulu pernah berada di bawah kerajaan Berau, kini menjadi wilayah administratif Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Berdirinya kerajaan ini diprakarsai oleh para imigran Melayu asal Sumatera.

Hasil penelitian ilmiah, termasuk dengan metode penelusuran golongan darah, mengerucut pada satu kesimpulan bahwa Urang Berau masuk dalam kategori ras Deutro Malay Sumatra atau ras Melayu Muda Sumatera, yang kemungkinan besar berasal dari wilayah Kerajaan Sriwijaya—yang pada abad ke-7 hingga abad ke-13 sangat berjaya. Bahasa yang digunakan dalam keseharian orang Berau pada umumnya banyak memiliki kesamaan dengan bahasa Melayu. Meskipun kemudian terjadi berbagai percampuran dengan ras lain, seperti Bugis Solok, Dayak Basap, dan lain sebagainya, hingga saat ini orang Berau tetap mempertahankan identitasnya sebgai keturunan asli Melayu.

Sejumlah peneliti sejarah mengemukakan, Kerajaan Berau lahir dari penggabungan lima “nagari” (disebut juga “banuwa”) dan dua “kampung”, yakni wilayah-wilayah administratif yang berlaku pada zaman itu. Nagari-nagari dan kampung-kampung tersebut adalah Nagari Marancang, Nagari Kuran, Nagari Bulalung, Nagari Sawakung, Nagari Pantai, Kampung Bunyut, serta Kampung Lati. Atas kesepakatan tujuh wilayah tersebut, ditunjuk Baddit Dipppatung dari Kampung Lati, sebagai raja pertama Kerajaan Berau. Sejak berdirinya, kerajaan ini hidup dengan aman dan tentram, dan perlahan wilayah yang dikuasainya pun semakin luas, sebagai hasil dari penaklukan sejumlah kerajaan lain, di antaranya Kerajaan Bulungan, Tidung, Sabah, Alas, dan Tungku.

Selanjutnya, Kerajaan Berau juga mengalami periodesasi Islam. Ajaran Islam mulai masuk dan berkembang di lingkungan Kerajaan Berau, diperkirakan pada era pemerintahan raja ke-6, yakni Aji Temanggung Barani (1557-1589). Pada masa tersebut, penerapan beberapa hukum islam mulai diberlakukan, meskipun Islam belum menjadi agama wajib Kerajaan. Ajaran Hindu dan Budha, yang merupakan bawaan dari kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, masih sangat kuat dianut oeh sebagian besar penduduk Berau.

Pada pemerintahan Sultan Muhammad Hasanuddin (1731-1767) dan Sultan Zainal Abidin (1779-1800), Islam menjadi agama mayoritas penduduk Berau. Gelar “Sultan” yang disandang raja (sebagai pengganti “Aji”) merupakan penanda bahwa Islam menjadi agama resmi kerajaan.

Seperti juga yang dialami kerajaan lainnya di Nusantara, Kerajaan Berau juga tidak terlepas dari upaya intervensi Belanda. Pada 1671, pihak Belanda mengirimkan utusannya yang bernama Paulus de Beck dan Chialloup de Noorman untuk membuka hubungan dagang dengan Kutai dan Berau. Namun di Berau, usaha Belanda itu tidak membuahkan hasil lantaran sikap raja Berau yang antipati terhadap Belanda. Baru pada 1833, pihak asing berhasil masuk ke wilayah Berau, setelah Kerajaan Berau terpecah dua sebagai pemerintahan yang berdiri sendiri-sendiri.

Bibit perpecahan dalam lingkungan keluarga kerajaan sejatinya sudah dimulai setelah era kekuasaan Aji Dilayas, raja Berau ke-9. Ketika itu, sang Raja yang beristri banyak memiliki banyak keturunan, di mana dua di antaranya sama kuat sebagai kandidat pengganti raja, yakni Pangeran Tua dan Pangeran Dipati. Dalam memutuskan siapa yang berhak mengantikan ayah mereka, terjadi sejumlah perdebatan besar di kalngaan keluarga kerajaan. Khawatir konflik akan semakin membesar, diambillah keputusan bersama, bahwa Kerajaan Berau akan dipimpin secara bergantian oleh keduanya dan oleh keturunan keduanya. Sebagai putra sulung, Pangeran Tua mendapat kesempatan memerintah sejak 1673 hingga 1700, sementara adiknya, Pangeran Dipati memerintah sejak 1700 hingga 1731.

Kondisi ini terus berlangsung hingga akhirnya perseteruan yang terjadi di antara dua dinasti tidak bisa lagi damaikan. Pada 1800, Kerajaan Berau dibagi untuk dua keturunan. Keturunan Aji Pangeran Dipati, dengan pewaris tahta Sultan Gazi Mahyudi, memperoleh wilayah di sebelah utara Sungai Berau, serta wilaya kiri dan kanan Sungai Segah, sementara keturunan Aji Pangeran Tua, dengan pewaris tahta Raja Alam bergelar Sultan Alimuddin, mendapat wilayah di sebelah selatan Sungai Berau, serta di wilayah kiri dan kanan Sungai Kelay. Sultan Gazi Mahyudi kemudian mendirikan Kesultanan Gunung Tabur, sementara Raja Alam mendirikan Kesultanan Sambaliung. Raja Alam dicatat oleh sejarah sebagai pemimpin yang gigih melawan Belanda, hingga akhirnya dia diasingkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, karena perlawanannya.

***

Sumber: wacananusantara.org

Foto: wacananusantara.org
-

Arsip Blog

Recent Posts