Kuntulan Banyuwangi

Apa itu Hadrah Kuntulan ?
Hadrah Kuntulan yang juga disebut kundaran, merupakan salah satu dari sekian seni tradisi yang masih bertahan hingga kini. Berbagai perubahan yang mewarnai perjalanan kuntulan menunjukan kecerdasannya dalam menghadapi setiap perubahan. Identifikasi sebagai karya seni bernuansa Arab – Islam melekat pada kesenian ini pada masa awal kemunculanya. Seperti halnya Ujrat, Tunpitujat dan pembacaan al-Barjanji dengan diiringi alat musik Gembrung yang pernah ada Banyuwangi seperti catatan seorang antropolog pada tahun 1926, John Scholte. Karena itulah pada mulanya pertunjukan seni ini didominasi oleh laki-laki. Pertemuannya dengan kesenian asli Banyuwangi seperti Gandrung, Damarwulan, dan Trengganis serta tarian lainnya merubah hadrah kuntulan menjadi kesenian yang unik dan khas.

Tidak hanya gerakan tarinya, musik dan tembang-tembang yang dibawakan pun merupakan kolaborasi unik kesenian tradisi daerah Banyuwangi dan kesenian gurun. Kehadirannya juga menambah perbendaharaan dan warna kesenian tradisional di tanah air. Persinggunganya dengan berbagai realitas sosial dan kebudayaan masyarakat banyuwangi membawa kesenian ini ke dalam dinamisasi yang khas dan sekaligus persoalan yang komplek.

Filosofi Burung Kuntul

Sebutan Kuntul sebagai simbol, menurut Sutedjo HN, budayawan Banyuwangi, merupakan representasi dari gaya hidup sosial yang lebih mementingkan kebersamaan, serasa dan sepenanggungan di antara sesamanya. Hal ini di ilhami dari cara hidup burung Kuntul/Bangau yang selalu memanggil teman-temannya dikala mendapatkan makanan.

Pendapat ini ditunjang kondisi pertanian yang ada di Banyuwangi. Kesuburan tanah yang terhampar memberikan kemudahan para petani dalam bercocok tanam. Sambil menunggu tanaman padi memasuki musim panen, para petani di Banyuwangi terbiasa memanjakan diri mereka dengan memainkan Angklung.

Perjalanan hidup yang sulit membangkitkan para seniman daerah merespon dalam bentuk kesenian. Maka Kuntulan sebagai perlambang dari kerukunan masyarakat memberi kesadaran baru pada seluruh masyarakat Banyuwangi agar hidup dalam kebersamaan untuk mewujudkan Banyuwangi yang senasib dan sepenanggungan tanpa ada rasa ingin menguasai tanah warisan leluhur sebagai milik individual.

Nama kesenian yang diambil dari hal-hal di sekitar kehidupan masyarakat ini juga bisa ditemukan dalam beberapa kesenian di Banyuwangi lainnya, seperti Genjer-genjer. Ketika Jepang masuk Banyuwangi, kehidupan masyarakat Banyuwangi mengalamai kekurangan pangan yang cukup parah. Banyak dari penduduk tidak bisa hidup layak seperti sebelumnya. Gambaran kesulitan ini bisa dilihat dari hasil karya seniman setempat, lagu Genjer-genjer yang muncul pada tahun 1942 karya Moh. Arif, memberikan gambaran kesulitan pangan penduduk Banyuwangi sebagai imbas pendudukan Jepang di wilayah Banyuwangi, sehingga tumbuhan Genjer yang tumbuh liar di area persawahan dan tidak menjadi perhatian penduduk, akhirnya dijadikan bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari.

Busana Dan Alat Musik

Pengaruh busana penari gandrung dapat dilihat pada beberapa bagian busana penari kuntulan bersangkutan. Hanya saja ditambahkan kerudung, baju celana tertutup serta ada pengaruh Bali didalamnya. Tangan sang penari juga ditutup kaus tangan berwarna putih, dan kakinyapun tertutup kaus kaki putih. Sekarang busananya banyak mengalami modifikasi alias ubahsuai dari busana semula yang sebenarnya serba putih seperti warna bulu burung kuntul (bangau). Terkadang ada pengaruh Bali yang tercermin dari adanya untaian bunga kamboja ditelinga pemain Kuntulan ini.

Perangkat musik kuntulan sendiri sangat dipengaruhi oleh budaya sekitarnya dan tak dapat dipungkiri musik dan gerak tari Gandrung (tari rakyat setempat yang menjadi lambang Banyuwangi) juga ikut masuk. Namun irama dasarnya tetaplah sama dengan hadrah lainnya. Selain enam buah rebana sebagai alat musik utamanya (dalam kuntulan baku), ada penambahan-penambahan seperti jidor (semacam drum), beduk besar, beduk kecil, kenong, kluncing (triangle), gong, biola dan kadang keyboard (saat ini) sebagai penguat nada. Selain itu bonang Bali kadang juga dipakai dalam kesenian kuntulan ini. Serta dalam beberapa kesempatan sering ditambahkan angklung caruk sebagai pemanis, dan lagi-lagi sesuai permintaan penonton. Sedangkan irama yang digunakan menurut Rizaldi Siagian seorang pakar etnomusikologi adalah irama silang (cross rhythm) dan poly rhythm atau irama banyak sebagaimana pada gamelan Bali. Ini dimungkinkan karena letak Banyuwangi yang berdekatan dengan Bali.

Kekhasan lain dalam kesenian hadrah kuntulan atau kundaran ini ialah iramanya yang mempunyai karakter keras,agresif dan menyentak bahkan saat tampil, para pemain musiknya terlihat seolah bahu membahu menciptakan nada yang dinamis dan penuh semangat sehingga wajar kalau disebut musik cadas khas Banyuwangi bahkan sesekali kita harus menutup telinga karena saking begitu keras suaranya, ditambah para pemain jidornya yang kadang seperti kesurupan saat bermain… Lagu-lagunyapun tidak selalu Islami, namun juga banyak memasukkan lagu-lagu daerah dan kadang lagu pop yang sedang populer saat ini.

Sejarah Perjuangan

Pada masa penjajahan Belanda, Islam masuk ke Blambangan (sekarang Banyuwangi). Kedatangan Islam sarat dengan nuansa politik. Tujuan masuknya agama Islam ke Blambangan adalah untuk meredam gerakan masyarakat Blambangan yang terkenal sulit ditaklukan. Ketika Belanda berhasil merebut Blambangan, kebijakan pertama yang diberlakukan adalah mendirikan wilayah kekuasan yang bisa disetir oleh Belanda, lebih halusnya lagi dinormalisisasi dengan serangkaian aturan agama yang menguntungkan kepenguasaannya.

Hasilnya, Raden Mas Alit sebagai bupati pertama beserta para punggawa yang diangkat sekitar tahun 1770-an oleh Belanda diharuskan memeluk agama Islam. Pesan misionaris agama bisa dilacak pula pada sejarah perjalanan kesenian gandrung yang awal-awalnya ditarikan atau dimainkan oleh orang laki-laki. John Scholte, salah seorang antropolog yang pernah meneliti Banyuwangi, menjelaskan bahwa para penari Gandrung setiap saat mengelilingi desa dengan membawa buntalan tas yang dibuat sebagai tempat beras hasil panen-an. Burda, selatun, wak aji, santri molih, tombo ati, ayun-ayun dan tembang lainnya adalah tembang bernuansa agama yang dibawakan. Dengan demikian, disamping membawa misi mempersatukan kembali rakyat Blambangan, Gandrung juga digunakan sebagai alat penyampaian dakwah.

Sekitar tahun 1950 kesenian hadrah muncul. Pada awalnya, Hadrah sangat kental nuansa Islam. Instrumen musik yang mengiringinya adalah Rebana dan Kendang. Penarinya laki-laki dengan bentuk tarian menyerupai tarian Saman dari Aceh. Sedangkan tembang yang dilantunkan adalah baid-baid Burdah.

Pada masa bersamaan arus kesenian Banyuwangi mulai bermunculan, seolah-olah bangkit kembali dari tradisi yang sudah lama diwariskan oleh leluhur, seperti Angklung, Damarwulan, dan Rengganis. Kebangkitan seni ditandai dengan berdirinya organisasi kesenian yang memberikan peluang dan tempat berapresiasi. Pada kepemimpinan presiden Soekarno, Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) memberikan perhatian pada kesenian-kesenian rakyat sebagai muatan perpolitikannya. Seniman-seniman daerah yang bergabung dengan Lekra merasa mendapat angin segar. Mereka kemudian berbondong-bondong mengabadikan dirinya dengan sejumlah karya seni masing-masing dengan mengusung unsur bahasa daerah sebagai ciri khas kesenian Lekra.Kedekatan Lekra berdampingan dengan kesenian yang timbul dari masyarakat Banyuwangi tidak dibarengi oleh lembaga-lembaga kesenian lainnya. Lembaga Kesenian seperti LKN (Lembaga Kesenian Nasional), Lesbumi, dan yang lainnya tidak sekental apa yang telah dilakukan oleh para seniman Lekra. Nasionalisme kedaerahan dengan mengusung bahasa daerah sebagai unsur utama merupakan visi dari seniman Lekra, puluhan lagu berbahasa daerah diciptakan oleh para seniman untuk merespon kondisi sosial saat itu.

Hadrah yang bernuansa Islam sebagai perwujudan dari kesenian agama yang dikembangkan kalangan santri, tidak terlalu mendapat simpati dihati masyarakat, dikarenakan bahasa daerah yang saat itu menjadi sentral perubahan sosial tidak diadopsi sepenuhnya oleh kalangan santri. Faktor lain yang menyebabkan seni Hadrah kurang diminati adalah pola eksklusif kaum santri dengan penduduk di luar golongan santri.

Masa kejayaan Lekra mulai pudar menyusul terjadinya tragedi G 30/S PKI tahun 1965. Tragedi ini tak pelak berimplikasi hebat pada seniman-seniman daerah yang bergabung dalam organisasi Lekra. Setelah peristiwa G 30/S PKI tersebut ketakutan dan kebimbangan menyelimuti kehidupan mereka. Lembaga-lembaga yang bernuansa agama berada diposisi atas angin. Para aktivis seni yang keluar dari Lekra paska 1965 diinternalisasi oleh Lembaga Kesenian Nasional (LKN) untuk melanjutkan kembali apa yang pernah mereka lakukan di Lekra.

Peralihan kekuasaan dari masa Orde Lama (Orla) ke Orde Baru (Orba) juga membawa dampak pada kesenian daerah. Jika pada masa Orla kesenian Banyuwangi lebih menonjolkan fisinya untuk mengkritisi kondisi sosial dan menjadi milik rakyat sepenuhnya, maka yang terjadi pada masa Orba adalah sebaliknya. Setelah tahun 1970-an kesenian daerah diupayakan pada politik estetik semata. Seni kemudian lebih banyak divisualisasi dalam bentuk gerak tari. Hal ini dilakukan dengan tujuan bahwa kesenian akan mendapat medan artistiknya manakala peraga tubuh bisa dinikmati secara langsung oleh para penonton. Kecenderungan estetika kesenian daerah ini mengarahkan massa untuk selalu menikmati kesenian daerah dimana tanpa sadar masyarakat yang menghadiri kesenian tersebut telah mengadopsi dan meyakini pendidikan pembangunan yang dilancarkan oleh kebijakan Orba. Dengan demikian aparatus Negara dalam tujuannya mendisiplinkan masyarakat dengan seperangkat ideologi disusupkan pada kesenian daerah. Ironisnya pada masa ini kesenian juga mempunyai ketergantungan yang tinggi pada insentif pemerintah.

Kuntulan Saat Ini

Sejarah Hadrah memasuki babak baru pada sekitar tahun 1980-an. Kesenian ini bertransformasi pada bentuknya yang baru yang disebut sebagai Hadrah Kuntulan. Nuansa Arab – Islam yang terkandung di dalamnya berubah mengikuti alur komposisi kedaerahan, isinya pun 50-50 menyesuaikan minat dari masyarakat saat itu. Bukan hanya komposisi isi saja, aransment musikalnya juga ditambahi dengan beberapa alat lainnya. Ada gendang, bonang Bali dan kluncing (triangle) memperjelas nuansa daerah dan agama dalam unsur kesenian kuntulan.

Metamorfosis Hadrah kuntulan masih terus berlanjut. Kundaran kepanjangan dari Kuntulan yang didadar (seni Kuntulan yang diperlebar) merupakan sebutan bagi perkembangan kuntulan pada tahap selanjutnya. Sebenarnya Kundaran hanya sebuah garapan artistik untuk menyempurnakan tampilan hadrah tersebut. “Kundaran itu seperti pertunjukan Jejer Gandrung yang merupakan bagian dari pertunjukan Gandrung. Jadi, Kundaran masih bersifat perbaruan gerak dan isi dari Kuntulan saja, belum bisa dikatakan kesenian tersendiri”, tutur Sayun salah satu seniman yang memprakarsai munculnya hadrah Kuntulan. Kundaran sebagai tahapan terakhir perkembangan Kuntulan, mengusung kepentingan bagaimana agar kesenian tersebut makin dinikmati dan dimiliki oleh masyarakat sekaligus memperluas kesadaran beragama yang diapresiasikan pada kepemilikan kesenian itu sendiri.

Menepis ekslusifitas terlepas dari berbagai gesekan dan kontroversi yang mengiringinya, Hadarah Kuntulan kini telah berkembang cukup luas, utamanya di Banyuwangi. “Dulu di Banyuwangi Selatan yang mayoritas masyarakatnya dari suku Jawa, hampir tidak ditemui kesenian hadrah Kuntulan, namun sekarang kondisi tersebut berbalik, wilayah seperti Gambiran dan Bango yang ditempati komunitas Jawa yang dulunya tidak memiliki kelompok kesenian tradisi, malah kemarin mendaftarkan 60 peserta pada festival tari. Songgon, daerah gunung mendaftarkan 300 peserta Kuntulan”, jelas Sayun.

Hal ini juga menandakan bahwa Hadrah kuntulan telah diterima oleh masyarakat diluar masyarakat asli Banyuwangi atau Osing/Using. Memang hadrah kuntulan tidak di maksudkan sebagai kesenian eksklusif yang hanya diidentikan dengan daerah Banyuwangi atau suku Osing. Namun, diluar Banyuwangi, kesenian Hadrah Kuntulan lebih dipresepsikan hanya sebagai milik suku Osing.

Bahkan pada sebuah acara di Jakarta, Aekanu Hariyono sebagai ketua dewan pariwisata Banyuwangi, sebagaimana di ceritakanya pada suatu rapat di Dewan Kesenian Blambangan (DKB), merasa perlu menegaskan bahwa kesenian Hadrah Kuntulan yang ada di Banyuwangi tidak semata-mata milik masyarakat Osing. Hanya kebetulan yang tampil kebanyakan keturunan Osing tapi bukan Osing mainded. Hadrah Kuntulan bisa dimainkan oleh lintas agama serta lintas etnik. “Sewaktu penampilan Hadrah Kuntulan di Jakarta kemaren komposisi penari sudah lintas agama dan mereka tidak risih” , kata Aekanu.

Pada tahun 1970-an kesenian hadrah Kuntulan muncul dengan keseniannya yang baru berupa Hadrah Kuntulan Caruk, yaitu dua kelompok grup hadrah Kuntulan saling bertemu dan berunjuk kebolehan, baik bidang tari, melantunkan syi’iran, dan permainan alat musiknya. Dari seni Caruk ini, kelompok mana yang dapat mengambil perhatian massa paling banyak, maka kelompok tersebutlah pemenangnya.

Prestasi Hadrah Kuntulan telah mengharumkan Banyuwangi dan propinsi Jawa Timur. Tercatat dalam pentas kesenian nasional Hadrah Kuntulan pernah menjadi pemenang dalam lomba Festival Nasional di Masjid Istiqlal Jakarta.

Kesenian hadrah Kuntulan juga sudah menancapkan kukunya di tingkat Internasional. Beberapa kali kesenian ini tampil di luar negeri. Beberapa waktu yang lalu, Hadrah Kuntulan tampil di Jepang dengan membawakan tembang rodad syi’iran, rodad tontonan dan berkolaborasi dengan Barongan.

Sumber :
roliandalas.blogspot.com

bambangpriantono.multiply.com

Foto: bisnis-banyuwangi.blogspot.com
-

Arsip Blog

Recent Posts