Reproduksi Kultural dalam Ritual Hajat Bumi

Dalam kebudayaan lingkungan petani di Kabupaten Karawang, Hajat Bumi menjadi warisan kebudayaan ’nenek moyang’ yang terus dilestarikan hingga sekarang. Ritual atau upacara syukuran menyambut datangnya musim tanam, selepas musim kemarau setiap tahunnya itu, dalam bahasa petani Karawang disebut juga dengan istilah babaritan.

Ritual hajat bumi atau babaritan ini digelar di perempatan jalan, dimana menjadi tempat persinggungan dari empat arah jalan, yang biasa dilalui penduduk di sebuah kampung atau desa. Dalam ritual ini, tiap kepala keluarga mengirimkan wakilnya, yang biasanya ibu rumah tangga untuk membawa makanan yang terdiri dari nasi dan lauk pauknya untuk disertakan dalam ritual ini.

Ritual berlangsung pada sore hari, setelah semua peserta (warga) terkumpul di halaman sekitar perempatan jalan. Semua makanan yang dibawa oleh warga, dikumpulkan bersama perangkat ritual lainnya yang sudah disediakan oleh warga yang bertindak sebagai fasilitator. Biasanya ketua RT ataupun RW bertindak sebagai fasilitatornya. Adapun perlengkapan ritualnya sendiri terdiri dari kemenyan, kelapa muda yang diatasnya ditaruh sebuah telur, berbagai aneka manisan (rujakan), ayam panggang dan lainnya -tidak jauh berbeda dengan sesaji dalam ritual yang ditujukan untuk leluhur dalam adat Sunda.

Pelaksanaan ritual ini dipimpin oleh seorang ustad. Dalam ritual ini Sang Ustad memimpin pembacaan doa yang berisikan ayat Al-quran, dibarengi dengan pembakaran kemenyan. Ritual ini berlangsung sekitar 15-20 menit. Pada puncak doa, Sang Ustad mengajak para peserta untuk berdoa bersama kepada Tuhan YME agar sawah dan ladang mereka diberkahi dari proses tanam hingga panen nanti.

Setelah doa selesai, maka ritual diakhiri dengan pembagian makanan untuk para peserta. Secara serentak para peserta pun berebut makanan yang sudah terkumpul dan dicampur oleh fasilitator. Warga (peserta) berebut makanan yang menurutnya paling enak. Maka, suasana ricuh dan saling dorong pun tidak terhindarkan dengan diselingi gelak tawa warga.

Seperti itulah gambaran ritual hajat bumi yang saya saksikan dan rekam di sebuah kampung di Karawang, yang masyarakatnya mayoritas adalah petani.

Menurut pengetahuan saya, hajat bumi atau babaritan pada saat ini, khususnya yang saya saksikan di penghujung tahun 2006 lalu itu, sudah menunjukan hal yang berbeda, minimal dari yang saya saksikan sekitar 10 tahun sebelumnya. Pada ritual 2006 tersebut, secara kuantitas, hanya diikuti oleh sedikit warga, jumlahnya ’sangat’ jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu. Dari segi kualitas, dalam pengertian kekhidmatan ritual, hajat bumi saat ini tampak tidak sekhidmat dulu.

Dulu, para peserta begitu khusu menjalankan ritual ini, susana menjadi hening ketika doa dipanjatkan oleh pemimpin ritual. Sedangkan saat ini, para peserta tampak tidak peduli dengan apa yang sedang mereka lakukan, canda tawa ditengah ritual tidak menjadi persoalan bagi mereka, terlebih dipuncak ritual.

Melihat Ritual Hajat Bumi dari Berbagai Persfektif

Jika kita meminjam kacamata modern, maka akan ada pandangan sebagai berikut terhadap ritual hajat bumi tersebut : Pertama, dari sisi manfaat secara umum, ritual ini tidak memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat terutama secara ekonomi, yang ada hanyalah pemborosan anggaran untuk membiayai kegiatan. Kedua, dari sisi manfaat secara khusus bagi kaum tani. Kemajuan dalam bidang pertanian tentu saja tidak ditentukan dalam sebuah upacara atau ritual, tapi dari bagaimana para petani meningkatkan kualitas kerja dan pola pertaniannya. Kesimpulannya, hajat bumi adalah sebuah hal yang irasional (diluar akal sehat).

Lalu, jika kita memakai persfektif (sudut pandang) budaya, dalam konsep pelestarian, ritual hajat bumi dilakukan sebagai langkah untuk terus mempertahankan tradisi yang turun temurun diterima warga. Persfektif inilah yang kebanyakan digunakan oleh para petani di Karawang, walaupun pada pelaksanaannya ada beberapa hal dalam ritual yang dirubah.

Dalam kajian budaya, seorang pakar budaya bernama Victor Turner (1967 : 50-51) menggagas teori penafsiran, yang terdiri dari : (1) exegetical meaning (makna pelaku dari pelaku ritual) (2) operational meaning (makna yang berasal dari perilaku dalam ritual) (3) positional meaning (makna hasil interprestasi terhadap simbol satu dengan simbol lain dalam keterkaitannya).

Jika konsep ini dipakai untuk menelaah ritual Hajat Bumi yang saya amati, maka akan terjadi kesimpulan sebagai berikut :

Pertama, exegetical meaning (makna pelaku dari pelaku ritual)- Ada dua orang (informan/narasumber) yang saya wawancarai, yang pertama adalah pemuka masyarakat, yang berperan juga sebagai ketua penyelenggara (fasilitator) ritual hajat bumi tersebut. Yang kedua adalah pemimpin ritual, yakni seorang ustad.

Orang pertama (penyelenggara) yang saya wawancarai mengatakan bahwa upacara hajat bumi mengandung makna ”nucuk galur anu kapungkur mapay tapak anu baheula” (mengingat atau melihat ke masa lalu). Ia menegaskan bahwa secara syariat ritual ini ditujukan untuk para leluhurnya (karuhun), namun secara hakekat, tetap segala sesuatunya ditujukan kepada Allah SWT, sesuai agama penduduk. Tidak jauh berbeda dengan yang dikatakan penyelenggara, narasumber kedua yakni pemimpin ritual (ustad), mengatakan bahwa hajat bumi yang dipimpinnya itu, merupakan hasil percampuran antara adat dengan ajaran agama Islam yang dianut warga kampungnya. Dalam muatan adat yang Ia yakini adalah adat Sunda tersebut, terdapat pula unsur agama Budha dan Hindu. Penggabungan itu tercermin dari adanya unsur sesajen dan kemenyan yang dikomposisikan dengan doa-doa yang dipanjatkan yang seluruhnya bersumber dari Al-quran, dari ajaran Islam.

Kedua, dari operational meaning (makna yang berasal dari perilaku dalam ritual). Sesuai pengamatan saya, ada beberapa perilaku menonjol dalam ritual hajat bumi tersebut, yakni :

Para peserta melingkari pusat upacara, dimana makanan dan sesajen digelar, hal ini dimaksudkan untuk kekhidmatan ritual,
Perilaku para peserta ritual yang tidak khidmat pada waktu ritual berlangsung, hal ini bertolak belakang dengan point petama. Pada hakekatnya yang namanya ritual seperti halnya shalat dalam agama Islam harus dilakukan dengan khidmat karena menyangkut keyakinan terhadap yang disembahnya. Dari keadaan dan perilaku peserta itu, bisa disimpulkan bahwa para peserta pada dasarnya tidak meyakini kesakralan dari ritual hajat bumi tersebut,
Berebut makanan, pada tahap akhir ritual setelah memanjatkan doa, peserta ritual berebut makanan yang terkumpul ditempat ritual. Hal ini, dimaksudkan untuk berbagi satu sama lain, yang satu menikmati yang dibawa yang lain, ini lebih kepada konsep budaya Sunda sendiri, yang memang memiliki falsafah seperti yang ditulis Prof. Dr. H. M Didi Turmudzi, yaknii falsafah sabilulungan (gotong royong) ataupun falsafah nulung ka nu butuh, nalang ka nu susah (saling membantu).
Ketiga, dari positional meaning (makna simbol-simbol), ada beberapa simbol dalam ritual tersebut yang saya amati, diantaranya :

Perempatan jalan, dimana menjadi tempat kegiatan ritual, makna dari perempatan jalan ini berdasarkan pada fungsi perempatan sendiri sebagai tempat bertemunya empat arah yang berbeda, ini dimaksudkan sebagai lokasi yang tepat mengingat warga berasal dari berbagai arah lokasi,
Kemenyan, makna dari kemenyan adalah sebuah medium penyampaian doa, dimana menurut kepercayaan masyarakat setempat, bahwa asap kemenyan yang wangi dapat menyampaikan pesan kepada roh para leluhur diatas sana,
Kelapa muda dan sebuah telur diatasnya, ayam panggang, manisan (rujakan) adalah sesaji untuk para leluhur (karuhun),
Makanan yang disatukan, yang dibawa oleh warga, mengandung arti keikhlasan, bahwa para peserta harus iklas, memberikan makanannya untuk disatukan dengan yang lain untuk kemudian dibagikan kembali, artinya tidak ada milik pribadi lagi, semuanya sudah menyatu dalam sesaji ritual.
Berdasarkan kajian melalui tiga konsep diatas (exegetical meaning, operational meaning, positional meaning), maka ditemukan ada banyak pergesaran dari nilai yang terdahulu, terutama pada konsep exegetical meaning dan operational meaning. Hal ini, terkait dengan adanya percampuran dua kebudayaan yang berbeda. Seperti yang diakui oleh peyelenggara dan pemimpin ritual, bahwa ada dua ajaran yang dipakai, yakni ajaran adat yang bersumber pada ajaran Hindu dan Budha yang disinergiskan dengan ajaran Islam.

Adanya percampuran ajaran agama diatas, jika dilihat pada sejarah perkembangan agama di Karawang sendiri memang dapat dimaklumi mengingat di Karawang secara historis berkembang pengaruh dari berbagai agama, terutama Hindu, Budha dan Islam.

Sisa-sisa atau bukti kejayaan tiga agama ini bisa dilacak dengan tiga artefak yang berada di wilayah Karawang. Kompleks Candi di Batujaya yang menjadi peninggalan Hindu. Komplek Candi di Cibuaya yang merupakan peninggalan Budha. Serta makam Syeh Quro di Desa Pulokalapa (Lemahabang), sebagai bukti pesatnya perkembangan ajaran Islam.

Sebagai catatan, Syeh Quro dalam literatur sejarah Karawang, adalah sebagai gurunya para wali (sanga). Ia jugalah yang telah menikahkan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran dengan Nyi Subang Larang di tempat yang sekarang terkenal dengan Mesjid Agung Karawang, yang satu lokasi dengan alun-alun Karawang didekat aliran sungai Citarum. Sedangkan dua kompleks percandian Hindu dan Budha ,merupakan sisa-sisa kejayaan kerajaan Tarumanegara di massa peradaban sungai Citarum.

Reproduksi ’Makna’ Kultural

Adanya perkawinan dua unsur, yakni adat dan agama, seperti yang dikatakan dua sumber yang saya temui, membuktikan adanya reproduksi kebudayaan (reproduksi kultural), yakni proses melakukan kembali upaya produksi makna atas kebudayaan.

Prof. Dr. Irwan Abdullah, dalam bukunya ”Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan” (2006:41), mendefinisikan repoduksi kebudayaan sebagai proses aktif yang menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi sekelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.

Ada dua hal yang penting dalam proses ’reproduksi kebudayaan’ ini, menurut Prof. Irwan, Pertama, pada tataran sosial akan terlihat proses dominasi dan subordinasi budaya terjadi secara dinamis yang memungkinkan kita menjelaskan dinamika kebudayaan secara mendalam. Kedua, pada tataran individual akan dapat diamati proses resistensi di dalam reproduksi indentitas kultural sekelompok orang di dalam konteks sosial budaya tertentu.

Pada proses adaptasi, masih menurut Prof Irwan, terhubung dengan dua aspek, yakni ekspresi kebudayaan dan pemberian makna. Dimana menurutnya hal ini terkait dengan bagaimana cara sekelompok orang dapat mempertahankan identitasnya sebagai suatu etnis (suku) di dalam lingkungan sosial budaya yang berbeda.

Upacara atau ritual hajat bumi seperti yang dipaparkan diatas, pada konteks sekarang ini adalah hasil dari reproduksi kebudayaan, dimana telah terjadi produksi ulang dari kebudayaan terdahulu. Produksi ini berlangsung pada tahap makna, artinya ornamen-ornamen dalam ritual mengalami pergeseran makna, bukan bentuk. Hal ini berbeda dengan akulturasi yang cenderung mengarah pada perubahan bentuk.

Pada sisi lain, pada dasarnya terjadi dinamika tersendiri dalam masyarakat, dimana ada resistensi (gangguan) yang sangat rentan kearah pengguguran nilai sekaligus bentuk. Disatu sisi masyarakat masih berkehendak untuk mempertahankan ritual hajat bumi, namun disisi lain, kepercayaan agama menjadi persoalan lain, dimana dalam ajaran Islam tidak dibenarkan yang namanya anisme dan dinamisme.

Berdasarkan pertimbangan keyakinan itulah, akhirnya masyarakat memilih mengambil jalan tengah dengan tetap melaksanakan ritual hajat bumi dengan bentuk aslinya, namun ada nilai atau makna-makna yang dirubah. Upacara hajat bumi tidak lagi semata-mata ditujukan kepada para leluhur, atau meminta keberkahan kepada leluhur, tapi diarahkan tetap berdasarkan ajaran Islam yakni meminta kepada Allah SWT.

Berdasarkan kajian terhadap ritual hajat bumi diatas, kiranya kita semua harus menyadari bahwa persoalan reproduksi, akulturasi, inovasi dan sebagainya yang terjadi di masyarakat terkait dengan warisan kebudayaan lokal, adalah suatu hal yang patut diapresiasi sebagai bentuk nyata masih terjaganya nilai warisan budaya yang menjadi aset dari kekayaan bangsa ini.

Selama ada nilai positif, maka tidak ada alasan sebuah warisan budaya harus disingkirkan. Terlebih oleh konsep modern dan posmodern yang dewasa ini digaungkan, yang semata-mata adalah bagian dari kerangka globalisasi yang hendak menghantam identitas sebuah bangsa, hingga terjadinya keseragaman watak dan nilai sesuai setting modal. Karena itu, pelestarian harus menjadi agenda terdepan dalam memperkuat jati diri bangsa dalam rangkan menghadapi tekanan global yang semakin mengancam segala segalam macam aspek kehidupan.

_____________________
Sumber Pustaka :
Abdullah, Irwan. 2006. Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Cetakan II. Yogyakarta : UGM Press
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan VIII. Jakarta : Radar Jaya Offset.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Edisi paripurna. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Peursen, C. A van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius.
Turmudzi, Didi. 2006. Kearifan Budaya dan Politik Sunda. Bandung : Lemlit Unpas.

-

Arsip Blog

Recent Posts