Malam Ramah Tamah FSBM Pertemukan Raja se-Kalbar

Sambas, Kalbar - Malam ramah tamah Festival Seni Budaya Melayu (FSBM) Kalbar IX, Jumat (23/8) lalu di Rumah Dinas Bupati Sambas, berlangsung akrab. Berbagai hiburan ditampilkan demi menyambut malam keakraban yang dihadiri para raja se-Kalbar, Ketua MABM Kalbar, Forkopinda, jajaran Muspida, dan jajaran Muspika tersebut, untuk menyambut dibukanya FSBM Kalbar IX di Kabupaten Sambas.
Bupati Sambas Juliarti Djuhardi Alwi dalam sambutannya, mengucapkan selamat datang dan mengaku bangga lantaran Kabupaten Sambas menjadi tuan rumah FSBM Kalbar IX. Sebagai kepala daerah, dia berharap agar kegiatan ini berjalan aman dan lancar.
"Pemkab Sambas menyambut baik kegiatan seni dan budaya yang dilaksanakan MABM Kalbar. Sebagai tuan rumah, kami mengucapkan selamat datang," kata Bupati yang disambut tepuk tangan undangan yang hadir.
Bupati menegaskan, selain kegiatan FSBM, Sambas juga melaksanakan peringatan HUT RI, HUT Perpindahan Ibukota Kabupaten Sambas di Sambas, Hari Jadi Kesultanan Sambas, dan Halalbihalal Kerabat Kesultanan Sambas.
"Kegiatan ini sengaja digabungkan agar lebih semarak, sehingga peserta yang hadir dapat menyaksikan berbagai hiburan yang dilaksanakan di Kabupaten Sambas," kata Bupati bersemangat.
Dalam kesempatan tersebut, Bupati juga menyampaikan ekspos pembangunan Kabupaten Sambas yang saat ini telah berusia 14 tahun. Diakuinya, telah banyak pembangunan dilaksanakan di kabupaten ini, khususnya pendidikan. Dia menggambarkan bagaimana telah berdiri Politeknik Negeri Sambas, Kampus STAIS Sambas, dan Akademi Dakwah Indonesia. “Dan baru-baru ini kita mendapat bantuan Rp60 miliar untuk pembangunan Madrasyah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cindekia oleh Kementerian Agama RI," ungkap Bupati.
Ditegaskan Bupati bahwa telah menjadi tugas semua pihak, untuk mengangkat kembali harkat dan martabat budaya daerah. Dia memisalkan, bagaimana Kabupaten Sambas yang akan mengangkat kain tenun Sambas. "Makanya saya meminta kepada masyarakat Sambas, jangan lagi menyebut kain songket, melainkan kain tenun Sambas atau Lunggi Sambas, karena kain Lunggi merupakan kain khas Sambas. Ini harus dipertahankan, dan kita berharap melalui kegiatan FSBM, akan mengangkat Seni dan Budaya Melayu, serta meningkatkan ekonomi kerakyatan. Makanya Pemkab Sambas merangkul MABM untuk mendukung pembangunan daerah," paparnya.
Di tempat yang sama, Sultan Sintang HRM Ikhsani Perdana Ismail Tsafioeddin yang bergelar Pangeran Ratu Sri Kesuma Negara V, dalam sambutannya mewakili para raja se-Kalbar, mengungkapkan begitu banyak manfaat dari kegiatan budaya ini. Terutama bagi generasi muda supaya memiliki rasa bangga terhadap jati diri bangsa. "Bertepatan dengan HUT Kemerdekaan RI, mari kita galang persatuan dan kesatuan. Kami dari forum raja se-Kalbar sangat mendukung sepenuhnya kegiatan FSBM yang dilaksanakan MABM Kalbar ini," ungkap Sultan yang dilantik pada 22 Juli 2006 tersebut.
Sementara itu, ketua MABM Kabupaten Sambas, Burhanuddin A Rasyid, sangat bersyukur dengan dilaksanakannya FSBM Kalbar di Kabupaten Sambas ini. "Terlaksananya kegiatan ini berkat dukungan dari berbagai pihak, khususnya Pemkab Sambas yang dari awal turut berpartisipasi. MABM berkomitmen untuk mengangkat pelestarian budaya, guna mendukung peningkatkan ekonomi kerakyatan, serta peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) di Kabupaten Sambas," pungkasnya.

KBRI Bandar Seri Begawan Adakan Lokakarya Batik

Jakarta - Kedutaan Besar RI Bandar Seri Begawan mengadakan Lokakarya Batik dengan Pewarna Alam yang bertujuan menumbuhkan minat di kalangan muda dan pencinta batik di negara tetangga Indonesia itu.
Siaran pers KBRI Bandar Seri Begawan yang diterima di Jakarta, Kamis, menyebutkan bahwa Duta Besar RI Handriyo Kusumo Priyo membuka lokakarya itu yang juga dihadiri, antara lain oleh tamu kehormatan, Sekretaris Tetap pada Kementerian Perindustrian dan Sumber-Sumber Utama Negara Brunei Darussalam, Dayang Hajah Normah Suria Hayati binti Pehin Jawatan Dalam Seri Maharaja Dato Seri Utama (Dr) Hj. Awang Mohd Jamil Al-Sufri,.
Lokakarya yang berlangsung di Aula Gedung KBRI pada tanggal 28--29 Agustus 2013 merupakan kerja sama antara KBRI dan Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan serta usaha kerajinan batik Brunei, Batik Desamas.
Dalam sambutan pembukaan, Dubes Handriyo Kusumo Priyo, antara lain menyatakan bahwa sejak dibukanya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Brunei Darussalam pada tahun 1984, kedua negara selalu memperkuat hubungan bilateral dan kerja sama di segala bidang.
Volume perdagangan kedua negara selalu meningkat dari tahun ke tahun. Namun, sebagian besar didominasi oleh impor minyak Indonesia dari Brunei, dan ekspor Indonesia ke Brunei berupa barang-barang konsumen. Terdapat potensi kerja sama ekonomi yang sangat besar antara kedua negara di luar sektor tersebut, kata dia.
Menurut dia, lokakarya batik dapat menjadi sarana untuk diversifikasi kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Brunei Darussalam.
Selain bertujuan meningkatkan kerja sama antara kedua negara melalui lokakarya, KBRI ingin membawa batik Indonesia lebih dekat kepada masyarakat Brunei.
Sekitar 30 peserta dari kalangan pemuda Brunei, pegawai Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, guru-guru, pelajar, dan mahasiswa serta perwakilan masyarakat Indonesia di Brunei Darussalam yang tergabung dalam organisasi PERMAI dan Dharma Wanita Persatuan mengikuti lokakarya tersebut.

DIY Perlu Lindungi Kebudayaan Rakyat

Yogyakarta - Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta perlu mengeluarkan kebijakan tentang perlindungan, pelestarian, dan pengembangan kebudayaan rakyat, kata Kepala Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Aprinus Salam.
"Kebijakan itu diperlukan karena kebudayaan rakyat yang dimiliki oleh masyarakat kebanyakan dari hari ke hari semakin terpinggirkan dan tidak mendapat perhatian yang memadai," kata Kepala Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (PSK UGM) Aprianus Salam di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, problem itu semakin mengemuka sejak perdebatan "keistimewaan" Yogyakarta digulirkan. Dengan menitikberatkan pada bagaimana kebudayaan dan kesenian tumbuh menjadi garda depan Yogyakarta, kebudayaan rakyat hadir sebagai ironi.
"Kebudayaan rakyat tersingkir, tidak diperhatikan dan dianggap sebagai seni budaya yang ala kadarnya," katanya.
Contohnya, ada sekitar 200 budaya rakyat di Sleman yang dianggap punah dan hampir punah. Beberapa penyebab terjadinya kondisi tersebut antara lain maraknya penggunaan teknologi dan tidak adanya regenerasi pemanfaatan budaya oleh generasi muda.
"Tampaknya semangat setiap zaman itu berbeda-beda. Saat ini generasi muda lebih mengarah ke hal-hal yang berhubungan dengan elektronik sehingga transformasinya terputus," katanya.
Oleh karena itu, kebijakan proteksi kebudayaan rakyat merupakan inisiatif yang ingin didorongkan kepada pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota dan DPRD DIY.
"Salah satu inisiatif itu digulirkan melalui Kongres Kebudayaan Rakyat yang diadakan oleh Masyarakat Adat dan Tradisi Mataram bekerja sama dengan Pusat Studi Kebudayaan (PSK) UGM, di Yogyakarta, 31 Agustus 2013," katanya.
Humas Masyarakat Adat dan Tradisi Mataram, Dewanto mengatakan, kongres yang mengangkat tema Problematika Kebudayaan Rakyat di Yogyakarta itu merupakan langkah awal bagi terwujudnya kebijakan perlindungan dan pelestarian kebudayaan rakyat.
Dia berharap kongres itu akan menghasilkan masukan bagi rencana kebijakan kebudayaan rakyat sekaligus menjadi ruang apresiasi.
"Kegiatan itu diharapkan akan menjadi inisiatif pegiat seni budaya yang selama ini berdialektika dengan kebudayaan rakyat, dapat muncul dan memperkaya keistimewaan Yogyakarta," katanya.

Puluhan Tim "Solu Bolon" Ramaikan Festival Danau Toba 2013

Samosir, Sumut - Sebanyak 50 tim dayung akan meramaikan lomba perahu dayung tradisional Batak atau "Solu Bolon" dalam rangkaian Festival Danau Toba (FDT) 2013 di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, pada 8-14 September.
Menurut Sekretaris Panitia Lokal FDT 2013, Melani Butar Butar di Pangururan, Samosir, Rabu, peserta yang akan mengikuti Lomba Solu Bolon berasal dari sejumlah kabupaten/kota di Indonesia.
"Antuasiasme klub-klub dayung untuk ikut ambil bagian dalam lomba solu bolon memang menggembirakan," ujar Melani seperti dikutip dari Antara, Rabu (28/08/2013).
Lomba itu akan mempertandingkan kategori jarak 1.000 meter kelas terbuka yang akan digelar pada 11-12 September.
Selain itu, kategori jarak 500 meter kelas terbuka diikuti oleh tim dayung dari klub-klub dayung nasional dan tingkat daerah dari seluruh Indonesia, pada 13 September.
Perlombaan Solu Bolon yang akan berlangsung di Pantai Tuktuk Samosir memperebutkan total hadiah ratusan juta rupiah.
"Bagi calon peserta lomba, kami masih membuka pendaftaran hingga 6 September 2013," ujar Melani.
Khusus bagi peserta dari luar Provinsi Sumatera Utara (Sumut), pihak panitia penyelenggara FDT 2013 menyediakan fasilitas transportasi bus dari Medan-Samosir dan penginapan untuk tiga hari lomba.
Selain Lomba Solu Bolon, FDT 2013 mempertandingkan beberapa perlombaan olah raga lain, yaitu paralayang dan lomba renang mengelilingi Pulau Samosir selama 20 jam.

"Jawa Sing Ngangeni", Festival Kuliner Serpong 2013 Mulai Digelar

Jakarta - Kalau kangen Sate Klatak, Serabi Notosuman atau Kopi Joss? Datang saja ke sini. Dalam festival kuliner di Summarecon Mal Serpong yang berbalut suasana khas Jawa ini, Anda bisa menikmati puluhan makanan Jawa selezat aslinya!
Setelah sukses menggelar acara Festival Kuliner Serpong (FKS) ditahun 2011 dan 2012, tahun ini Summarecon Mal Serpong kembali diselenggarakan. Tentunya masih menyajikan sajian kuliner nusantara dari berbagai daerah di Indonesia.
Berbagai pertunjukan memeriahkan acara pembukaannya semalam (27/8). Ada Tarian tradisional dari Sangar Tari Pura Mangkunegara Surakarta, penampilan khusus dari Soendari Sekotjo dan Jogja Hiphop Foundation. Tidak ketinggalan pula pertunjukan kembang api yang spektakuler.
Tema “Jawa Sing Ngangeni” diangkat sebagai tema utamanya, untuk memperkenalkan dan melestarikan kuliner nusantara khususnya kepulauan Jawa. Hidangan khas Jawa yang dihadirkan seperti Serabi Notosuman, Sate Klatak, Sate Sapi, Kopi Joss, Bebek Goreng, Gudeg, Tahu Petis dan lainnya.
Kekentalan suasana Jawa ditampilkan melalui konsep bentuk bangunan dan dekorasi khas kota Yogyakarta dan Solo. Lengkap dengan pernak-pernik miniatur dari ikon arsitektur seperti Tugu Yogyakarta, Gerbang Keraton dan Kesultanan hingga rumah joglo.
 “Dekorasi yang diambil disesuaikan dengan temanya. Sekalian dengan acara ini kami juga ingin mempromosikan budaya Jawa yang diwakili Yogjakarta dan Solo. Karena itu makanan yang disajikan pun enak-enak dan asli.” imbuh Soegianto Nagaria, Direktur PT Summarecon Agung Tbk dalam sambutannya.
Puluhan gerai makanan berbentuk rumah Joglo mengelilingi area festival. Sajian kuliner nusantara lainnya juga bisa dicicipi dalam festival ini. Ada Martabak Medan, Siomay Dago, Bakmi Aloy Palembang, Ketoprak Ciragil, Lumpia Semarang, Soto Betawi, Nasi Uduk Ibu Jum, Kembang Tahu Pak Arif dan masih banyak lainnya.
Tak ketinggalan aneka jajanan seperti Cakue Medan Eko Yap, Rangi & Pancong, Kue Lekker, Kue Cubit, Tahu Gejrot, Gulali & Harumanis, Es Cendol dan Es Podeng Blok S. Ada juga satu gerai khusus oleh-oleh kaos dari Yogyakarta yaitu Dagadu Djokdja.
Festival Kuliner Serpong 2013, dimulai dari tanggal 27 Agustus-22 September 2013 dan berlangsung di area parkir selatan Summarecon Mal Serpong 2. Anda bisa datang ke festival ini setiap hari dengan jam operasional di hari Senin-Jumat pukul 14.00-22.00 WIB dan hari Sabtu-Minggu pada pukul 11.00-23.00 WIB.

Pernikahan Bella Saphira-Agus Memakai Adat Melayu

Langkat, Sumut - Pernikahan artis kondang Bella Saphira dengan Mayjen TNI Agus Surya Bakti yang akan dilaksanakan pada 30 Agustus mendatang dilakukan dengan memakai adat budaya Melayu.
"Keseluruhan proses peminangan, pernikahan, maupun juga resepsi syukuran memakai adat budaya Melayu," kata ketua harian panitia pelaksana pernikahan itu, Haji Legimun, di Stabat, Rabu.
Legimun menjelaskan pelaksanaan acara pernikahan ini dengan adat budaya Melayu atas permintaan dari pihak keluarga mempelai pria. "Keseluruhan kegiatan nantinya sangat kental dengan nuansa Melayu," kata Legimun.
Para penerima tamu, tempat acara, tempat syukuran, semuanya didominasi warna kuning dan warna hijau, yang merupakan ciri khas budaya Melayu.
Legimun mengungkapkan acara yang digelar di kediaman orang tua Mayjen TNI Agus Surya Bakti itu dikhususkan untuk acara akad nikah dan syukuran saja. Sedangkan resepsinya dilakukan pada Minggu (8/9) di panti prajurit Balai Sudirman Tebet Jakarta, yang akan dilaksanakan pihak mempelai wanita.
Secara terpisah dari informasi yang dihimpun di lokasi pelaksanaan acara akad nikah dan syukuran dikediaman orang tua Agus Surya Bakti di jalan Proklamasi nomor 14 Stabat, akan bertindak selaku saksi antara lain Dan Koditlat TNI Angkatan Darat Letjen Haji Lodewijk F Paulus, yang juga pernah menjabat sebagai Pangdam I Bukit Barisan.
Letjen Lodewijk bertindak sebagai saksi dari Mayjen Agus Surya Bakti, sementara yang bertindak sebagai saksi mempelai wanita yaitu Bupati Langkat Haji Ngogesa Sitepu.
Juga akan hadir dalam upacara akad nikah itu Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Dr Ali Mustafa Yacub, yang juga merupakan teman Mayjen Agus Surya Bakti di Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), termasuk juga beberapa unsur dari Kementerian Agama.
Sebelum acara akad nikah, pihak keluarga Mayjen Agus juga akan melaksanakan berbagai kegiatan, berupa kenduri dan tahlilan, serta pemberian santunan kepada 41 anak yatim piatu.

Pameran Lukisan Citra Khatulistiwa

Pontianak, Kalbar - Pameran lukisan bertajuk Citra Khatulistiwa di Museum Provinsi Kalimantan Barat resmi dibuka, Selasa (27/8) Staf Ahli Gubernur Bidang Pembangunan Ida Kartini. Pengunjung pameran pun membeludak. Lukisan yang dipamerkan merupakan karya para pelukis atau perupa yang telah masuk dan mengisi perjalanan penting sejarah seni rupa Indonesia, seperti Raden Saleh Sjarief Boestaman, Affandi, Basuki Abdullah, Achmad Sadali, AD Pirous, Agus Djaja, Dullah, Djoko Pekik, Fadjar Sidik, Handrio, Hendra Gunawan, dan masih banyak lagi.
Selain menampilkan karya-karya perupa koleksi Galeri Nasional Indonesia, pameran itu juga menampilkan karya perupa dan fotografi Kalimantan Barat, seperti Bing Kalis, Fathul Ihsan, Budi Kurniawan, Kessusanto Liusvia (Kekes), Joko Haryanto, Chriesy dan lain-lain. Sedangkan untuk karya fotografi, Nunung Prasetyo, Bruno, Vicktor Fidelis Sentosa dan Febri Gumay.
Pameran ini merupakan hasrat untuk menampilkan ragam realitas social kemasyarakatan yang terekam dalam artifak karya seni rupa Indonesia, khususnya di kawasan Kalimantan Barat. Dengan demikian, sebagian besar karya-karya yang dipresentasikan pada perhelatan pameran ini merupakan sebagian dari rentetan rekaman jejak-jejak sosial kemasyarakatan yang terjadi di Kalimantan Barat dari waktu ke waktu. Realitas sosial yang sudah dipindah-bentukkan oleh para seniman ini telah menjadi realitas artistik. Maka, ada sekian banyak bentuk-bentuk ekspresi seni rupa yang ditampilkan di pameran ini.
Pameran yang rencananya akan digelar selama seminggu (27 Agustus-1 September 2013) ini disambut baik pemerintah setempat. Diharapkan dengan adanya pameran lukisan hasil karya sang maestro dan perupa Kalimantan Barat ini mampu memupuk semangat para seniman Kalimantan barat untuk terus eksis berkarya hingga kancah nasional.
“Kita meyambut baik pameran lukisan ini. diharapkan mampu memupuk semangat seni semakin dinamis. Tidak berhenti sebatas seremonial saja, khusus melestarikan seni kebudayaan dalam pemabangunan nasional,”kata Staf Ahli Gubernur Kalimantan Barat Bidang Pembangunan, Ida Kartini, dalam pembukaan pameran, kemarin. menyambut baik
Kendati demikian, tidak adanya fasilitas khusus pameran lukisan di Kalimantan Barat menjadi sorotan tersendiri bagi para perupa. Seperti yang diungkapkan Eugene Yohanes Palaunsoeka, Ketua Komite Seni Rupa, Dewan Kesenian Kalimantan Barat.
Menurut Yohanes, sudah tiga tahun pihaknya menunggu Kalimantan Barat menjadi tuan rumah pameran lukisan Galeri Nasional Indonesia. Namun demikian, tampaknya pemerintah daerah kurang merespon. Selain itu, Kalimantan Barat tidak memiliki fasilitas khusus gedung lukisan. “Kita harapkan dengan adanya pameran lukisan Galeri Nasional ini menjadi renungan buat para pembuat kebijakan. Karena hingga saat ini Kalbar tidak memiliki fasilitas khusus untuk media pameran lukisan,” katanya.
Terkait hal itu, Sekretaris Ditjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gatot Gautama yang turut hadir dalam pembukaan pameran lukisan “Citra Khatuistiwa” itu berencana akan merevitalisasi fungsi dari Taman Budaya secara bertahap, agar perubahan yang terjadi mengembalikan laboratorium budaya itu ke jalur semula. "Saat ini, Taman Budaya sudah mengalami perubahan. Untuk itu, perlu dilakukan revitalisasi kembali, guna memunculkan kembali jiwa Taman Budaya," katanya di sela pembukaan pameran Citra Khatulistiwa di Auditorium Museum Provinsi Kalbar di Pontianak.
Menurut Gatot, Taman Budaya dulu dikenal sebagai laboratorium seni daerah. Karya seni dari pelosok, diolah kembali di Taman Budaya sehingga menghasilkan kreasi-kreasi baru. "Bahkan bisa saja nanti Taman Budaya menjadi pusat studi seni, termasuk di Kalbar. Itu juga sebab kenapa kebudayaan melekat dengan pendidikan," ujar dia.
Namun, lanjut dia, saat ini Taman Budaya cenderung hanya sekedar sebagai tempat untuk menampilkan karya seni. "Di beberapa daerah, ada yang tidak terawat. Lampu dibiarkan mati, bahkan ada yang tutup, seperti di Papua," ungkap dia.
Terkait hal itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan merevitalisasi Taman Budaya secara bertahap. Pada tahun ini, ujar dia, ada 10 dari 25 Taman Budaya di seluruh Indonesia yang direvitalisasi. "Sekarang baru tahap awal, karena nanti akan ada studi dan kajian. Baru lah disiapkan rancangan keseluruhan, tidak hanya bangunan secara fisik, tetapi juga meminta masukan dari para pelaku seni setempat," kata dia.
Pemerintah menyiapkan dana kisaran Rp500 juta untuk membiayai "masterplan" dan kajian dari masing-masing Taman Budaya. Namun ia berharap, revitalisasi kembali Taman Budaya jangan sekadar mengandalkan pendanaan dari Pemerintah Pusat. "Pemerintah daerah sudah sepatutnya bersanding dengan pemerintah pusat agar tujuan ini benar-benar terwujud," tutur Gatot Gautama.
Di lain sisi, pameran lukisan bersama Galeri Nasonal Indonesia ini menjadi kebanggan sendiri bagi para perupa Kalimantan Barat. Seperti halnya Fathul Ihsan. Laki-laki dengan postur kurus tinggi ini mengaku bangga bisa ikut serta pameran, mendampingi karya-karya kaliber nasional dan dapat merenungi hasil-hasil karya untuk merefleksi apa yang terjadi pada zaman mereka. “Terus terang saya bangga bisa ikut serta mendampingi karya-karya caliber nasional. Diharapkan kalbar juga bisa menghasilkan seniman-seniman yang tercatat dalam sejarah di Kalbar pada khususnya dan Indonesia pada umumnya,” kata Desain grafis Pontianak Post ini.
Hal serupa juga diungkapkan Budi Kurniawan, yang juga seorang desain grafis ini. Menurut Budi, ada pesan tersendiri dalam pameran yang digelar ini. Karyanya yang berjudul “Jejak tamak manusia”. Dalam lukisan itu, Budi mengambarkan kerusakan hutan akibat yang ditimbulkan oleh ulah manusia.
“Ada pesan lukisan yang saya pamerkan. Lukisan ini mengambarkan ketamakan manusia sehingga mengakibatkan rusaknya lingkungan. Kita harus menjaga lingkungan hidup, kelestarian hutan dan orang utan. Semoga dengan hadirnya karya ini bsa menggugah orang lain, menggugah kesadaran orang terhadap kelestarian lingkungan,” kata Budi.

Yuk ke Festival Musik Bambu

Jakarta - Festival Musik Bambu Nusantara (FMBN) telah tujuh kali digelar. Kegiatan FMBN 2013 merupakan kerja sama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dengan Republik Entertainment digelar di Assembly Hall Jakarta Convention Centre (JCC) pada 27-28 Agustus 2013.
"Event ini merupakan salah satu cara mempromosikan budaya kita melalui musik," kata Dirjen Pemasaran Pariwisata Kemenparekraf, Esthy Reko Astuti, pada sambutannya dalam pembukaan FMBN 2013 di Jakarta, Selasa (27/8/2013).
Lebih lanjut, Esthy menuturkan, pada gelaran ini selain mempertunjukkan musik angklung, juga beberapa alat musik lain yang terbuat dari bambu, misalnya suling. "Tak hanya dari angklung tapi juga musik suling," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Panitia FMBN 2013, Dadang Johari mengatakan adanya kegiatan ini berawal dari keinginan memperkenalkan musik bambu kepada anak-anak muda.
Pergelaran dibuka oleh penampilan musik angklung oleh anak-anak. Adapun FMBN 2013 menampilkan kolaborasi musik modern, kuliner berbahan bambu, serta fashion yang dipadukan dengan karya berbahan bambu.
Penampilan musisi ternama juga turut memeriahkan pergelaran, seperi Dwiki Dharmawan, Andien, Samba Sunda serta grup Arumba para ibu warga negara Jepang.
Pergelaran FMBN tak hanya diisi pertunjukan musik tetapi juga  stan dari para perajin berbahan bambu seperti pembuat kuliner, permainan anak, cendera mata, dan alat musik. Untuk bisa menyaksikan acara ini tak dipungut biaya alias gratis.

Sejarah Bendera Merah Putih

Oleh : Mas Kumitir

Bila kita melihat deretan bendera yang dikibarkan dari berpuluh-puluh bangsa di atas tiang, maka terlintas di hati kita bahwa masing-masing warna atau gambar yang terdapat di dalamnya mengandung arti, nilai, dan kepribadian sendiri-sendiri, sesuai dengan riwayat bangsa masing-masing. Demikian pula dengan bendera merah-putih bagi bangsa Indonesia. Warna merah dan putih memunyai arti yang sangat dalam, sebab kedua warna tersebut tidak begitu saja dipilih dengan cuma-cuma, melainkan melalui proses sejarah yang begitu panjang dalam perkembangan bangsa Indonesia.

Menurut sejarah, bangsa Indonesia memasuki wilayah Nusantara ketika terjadi perpindahan orang-orang Austronesia sekitar 6.000 tahun yang lalu datang ke Indonesia Timur dan Barat melalui Tanah Semenanjung dan Filipina. Pada zaman itu manusia memiliki cara penghormatan atau pemujaan terhadap matahari dan bulan. Matahari dianggap sebagai lambang warna merah dan bulan sebagai lambang warna putih. Zaman itu disebut juga zaman Aditya Candra. Aditya berarti matahari dan candra berarti bulan. Penghormatan dan pemujaan tidak saja di kawasan Nusantara, namun juga di seluruh Kepulauan Austronesia, Samudra Hindia, dan Pasifik.

Sekitar 4.000 tahun yang lalu terjadi perpindahan kedua, yaitu masuknya orang Indonesia kuno dari Asia Tenggara dan kemudian berbaur dengan pendatang yang terlebih dahulu masuk ke Nusantara. Perpaduan dan pembauran inilah yang kemudian melahirkan turunan yang sekarang kita kenal sebagai bangsa Indonesia.

Pada zaman itu ada kepercayaan yang memuliakan zat hidup atau zat kesaktian bagi setiap makhluk hidup, yaitu getah-getih. Getah-getih yang menjiwai segala apa yang hidup sebagai sumbernya bewarna merah dan putih. Getah tumbuh-tumbuhan berwarna putih dan getih (dalam bahasa Jawa/Sunda) berarti darah bewarna merah, yaitu zat yang memberikan hidup bagi tumbuh-tumbuhan, manusia, dan hewan. Demikian kepercayaan yang terdapat di Kepulauan Austronesia dan Asia Tenggara.

Pada permulaan masehi selama dua abad, rakyat di Kepulauan Nusantara memunyai kepandaian membuat ukiran dan pahatan dari kayu, batu, dan lainnya, yang kemudian ditambah dengan kepandaian mendapat pengaruh dari kebudayaan Dong Song dalam membuat alat-alat dari logam terutama dari perunggu dan besi. Salah satu hasil yang terkenal ialah pembuatan gendering besar dari perunggu yang disebut nekara dan tersebar hampir di seluruh Nusantara. Di Pulau Bali gendering ini disebut "nekara bulan pajeng" yang disimpan dalam pura. Pada nekara tersebut di antaranya terdapat lukisan orang menari dengan hiasan bendera dan umbul-umbul dari bulu burung. Demikian juga di Gunung Kidul sebelah selatan Yogyakarta terdapat kuburan berupa waruga dengan lukisan bendera merah putih berkibar di belakang seorang perwira menunggang kerbau, seperti yang terdapat di kaki Gunung Dompu.

Sejak kapan bangsa-bangsa di dunia mulai memakai bendera sebagai identitas bangsanya? Berdasarkan catatan sejarah dapat dikemukakan bahwa awal mula orang menggunakan bendera dimulai dengan memakai lencana atau emblem, kemudian berkembang menjadi tanda untuk kelompok atau satuan dalam bentuk kulit atau kain yang dapat berkibar dan mudah dilihat dari jauh. Berdasarkan penelitian akan hasil-hasil benda kuno, ada petunjuk bahwa bangsa Mesir telah menggunakan bendera pada kapal-kapalnya, yaitu sebagai batas dari satu wilayah yang telah dikuasainya dan dicatat dalam daftar. Demikian juga bangsa Cina di zaman Kaisar Chou tahun 1122 sebelum Masehi.

Bendera itu terikat pada tongkat dan bagian puncaknya terdapat ukiran atau totem; di bawah totem inilah diikatkan sepotong kain yang merupakan dekorasi. Bentuk semacam itu didapati pada kebudayaan kuno yang terdapat di sekitar Laut Tengah. Hal itu diperkuat juga dengan adanya istilah bendera yang terdapat dalam kitab Injil. Bendera bagi raja tampak sangat jelas, sebab pada puncak tiang terdapat sebuah simbol dari kekuasaan dan penguasaan suatu wilayah taklukannya. Ukiran totem yang terdapat pada puncak atau tiang memunyai arti magis yang ada hubungnnya dengan dewa-dewa. Sifat pokok bendera terbawa hingga sekarang ini.

Pada abad ke19 tentara Napoleon I dan II juga menggunakan bendera dengan memakai lambang garuda di puncak tiang. Perlu diingat bahwa tidak semua bendera memunyai arti dan ada hubungannya dengan religi. Bangsa Punisia dan Yunani menggunakan bendera sangat sederhana, yaitu untuk kepentingan perang atau menunjukkan kehadiran raja atau opsir, dan juga pejabat tinggi negara. Bendera Yunani umumnya terdiri dari sebuah tiang dengan kayu salib atau lintang yang pada puncaknya terdapat bulatan. Dikenal juga perkataan vaxillum (kain segi empat yang pinggirnya bewarna ungu, merah, atau biru) digantung pada kayu silang di atas tombak atau lembing.

Ada lagi yang dinamakan labarum yang merupakan kain sutra bersulam benang emas dan biasanya khusus dipakai untuk raja bangsa Inggris yang menggunakan bendera sejak abad ke-8. Sampai Abad Pertengahan terdapat bendera yang menarik perhatian, yaitu bendera “gunfano” yang dipakai bangsa Germania, terdiri dari kain bergambar lencana pada ujung tombak, dan dari sinilah lahir bendera Prancis yang bernama “fonfano”.

Bangsa Viking hampir sama dengan itu, tetapi bergambar naga atau burung, dikibarkan sebagai tanda menang atau kalah dalam suatu pertempuran yang sedang berlangsung. Mengenai lambang-lambang yang menyertai bendera banyak juga corak ragamnya, seperti bangsa Rumania pernah memakai lambang burung dari logam, dan Jerman kemudian memakai lambang burung garuda, sementara Jerman memakai bendera yang bersulam gambar ular naga.

Tata cara pengibaran dan pemasangan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung, kibaran bendera putih sebagai tanda menyerah (dalam peperangan), dan sebagai tanda damai rupanya, pada saat itu sudah dikenal dan etika ini sampai sekarang masih digunakan oleh beberapa negara di dunia.

Pada abad ke7 di Nusantara ini terdapat beberapa kerajaan. Di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya yang pada hakikatnya baru merupakan kerajaan dengan kekuasaan terbatas, satu sama lainnya belum memunyai kesatuan wilayah. Baru pada abad ke-8 terdapat kerajaan yang wilayahnya meliputi seluruh Nusantara, yaitu Kerajaan Sriwijaya yang berlangsung sampai abad ke-12. Salah satu peninggalannya adalah Candi Borobudur, dibangun pada tahun 824 Masehi dan pada salah satu dindingnya terdapat “pataka” di atas lukisan dengan tiga orang pengawal membawa bendera merah putih sedang berkibar. Kata dwaja atau pataka sangat lazim digunakan dalam kitab Jawa Kuno atau kitab Ramayana. Gambar pataka yang terdapat pada Candi Borobudur, oleh seorang pelukis berkebangsaan Jerman dilukiskan dengan warna merah putih. Pada Candi Prambanan di Jawa Tengah juga terdapat lukisan Hanoman terbakar ekornya yang melambangkan warna merah (api) dan warna putih pada bulu badannya. Hanoman = kera berbulu putih. Hal tersebut sebagai peninggalan sejarah di abad ke-10 yang telah mengenal warna merah dan putih.

Prabu Airlangga digambarkan sedang mengendarai burung besar, yaitu burung garuda yang juga dikenal sebagau burung merah putih. Denikian juga pada tahun 898 sampai 910 Raja Balitung yang berkuasa untuk pertama kalinya menyebut dirinya sebagai gelar Garuda Muka. Maka sejak masa itu warna merah putih mau pun lambang Garuda telah mendapat tempat di hati rakyat Indonesia.

Kerajaan Singasari berdiri pada tahun 1222 sampai 1292, setelah Kerajaan Kadiri mengalami kemunduran. Raja Jayakatwang dari Kediri saat melakukan pemberontakan melawan Kerajaan Singasari di bawah tampuk kekuasaan Raja Kertanegara, sudah menggunakan bendera Merah Putih , tepatnya sekitar tahun 1292. Pada saat itu tentara Singasari sedang dikirim ke Semenanjung Melayu atau Pamalayu. Jayakatwang mengatur siasat mengirimkan tentaranya dengan mengibarkan panji-panji berwarna merah putih dan gamelan ke arah selatan Gunung Kawi. Pasukan inilah yang kemudian berhadapan dengan pasukan Singasari, padahal pasukan Singasari yang terbaik dipusatkan untuk menghadang musuh di sekitar Gunung Penanggungan. Kejadian tersebut ditulis dalam suatu piagam yang lebih dikenal dengan nama Piagam Butak. Butak adalah nama gunung tempat ditemukannya piagam tersebut terletak di sebelah selatan Kota Mojokerto. Pasukan Singasari dipimpin oleh R. Wijaya dan Ardaraja (anak Jayakatwang dan menantu Kertanagara). R. Wijaya memeroleh hadiah sebidang tanah di Desa Tarik, 12 km sebelah timur Mojokerto. Berkibarlah warna merah-putih sebagai bendera pada tahun 1292 dalam Piagam Butak yang kemudian dikenal dengan Piagam Merah Putih, namun masih terdapat salinannya. Pada buku Paraton ditulis tentang "Runtuhnya Singasari" serta mulai dibukanya Kerajaan Majapahit, dan pada zaman itu pula terjadinya perpaduan antara Siwaisme dengan Buddhisme.

Demikian perkembangan selanjutnya, masa kejayaan Kerajaan Majapahit, menunjukkan bahwa putri Dara Jingga dan Dara Perak yang dibawa oleh tentara Pamelayu juga mangandung unsur warna merah dan putih (jingga=merah, dan perak=putih). Tempat raja Hayam Wuruk bersemayam, pada waktu itu keratonnya juga disebut sebagai keraton merah-putih, sebab tembok yang melingkari kerajaan itu terdiri dari batu bata merah dan lantainya diplester warna putih. Empu Prapanca pengarang buku Nagarakretagama menceritakan tentang digunakannya warna merah-putih pada upacara kebesaran Raja Hayam Wuruk. Kereta pembesar-pembesar yang menghadiri pesta, banyak dihiasi merah-putih, seperti yang dikendarai oleh putri Raja Lasem. Kereta putri Daha digambari buah maja warna merah dengan dasar putih. Maka dapat disimpulkan bahwa zaman Majapahit warna merah-putih sudah merupakan warna yang dianggap mulia dan diagungkan. Salah satu peninggalan Majapahit adalah cincin warna merah putih yang menurut ceritanya sebagai penghubung antara Majapahit dengan Mataram sebagai kelanjutan. Dalam Keraton Solo terdapat panji-panji peninggalan Kiai Ageng Tarub turunan Raja Brawijaya yaitu Raja Majapahit terakhir. Panji-panji tersebut berdasar kain putih dan bertuliskan aksara arab-jawa yang di garis atasnya warna merah. Hasil penelitian panitia kepujanggaan Yogyakarta berkesimpulan antara lain nama bendera itu adalah Gula Kelapa, dilihat dari warna merah dan putih. Gula warna merah artinya berani, dan kelapa warna putih artinya suci.

Di Sumatra Barat menurut sebuah tambo yang telah turun temurun hingga sekarang ini masih sering dikibarkan bendera dengan tiga warna, yaitu hitam mewakili golongan penghulu atau penjaga adat, kuning mewakili golongan alim ulama, sedangkan merah mewakili golongan hulu baling. Ketiga warna itu sebenarnya merupakan peninggalan Kerajaan Minang pada abad XIV yaitu Raja Adityawarman. Juga di Sulawesi di daerah Bone dan Sopeng dahulu dikenal Woromporang yang bewarna putih disertai dua umbul-umbul di kiri dan kanannya. Bendera tersebut tidak hanya berkibar di daratan, tetapi juga di samudra, di atas tiang armada Bugis yang terkenal. Bagi masyarakat Batak terdapat kebudayaan memakai ulos, semacam kain yang khusus ditenun dengan motif tersendiri. Nenek moyang orang Batak menganggap ulos sebagai lambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohani serta membawa arti khusus bagi yang menggunakannya. Dalam aliran animisme Batak, dikenal dengan kepercayaan monoteisme yang bersifat primitif, bahwa kosmos merupakan kesatuan tritunggal, yaitu benua atas dilambangkan dengan warna merah dan benua bawah dilambangkan dengan warna hitam. Warna warna ketiga itu banyak kita jumpai pada barang-barang yang suci atau pada hiasan-hiasan rumah adat. Demikian pula pada ulos terdapat warna dasar yang tiga tadi, yaitu hitam sebagai warna dasar, sedangkan merah dan putihnya sebagai motif atau hiasannya. Di beberapa daerah di Nusantara ini terdapat kebiasaan yang hampir sama, yaitu kebiasaan memakai selendang sebagai pelengkap pakaian kaum wanita. Ada kalanya pemakaian selendang itu ditentukan pemakaiannya pada setiap ada upacara-upacara, dan sebagian besar dari motif-motifnya bewarna merah dan putih.

Ketika terjadi Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830, di tengah-tengah pasukan Diponegoro yang beribu-ribu juga terlihat kibaran bendera merah-putih. Demikian juga di lereng-lereng gunung dan desa-desa yang dikuasai Pangeran Diponegoro, banyak terlihat kibaran bendera merah-putih. Ibarat gelombang samudra yang tak kunjung reda, perjuangan rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, putra-putra Indonesia yang dipimpin Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Pangeran Antasari, Pattimura, Diponegoro, dan banyak lagi putra Indonesia yang berjuang untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, sekali pun pihak penjajah dan kekuatan asing lainnya berusaha menindasnya, namun semangat kebangsaan tidak terpadamkan.

Pada abad ke-20 perjuangan bangsa Indonesia makin terarah dan menyadari akan adanya persatuan dan kesatuan perjuangan menentang kekuatan asing, kesadaran berbangsa dan bernegara mulai menyatu dengan timbulnya gerakan kebangsaan Boedi Oetomo pada 1908 sebagai salah satu tonggak sejarah.

Kemudian pada tahun 1922 di Yogyakarta berdiri sebuah perguruan nasional Taman Siswa di bawah pimpinan Suwardi Suryaningrat. Perguruan itu telah mengibarkan bendera merah-putih dengan latar dasar warna hijau yang tercantum dalam salah satu lagu antara lain: "Dari Barat Sampai ke Timur", "Pulau-pulau Indonesia", "Nama Kamu Sangatlah Masyhur Dilingkungi Merah-Putih. "Itulah makna bendera yang dikibarkan Perguruan Taman Siswa.

Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.

Para mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia yang berada di negeri Belanda pada 1922 juga telah mengibarkan bendera merah-putih yang di tengahnya bergambar kepala kerbau, pada kulit buku yang berjudul Indonesia Merdeka. Buku ini membawa pengaruh bangkitnya semangat kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka.

Demikian seterusnya pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia dibawah pimpinan Ir. Soekarno yang bertujuan mencapai kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia. Partai tersebut mengibarkan bendera merah-putih yang di tengahnya bergambar banteng.

Kongres Pemuda pada tahun 1928 merupakan detik yang sangat bersejarah dengan lahirnya “Sumpah Pemuda”. Satu keputusan sejarah yang sangat berani dan tepat, karena kekuatan penjajah pada waktu itu selalu menindas segala kegiatan yang bersifat kebangsaan. Sumpah Pemuda tersebut adalah tidak lain merupakan tekad untuk bersatu, karena persatuan Indonesia merupakan pendorong ke arah tercapainya kemerdekaan. Semangat persatuan tergambar jelas dalam “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia” yang berbunyi:

Pertama : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH YANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA

Kedua : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE
BERBANGSA YANG SATOE, BANGSA INDONESIA

Ketiga : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Pada kongres tersebut untuk pertama kalinya digunakan hiasan merah-putih tanpa gambar atau tulisan, sebagai warna bendera kebangsaan, dan untuk pertama kalinya pula diperdengarkan lagu kebangsaan "Indonesia Raya".

Pada saat Kongres Pemuda berlangsung, suasana merah-putih telah berkibar di dada peserta, yang dibuktikan dengan panitia kongres mengenakan “kokarde” (semacam tanda panitia) dengan warna merah-putih yang dipasang di dada kiri. Demikian juga pada anggota padvinder atau pandu yang ikut aktif dalam kongres menggunakan dasi berwarna merah-putih. Kegiatan pandu, suatu organisasi kepanduan yang bersifat nasional, menunjukkan identitas kebangsaan dengan menggunakan dasi dan bendera merah-putih.

Perlu disadari bahwa Polisi Belanda (PID) termasuk Van der Plass, tokohnya, sangat ketat memerhatikan gerak-gerik peserta Kongres, sehingga panitia sangat berhati-hati serta membatasi diri demi kelangsungan Kongres. Suasana merah-putih yang dibuat para pandu menyebabkan pemerintah penjajah melarang dilangsungkannya pawai pandu, khawatir pawai bisa berubah menjadi semacam penggalangan kekuatan massa.

Pengibaran bendera merah-putih dan lagu kebangsaan "Indonesia Raya" dilarang pada masa pendudukan Jepang, karena ia mengetahui pasti bahwa hal tersebut dapat membangkitkan semangat kebangsaan yang nantinya menuju pada kemerdekaan. Kemudian pada tahun 1944 lagu "Indonesia Raya" dan "Bendera Merah-Putih" diizinkan untuk berkibar lagi setelah kedudukan Jepang terdesak. Bahkan pada waktu itu pula dibentuk panitia yang bertugas menyelidiki lagu kebangsaan serta arti dan ukuran bendera merah-putih.

Detik-detik yang sangat bersejarah adalah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setelah pembacaan teks proklamasi, baru dikibarkan bendera merah-putih, yang kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945. Bendera yang dikibarkan tersebut kemudian ditetapkan dengan nama Sang Saka Merah Putih.

Kemudian pada 29 September 1950 berkibarlah Sang Merah Putih di depan Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia oleh badan dunia.

Bendera merah-putih memunyai persamaan dengan bendera Kerajaan Monako, yaitu sebuah negara kecil di bagian selatan Prancis, tapi masih ada perbedaannya. Bendera Kerajaan Monako di bagian tengah terdapat lambang kerajaan dan ukurannya dengan perbandingan 2,5 : 3, sedangkan bendera merah putih dengan perbandingan 2 : 3 (lebar 2 meter, panjang 3 meter) sesuai Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1958. Kerajaan Monako menggunakan bendera bukan sebagai lambang tertinggi karena merupakan sebuah kerajaan, sedangkan bagi Indonesia bendera merah putih merupakan lambang tertinggi.

Merisaukan, Generasi Muda Minang Tak Kenal Adat dan Budaya

Adat dan budaya Minang ke depan dalam tantangan dan bahaya. Sebab, banyak generasi muda sebagai generasi pelanjut dewasa ini kurang mengenal, bahkan tak kenal lagi dengan adat dan budayanya. Budaya Minang dianggap tak lebih hebat dari budaya suku bangsa lain. Padahal, kalau mereka selami, adat dan budaya Minang bisa menjadi perisai diri dan sekaligus perisai agama. Makanya filosofi hidup orang Minang berbunyi adat basandi Syara‘, Syara‘ basandi Kitabullah.

Kerisauan itu dikemukakan Ketua Umum Lembaga Kerapatan Adat dan Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat H. Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie, kepada Kompas di Padang. "Betul, etnis Minang suku yang paling cepat berubah karena filosofinya antara lain di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Namun, adat dan budaya Minang jangan diabaikan, apalagi dilupakan. Karena benteng diri dan benteng agama," katanya.

Ia menjelaskan, kerisauan yang kini semakin mencemaskan itu, tatkala, misalnya, melihat perilaku generasi muda kini yang begitu longgar, misalnya, memakai pakaian ketat dan tampak pusar, tidak bisa berbahasa Minang. Ada pula yang berpandangan, dan seolah itu suatu kebenaran, bahwa perempuan Minang cenderung berselingkuh, kebebasan seksual yang luas, dan promiskuitas. "Ini sudah tidak benar lagi dan perlu diluruskan. Adat Minang adalah adat islami dengan filosofi adat basandi Syara‘, Syara‘ basandi Kitabullah. Bahkan, untuk membentengi diri dari perbuatan yang keji itu, maka dalam norma adat dan budaya Minang ada yang dinamakan Sumbang 12, seperti sumbang duduk, sumbang tegak, sumbang tanya, sumbang jawab, sumbang berpakaian, dan sumbang diam," ujarnya menambahkan.

Apa maksudnya sumbang duduk? Sumbang duduk artinya bila seorang perempuan Minang duduk, harus merapatkan lutut. "Supaya bareh jan taserak (beras jangan terserak) di bawah," katanya dengan bahasa kias. Hanya saja, kata Datuk Simulie, kini kondisinya mulai merisaukan karena adanya "serangan gencar" dari luar sebagai dampak globalisasi. Ini diperparah lagi karena ajaran adat tak lagi diajarkan dan dipraktikkan oleh para orangtua. Sebenarnya, menurut Datuk P Simulie, dengan kembali ke sistem pemerintahan nagari di Sumbar, diharapkan ada perubahan, setidak-tidaknya pemahaman adat dan budaya itu. Namun, dalam praktiknya hidup bernagari belum berubah, kecuali yang berubah itu sistem pemerintahan nagarinya. (NAL)

Sumber : Kompas

Orang Melayu Cuma Pandai Bercerita

Dick van der Meij sontak tertawa terkekeh-kekeh. Tangannya menunjuk-nunjuk sepasang patung yang menggambarkan sosok tentara Romawi lengkap beserta pakaian kebesaran mereka dengan tameng, senjata, dan sirip di kepala yang dipajang di satu sudut ruang pengambilan bagasi Bandara Hang Nadim, Batam.

Bersama Rahayu Supanggah (seniman asal Solo berkelas dunia), Pudentia (Ketua Asosiasi Tradisi Lisan, ATL), dan Mukhlis PaEni (Staf Ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Bidang Pranata Sosial), sore itu Dick baru saja tiba dari Jakarta untuk melanjutkan perjalanan ke jantung Melayu di Pulau Bintan. Keinginan Dick untuk bisa secepatnya menikmati suasana Melayu yang sebenar-benarnya Melayu di Kepulauan Riau langsung sirna. Singgah di Batam, ia malah disambut sosok pencitraan yang justru menggambarkan kebesaran imperium para leluhur-nya dari daratan Eropa.

Di balik tawa tergerai itu, sebagai antropolog yang mendalami naskah-naskah Melayu-Islam, Dick sesungguhnya tengah menertawai orang-orang Melayu. Nadim memang sudah jadi nama bandara di Batam, keperkasaan Tuah telah melegenda, dan kepahlawanan Jebat tetap tak tergoyahkan meski harus mati di ujung keris Tuah; teman sepermainannya sejak kecil. Sementara lewat naskah-naskah lama, kebesaran Riau-Lingga dan Siak-Indragiri pun masih terekam di dalam ingatan. Begitupun sosok Raja Ali Haji dengan Tuhfat al-Nafis dan Gurindam Dua Belas-nya.

Akan tetapi, itu semua adalah romantisme masa lampau yang cuma ada dalam bayang-bayang masa kini pada sebagian kecil orang-orang Melayu. Selebihnya? Dunia kapitalisme dengan segala pernak-pernik yang menyertainya sudah merampas kenangan akan kebesaran itu. Bahkan, pekik Tuah yang begitu terkenal, Tak kan Melayu hilang di Bumi, kini sudah tidak punya gaung lagi dalam etos keseharian orang-orang Melayu hari ini.

Harga sebuah perubahan
Tentu saja para pembela dan pengusung marwah Melayu seperti sastrawan Taufik Ikram Jamil dan Hoesnizar Hood (sekadar menyebut sedikit nama) tak usah terlalu masygul dengan kenyataan kian meredupnya nilai-nilai kemelayuan itu. Selalu ada semacam apologi yang bisa didedahkan. Taruhlah seperti pengalaman Dick yang berjumpa ‘leluhur‘-nya dalam wujud sosok tentara Romawi Kuno tadi, oleh Mukhlis PaEni ditanggapi dengan menyodorkan cerita legenda tentang cikal bakal raja-raja Melayu yang disebut-sebut berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain.

Meski kisah tentang asal usul raja-raja Melayu tersebut benar-benar tercatat dalam kitab Sejarah Melayu, namun tak berarti Mukhlis PaEni --yang meraih doktor di bidang ilmu sejarah dengan disertasi tentang penyerbuan Belanda ke Tanah Gayo dalam Perang Atjeh-- mengamininya. Tidak! Bahkan kisah tentang asal-usul raja-raja Melayu itu terkesan ia sampaikan dalam nada satiris.

Jadi, Dick, kamu tak perlu heran kalau ada yang merepresentasikan orang Melayu seperti tentara Romawi itu. Sebab, menurut silsilahnya, raja- raja Melayu itu kan keturunan Iskandar Zulkarnain, kata Mukhlis.

Ucapan Mukhlis itu kontan disambut Dick van der Meij dengan gelak tawa. Apalagi sebelumnya Mukhlis menginformasikan, setiba di Batam mereka akan dijemput petugas dari dinas pariwisata setempat yang berpakaian adat-resam Melayu.

Memang, sesungguhnya tak begitu penting menelusuri kebenaran atau ketidakbenaran cerita semacam itu. Bukankah dalam masyarakat kita --termasuk di tanah Melayu-- legenda, mitos, dan sejenisnya memang kerap membaurkan fakta dengan hal-hal yang berbau mitologis.

Apalagi dalam konteks Melayu saat ini, di mana praksis kehidupan bermasyarakat lebih didominasi oleh kecenderungan pragmatisme, asal usul tentang kejadian bukan lagi topik utama yang jadi pokok perbincangan. Hal-hal yang berbau ideologis pun dalam beberapa dekade terakhir sudah dipinggirkan. Lebih-lebih sejak wilayah ini ditasbihkan sebagai kawasan segitiga pertumbuhan: Singapura-Johor-Riau! Maka, lengkap sudah perubahan-perubahan itu.

Bahkan sejak Batam dijadikan wilayah eksklusif dalam hal investasi dan perdagangan, sejarah tentang masa lalu kawasan ini seperti tak lagi penting. Seiring perubahan Batam yang menjadi surga bagi industri-bisnis dan pelancongan, nilai-nilai yang berkembang pun mengalami pergeseran.

Melayu sebagai entitas budaya, yang kerap diidentikkan dengan nilai-nilai keislaman, juga ikut tergerus. Pemandangan budak-budak Melayu pergi mengaji ke surau-surau selepas maghrib hingga isya, kini sudah kalah bersaing dengan gemerlap kehidupan malam di kawasan Nagoya misalnya.

Apa boleh buat. Pembangunan yang menandai kemajuan fisik kawasan ini senyatanya telah mengubah wajah kemelayuan yang mereka sandang. Akan tetapi, sebesar itukah harga yang harus dibayar oleh apa yang disebut modernisme dan modernitas? Sebegitu mahalkah?

Orang Melayu sebetulnya punya jawabnya. Pandai-pandailah menitih buih!, begitu kata bidal Melayu. Atau, dalam bahasa yang amat memelas melihat perkembangan di kawasan ini, penyair Ediruslan Pe Amanriza (alm) pernah berucap: “datang ke Batam harus tanpa amarah dan marwah, saat melihat apek-apek dari Singapura menggandeng cewek kiri kanan.”

Masih dalam kerangka meredam kemasygulan itu, seniman Zuarman pada Kenduri Seni Melayu beberapa tahun lampau sampai-sampai melantunkan kalimat: Tak kumimpikan Melayu hilang di Batam. Nagoya dan Jodoh hanya menjadi tempat belanja lontong (baca: pelacur). Perlu diketahui, Nagoya dan Jodoh adalah nama kawasan bisnis dan pelesiran terkenal di Batam.

Belum lagi bila menyaksikan kawasan Logoi di utara Pulau Bintan, pulau terbesar di Provinsi Kepulauan Riau. Sebagai bagian dari realisasi segitiga pertumbuhan, Pulau Bintan malah harus kehilangan kedaulatan pada sebagian wilayahnya. Lewat SK Presiden, tahun 1991, tanah seluas lebih dari 19.000 hektar di Kecamatan Bintan Utara dijadikan kawasan terpadu, yang pengelolaannya diserahkan kepada Singapura untuk jangka waktu 80 tahun!

Setelah 15 tahun berlalu, kawasan itu kini telah menjadi wilayah tertutup bagi mereka yang tak berkepentingan. Setiap jalan masuk menuju kawasan bernama Bintan Resort dengan 11 hotel yang sudah berdiri di sana dijaga sangat ketat dan berlapis. Oleh pihak keamanan di tiap gerbang masuk, tamu-tamu berwajah Melayu ditanyai dengan tatapan penuh curiga.

Masih untung kita tidak diminta menunjukkan paspor Indonesia, ujar seorang rekan yang sudah telanjur bikin janji bertemu dengan salah satu pengelola hotel di sana.

Apalagi mereka punya pelabuhan khusus. Tanpa harus melalui pelabuhan fery yang dikelola Pemerintah Indonesia, wisatawan dari Singapura bisa langsung ke Bandar Bentan Telani di kawasan ini dengan jarak tempuh sekitar 55 menit. Di sini, kecuali alam dan lingkungannya, atmosfer Melayu yang sebenar-benarnya Melayu sudah menguap entah ke mana.

Setiap tahun sekitar 300.000 wisatawan dari Singapura datang lewat pelabuhan ini, kata Marc R Thalmann, Direktur PT Mutiara Bintan Discovery.

Membaca Melayu
Kenyataan-kenyataan semacam itu bukan tak dibaca oleh para pengusung dan penjaga budaya Melayu seperti Hoesnizar Hood. Sebagai anak muda yang sangat peduli pada jati diri dan kemelayuan orang Melayu, Hoesnizar bahkan melancarkan otokritik terhadap orang-orang Melayu itu sendiri.

Dalam rubrik Temberang di harian lokal yang terbit di Batam, ia menulis bahwa tudingan yang menyebutkan orang Melayu cuma pandai bercerita memang itulah adanya. Betullah itu, katanya ketika jumpa-sua dengan penulis di Tanjung Pinang, beberapa waktu lalu.

Orang Melayu tu memang cuma pandai bercerita. Bukankah yang menjadi petinggi (di Kepulauan Riau) hari ini entah siapa, yang duduk di Dewan jumlahnya hanya seberapa, yang menjadi pejabat pun tak jelas kemelayuannya. Dan yang benar-benar Melayu diam-diam menyembunyikan identitasnya.

Begitulah hasil bacaan Hoesnizar terhadap kehidupan orang-orang Melayu hari ini. Meski mengaku galau, namun ia masih bisa berseloroh lewat permainan kata sebuah bidal yang diplesetkan. Katanya, Sudah gaharu cendana pula, sudah Melayu merana pula! (ken)

Source : http://www.kompas.com

Peluncuran Buku Teori Barat Kurang Pas untuk Membedah Sastra Melayu

Akademisi di Tanah Air dalam meneliti karya sastra Melayu cenderung menggunakan teori Barat. Untuk mengubah kecederungan ini perlu stimulus agar mempertimbangkan kerangka pikir penulis Melayu, bukan mengandalkan kerangka Barat.

"Jarang yang mencari dasar yang berakar dari tradisi atau cara pandang Nusantara dalam menelaah karya Melayu," ujar Abdul Hadi WM, sastrawan sekaligus pengajar di Universitas Paramadina, Senin (11/12).

Hal itu dikemukakannya pada peluncuran dan bedah buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) karya Denys Lombard dan buku Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi karya Amin Sweeney. Kedua buku tersebut diterbitkan atas kerja sama Kepustakaan Populer Gramedia dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO).

Menurut Abdul Hadi, pemahaman sarjana Barat terhadap Melayu kerap tidak pas. Dia mencontohkan, dalam pandangan Barat terkadang tradisi lisan dilihat dari tradisi tulis. Padahal, tradisi lisan merupakan permainan kata dan bunyi.

"Memindahkan tradisi lisan ke tulis harus tunduk pada tradisi lisan. Pandangan Barat akan janggal ketika diterapkan pada karya Melayu lantaran didasarkan pengalaman di Eropa," katanya.

Kurang berkembangnya penggalian paradigma lain dalam melihat karya sastra Melayu tak lepas dari tradisi positivisme di kalangan akademisi. Tradisi positivisme merupakan teori kebudayaan yang dipakai terus. Para penerus zaman pencerahan menganggap penemuan akal budi lebih tinggi daripada intuisi atau imajinasi

"Kalau kita membaca karya Sweeney, terlihat pertumbuhan cara pandang positivisme," ujar Abdul Hadi.

Uka Tjadrasasmita, arkeolog dengan bidang spesialisasi Islam, yang membahas buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), justru melihat Lombard memberikan pandangan berbeda dengan akademisi Barat lainnya. Dengan model historiografinya, (alm) Lombard menolak historiografi yang Eropa sentris dan pandangan ahli-ahli yang mengecilkan arti sejarah Aceh zaman Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17. (INE)

Sumber: Kompas

Pengembangan dan Pengelolaan Warisan Budaya

Oleh : Dr. Pudentia MPSS

Berbicara mengenai kebudayaan adalah berbicara mengenai sistem nilai yang terkandung dalam sebuah masyarakat. Bila batasan ini dikaitkan dengan keberadaan kebudayaan yang ada di Indonesia yang begitu beragam, maka kita dapat mempertanyakan kembali sejauh mana keragaman ini dapat dipertahankan dalam kerangka membangun “kebudayaan Indonesia”. Di pihak lain, kita pun dapat mempertanyakan sejauh mana “Indonesia” mampu menyatukan keragaman tersebut. Keragaman tersebut tidak saja terdapat secara internal, tetapi juga karena pengaruh-pengaruh yang membentuk suatu kebudayaan. Pengaruh-pengaruh tersebut membentuk lapis-lapis budaya yang sangat menarik yang seakan bercerita tentang sejarah dan segala hal-ihwal sebuah komunitas pemilik kebudayaan tertentu. Dalam kaitan ini kita pun dapat mengamati dinamika sosial masyarakat mewujudkan kebudayaannya, baik secara sadar maupun tidak.

Dengan ungkapan lain, kita dapat menyatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kekhasan masing-masing dalam memberi tanggapan terhadap lingkungan alam dan kehidupannya yang berbeda-beda tersebut yang tersebar di seluruh wilayah kepulauan Nusantara sekaligus juga memberi tanggapan terhadap setiap perubahan yang datang. Sebaliknya, perubahan itu sendiri dan konteks sosial yang terbentuk dari tanggapan masyarakat terhadap alam dan kehidupannya mempengaruhi pembentukan kebudayaan Indonesia. Menjadi Indonesia bukan sekedar menautkan puncak-puncak kebudayaan daerah, tetapi juga berinteraksi dengan kebudayaan dunia (“cultural heritage is not belongs to one country but it belongs to civilization/whole world”).

Dalam konteks mikro, sejauh mana peluang keragaman budaya yang dimiliki Indonesia seperti yang telah disebutkan di atas dijadikan aset yang berharga (dan bukan sebagai ancaman) bagi daerah dan tentunya bagi Indonesia. Beberapa pengamatan akhir-akhir ini termasuk yang dilakukan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) memperlihatkan hancurnya keadaban di Indonesia. Kecenderungan ke sektarianisme menjadi semakin nyata dan kemajemukan diabaikan. Prinsip-prinsip solidaritas dan keadilan cenderung tidak dijadikan dasar berpijak untuk membangun tata kehidupan yang damai dan sejahtera.

Keragaman budaya rupanya belum sepenuhnya disadari sebagai kekayaan khasanah nasional yang dapat memberi nilai tambah, melainkan lebih sering dianggap sebagai rongrongan yang mengancam otoritas / keutuhan negara atau hegemoni tertentu. Seharusnya manusia Indonesia tidak gentar dengan keanekaragaman, karena jati diri Indonesia adalah kebinekaan yang meliputi bahasa, sastra, adat-istiadat, dan segala sesuatu yang hidup di dalam alam Indonesia, hewani atau nabati.

Kenyataan tersebut seakan-akan manjadi kontradiktif dengan kenyataan lain yang menyangkut Otonomi Daerah (OTDA). Pluralisme yang dipahami sebatas wacana tersebut di atas dijadikan alasan utama untuk menerapkan OTDA yang menyangkut berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di satu wilayah tertentu. Pengukuhan OTDA dipahami sebatas permintaan hak ekonomi dan kekuasaan dari “pusat” tanpa dilandasi pemahaman yang benar dan lengkap mengenai identitas budaya yang bersangkutan. Dalam situasi semacam ini muncul pula dalam skala daerah, marginalisasi budaya yang didukung kelompok kecil yang seringkali juga memiliki posisi yang lemah. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini, misalnya Gayo di Aceh, Nias di Sumatera Utara, Mentawai di Sumatera Barat, Using di Jawa Timur, Bima di Nusa Tenggara Barat, dan Melayu di Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat. Kasus semacam ini tidak saja terjadi pada marginalisasi etinis tertentu, tetapi juga pada kesenian tertentu di suatu wilayah, misalnya di daerah Ponorogo (Jawa Timur) kesenian yang bukan termasuk reog tidak mendapat perhatian utama dan di Flores, kesenian yang tidak menyertakan nyanyi-nyanyian/musik kurang diminati.

Salah satu khasanah budaya yang signifikan untuk diketengahkan dalam contoh kasus kali ini adalah tradisi lisan. Dalam Seminar “Tradisi Lisan dalam Konteks Sosial Budaya Masa Kini” yang diselenggarakan ATL pada tanggal 2—5 Oktober 2003 yang lalu di Jakarta disimpulkan bahwa tradisi lisan merupakan khasanah budaya Nusantara yang intangiable yang hingga kini masih memiliki kekuatan dan peran besar di dalam membangun peradaban Indonesia. Tradisi lisan terbukti dapat dijadikan pintu masuk untuk melihat berbagai peristiwa budaya penting yang terjadi dalam sebuah komunitas masyarakat: peristiwa sosial budaya, perekonomian rakyat, strata sosial, sistem religi dan kepercayaan, sistem kognisi masyarakat, intrik-intrik perebutan kekuasaan atau pengukuhan kekuasaan, sistem ekologi, sistem pertahanan kekuasaan / negara, pewarisan tradisi / adat-istiadat, dan sebagainya.

Di tengah-tengah arus globalisasi dan keramaian teknologi, tradisi lisan meskipun penting memang sering tidak terdengar. Seperti nyanyian burung pagi hari di batang-batang pohon di halaman rumah kita : terdengar tetapi tidak didengarkan, ada tetapi tidak ada karena tertutup oleh suara-suara mobil dan keriuhan teknologi industri.

Apakah yang dapat dilakukan untuk mengelola warisan budaya tradisi lisan yang memang sangat khas, khususnya di Flores ini dengan memperhatikan potensi pengembangan di 4 wilayah penting: Flores Timur, Sikka, Ende, dan Nga’da? Mengingat salah satu keutamaan aset budaya Flores adalah tradisi lisan, berdasarkan analisis atas potensi dan hal-hal positif yang dimiliki Flores dan dengan mempertimbangkan segala aspek kekurangan Flores, kita dapat membangun Pusat Interaksi Komunikasi Sosial Kemasyarakatan yang memungkinkan budaya Flores dengan segala aspek dan lapis budayanya memunculkan dirinya. Kegiatan yang dapat dilakukan terdiri atas 3 bagian besar, yaitu

1. Kegiatan Pendukung Infrastruktur: legal apparatus, legal institutions, political will, paradigma berpikir / bersikap tentang pendekatan budaya, penyiapan lahan, gedung, fasilitas terkait, dan komunitas pelaku / pendukung.

2. Kegiatan Pendampingan yang terdiri atas a). Preservasi, yaitu perlindungan warisan budaya tertentu tanpa mengganggu keadaan aslinya seperti apa adanya, Kegiatan ini biasanya dilakukan untuk cadangan warisan yang bersangkutan. Contoh kegiatan semacam ini adalah pemetaan atau survei atas tradisi budaya yang dimaksudkan. b). Konservasi (pemeliharaan) dilakukan untuk mencegah kepunahan. Contoh kegiatan semacam ini adalah melakukan berbagai penelitian, seminar /diskusi, dokumentasi, penulisan buku / tulisan, penerbitan rekaman-rekaman, dan publikasi tradisi tertentu dalam arti luas. c). Revitalisasi merupakan kegiatan pemulihan, pengungatan, dan pemberdayaan tradisi terutama di komunitasnya sendiri dan kemudian di luar komunitasnya. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan adalah rekonstruksi, regenerasi pemain / pendukung tradisi, pembentukan komunitas pendukung, sosialisasi tradisi melalui jalur pendidikan (misal muatan lokal dan penyempurnaan kurikulum), dan pementasan/festival.

3. Kegiatan Lintasbidang terkait dengan tradisi lisan, seperti kehumasan, film, media massa, permuseuman, penyelamatan dan penggalian arkeologi, pengembangan wisata budaya untuk kepentingan pariwisata, dan program belajar mengajar di sekolah yang dapat dilakukan bersama oleh berbagai lembaga, baik pemerintah maupun bukan pemerintah dari dalam maupun luar negeri dengan koordinasi yang baik, jelas, dan terarah dalam satu visi dan misi yang sama mengenai pusat kegiatan.

Untuk menjalankan ketiga kelompok kegiatan besar tersebut di atas diperlukan sebuah sekretariat bersama yang diselenggarakan oleh pihak/tim kuat yang mampu mengkoordinasi tidak saja kegiatan-kegiatan yang akan berjalan tetapi juga manusia-manusia yang menjalankannya. Sekretariat bersama ini, selain harus memenuhi standar pelayanan juga harus terbuka dan mudah diakses oleh pihak mana pun yang berkepentingan. Sekretariat ini akan memudahkan pihak-pihak yang berkenaan melaksanakan programnya dan mencapai tujuannya. Ada paling tidak dua tujuan utama yang dapat dikemukakan di sini, yaitu pertama, menumbuhkan dan menguatkan identitas (budaya) nasional dan kedua, menumbuhkan potensi sosial ekonomi yang umumnya berkaitan dengan dunia bisnis dan pariwisata.

Kendala yang akan dihadapi Pusat budaya ini bukanlah mudah diatasi. Dalam contoh yang sederhana, misalnya menyiapkan sebuah pementasan/festival, perlu upaya pemahaman memperluas jangkauan resepsi penonton/khalayak luas di luar komunitas tradisi yang bersangkutan. Penting untuk menjembatani komunitas-komunitas yang berbeda-beda kepentingan dan latar belakang pengetahuannya untuk bersama “menikmati” sebuah pementasan yang sedang berlangsung .

Dalam skala yang lebih luas, tidaklah cukup bila suatu lembaga (pihak pemerintah sekalipun) mencanangkan program preservasi cagar budaya Benteng Solor, misalnya, program tersebut secara serta merta terwujud dan diterima baik oleh masyarakatnya. Lembaga yang bersangkutan perlu memahami permasalahan-permasalahan internal agar tidak justru menciptakan potensi konflik karena penanganan yang kurang tepat. Kesadaran masyarakat untuk menghargai warisan budaya belum muncul, sehingga alih-alih mendukung program, masyarakat justru berpraduga negatif. Dalam hal lain, peran keluarga sebagai penerus tradisi, lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat sebagai lembaga formal penjaga tradisi pun belum secara maksimal diberdayakan atau memberdayakan dirinya. Hal demikian ini dapat saja terjadi karena sistem dan model pengelolaan budaya belum ada dan belum ditangani secara berkesinambungan dan dilakukan oleh tenaga-tenaga profesional. Hal terakhir yang selalu secara klise dikemukakan tetapi benar adanya adalah terbatasnya dukungan dana melaksanakan program semacam ini.

Mengingat kedua tujuan di atas, kendala macam apa pun sepantasnya dapat dihadapi bersama oleh pihak-pihak yang berkenaan. Dalam masa seperti sekarang, kedua tujuan dalam membangun masyarakat melalui program budaya tidak dapat dibebankan terutama kepada pihak pemerintah saja, tetapi juga pada sektor lembaga non-pemerintah dan lembaga di luar Indonesia. Dengan demikian pula, wawasan kebangsaan yang memandang permasalahan melampaui batas-batas negara, etnisitas, agama, dan sebagainya diperlukan untuk mencapai kedua tujuan tersebut. Dalam menyusun kebijakan, strategi, dan kegiatan, para lembaga terkait yang memiliki perhatian pada pengembangan dan pengelolaan warisan budaya Flores dapat mempertimbangkan berbagai aspek yang telah dikemukakan di atas.

Makalah ini disajikan pada “Seminar Internasional Flores-Portugal”, Maumere, 31 Mei — 2 Juni 2005.

Dr. Pudentia MPSS, adalah dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL)

Sumber : www.fib.ui.ac.id

Peran Bundo Kanduang Dilemahkan dalam Sistem Adat Minangkabau

Kedudukan sosial perempuan Minangkabau telah banyak dikaji dan menarik perhatian berbagai kalangan. Penelitian terbaru dilakukan Lusi Herlina dan kawan-kawan dari Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Padang tahun 2003.

Penelitian dilakukan berdasarkan asumsi bahwa etnis Minangkabau tidak hanya menganut sistem kekerabatan matrilineal, tetapi juga matriarkat yang berarti kekuasaan berada pada perempuan. Posisi perempuan Minangkabau dinilai "superior", lebih berkuasa dibandingkan dengan perempuan dari suku lainnya di Indonesia. Karena itu, isu-isu kesetaraan dan keadilan jender dianggap tidak relevan dibicarakan di Minangkabau. Tidak ada subordinasi perempuan di Sumatera Barat (Sumbar), yang terjadi adalah subordinasi laki-laki.

Ada kalangan yang bersikap kritis terhadap pendapat di atas. Menurut Hayati Nizar, pengamat masalah perempuan di Padang, masyarakat Minangkabau cenderung terbuai dengan "posisi imajinasi" yang menempatkan perempuan pada posisi yang tinggi dengan segala atribut yang disandangkan kepada mereka.

Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau meskipun menganut sistem matrilineal, sistem kekuasaannya tidak matriarkal. Kekuasaan formal, baik secara tradisional maupun modern, tetap dipegang oleh laki-laki.

Dilukiskan, mamak menjadi pemimpin dalam wilayah rumah tangga saparuik (satu perut, satu ibu). Datuak menjadi pemimpin dalam wilayah kaumnya (satu nenek). Penghulu menjadi pemimpin suku (satu nenek moyang) dalam sebuah wilayah genealogis. Wali nagari pemegang kekuasaan formal di nagari.

Menurut Lusi Herlina, hukum adat Minangkabau menempatkan perempuan sebagai pewaris dan pemilik sah pusaka. Namun, hampir di semua wilayah Sumbar terdapat kasus di mana mamak (saudara laki- laki dari pihak ibu) mendominasi dan mengambil alih beberapa kewenangan strategis yang secara ideal normatif menjadi hak perempuan.

"Hak kepemilikan pusaka yang secara sah berada di bawah kekuasaan perempuan sering kali tidak berlaku efektif. Kekuasaan dan intervensi mamak sangat kuat dalam pengambilan keputusan terhadap harta pusaka tinggi. Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan Minangkabau sesungguhnya tidak memiliki kontrol terhadap sumber daya, seperti tanah dan harta pusaka tinggi lainnya," tandasnya.

BUNDO Kanduang adalah institusi perempuan yang sangat penting dalam budaya Minangkabau. Bundo Kanduang merupakan tokoh yang berasal dari dunia mitos. Selain Bundo Kanduang, Minangkabau juga menyimpan nama-nama yang sesungguhnya berasal dari mitos, yakni Mande Rubiah.

Bundo Kanduang digambarkan sebagai perempuan yang bijaksana. Masih diceritakan dalam Tambo, Bundo Kanduang ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang sangat menentukan jalannya roda pemerintahan. Sebagai perempuan, ia tidak hanya penyejuk dalam pertemuan, bukan juga bunga-bunga penghias taman, ataupun pelengkap saja. Akan tetapi, Bundo Kanduang memiliki tempat sejajar dengan elite lainnya dalam pemerintahan Kerajaan Pagaruyuang sehingga pikirannya menentukan kebijakan yang diambil kerajaan.

Sejarawan Taufik Abdullah, sebagaimana dikutip Lusi Herlina, punya pandangan yang cenderung bertolak belakang tentang posisi Bundo Kanduang. Taufik menyatakan bahwa memang Bundo Kanduang sebagai sumber kebijakan, namun ia tidak memiliki peranan dalam pengambilan keputusan karena ia bukanlah orang yang memegang jabatan resmi dalam hierarki kekuasaan dalam sistem politik Minangkabau. Pada gilirannya, ia tetap saja sebagai simbol percaturan politik karena tidak memiliki kekuasaan.

Meski tidak memiliki kekuasaan secara formal, Bundo Kanduang tetap saja menjadi komponen yang harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Lusi menjelaskan, dalam perkembangan sejarah Minangkabau selanjutnya, Bundo Kanduang kemudian dipahami sebagai tokoh perempuan dalam suku/kaum yang menjadi pemimpin dalam Rumah Gadang. Dia adalah perempuan yang disegani, dihormati, dan dimuliakan karena karismanya, kecerdasannya, dan kepiawaiannya mengelola dan memimpin semua orang yang tinggal dalam Rumah Gadang.

"Karena karisma dan kekuasaan Bundo Kanduang inilah, kemudian Pemerintah Belanda menjadikan Bundo Kanduang sebagai institusi yang dipakai sebagai alat penundukan perempuan. Intervensi pemerintah kolonial ini tidak sepenuhnya berhasil. Dalam perkembangannya, Bundo Kanduang ketika itu tetap mandiri dan otonom yang secara efektif mampu menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintahan nagari," katanya.

Namun, kebijakan pemerintahan Orde Baru melalui pemberlakuan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa secara efektif mematikan proses-proses politik perempuan.

Seiring dengan kebijakan tersebut, Pemerintah Daerah Sumbar tahun 1982 mengeluarkan peraturan daerah tentang pembentukan Kerapatan Adat Nagari (KAN), Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), dan institusi Bundo Kanduang.

Pelembagaan institusi Bundo Kanduang oleh pemerintah menjadikan institusi ini kehilangan esensi keberadaannya sebagai lembaga independen, yang selama ini mampu bersikap kritis terhadap penyelenggaraan pemerintahan nagari. Institusi ini kemudian dikooptasi dan menjadi alat legitimasi politik pemerintahan Orde Baru. Proses kooptasi pemerintah ini benar-benar efektif, terbukti peran institusi Bundo Kanduang sekarang direduksi hanya menjadi hiasan dalam upacara-upacara adat dan negara. Bahkan, dalam beberapa peristiwa/upacara adat, peran perempuan lebih marjinal.

Dari penelitian dan analisis Lusi Herlina dkk, Bundo Kanduang tidak dapat lagi berfungsi sebagai perlindungan dan pemberdayaan bagi jutaan kaum perempuan dan anak-anak anggota suku Minangkabau. Ini disebabkan adanya pengecilan peran politik para Bundo Kanduang dalam sistem pengambilan keputusan masyarakat adat selama ini. Oleh karena itu, tugas Bundo Kanduang makin lama dalam sistem pengambilan keputusan semakin melemah dan lama-kelamaan akan kehilangan kekuatan politiknya dan berubah menjadi hiasan belaka dalam sistem adat Minangkabau.

"Dengan dilemahkannya peran Bundo Kanduang, menyebabkan institusi ini tidak lagi menjadi agen yang dapat diandalkan bagi perlindungan hak-hak kaum perempuan, terutama bagi perlindungan bagi kepentingan sosial, ekonomi, dan budaya kaum ibu dan anak-anak Minangkabau," paparnya.

MELIHAT kenyataan itu, Dr Mansour Fakih dalam kata pengantarnya menyatakan keprihatinan dan kecemasannya. Sebab, menurut dia, tanpa penguatan Bundo Kanduang, adat bisa menjadi majelis yang justru mengerikan kaum perempuan karena adat dapat justru menjadi arena pengukuhan atau pelanggengan diskriminasi dan legitimasi terhadap siksaan psikologis maupun kultural dalam bentuk penciptaan ketergantungan bagi kaum perempuan (ibu).

Dari penelitian Lusi tersebut, ada pelajaran lebih besar yang harus kita petik. Ternyata kita sebagai bangsa belum berani mengakui hak-hak kaum perempuan kita sebagai hak asasi manusia. Kita belum berani mengakui bahwa kaum perempuan adalah manusia sepenuhnya. Berbagai dalih dan argumen sudah sering kita dengar untuk melanggengkan perendahan kaum perempuan. Pelemahan terhadap peran Bundo Kanduang memaksa kita merenungkan kembali adat, yang dulu diciptakan dengan semangat perlindungan, pemberdayaan, dan penghormatan terhadap kaum perempuan.

Menurut peneliti Lusi Herlina, bagi sebagian kalangan tokoh masyarakat Minangkabau, kenyataan ini relatif berat sehingga tidak jarang muncul sikap resistensi. Padahal, menerima realitas budaya ini sebagaimana adanya lebih berguna bagi masa depan daripada bersikap defensif yang hanya akan menipu diri sendiri.

"Menolak kenyataan ini hanya akan memperburuk keadaan perempuan Minangkabau dan semakin menjauhkan sikap dan langkah-langkah bersama untuk melakukan transformasi budaya Minangkabau mencapai relasi jender yang lebih adil," tukasnya.

Yang perlu disadari bahwa semua temuan penelitian ini adalah fenomena masa kini, realitas sosial budaya Minangkabau sekarang yang telah mengalami distorsi akibat interaksi dan intervensi dari berbagai macam kekuatan. Apakah mungkin konstruksi awal budaya Minangkabau dahulu memang seperti realitas yang kita temukan hari ini?

Menurut Mansour Fakih dalam pengantar buku, ketika adat diciptakan, pada hakikatnya ia merupakan suatu hasil daya pikir dan budaya masyarakat dalam rangka memberikan perlindungan dan pemajuan harkat manusia. Di bawah atap adat Minangkabau, seharusnya proses dehumanisasi warga Minangkabau terpenuhi. Terutama kaum perempuan dan anak-anak Minangkabau, adat merupakan tempat berlindung atau benteng yang sesuai bagi mereka untuk tumbuh dan surga untuk merealisasikan kebebasan dan hak-hak asasi mereka. Agenda perubahan ke depan adalah bagaimana mentransformasikan budaya Minangkabau menjadi sistem yang lebih demokratis dan berkeadilan jender.

Usaha untuk mentransformasikan relasi jender membutuhkan pembongkaran keyakinan jender masyarakat yang telah mengakar secara kultural dan struktural, dan oleh karena itu dibutuhkan strategi transformasi relasi jender melalui usaha politik, sosial, dan budaya.

Hasil Penelitian LP2M
-

Arsip Blog

Recent Posts