Festival Erau, Berharap Tahun Depan Lebih Baik

Jakarta - Acara seni-budaya Erau International Folklore and Art Festival 2013 berakhir pada Minggu (7/7/2013) setelah dihelat selama seminggu. Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sebagai si empunya hajatan, berharap dunia internasional lebih mengenal Erau.

Prosesi Belimbur menjadi acara penutup Erau International Folklore and Art Festival (EIFAF). Sultan Kutai Aji Muhammad Salehuddin II memulai Belimbur dengan memercikkan air Tuli—air yang diambil dari perairan Kutai Lama—ke dirinya sendiri, kemudian kepada orang-orang di sekitarnya.

Warga di jalanan Kota Tenggarong kemudian beramai-ramai saling mengguyur. Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Rita Widyasari pun ikut basah kuyup. Belimbur bermakna penyucian diri dari pengaruh jahat sehingga kembali suci-bersih, serta menambah semangat membangun daerah.

Selain Belimbur, Erau juga diisi sejumlah upacara adat kesultanan, seperti Bepelas dan Mengulur Naga. Bepelas dimaksudkan untuk memuja sukma dan raga Sultan agar Sultan mendapatkan kekuatan untuk melaksanakan tugas dan adat. Saat Bepelas, ditampilkan tarian tradisional.

Mengulur Naga adalah puncak rangkaian kegiatan Erau. Dua naga yang sebelumnya disemayamkan di serambi keraton diarak ke Sungai Mahakam. Erau juga menampilkan kedekatan Sultan Kutai, kerabat kesultanan, dengan rakyat. Itu tergambar dalam Beseprah, tradisi makan bersama di sepanjang jalan utama Tenggarong, ibu kota Kukar.

Tidak hanya pameran kerajinan dan bazar, EIFAF juga dimeriahkan dengan aneka lomba tradisional, seperti hadang, enggang, dan menyumpit. Satu lagi yang unik, yakni lomba ngapeh, lomba ngobrol dalam bahasa Kutai. Tema obrolan bebas, tetapi diutamakan tentang Erau.

Di atas sebuah panggung di tepian Mahakam, Mbok Agus (42) dan Mbok Timo (61) tampil menghibur. Tema obrolan mereka sederhana, yakni Mbok Agus mengajak Mbok Timo jalan-jalan melihat acara-acara Erau. Namun, cepatnya mereka bicara dengan nada tinggi disertai tawa melengking, plus aksi panggung yang cuek, membuat penonton tergelak.

”Dari ngapeh, kita bisa melihat warga saling mengobrol dalam bahasa Kutai. Tema obrolan hanya soal kegiatan sehari-hari. Yang tua memberikan nasihat kepada yang muda. Namun, dari hal-hal itulah, kita bisa melihat tradisi Kutai,” ujar Kepala Seksi Pergelaran Hiburan Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kukar, Saripah Alpi.

Erau berasal dari bahasa Kutai ”eroh” yang berarti ramai, riuh, ribut, dan suasana penuh sukacita. Suasana yang ramai itu diartikan dengan banyak kegiatan sekelompok orang yang mempunyai hajatan dan mengandung makna, baik yang bersifat sakral, ritual, maupun hiburan.

Agenda rutin
Erau pertama dilaksanakan pada upacara tijak tanah dan mandi ke tepian ketika Aji Batara Agung berusia 5 tahun. Setelah dewasa dan diangkat menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama (1300-1325), Erau dihelat. Sejak itulah Erau diadakan setiap ada penggantian atau penobatan raja Kutai.

Dalam perkembangannya, Erau juga untuk pemberian gelar dari raja kepada tokoh atau pemuka yang berjasa bagi kerajaan. Sejak berakhirnya pemerintahan Kerajaan Kutai pada tahun 1960, dan wilayahnya menjadi daerah otonomi (Kabupaten Kutai), tradisi Erau tetap dipelihara dan dilestarikan.

Erau pun menjadi pesta rakyat dan festival budaya yang juga agenda rutin Pemkab Kukar, yakni dalam rangka memperingati HUT Kota Tenggarong, yang merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Kutai sejak tahun 1782. Erau telah menjadi ikon bagi Kabupaten Kukar.

Sekian lama Erau hanya dimeriahkan peserta lokal, yakni warga sendiri dan kabupaten-kabupaten tetangga. Namun, pada tahun ini, Erau menampilkan sesuatu berbeda, yakni mengundang kontingen seni dari delapan negara, yakni Mesir, Thailand, Taiwan, Belgia, Korea Selatan, Perancis, Ceko, dan Yunani. Sebenarnya ada satu negara lagi yang mestinya ikut, yakni Togo. Namun, dua minggu sebelum Erau dibuka, Togo terpaksa batal datang ke Tenggarong karena terbentur pengurusan visa.

Kehadiran kontingen asing yang tiap hari menampilkan street performance itu disambut antusias. Pemkab bekerja sama dengan International Council of Organization of Folklore Festival Indonesia dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk mendatangkan mereka.

”Keberadaan peserta dari negara lain ini hal bagus untuk Festival Erau. Secara tidak langsung, kita promosikan Erau melalui mereka, demikian juga sebaliknya. Tak hanya Bali yang punya agenda wisata,” ujar Direktur Jenderal Pemasaran Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Esti Reko Astuty, yang membuka EIFAF.

Meski demikian, sebagai festival yang diharapkan gaungnya sampai ke nasional, Erau belum siap. Erau masih sebatas dinikmati warga setempat dan kabupaten/kota tetangga. Rita (31), warga Gunung Samarinda, Balikpapan, yang menyempatkan diri menonton Erau, kecewa.

”Saya berpikir kulinernya menampilkan banyak ragam makanan khas Kutai, tetapi kok hanya segitu. Festival kuliner kurang bagus pengemasannya dan sepi pengunjung. Acara bazar juga becek tanahnya,” ujar Rita saat mengunjungi stan-stan kuliner di samping Museum Mulawarman, Tenggarong.

Ia tambah kecewa saat gagal melihat lomba menyumpit pada Senin (1/7/2013). Rita diberi tahu salah satu panitia bahwa lomba menyumpit diadakan di Planetarium. Namun, ketika datang ke gedung itu, lomba tidak ada. ”Ada salah komunikasi antarpeserta. Karena itu, lomba disepakati dilaksanakan pada Selasa,” ujar Kepala Bagian Humas Pemkab Kukar, Dafip Haryanto.

Kendala lain, pasca-ambruknya Jembatan Kukar pada November 2011, akses dari Tenggarong ke kota terdekat, yakni Samarinda, menjadi lebih susah. Untuk menyeberangi Sungai Mahakam harus digunakan kapal feri atau feri tradisional. Itu pun harus antre. Di sisi lain, warga Balikpapan pun tidak nyaman menempuh perjalanan darat ke Tenggarong karena buruknya kondisi jalan Loa Janan-Loa Kulu sepanjang 26 kilometer.

Esti menuturkan, majunya pariwisata bergantung banyak hal, mulai dari infrastruktur, perhotelan, hingga kenyamanan bagi wisatawan. Bali, dalam hal ini, adalah contoh ideal bagi semua daerah yang ingin memajukan pariwisata dan mengenalkan agendanya ke lingkup nasional dan internasional.

Menjadi seperti Bali memang berat, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Tahun ini, Erau sudah mulai berbenah. Erau tahun depan dituntut lebih baik.

-

Arsip Blog

Recent Posts