Mendengar Suara Rakyat

Oleh: Paulinus Yan Olla MSF

Bangsa ini semakin hari seakan berjalan menuju lorong gelap demokrasinya. Produk hukum banyak kali melukai rasa keadilan. Pengelolaan ekonomi dan sumber daya alam gagal menyejahterakan rakyat. Integritas diri para pengambil kebijakan publik hilang oleh godaan kekuasaan dan korupsi. Yang ditunjuk sebagai penyebab segala persoalan itu adalah lemahnya karakter sebuah bangsa.

Namun, keprihatinan yang kiranya lebih mendasar adalah semakin terabaikannya suara rakyat di satu pihak dan tidak dibukanya ruang bagi partisipasi politik rakyat di pihak lain. Sekali rakyat memberi atau “dibeli” suaranya, seakan tamatlah haknya untuk didengarkan. Pemerintah menjadi pemain tunggal dan rakyat terus dijadikan penonton yang cemas tetapi tidak berdaya mengubah kesengsaraan nasib.

Bangun Masyarakat Sipil

Pembangunan bangsa masih melupakan satu aspek penting yang menjadi penopang utama demokrasi, yakni pembangunan masyarakat sipil (civil society) yang kuat. Masyarakat sipil merupakan masyarakat yang bebas dari ketergantungan pada negara dan pasar, percaya diri, mandiri, sukarela, serta taat terhadap nilai dan norma-norma dalam negara hukum (Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, 2010: 126).

Surat Devina di harian Kompas yang kemudian membongkar isu Gayus Tambunan, pegawai pajak berstatus tahanan yang bisa pelesir ke luar negeri, merupakan bentuk partisipasi rakyat dalam masyarakat sipil yang berfungsi secara baik. Sayangnya, kontrol rakyat atas kekuasaan seperti itu jarang dialami sebagai peristiwa harian dan kini masih menjadi khayalan karena kedaulatan hukum di negeri ini telah diganti kedaulatan uang. Rakyat atau mereka yang bersikap kritis biasanya justru terkena teror atau yang lebih ringan dicap sebagai “barisan sakit hati”.

Jonathan Sacks benar ketika menegaskan bahwa, dalam era demokrasi liberal, masyarakat sipil sering merupakan satu-satunya yang mampu membendung ancaman kekerasan dari negara (politik) dan pasar (ekonomi). Keadaan ini terjadi ketika politik tidak memihak rakyat dan ekonomi hanya menguntungkan segelintir orang (Jonathan Sacks, The House We Build Together, 2007: 187).

Partai Saling Kunci

Kini publik menyaksikan partai-partai politik “saling mengunci” untuk tidak membuka borok karena sama-sama terlibat dalam berbagai kasus yang merugikan rakyat. Kenyataan itu tecermin pula dalam hasil jajak pendapat yang mengungkapkan adanya ketidakpuasan publik (75,3 persen responden) terhadap kinerja partai-partai politik yang dianggap gagal memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Terlukanya rasa keadilan masyarakat oleh berbagai keputusan, yang lebih didasarkan oleh hukum tanpa nurani dan berbagai salah kelola kekuasaan sehingga membuat rakyat terus menderita, telah menimbulkan kecemasan akan munculnya kekacauan jika kesabaran rakyat hilang. Dikhawatirkan muncul revolusi atau ancaman kediktatoran baru yang bisa menjawab kerinduan akan kurangnya kepemimpinan berwibawa saat ini.

Masyarakat sipil yang berfungsi baik justru menjadi penyeimbang arogansi pejabat negara dengan mengajukan pertanyaan kritis atas jalannya kebijakan publik. Masyarakat sipil mampu merajut kepercayaan dan tanggung jawab sosial yang memungkinkan masyarakat berfungsi lebih efektif. Ia menjadi modal sosial yang ikut memengaruhi pengambilan keputusan politik yang prokesejahteraan umum (Ronald Jacobs, Civil Society, 2006: 27-29).

Sistem demokrasi yang menjamin kedaulatan rakyat hendaknya ditegakkan jika bangsa ini ingin terselamatkan dari ancaman kekacauan sosial yang mengintai. Negeri ini tidak perlu menunggu semakin banyak rakyat kecil membunuh diri karena beban hidup yang berat atau tewas keracunan makan tiwul. Karena itu, para pemimpin, dengarkanlah suara rakyat. Jika yakin vox populi, vox Dei (suara rakyat, suara Tuhan), janganlah tuli terhadap teriakan mereka.

Buktikan Komitmen

Para pemimpin agama telah mengangkat keprihatinan itu dengan meminta pemerintah untuk “bersikap jujur” kepada rakyat. Mereka mendesak pemerintah membuktikan komitmen dalam beragam persoalan mendasar, seperti penegakan hukum, pemberantasan korupsi, tenaga kerja, penghormatan hak asasi manusia, dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Amat menyedihkan jika rakyat suatu bangsa akhirnya mengambil jalan pahit menggulingkan para pemimpinnya melalui jalan kekerasan karena suaranya lama diabaikan. Pemerintah seharusnya bersyukur karena rakyat sejauh ini masih memilih “menjadi korban” atas kelalaian salah kelola ranah publik ini oleh para pemimpinnya.

Dalam upaya membangun demokrasi yang kuat di negeri ini, kesediaan para pemimpin bangsa mendengarkan derita rakyat menjadi landasan meredam frustrasi sosial. Jika sikap mendengarkan ini dilanjutkan dengan upaya menumbuhkan masyarakat sipil yang kuat, rakyat akan terlibat sebagai penanggung jawab dan pemegang kedaulatan negara.

Meminjam pemikiran Walter Benjamin (1892-1940), perjalanan demokrasi negeri ini akhirnya menjadi sebuah “narasi yang ditulis oleh semua”. Alur narasi tidak lagi ditentukan oleh para penguasa, tetapi ditulis oleh seluruh masyarakat. Rakyat kecil, yang selama ini “dibisukan” atau diabaikan suaranya, kembali menjadi pemilik kekuasaan yang sebenarnya.

Paulinus Yan Olla MSF Rohaniwan, Lulusan Program Doktoral Universitas Pontificio Istituto di Spiritualità Teresianum, Roma, Bekerja dalam Dewan Kongregasi MSF di Roma, Italia

Sumber: Kompas, Rabu, 19 Januari 2011
-

Arsip Blog

Recent Posts