Traditional Cruise dan River Cruise di Kawasan Timur Indonesia

Oleh: Bambang Budi Utomo

Kawasan timur Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi wisata cruise. Sebut saja, misalnya Ternate, Tidore, dan tetangga-tetangganya yang memang menyediakan sebuah paket tur yang menarik; tepi pantai yang indah, taman karang yang aman (laguna), puncak gunung api yang dapat didaki, adat istiadat yang eksotis seperti tarian cakalele, tinggalan budaya masa lampau (benteng dan istana sultan), fauna dan flora yang asli serta studi kasus etnologi dan antropologi yang akan memuaskan para peneliti (asing).

Wisatawan yang datang ke salah satu tempat di kawasan timur Indonesia hanya memanfaatkan infrastruktur alam, misalnya kondisi iklim, sejarah, kebudayaan, dan sebagainya yang tidak dirancang secara khusus. Dari sudut pandang ekonomi, pemanfaatan pariwisata terhadap infrastruktur alam mempunyai marginal cost yang rendah. Pemerintah pusat dan daerah dapat menekan pengeluaran ekstra untuk mengadakan infrastruktur. Padahal, untuk pengembangan pariwisata infrastruktur di luar itu harus dibuat, meskipun dengan skala prioritas.

Mantan Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, I Gde Ardika dalam pidato pembukaan seminar Forum Konsultasi dan Koordinasi Hasil Kesepakatan Kerja sama Bilateral, Regional, dan Sub-Regional pada tahun 2004 mengemukakan, keuntungan dari pengembangan wisata bahari adalah dengan mengundang kapal pesiar asing beserta wisatawannya untuk berkunjung ke kawasan timur Indonesia. Alasannya, kapal pesiar tidak memerlukan pelabuhan sebagai tempatnya bersandar. Kapal pesiar dapat melepaskan sauhnya di lepas pantai. Wisatawan yang hendak berkunjung ke pulau yang akan disinggahinya cukup dengan menggunakan sekoci dari kapal tersebut.

Apabila dikaitkan dengan konsep Negara Kepulauan, dalam pengembangan Wisata Bahari ada dua hal yang dapat dilakukan. Kedua hal tersebut adalah Traditional Cruise dan River Cruise. Traditional Cruise dapat dilakukan menggunakan angkutan kapal-kapal tradisional seperti Pade‘wakang dan Pinisi dengan melayari jalur-jalur pelayaran tradisional yang biasa dilakukan sejak masa lampau hingga sekarang. Apabila kita membuka website, Traditional Cruise sudah pernah dilakukan di kawasan timur Indonesia dengan menggunakan Pinisi yang sudah dimodifikasi menjadi kapal pesiar. Namun, saya tidak mengetahui jalur-jalur pelayarannya, apakah masih melayari jalur tradisional atau sudah disesuaikan dengan tur yang ditawarkan.

Berdasarkan data sejarah yang sampai kepada kita, di kawasan timur Indonesia terdapat banyak pelabuhan tua yang hingga kini masih berfungsi dengan komunitas masyarakatnya yang beragam. Pelabuhan-pelabuhan tua tersebut, antara lain Ternate, Tidore, Bau-bau (Buton), Bima (Sumbawa), Labuhanbajo (Flores), Mataram (Lombok), Singaraja (Bali) dan lain-lain. Pada masa lampau pelabuhan-pelabuhan ini banyak disinggahi kapal-kapal dari kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan pelaut/pedagangnya sebagian besar orang Bugis-Melayu. Tidak heran pada masa kini di pelabuhan-pelabuhan tersebut tinggal komunitas Bugis. Wisata Bahari yang dapat dikembangkan di kawasan ini adalah Traditional Cruise dengan menggunakan kapal Pinisi. Alangkah baiknya dengan menggunakan kapal Pade‘wakang (sejenis Pinisi yang sudah hampir punah). Ini sekaligus dapat melestarikan peninggalan budaya masa lampau. Jalur-jalur pelayarannya adalah antar pelabuhan-pelabuhan tua tersebut. Tentunya, dekat pelabuhan tua tersebut ada obyek wisata lain yang menarik.

Apabila kita membuka website yang berkaitan dengan Pinisi Cruise, pada saat ini sudah dilakukan di kawasan timur Indonesia dengan pelabuhannya antara lain di Makassar dan Benoa. Tempat lain yang disinggahi adalah Pulau Komodo, dan masih banyak lagi tempat menarik yang dapat dikunjungi. Di samping mengunjungi tempat-tempat yang menarik, kegiatan dalam cruise tersebut juga beragam, antara lain menyelam dan berselancar.

Dalam Negara Kepulauan, sebuah pelabuhan tidak harus ada di sebuah teluk yang dalam dan terlindung dari tiupan angin, tetapi bisa juga terdapat di pedalaman yang jalan masuknya melalui sungai-sungai besar. Pelabuhan di daerah pedalaman banyak ditemukan di Pulau Sumatera, seperti di Jambi melalui Sungai Batanghari dan Palembang melalui Sungai Musi; Kalimantan, seperti Pontianak melalui Sungai Kapuas; Banjarmasin melalui Sungai Barito dan sebagainya. Di daerah ini dapat dikembangkan River Cruise dengan menggunakan kapal Pinisi juga. Hingga saat ini, banyak kapal Pinisi yang melayari sungai-sungai tersebut. Bahkan, di beberapa tempat terdapat perkampungan komunitas Bugis yang sedang membangun Pinisi. Di Banjarmasin masih ditemukan kelompok Melayu-Dayak yang membuat Jukung dalam berbagai ukuran. Dunia bahari mengenal alat angkut air tersebut dengan nama Jukung Barito.

Akhirnya melalui tulisan sederhana ini, dapat saya usulkan sebagai berikut:
1. Sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic States) kita dapat mengutamakan pengembangan Wisata Bahari melalui program Traditional Cruise dengan menggunakan kapal-kapal tradisional Pade‘wakang atau Pinisi melalui jalur-jalur pelayaran tradisional yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan tua. Traditional Cruise adalah pelayaran wisata menggunakan kapal layar motor tradisional, diawaki pelaut tradisional, melayari jalur-jalur pelayaran tradisional, dan menyinggahi pelabuhan-pelabuhan tua, baik yang ada di Nusantara maupun di negara-negara ASEAN lainnya.

2. River Cruise di Indonesia dapat dikembangkan di kawasan yang mempunyai pelabuhan pedalaman, seperti di Sumatra dan Kalimantan. Untuk negara yang tidak mempunyai laut, seperti Laos, River Cruise dapat dikembangkan semaksimal mungkin. Laos dengan Sungai Mekhong, yang sampai di Thailand menjadi Sungai Chao Praya dikenal kaya dengan tinggalan budaya masa lampaunya berupa pagoda-pagoda yang dibangun di tepian sungai.

3. Traditional Cruise dan River Cruise dapat digabungkan menjadi satu paket cruise. Dapat dikemukakan sebagai contoh, misalnya antara Palembang dan Melaka yang mempunyai latar belakang sejarah sama. Pada sekitar abad ke-15, kedua pelabuhan ini mempunyai jalur pelayaran tradisional. Pada kala tertentu, orang-orang dari Melaka datang ke Palembang untuk melakukan ziarah ke Bukit Siguntang di Palembang. Demikian juga hubungan antara Palembang dan Singapura yang pada abad ke-15 masih bernama Tumasik.

Untuk mewujudkan wisata cruise tersebut tentu saja ada persyaratannya yang berkaitan dengan obyek wisata, sarana, dan prasarana di daerah yang dikunjungi. Syarat-syarat tersebut, antara lain:
1. Pelabuhan yang dikunjungi dalam paket Traditional Cruise mempunyai daya tarik tersendiri, misalnya pelabuhan Ternate dan Bima dekat dengan keraton sultan. Atau dekat dengan obyek wisata lain yang tidak terlalu jauh dari tempat kapal membuang sauh.

2. Melalui kajian sejarah dapat diketahui jaringan-jaringan pelayaran tradisional antara pelabuhan tua di Indonesia dan pelabuhan tua di negara lain, seperti antara Palembang- Ketapang-Tumasik-Melaka.

3. Menggunakan angkutan air yang tradisional, seperti Pade‘wakang dan Pinisi. Di negara-negara ASEAN lain tentu mempunyai kapal tradisional. Singapura yang mayoritas penduduknya Tionghoa, mengembangkan Harbour Cruise on the Imperial Cheng Ho. Kapal yang digunakan semacam jung Tiongkok tetapi tidak menggunakan layar. Bagian kabin dan deknya dimanfaatkan sebagai restoran yang menghidangkan Chinese Food.

4. Untuk cruise gabungan (Traditional Cruise dan River Cruise), masing-masing negara harus memberikan informasi mengenai kedalaman dan lebar sungai yang layak dilayari oleh kapal-kapal tradisional seperti Pinisi yang biasa mengarungi laut dan memasuki sungai besar.

5. Di daerah obyek wisata yang ada di tepian sungai besar, harus dibuat dermaga yang layak untuk sandaran kapal wisata. Untuk Indonesia, dapat dikemukakan sebagai contoh Batanghari Cruise yang menyinggahi kompleks percandian Muara Jambi.
__________
Bambang Budi Utomo adalah Kerani Rendahan pada Pusat Penelitaian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

-

Arsip Blog

Recent Posts