DPR Versus Komisi Pemberantasan Korupsi

Oleh: Donny Syofyan

Badai kontroversi menyangkut sikap Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat terus menyeruak. Sikap Banggar untuk mogok melakukan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 sebagai protes terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi yang memeriksa empat pemimpinnya terkait dengan kasus dugaan suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mendapat kritik. Sayangnya, tak sedikit anggota DPR yang membela para koleganya yang ngambek untuk tetap mogok. Harry Azhar Azis, mantan Ketua Badan Anggaran DPR dari Golkar, menyebutkan KPK berlaku tidak adil dengan menganggap semua anggota Banggar berperilaku sama, dan mendorong KPK berfokus pada individu tertentu saja.

Meskipun istilah “mogok” ini kemudian diklarifikasi oleh Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan sebagai penyamaan persepsi para anggotanya, perilaku anggota Banggar yang mengancam mogok menunaikan kewajibannya membahas APBN 2012 sontak mengingatkan publik pada pernyataan mantan presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, yang pernah menyamakan perilaku anggota DPR sebagai anak-anak TK (taman kanak-kanak). Dalam konteks semangat dan gerakan pemberantasan korupsi, ucapan Gus Dur tersebut mendapatkan momentum di tengah kecenderungan arus balik pemberantasan korupsi yang malah mengalir dari badan legislatif. Dengan kata lain, sifat kekanak-kanakan anggota Banggar DPR menjadi suatu nubuat yang terpenuhi dengan sendirinya (self-fulfilling prophecy) seperti yang diucapkan Gus Dur beberapa tahun silam. Ini terlihat pada tiga hal berikut ini.

Pertama, terjadinya krisis etika di kalangan anggota legislatif. Secara etika, anggota DPR adalah wakil rakyat yang selalu membuka diri demi kepentingan dan pelayanan terhadap rakyat sebagai konstituennya. DPR bukanlah lembaga intelijen yang harus tertutup dan steril dari intervensi lembaga-lembaga publik. Apa pun alasannya, sikap Banggar DPR yang merasa dizalimi oleh KPK hanya menunjukkan para anggota legislatif tersebut menodai “ijab kabul” yang telah diikrarkannya untuk mendahulukan hak-hak rakyat yang dibelanya, berupa akuntabilitas publik.

Sikap resistansi Banggar DPR terhadap pemeriksaan KPK sangat ironis dalam suatu perang raksasa melawan korupsi. Sikap tersebut hanya mengukuhkan kecurigaan publik terhadap bercokolnya mafia anggaran--lingkaran mafia bisnis dan hukum--yang menjadi mitra sejumlah anggota DPR dalam penyusunan anggaran. Kecurigaan masyarakat terhadap mafia anggaran ini, sayangnya, berbanding lurus dengan kecurigaan Banggar DPR terhadap otoritas KPK. Padahal kesiapan Banggar DPR bekerja sama dengan KPK, termasuk untuk diperiksa kapan dan untuk kepentingan apa pun, adalah bagian dari upaya sportivitas penegakan hukum dengan pendekatan bottom-up.

Di tengah masyarakat kita yang masih bercorak patron-klien dan paternalistik, ancaman mogok melakukan pembahasan RAPBN 2012 jelas-jelas menegaskan betapa rendahnya sensitivitas Banggar DPR terhadap nurani dan kepercayaan konstituen yang selalu dikecewakan oleh skandal korupsi para wakil rakyat, seperti terlihat dari kasus Nazaruddin cs. Sebetulnya sikap kooperatif Banggar DPR atas pemanggilan KPK bakal menjadi tambahan darah segar bagi DPR guna meraih kembali kepercayaan masyarakat. DPR tampak beriring langkah dengan KPK dan “pasang badan” menantang kriminalisasi terhadap satu-satunya lembaga antikorupsi yang masih dipercayai rakyat dan ditakuti para koruptor serta golongan kleptomaniak.

Kedua, DPR makin kehilangan akal sehat. Ancaman mogok dari Banggar DPR menunjukkan sikap yang sangat reaktif dari kalangan anggota legislatif. Pemanggilan pimpinan Banggar DPR oleh KPK seyogianya adalah sarana paling tepat untuk mengadakan dialog guna mencari akar masalah terkait dengan kasus dugaan suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Bagi Banggar DPR, pemanggilan tersebut sebetulnya memberi kesempatan untuk menjelaskan proses dan kebijakan anggaran yang diambil dengan tetap membuka diri terhadap kemungkinan celah-celah hukum yang dimanfaatkan oleh mafia anggaran. Sebaliknya, bagi KPK pemanggilan ini menegaskan bahwa lembaga tersebut adalah mesin hukum, bukan politik, yang menempatkan siapa pun secara sama di atas hukum tanpa tunduk pada kekuatan dan lembaga politik mana pun.

Reaksionisme Banggar DPR kian tak masuk akal bila ancaman mogok tersebut diiringi dengan ancaman pemotongan anggaran yang diperuntukkan bagi KPK. Bila hal itu terjadi, jelas ini menjadi suatu tontonan sikap balas dendam yang hanya akan mengerdilkan wibawa DPR yang sudah makin terpuruk di hadapan rakyat. Ancaman pemotongan anggaran bukan hanya kontraproduktif bagi upaya-upaya pengentasan korupsi, tapi juga meneguhkan betapa anggota DPR tak dewasa menyikapi perbedaan dan kritik terhadap mereka. Secara logika politik, sikap reaksioner secara berlebihan Banggar DPR--yang selalu mempertanyakan dan banyak menuntut “obyektivitas” KPK--telah menempatkan KPK sebagai oposan DPR. Mengingat besarnya akseptabilitas publik terhadap KPK, sikap oposan Banggar DPR terhadap KPK membuktikan bahwa DPR cenderung bergerak melawan arus utama khalayak yang mengimpikan “talak tiga” dengan budaya suap-menyuap.

Ketiga, menguatnya egosentrisme legislatif. Tuduhan bahwa KPK melakukan intervensi terhadap mekanisme kebijakan anggaran DPR sebetulnya mengada-ada. Pemanggilan pimpinan Banggar DPR bukan berarti mereka adalah terdakwa skandal korupsi yang menggoyang Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Pemeriksaan tersebut adalah sesuatu yang normal dan tak perlu dipolitisasi. Karena itu, ancaman mogok tersebut lagi-lagi mempertontonkan arogansi dan egoisme para anggota legislatif sebagai pengalihan isu menyangkut keberadaan calo anggaran yang beroperasi di Senayan. Egoisme ini kian nyata karena ancaman mogok dari Banggar DPR secara nyata mengangkangi amanat konstitusional DPR yang menegaskan bahwa tugas Banggar itu adalah amanat undang-undang, yakni Pasal 23 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945.

Persoalan kian runyam tatkala sejumlah anggota DPR memainkan pola-pola pengkambinghitaman (blame game) terhadap langkah KPK tersebut. Pernyataan bahwa KPK seyogianya juga memeriksa pihak eksekutif, semisal Menteri Keuangan, bahkan Presiden, mewujud sebagai defense mechanism yang amburadul. Semuanya hanya persoalan waktu untuk membongkar semua pihak yang terlilit--legislatif, eksekutif, ataupun kelompok bisnis--dalam skandal korupsi ini. Bagaimana mungkin skandal ini bakal tersibak bila di satu sisi KPK sudah membangun jembatan, tapi di sisi lain Banggar DPR menutup pintu rapat-rapat dari KPK, Kejaksaan Agung, dan kepolisian.

Reaksionisme Banggar DPR kian tak masuk akal bila ancaman mogok tersebut diiringi dengan ancaman pemotongan anggaran yang diperuntukkan bagi KPK. Bila hal itu terjadi, jelas ini menjadi suatu tontonan sikap balas dendam yang hanya akan mengerdilkan wibawa DPR yang sudah makin terpuruk di hadapan rakyat. Donny Syofyan, Dosen Universitas Andalas, Padang

Sumber: korantempo, Jumat, 7 Oktober 2011
-

Arsip Blog

Recent Posts