Erry Riyana Hardjapamekas: KPK Tidak Bisa Memonopoli Kasus

Pada 29 Desember 2005, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berusia dua tahun. Di usia yang masih balita itu, harapan masyarakat sudah begitu tinggi. Bersamaan dengan itu, kritik pun mulai gencar. Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas, ketika diwawancarai Maria Hasugian, L.R. Baskoro, dan Arief A. Kuswardono dari Tempo mengakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Beban pun bertambah berat karena integritas staf KPK tengah dipertaruhkan. Berikut petikan wawancara dengan Erry yang didampingi penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, di ruang rapat pimpinan KPK, 28 Desember 2005.

Masyarakat mulai mengeluh KPK lamban merespons pengaduan mereka. Apa kendalanya?

Sampai sekarang ada 9.500 kasus pengaduan. Ini memang masalah yang harus diakui sebagian kesalahan KPK, sebagian karena kegeraman masyarakat yang sudah mencapai titik didih yang cukup tinggi, sehingga mereka tidak sabar lagi. Kami kurang cepat mensosialisasi bagaimana membuat laporan yang baik. Jadi, harus diakui, dari 9.500 laporan masyarakat, tidak sampai satu persen yang cukup bisa ditindaklanjuti.

Apalagi yang menjadi kasus, itu lebih kecil lagi. Apakah KPK belum punya standar pelaporan kasus?

Itu yang saya maksud secara teknis kelambatan KPK membuat brosur supaya orang dapat paham. Kami juga membuat buku berisi tentang Undang-Undang Korupsi, tapi disusun dengan bahasa awam. Kemudian ada kerancuan di masyarakat antara perilaku korup dan tindak pidana korupsi. Ini dua hal berbeda. Jadi, kami ingin memuaskan mereka sekaligus mendidik mereka.

Mengapa KPK tidak mengambil alih penanganan kasus yang macet di Kejaksaan Agung dan kepolisian?

(Erry meminta Abdullah menjawab lebih dulu, sementara ia keluar ruangan untuk mengambil buku kumpulan Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi). Pertama, Anda tahu, polisi dan jaksa sudah berapa puluh tahun (pengalamannya), sedangkan KPK baru satu tahun lebih. Ketika mau disupervisi, itu jadi masalah. Kedua, dalam raker (rapat kerja) minggu lalu kami sudah sepakat, 2006 mengagendakan supervisi satu-dua perkara. Kemudian, harus diingat fungsi KPK adalah trigger mechanism, memicu penegak-penegak hukum yang kurang baik. Sehingga KPK tidak bisa memonopoli penanganan kasus-kasus korupsi.

Kami menerima laporan ada penyidik KPK yang memeras pejabat daerah. Bagaimana tanggapan Anda?

Saya kira harus dicek dulu. Kalau penyidik, mereka tidak bisa berkeliaran di daerah-daerah. Mungkin yang ada adalah bukan penyelidik dan penyidik, tapi petugas kami yang melakukan klarifikasi, misalnya, kepada Wali Kota Semarang. Memang ada rumor, tapi itu sedang dicek. Kalaupun iya, tidak ada jalan bagi KPK kecuali mengeluarkan hukuman yang sangat berat. KPK tidak akan membiarkan itu.

Apakah KPK memiliki pengawasan internal?

Terus terang, pengawasan internal kami belum cukup. Tapi dalam waktu dekat kami akan membentuk investigator khusus internal. Kami coba bekerja sama dengan provost polisi dan provost militer yang berpengalaman di samping surveillance.

Sumber: Majalah Tempo - Edisi. 45/XXXIV/02-8 Januari 2006
-

Arsip Blog

Recent Posts