Gedung Dewan dan Harakiri Ekologis

Oleh: Eko Budihardjo

Wanti-Wanti tentang kecenderungan harakiri ekologis (ecological suicide) sudah dilontarkan J.O. Simonds beberapa dekade lalu, yaitu seperti ditulis dalam buku Earthscape (1978). Namun masih banyak tokoh elite di puncak kekuasaan yang mengabaikannya. Mereka terus saja mengulang kesalahan: membangun dengan merusak alam.

Fenomena harakiri ekologis tampak merebak akibat keserakahan penguasa korup, yang berkolaborasi dengan pengusaha hitam, menguras sumber daya alam. Rencana pembangunan “istana legislatif” berupa gedung pencakar langit 36 lantai di kawasan Senayan, Jakarta, merupakan salah satu contoh paling mutakhir proses harakiri ekologis.

Sukarno, presiden pertama Indonesia yang visioner, merencanakan Senayan sebagai kawasan hijau. Fungsi utamanya adalah pusat kegiatan olahraga dan kawasan resapan air. Dalam perkembangannya muncul gagasan pembangunan sarana untuk Conference of the New Emerging Forces (Conefo) yang berhasil mengangkat martabat Indonesia di mata dunia. Kompleks Conefo yang dirancang dengan indah oleh arsitek pribumi Soejoedi (almarhum) itulah yang sekarang menjadi tempat berkiprah para wakil rakyat.

Perkembangan selanjutnya agak kebablasan. Akibat ulah para Urban Cowboys dan The Big Boys, bermunculanlah bangunan-bangunan tinggi bermotif komersial. Hotel, mal, plaza, dan apartemen mewah menjarah lahan terbuka secara lahap. Kita masih maklum, karena ucapan private sector di telinga kita sering terdengar seperti profit sector. Namun, jika wakil rakyat ikut latah mencaplok ruang terbuka hijau untuk membangun gedung jangkung buat mereka sendiri, apakah kita hanya akan pasrah dan diam seribu bahasa?

Perlu diingat, ruang terbuka hijau di Jakarta tinggal 9,6 persen. Padahal Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 29 ayat 2 sudah mengamanatkan, proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. Perinciannya, 20 persen ruang publik dan 10 persen ruang terbuka hijau privat. Jadi Jakarta sudah melanggar undang-undang.

Permasalahan utama rencana pembangunan kantor baru DPR bukan sekadar kemewahan dan tingginya biaya. Masalah yang paling gawat dan mencemaskan menyangkut degradasi lingkungan yang akan ditimbulkannya. Dengan kian sempitnya ruang terbuka hijau, pasti banjir akan semakin parah. Udara akan kian panas dan pengap.

Sungguh tidak masuk akal bila wakil rakyat berkukuh ikut menjarah ruang terbuka hijau. Berarti mereka secara sadar melanggar undang-undang yang notabene mereka buat sendiri. Selain itu, desain arsitekturnya mirip gedung Kongres di Cile. Saya juga teringat akan wajah gedung Great Arch di kawasan Paris-2000, yang satu poros dengan Arc de Triomphe. Bentuk arsitekturnya lazim disebut invertedU atau U terbalik.

Jangan-jangan nanti akan muncul tudingan plagiarisme arsitektur. Rekan-rekan pengurus Ikatan Arsitek Indonesia dan Tim Penasihat Arsitektur Kota pun sangat risau. Mereka merasa tidak dilibatkan, dan ada kekhawatiran karya gigantik tersebut lolos, telanjur dibangun, lantas dinilai sebagai ukuran kadar kreativitas arsitek Indonesia. Akan sangat memalukan.

Paradigma dalam perencanaan dan pembangunan kota kita sudah harus berubah. Dari yang serba birokratik dan teknokratik sekarang mestinya lebih demokratik dan participatory. Dulu predict and provide, sekarang seharusnya sudah mulai debate and decide. Bila dulu serba tertutup, sekarang mesti lebih terbuka.

Sebelum sampai pada keputusan akan membangun gedung baru pencakar langit, mengapa sama sekali tidak ada diskursus di kalangan profesional, seniman, budayawan, ilmuwan, dan cendekiawan? Mengapa tidak disayembarakan agar muncul alternatif rancangan? Siapa tahu pilihan alternatif terbaik bukan berwujud gedung pencakar langit, yang merupakan pengejawantahan “Sindrom Sumpit” perusak wajah kota dan lingkungan.

Mumpung belum telanjur, semoga sang penentu kebijakan mendengar dan segera berinisiatif membatalkan rencana pembangunan gedung pencakar langit di Senayan, yang berpotensi “membunuh” ekologi Kota Jakarta tercinta.

Eko Budihardjo, Guru besar arsitektur dan perkotaan Universitas Diponegoro, Semarang

Sumber: majalah tempo, Selasa, 29 Maret 2011
-

Arsip Blog

Recent Posts