Negara dan Sebatang Pohon Pisang

Oleh: Suwarmin

Entah mengapa, pohon pisang sering dipilih untuk mengobati kegundahan hati warga saat melihat jalan berlubang. Pohon tropis itu sering ditanam orang di jalan berlubang. Tujuannya agar pemakai jalan tidak masuk lubang. Tujuan lain, agar pemerintah tanggap dan segera memperbaiki jalan itu.

Apakah pesan pohon pisang itu selalu berhasil? Tidak selalu. Jika pemerintah tanggap, punya dana taktis untuk memperbaiki jalan dan ada kemauan, jalan rusak itu bisa segera ditambal. Atau jika ada pejabat pusat yang kebetulan akan melewati jalan itu dalam kunjungan ke daerah, tentu jalan itu segera bisa disulap menjadi halus tanpa cela.

Tetapi, tak jarang pesan pohon pisang itu tidak menemui sasaran. Sampai si pohon layu, jelek dan menganggu pandangan, jalan masih tak diperbaiki. Pemerintah tutup mata, entah karena tidak punya duit receh untuk memperbaiki jalan atau karena Pilkada masih lama, atau karena memang tak punya niat.

Sekilas, tak ada pesan penting di balik pohon pisang di jalanan berlubang. Tetapi, sesungguhnya pohon pisang itu adalah simbol hubungan antara rakyat dengan pemimpinnya. Pohon pisang itu mungkin lebih efektif daripada warga harus berbusa-busa pradul atau mengadu kepada pejabat terkait.

Belakangan, di Grobogan muncul ide lebih menarik. Warga mengumpulkan koin untuk menambal jalanan yang berlubang. Kalau ide ini diikuti daerah lain, lalu warga berbondong-bondong urun untuk memperbaiki jalanan berlubang, tentu akan lebih sempurna lagi. Jangan-jangan jika warga bersatu, “negara” tak perlu hadir di tengah-tengah mereka. Toh rakyat alias warga sanggup mengatasi sendiri masalah publik di tengah mereka.

Banyaknya laporan tentang jalan rusak di berbagai daerah, bersaing dengan laporan tentang minimnya anggaran milik pemerintah daerah untuk pembangunan dan pengembangan daerah. Menteri Keuangan Agus Martowardojo, seperti dikutip inilah.com, menyebutkan pada 2010 lalu, sebanyak 145 daerah memiliki alokasi belanja pegawai lebih dari 60% dari APBD. Akibatnya, alokasi anggaran belanja modalnya hanya berkisar antara 30%-40%.

Artinya, kalau APBD tidak banyak terserap untuk belanja pegawai, mungkin tidak ada pohon pisang yang sempat ditanam di jalan berlubang. Artinya lagi, kalau biaya perbaikan dan perawatan jalan disiapkan dengan baik, laju perdagangan, mobilitas warga dan lain-lain akan berlangsung lebih lancar. Di sini, negara telah mengalami kesalahan pengelolaan. Duit rakyat yang seharusnya digunakan untuk menyejahterakan rakyat, justru dipakai untuk menyejahterakan para pegawai, yang notabene aparatur negara, abdi negara, abdi rakyat.

Korupsi

Kisah tentang pohon pisang di jalanan berlubang tidak berhenti di situ. Bisa jadi anggaran perawatan jalan itu ada dan telah dilakukan. Namun, nilainya dipangkas, dikorupsi. Tidak sekali dua terjadi, belum berganti musim, jalan yang diperbaiki kembali retak. Korupsi oleh aparatur negara adalah jenis kejahatan yang mengkhianati hajat hidup orang banyak, dan secara tidak langsung bisa membunuh rakyat jelata. Itulah sebabnya, sejumlah pejabat konon sudah rasan-rasan untuk menyamakan koruptor dengan teroris.

Malah kabarnya, Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, akan memasukkan materi koruptor sama dengan teroris dalam rancangan revisi UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang kini sedang disusun. Kelak, bisa saja pejabat yang korup pada malam buta diserbu Densus 88 Antiteror lalu digiring ke hadapan wartawan dengan muka tertutup, baju warna hitam dan tangan diborgol. Sekalian diumumkan pula, berapa rumah, mobil atau kekayaan lain yang mereka miliki dari hasil korupsi.

Lalu, apakah kelak jika toh revisi UU Tipikor selesai dilakukan, tidak akan ada pohon pisang di jalan berlubang? Belum tentu. Masyarakat kita sudah terlalu biasa menghadapi kenyataan antara fakta dan pelaksanaan UU itu berbeda.

Budaya korupsi dan urusan yang berbelit-belit dengan aparatur negara, membuat rakyat tidak jarang menyembunyikan kasus-kasus yang mereka hadapi dari penglihatan negara. Misalnya, sebagian warga ada yang tergesa-gesa “mengamankan” orang yang terlibat kecelakaan agar tidak diketahui petugas. Biarlah mereka yang bersengketa menyelesaikan sendiri urusan mereka, tanpa campur tangan petugas negara, karena mereka takut berurusan dengan oknum petugas negara.

Koruptor adalah oknum. Polisi yang memalak pengguna jalan, jaksa atau hakim yang menerima suap, pejabat yang menerima upeti dari calon pegawai, para pengguna anggaran yang me-mark-up nilai anggaran, semuanya adalah pengkhianat. Mereka adalah oknum yang tidak disadari memutus kontak antara negara dengan rakyat. Dalam situasi seperti ini, negara yang diwakili oleh koruptor ini lebih baik tak perlu hadir di tengah-tengah warganya.

Menghadapi jalanan berlubang, rakyat menanam pisang, atau urun untuk membeli aspal atau pasir. Menghadapi pejabat yang hobi menerima upeti dari calon pegawai, rakyat mungkin bisa membalas saat Pilkada. Menghadapi polisi, jaksa atau hakim korup, rakyat lebih memilih tidak beperkara. Namun, sering kali, menghadapi pejabat korup, rakyat tidak bisa berbuat apa-apa, atau bahkan memilih tidak berurusan dengan mereka.

Suwarmin, wartawan Solopos

Sumber: solopos, Senin, 23 Mei 2011
-

Arsip Blog

Recent Posts