Pemberantasan Korupsi Tanpa Peta

Dalam pemerintahan saya kelak, pemberantasan korupsi akan amat keras dan saya akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi, tegas Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara dialog capres- cawapres September 2004. Acara yang dikemas KPU ini disiarkan stasiun televisi dan disaksikan oleh publik Indonesia yang ingin tahu visi dan misi calon pemimpin mereka.

Rakyat masih mengingat jelas janji Yudhoyono itu. Perasaan gemas terhadap korupsi juga beberapa kali diungkap Yudhoyono. Dalam acara Teriakan Antikorupsi akhir tahun lalu, Yudhoyono mengungkapkan perasaannya pascapertemuan APEC di Cile. Salah satu agenda pertemuan 21 kepala pemerintahan anggota APEC adalah membahas perang terhadap korupsi.

Saya ini perasa. Ketika dibicarakan mengenai perang terhadap korupsi, saya merasa mata 20 kepala pemerintahan seperti menatap ke arah saya, melihat Indonesia. Saudara bisa merasakan bagaimana perasaan saya sebagai pemimpin baru yang mendapatkan mandat 210 juta rakyat. Jiwa saya bergolak, pikiran saya bekerja, dan tekad saya membara. Dalam perjalanan pulang, saya curhat dan berbagi perasaan ini dengan rombongan ujar Yudhoyono.

Dengan perasaan yang membara itu, Presiden lantas menyampaikan tekadnya. Kalau nanti saya berada dalam forum itu kembali di Seoul, Korea Selatan, tahun 2005, dengan topik pembicaraan sama, yaitu perang terhadap korupsi, moga-moga saya bisa duduk jenak (nyaman Red), tidak seperti duduk di bara api, kata Yudhoyono saat itu.

Dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan, Presiden Yudhoyono mafhum benar bahwa korupsi sudah menjadi penyakit serius negeri ini. Yudhoyono juga mengerti benar pandangan dunia internasional terhadap penyakit korupsi di Indonesia.

Namun, sama dengan rezim sebelumnya, kondisi negara dalam darurat korupsi masih belum menjadi kesadaran bersama. Korupsi masih hanya dilawan dengan kata-kata, terlihat dari lontaran sporadis dan spontan dari Presiden, para menteri, dan para pejabat. Belum ada aksi strategis pemberantasan korupsi.

Pemberantasan korupsi di Indonesia masih setengah hati. Kita semua sepakat korupsi harus diberantas jika yang kena orang lain, namun ketika yang kena adalah teman sendiri, keluarga, ataupun anggota partai sendiri, maka kita akan mengkritik keras upaya pemberantasan korupsi. Belum ada kesadaran bersama yang nyata kalau negara ini sedang dalam kondisi darurat korupsi, tegas Erry Rijana Hardjapamekas, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tahun 2005 tercatat sebagai tahun penuh kejutan dari upaya pemberantasan korupsi. Koordinator ICW Teten Masduki dalam artikelnya di Kompas mencatat, kinerja pemberantasan korupsi yang bisa dicatat cuma dalam penindakan hukum, kinerja kementerian lain belum terlihat. KPK mulai menyeret kasus-kasus yang menjadi perhatian publik.

Berbagai aksi KPK membuat publik terkejut. Awal April 2005, publik sempat tercengang dengan tertangkapnya anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana Wira Kusumah yang berbuntut dengan diungkapnya berbagai praktik korupsi di tubuh KPU.

Selang beberapa waktu kemudian, pengacara Abdullah Puteh, Teuku Syaifuddin Popon, dan dua panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ditangkap KPK karena terlibat dalam aksi menyuap-menerima suap untuk memperlancar perkara Puteh.

KPK pun kembali menunjukkan aksinya ketika menangkap pengacara Probosutedjo, Harini Wijoso, dan lima pegawai Mahkamah Agung (MA) yang terlibat dari transaksi pemberian-penerimaan uang senilai Rp 6 miliar.

Buntut dari penangkapan keenam orang ini, KPK menggeledah ruangan tiga hakim agung, termasuk ruangan Ketua MA Bagir Manan. Tujuannya mencari alat bukti yang bisa memberi petunjuk baru adanya dugaan keterlibatan dari para hakim agung yang menangani perkara kasasi Probosutedjo. Terakhir, ketiga hakim agung termasuk Ketua MA diperiksa KPK.

Para hakim pun berteriak menolak cara-cara penggeledahan KPK. Teriakan para hakim disambut dengan kritikan keras dari kelompok antikorupsi yang meminta Mahkamah Agung tidak bersikap resisten jika berkomitmen untuk mereformasi peradilan.

Namun sayang, janji Yudhoyono untuk memimpin sendiri pemberantasan korupsi belum terlihat. Kasus korupsi KPU yang seharusnya menunjukkan adanya praktik birokrasi dan praktik di balik pencairan anggaran negara ternyata tidak dilihat sebagai sebuah kesalahan sistem birokrasi.

Keterlibatan para pejabat negara, seperti pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Anggaran Departemen Keuangan, DPR, dan auditor BPK dalam pencairan anggaran dengan praktik memberikan uang jasa hanya dipandang sebagai kesalahan oknum belaka. Tidak ada upaya sedikit pun dari eksekutif untuk memperbaiki kesalahan sistem yang ada, baik sistem birokrasi maupun sistem keuangan negara.

Hal yang sama juga terjadi ketika KPK mulai mengungkap praktik suap di MA. Pimpinan MA pada awalnya hanya menganggap kejadian tersebut merupakan praktik anak-anak nakal yang kerap terjadi di MA, tanpa melihat kejadian tersebut sebagai bahaya besar dalam tubuh peradilan Indonesia.

Presiden Yudhoyono pun tak tampil dan memanfaatkan momentum ini untuk memperbaiki peradilan Indonesia. Wajah peradilan Indonesia yang penuh dengan praktik perdagangan perkara tak juga kunjung diperbaiki meski indikasi keterlibatan hakim dalam perkara ini tercium publik. Kini pimpinan MA kembali diam. Bahkan, rencana reformasi peradilan yang akan dicanangkan 9 Desember tidak jadi dilaksanakan tanpa alasan yang jelas.

Kata Teten, aksi KPK tidak diimbangi dengan kemajuan kinerja Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Dari 16 perkara BUMN yang ditargetkan, Timtas Tipikor baru menyelesaikan satu kasus korupsi dana haji Departemen Agama. Belum ada satu pun koruptor yang kabur ke luar negeri dibawa pulang Tim Pemburu Koruptor.

Lanjut Teten, dalam laporan kejaksaan, setahun terakhir kejaksaan telah menyelesaikan 450 perkara dan 15 perkara dihentikan. Sebagian besar kasus korupsi itu terjadi di daerah dengan nilai kerugian negara ratusan juta hingga Rp 19 miliar, dengan pelaku pejabat rendahan yang bisa dikategorikan petty corruption. Hanya ada satu kasus korupsi kakap yang mulai diadili, yaitu Bank Mandiri.

Menurut Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Agung Hendarto, meski upaya pemberantasan korupsi sudah menunjukkan kemajuan sedikit, tidak ada upaya luar biasa memberantas korupsi. Kemajuan kecil yang bisa dicatat hanyalah, kejaksaan tak lagi mengobral surat penghentian penyidikan perkara (SP3). Kemajuan lainnya ada 51 izin Presiden Yudhoyono untuk pemeriksaan kepala daerah. Sebelumnya, pemeriksaan seorang kepala daerah saja sangat sulit.

Kata Agung, namun jika dilihat secara utuh, upaya pemberantasan korupsi masih dalam bentuk aksi belaka, tanpa peta yang jelas. Lanjut Agung, seharusnya ada satu lembaga yang dipilih Presiden Yudhoyono untuk menjadi pilot project pemberantasan korupsi. Upaya ini penting sebagai salah satu upaya pencegahan dari praktik-praktik korupsi yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara.

Yang dilakukan baru berupa aksi- aksi saja, belum ada fokus dan strategi yang jelas dalam upaya pemberantasan korupsi. Birokrasi masih tetap menjadi biang macet dari upaya pemberantasan korupsi. Tidak ada satu pun upaya untuk memperbaiki birokrasi, tegas Agung.

Di awal pemerintahan Yudhoyono, Presiden Yudhoyono memang pernah meminta Kepala Bappenas Sri Mulyani untuk merancang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi. Namun, setahun lewat dan Sri Mulyani telah berpindah jabatan, RAN tersebut tidak kunjung rampung.

Begitu pula rencana pengawasan dan evaluasi pemberantasan korupsi yang dibuat Kantor Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara sudah setahun lebih tak juga selesai dibuat. Wajah birokrasi masih tetap korup, wajah peradilan masih sarat dengan perdagangan perkara, dan wajah penegakan hukum masih diwarnai dengan permainan perkara.

Wakil Ketua KPK Erry Rijana Hardjapamekas menjelaskan, KPK pada tahun pertama memang menaruh perhatian pada upaya pencegahan. Namun, ekspektasi publik berharap pimpinan KPK di periode pertama kepemimpinannya menaruh perhatian pada aspek penindakan. Oleh karena itu, di tahun kedua KPK menaruh konsentrasi dan fokus pada praktik-praktik penindakan.

Sebenarnya aspek penindakan dan pencegahan adalah dua sisi mata uang yang sama pentingnya. Aspek pencegahan akan bisa efektif jika ada paksaan. Segala sesuatu akan mudah dilakukan bila ada daya paksa. Orang baru mau melakukan sesuatu perubahan kalau melihat KPK powerful. Kami menyadari itu, oleh karena itu di tahun kedua ini KPK menaruh konsentrasi pada aspek penindakan, jelas Erry.

Pertanyaan yang muncul dan cukup mengusik, sudahkah aksi pemberantasan korupsi ini memiliki efek jera? Beberapa pejabat dan pegawai negeri yang diwawancarai Kompas berujar sederhana menjawab pertanyaan ini.

Kalau dibilang memiliki efek jera, sebenarnya belum juga. Proyek fiktif masih banyak, kuitansi fiktif masih setiap hari dikeluarkan. Cuma, sekarang ini melihat upaya KPK yang keras untuk memberantas korupsi, kami menjadi lebih berhati-hati dalam membuat administrasi dari proyek- proyek yang kami buat, ujar seorang pejabat di sebuah lembaga negara.

Jawaban tersebut juga diungkapkan beberapa pegawai negeri kepada Kompas. Kalau dulu, pencatatan begitu ceroboh, sekarang lebih rapi. Itu saja bedanya. Misalnya, jika dulu SPJ bisa dibuat delapan kuitansi dalam satu hari untuk satu orang, sekarang tidak, paling banyak perjalanan ke luar kota dua kali dalam sehari. Itu saja, kuitansi fiktif masih tetap ada, kata seorang pegawai negeri sebuah departemen.

Negara ini dalam darurat korupsi. Mungkin benar, argumen Hidayat Nur Wahid. Corruption is the real terrorist. Koruptor merupakan teroris sejati yang harus dihabisi.

Caranya, mudah! Prof Dr Azyumardi Azra mengajarkan caranya. Ikan membusuk dari kepala. Jadi jika ingin membuang kebusukan korupsi, mulailah dari kepala. Rakyat menagih janji, Pak Presiden! Vincentia Hanni S

Sumber : Kompas, Kamis, 15 Desember 2005
-

Arsip Blog

Recent Posts