Syahril Sabirin: PK Jaksa dan Putusan MA Membingungkan Saya

UNTUK kedua kalinya Syahril Sabirin harus mengenyam kehidupan penjara. Pada Juni 2000, lelaki kelahiran Bukit Tinggi, Sumatera Barat, 66 tahun lalu itu sempat juga menginap di tahanan Kejaksaan Agung selama tiga bulan.

Sebagai Gubernur Bank Indonesia saat itu, Syahril dinilai bersekongkol untuk mencairkan dana untuk PT Era Giat Prima. Dana yang menggelontor ke rekening Bank Bali itu—kemudian bank ini bersalin rupa menjadi Bank Permata—dinilai mengucur tanpa melalui aturan yang benar. Syahril pun ditetapkan jadi tersangka.

Syahril mengaku pasrah menjalani ”jalan hidupnya” ini. Selasa pekan lalu secara resmi ia sudah menjadi ”warga” Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. ”Alhamdulillah, saya tertidur nyenyak karena kecapekan, sampai azan subuh,” ujarnya mengenang malam pertamanya di Cipinang.

Sabtu pekan lalu, dengan alasan sedang menjalani ”masa orientasi” di penjara, ia menolak dikunjungi Tempo. Kendati demikian, ia bersedia menjawab pertanyaan Tempo secara tertulis. Jawaban itu ditulisnya pada lima lembar kertas folio yang kemudian diberikannya—lewat keluarganya—kepada wartawan Tempo Ramidi, yang menunggu di pintu masuk penjara. Berikut petikan wawancara tertulis ini.

Apa tanggapan Anda tentang putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung yang menghukum Anda dua tahun penjara?

Ini betul-betul penjukirbalikan hukum. Mahkamah Agung sudah memperkuat putusan pengadilan tinggi yang memutuskan bahwa saya bebas murni dalam kasus ini. Putusan Mahkamah Agung ini diterbitkan pada November 2004, hampir lima tahun lalu. Tiba-tiba sekarang Mahkamah Agung pula yang menjungkirbalikkan keputusannya itu, secara bertentangan dengan undang-undang, menerima peninjauan kembali perkara yang diajukan kejaksaan. Kalau sudah begini, di mana kepastian hukum?

Selain itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa saya ”dilibatkan”, bukan terlibat, dalam kasus Bank Bali, oleh penguasa pada waktu itu. Awalnya saya tidak dikaitkan dengan kasus Bank Bali. Tetapi, karena penguasa berkeinginan mengganti saya sebagai Gubernur Bank Indonesia, dicarilah kasus pidana agar saya diberhentikan sebagai Gubernur Bank Indonesia. Tekanan untuk mundur dari jabatan Gubernur Bank Indonesia ini dilanjutkan oleh pemerintahan setelah itu. Tapi, alhamdulillah, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung pada waktu itu punya hati nurani untuk menegakkan kebenaran. Sehingga mereka memutuskan saya bebas-murni.

Setelah penzaliman-penzaliman yang berkelanjutan itu berakhir dengan putusan Mahkamah Agung tahun 2004, sekarang penzaliman itu dilanjutkan lagi oleh kejaksaan. Ironisnya, itu didukung oleh beberapa hakim agung di Mahkamah Agung.

Kapan Anda mendengar putusan itu?

Saya mengetahui putusan Mahkamah Agung ini dari pemberitaan di media massa.

Menurut Anda, kasus cessie ini seharusnya seperti apa? Siapa yang seharusnya bertanggung jawab?

Kalau Anda melihat kembali rekaman dan catatan proses peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2000-2002, Anda akan tahu, tidak ada data saksi pun yang memberatkan saya. Bahkan Hubert Neiss, mantan Direktur IMF Asia-Pasifik, bersedia datang ke Indonesia menjadi saksi di pengadilan membela saya.

Dalam kesaksiannya, pengucuran dana ke Bank Bali oleh Bank Indonesia telah sesuai dengan aturan. Entah mendapat tekanan dari mana, pengadilan secara zalim memutuskan saya bersalah. Masyarakat yang mengikuti kasus ini mengetahui saya tidak bersalah. Syukur, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung pada waktu itu berani menegakkan keadilan dan melawan tekanan sehingga memutuskan saya bebas murni. Mengenai cessie (hak tagih), saya sama sekali tidak mengetahui adanya cessie itu sampai hal itu terungkap di ranah publik.

Siapa yang menurut Anda paling menzalimi Anda?

Yang jelas oleh kejaksaan dan beberapa hakim agung di Mahkamah Agung.

Apa benar kasus ini Anda lihat mulanya sebagai konspirasi untuk menjatuhkan Anda?

Beberapa wartawan menanyakan apakah ada faktor politik di belakang ini. Saya jawab, saya tidak mengetahui unsur politik tersebut.

Kalau kasus Anda berdasarkan kepentingan itu, mestinya setelah masanya berlalu, Anda harusnya tak dihukum. Tapi ternyata toh Anda masih dinyatakan bersalah?

Makanya peninjauan kembali jaksa dan putusan Mahkamah Agung ini betul-betul membingungkan. Di sini terlihat, penerapan hukum dibuat menurut kemauan yang berkuasa.

Apa langkah Anda selanjutnya?

Mengajukan peninjauan kembali, mengadukan ke Komisi Yudisial, meminta fatwa Mahkamah Konstitusi. Ini karena sudah ada fatwa Mahkamah Konstitusi pada 2008, yang menjelaskan bahwa yang berhak mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau keluarga/ahli warisnya, bukan jaksa.

Sumber : Majalah Tempo, Senin, 22 Juni 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts