Tawanan Oligarki Korup

Oleh: Teten Masduki

Agenda pemberantasan korupsi belakangan ini terasa stagnan dan merisaukan bagi perkembangannya di tahun-tahun mendatang. Keadaan ini tak saja diperlihatkan oleh tidak melajunya kurva indeks persepsi korupsi tahun 2010 (2,8) dari tahun sebelumnya. Hal itu juga ditunjukkan oleh cenderung melemahnya kelembagaan antikorupsi dan menguatnya perlawanan balik koruptor seiring dengan semakin terkonsolidasinya oligarki elite dalam fragmentasi politik di era demokrasi saat ini.

Demokrasi yang kita perjuangkan dengan susah payah sampai sekarang belum cukup terbukti bekerja melahirkan pemerintahan yang bersih dan membawa kemakmuran bagi orang banyak. Malah, bersama-sama dengan lembaga penegak hukum, parlemen dan partai politik berada dalam urutan teratas institusi paling korup pada laporan Global Corruption Barometer 2010 seperti tahun-tahun sebelumnya. Barangkali sekarang tak satu pun yang berani mendaku partai bersih.

Kembalinya Korupsi Predatori

Sekretariat Gabungan Partai Koalisi yang belakangan ini lebih berpengaruh dalam pembuatan kebijakan strategis pemerintah ketimbang DPR patut dikhawatirkan sebagai pertanda menguatnya gejala pembajakan negara: kendali ekonomi politik dikuasai dan diarahkan demi kepentingan sekelompok kecil elite. Bisa jadi tak akan lama lagi lembaga-lembaga kuasinegara produk reformasi, selain diamputasi kewenangannya, juga akan dikooptasi oleh persekongkolan kepentingan elite politik dan bisnis yang belakangan ini sedikit terganggu oleh kehadiran lembaga-lembaga independen tersebut.

Gelagat kembalinya tipologi korupsi predatori yang masif dan rakus dalam sistem kekuasaan yang sudah terkonsolidasi, seperti pada era Orde Baru, mulai menampakkan bentuknya menggantikan model korupsi transaktif yang lazim dalam sistem politik multipartai dan kekuasaan politik terfragmentasi.

Realitas reformasi birokrasi untuk menekan tingkat korupsi secara sistematis, yang menjadi salah satu program prioritas Presiden SBY pada pemerintahannya yang kedua ini, mulai banyak diragukan banyak orang oleh kontradiksi yang mencuat di permukaan. Belakangan kasus mafia pajak Gayus seperti sebuah cerita tak berujung. Ia terus merembet menguak kebobrokan di kepolisian, kejaksaan, imigrasi, penjara, dan entah apa lagi.

Yang hampir tak bisa dipercaya, pemerintahan SBY tak memperlihatkan kerisauan dan segera mengambil langkah besar memperbaiki keadaan. Ketika ada peluang emas memperbaiki institusi kepolisian dan kejaksaan pada pergantian kedua pemimpin lembaga itu lagi-lagi tak digunakan oleh Presiden SBY. Dia malah memilih figur yang tak punya rekam jejak melakukan perubahan besar.

Kejengkelan umum atas berlarut-larutnya penyelesaian kasus Gayus diperparah dengan lambannya KPK. Lembaga itu seperti sungkan mengambil alih kasus Gayus dari tangan polisi. Meski sudah terlihat cenderung melokalisasi kasus Gayus berhenti di Gayus dan dieksploitasi pada kasus-kasus cabang tersiernya, polisi tak berani menyentuh pokok kasusnya, khususnya menyangkut perusahaan yang menggunakan jasa Gayus memanipulasi kewajiban pajaknya.

Di sini KPK harus dikritik karena tak memperlihatkan diri sebagai lembaga superbodi, tetapi justru menempatkan diri dalam subordinasi polisi dan jaksa. Sikap itu akan menghancurkan lembaga ini di kemudian hari di tengah ancaman pelemahannya oleh kepentingan-kepentingan elite politik dan bisnis yang tak menghendaki pemberantasan korupsi secara radikal.

Boleh Dicurigai

Belakangan KPK mulai mengembangkan sendiri penyidikan kasus Gayus. Kita berharap KPK juga tak berhenti pada upaya represif, tapi melanjutkannya untuk membenahi kelembagaan yang terkait di seputar kasus Gayus.

Belajar dari preseden panja-panja sejenis sebelumnya, pembentukan Panja Pajak oleh DPR boleh dicurigai akan semakin menambah runyam persoalan dan jadi faktor pengganggu proses penyelesaian hukum kasus Gayus oleh KPK. Masyarakat harus berada di belakang KPK untuk menghadapi tekanan-tekanan politik yang mungkin terjadi.

Kita masih berharap pemerintahan SBY akan melakukan koreksi dan merumuskan kembali agenda reformasi birokrasi dengan visi dan rencana aksi yang lebih konkret. Target pemerintah untuk mencapai indeks persepsi korupsi 5,0 pada tahun 2014 diperlukan gagasan besar, langkah besar, dan kepemimpinan yang kuat untuk menggerakkan seluruh jajaran pemerintah melakukan perubahan fundamental. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum diharapkan melakukan perubahan-perubahan sistematis—bukan kasuistik—dalam memerangi mafia hukum.

Terakhir, melihat perkembangan yang mencemaskan ini, gerakan sosial antikorupsi harus mengonsolidasi semua elemen reformis, membuka ruang politik yang lebih luas, dan mencari cara-cara baru yang lebih berpengaruh. Perang melawan oligarki korup adalah dengan memutus jalur logistik, pengikut dan pendukungnya; membongkar operasi kotor bisnis mereka; dan memperkuat KPK.

Teten Masduki, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia

Sumber: Kompas, Selasa, 18 Januari 2011

Tarmudi, Wong Cilik yang Masih Berdoa

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sabtu pagi, pada hari Natal, 25 Desember 2010, di perumahan Nogotirto Elok 2, Yogyakarta. Ketika saya lagi istirahat dari olahraga sepeda di sebuah pos ronda, dari jarak yang tidak jauh terdengar suara penjaja barang dagangan bernama Tarmudi (54): “Keset, sapu, sulak.”

Saat mendekati pos ronda, Tarmudi saya tanya, “Apakah ada keset yang bagus?”

Dijawab, ada dua jenis, harga Rp 5.000 dan Rp 8.000 yang terbaik. Saya membeli keset dan membayar Rp 10.000, kelebihannya yang Rp 2.000 tidak perlu dikembalikan. Rute perjalanan Tarmudi adalah ini: berangkat pagi dengan bus dari Muntilan ke Terminal Jombor (Sleman). Pulang sore dari Terminal Giwangan (Yogyakarta) ke Muntilan.

Saya tak bertanya sudah berapa lama kerja keras serupa ini dijalaninya. Boleh jadi sudah tahunan. Dalam dialog singkat itu juga tak sempat saya ketahui apakah rumahnya diguyur lahar Merapi, panas atau dingin, yang sempat membuat Muntilan kota mati. Beban berat harus dibawanya. “Demi mencari makan,” ujarnya, sambil meraba perut.

Dengan sisa uang Rp 2.000 itu, Tarmudi senang sekali. Katanya, untuk tambahan beli jajan. Kemudian dia terus berlawalata dari kampung ke kampung, berjam-jam saban hari. Entah berapa kilometer dia harus menggunakan kakinya yang beralaskan sandal jepit itu menjunjung barang dagangannya yang jauh lebih besar dari tubuhnya. Bagi Tarmudi, si rakyat kecil, rupiah demi rupiah yang dikumpulkan sungguh berharga.

Modal dagangannya Rp 300.000. Jika laku semua, keuntungan kotornya sekitar Rp 50.000. Dipotong biaya transportasi dan jajan, sisa yang dibawa pulang hanya berkisar Rp 30.000. Sekiranya berlawalata 30 hari per bulan, rezeki yang diperoleh hanyalah Rp 900.000. Keringat dan tenaga yang dikerahkan tidak dihitung. Jika jatuh sakit, tentu semuanya menjadi kosong. Untung ada seorang anaknya yang ikut kerja bangunan, demi meringankan beban bapaknya yang usianya kian lanjut.

Stamina Rakyat Kecil

Di sejumlah daerah di Nusantara, kita bisa menemukan manusia tipe Tarmudi ini. Berupaya melangsungkan kehidupan dengan berdikari, pantang jadi pengemis, sekalipun hasilnya mungkin lebih besar. Dalam serba kekurangan dengan pakaian lusuh, Tarmudi tetap menjaga harga diri, menapaki kehidupan, berjualan dengan beban berat yang bertengger di kepalanya.

Dengan serbuan toko-toko swalayan ke kampung-kampung dan desa-desa sebagai bagian sistem ekonomi neoliberal, nasib penjaja seperti Tarmudi akan semakin tak tertolong. Jenis dagangan Tarmudi tersedia semua di pusat perbelanjaan neoliberal yang berlawanan 100 persen dengan seluruh nilai Pancasila itu. Tetapi siapa yang masih peduli dengan serbuan pasar yang mematikan kehidupan rakyat kecil ini? Jika kecenderungan buruk semacam ini tidak dibendung kekuatan nasionalisme dalam tempo dekat ini, pemerintah jangan lagi berbicara sebagai pembela rakyat kecil. Tarmudi-Tarmudi lain yang jumlahnya puluhan juta pasti akan semakin kehabisan energi, terkapar dilindas sistem ekonomi yang antirakyat ini.

Bagaimana dengan puluhan juta penganggur pedesaan yang kondisi kehidupannya jauh di bawah Tarmudi? Jawabannya sangat gamblang: di ujung lorong sana, kematian secara pelan-pelan sedang menanti. Atau mereka menyerbu kawasan perkotaan untuk mengadu nasib dalam pertarungan hidup yang sangat kejam. Sebagian besar pasti terkapar. Bab XIV UUD 1945, Pasal 33 (asli) tentang Kesejahteraan Sosial, sudah lama tak dijadikan acuan membangun sistem perekonomian yang kian dirasakan tak berpihak ke rakyat kecil.

Untuk menyegarkan bunyi dan ruh Pasal 33 itu, di bawah ini saya turunkan selengkapnya. (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal inilah sebenarnya yang dapat membentengi bangsa dan negara ini agar tidak ditelan oleh arus kuat neoliberalisme yang kini sedang dijalankan oleh pemerintah kita.

Protes-protes dari kekuatan prorakyat seperti tak berdaya. Namun, Anda jangan salah baca. Arus bawah justru semakin kuat, tinggal menunggu peluang untuk membalikkan jalan sejarah ke arah yang benar. Semoga tetap dalam bingkai konstitusi dan tanpa pertumpahan darah.

Dalam pembicaraan saya dengan berbagai kalangan, sipil dan militer, semuanya sangat resah dengan situasi kita sekarang yang semakin menjauh dari nilai-nilai Pancasila atas nama pembangunan. Kelemahan kekuatan pro-rakyat ini adalah karena mereka belum mampu menyatukan barisan. Namun, pengalaman pahit kita dalam berbangsa dan bernegara sejak Proklamasi mengatakan bahwa perubahan pasti datang jika tiga syarat terpenuhi: (1) pemerintah semakin kehilangan legitimasi moral dan sosial, sekalipun masih mengantongi legitimasi konstitusional via pemilu yang diduga kuat tak jujur; (2) jika harga-harga keperluan hidup sudah tidak terjangkau lagi oleh sebagian besar rakyat; (3) munculnya kepemimpinan nasional yang lebih dipercaya.

Dalam dua-tiga tahun mendatang, perlu dicermati, apakah ketiga syarat itu semakin terpenuhi atau masih bisa dipoles melalui berbagai cara, tetapi untuk jangka panjang akan menggiring bangsa dan negara ini pada situasi kehilangan kedaulatan di tangan agen-agen asing yang tunamoral.

Seorang Tarmudi dan puluhan juta anak bangsa yang lain dalam kesehariannya yang serba kurang tentu tetap berharap dan berdoa agar kedaulatan negeri ini jangan sampai digadaikan, sebab itu adalah sebuah pengkhianatan yang tak termaafkan.

Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Sumber: Kompas, Sabtu, 15 Januari 2011

Adakah Kebohongan?

Oleh: Salahuddin Wahid

Di Pesantren Tebuireng, 23 November 2010, berlangsung pertemuan mengenang Gus Dur dan renungan tentang nilai-nilai kepahlawanan. Beberapa tokoh agama, yakni Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia Mgr Martinus Situmorang, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Pendeta Andreas Yewangoe, Djohan Effendi, dan saya sendiri berbincang tentang keresahan masyarakat terkait kondisi bangsa.

Disepakati pertemuan berikut pada 8 Desember 2010 di kantor Konferensi Wali Gereja Indonesia, yang juga dihadiri mantan Ketua PP Muhammadiyah Buya Ahmad Syafii Maarif dan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, serta Pendeta Natan Setiabudi. Pertemuan berlanjut pada 10 Januari 2011 di kantor PP Muhammadiyah Jakarta karena keresahan dirasa makin meningkat akibat terungkapnya perilaku tercela aparat penegak hukum terkait kasus Gayus. Selain nama di atas, hadir pula tokoh Buddha Biksu Sri Pannyavaro, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia I Nyoman Udayana Sangging, dan rohaniwan Katolik Romo Franz Magnis-Suseno.

Pertemuan di PP Muhammadiyah menimbulkan kehebohan karena media memberitakan bahwa sejumlah tokoh bicara tentang kebohongan pemerintah, walaupun rancangan pernyataan terbuka sebagai kesimpulan pertemuan belum dibacakan karena masih perlu dibahas.

Editorial bersama salah satu media cetak dan stasiun TV membahas masalah itu. Namun, editorial itu terkesan disalahkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto. Menurut saya, media itu tidak bisa disalahkan karena hanya membahas fakta walau tidak seluruhnya tepat. Juru bicara Presiden, Daniel Sparringa, dan beberapa menteri juga membantah bahwa pemerintah telah membohongi publik.

Masalah yang Diresahkan

Apakah pemerintah bohong? Kita bisa berdebat panjang tentang hal itu. Namun, daripada berdebat istilah, lebih baik kita bicara substansi yang dikemukakan, yaitu ada perbedaan antara yang dikatakan dan yang dilakukan pemerintah. Atas permintaan tokoh lintas agama, kawan-kawan dari sejumlah LSM memberikan data 18 buah “kebohongan pemerintah”. Boleh jadi tidak semua data itu benar, tetapi ada yang menurut saya benar dan ada yang belum masuk daftar.

Awal November 2009, Presiden mengatakan, prioritas 100 hari bukan sekadar swasembada, melainkan surplus pangan. “Ini tidak hanya beras, tetapi juga daging sapi, kedelai, gula, dan komoditas lain.” Namun, pemerintah serahkan harga pada mekanisme pasar. Akibatnya Kompas (7/1/11) membuat berita utama bahwa pilihan rakyat tinggal “Utang, Kurangi Makan, Bunuh Diri” karena “Kesulitan Ekonomi secara Masif Dirasakan Rakyat”.

Apakah berita itu termasuk kebohongan atau tidak, kita bisa berdebat. Namun, faktanya adalah terjadi perbedaan antara apa yang dikatakan (dengan kata lain: janji) Presiden dan kenyataan. Kini kita impor beras lagi sampai 1,5 juta ton.

Untuk data angka kemiskinan, tentu juga menimbulkan debat tentang ukuran yang dipakai. Pemerintah berkali-kali menyatakan berhasil mengurangi kemiskinan (batas garis kemiskinan pengeluaran Rp 211.726 per bulan) menjadi 31,02 juta jiwa. Menurut para tokoh agama, dengan pendekatan jumlah penduduk yang layak menerima raskin tahun 2010, penduduk miskin berjumlah 70 juta jiwa.

Saat Sumiyati, tenaga kerja Indonesia (TKI), disiksa di Arab Saudi dan jadi topik hangat, SBY -setelah rapat khusus- menyatakan akan melengkapi TKI dengan ponsel (19/11/2010). Ponsel tidak jadi diberikan dan nota kesepahaman (MoU) dengan Pemerintah Arab Saudi juga tidak jelas. Padahal, Migrant Care mencatat jumlah TKI meninggal 1.018 orang (2009) dan 1.075 (2010). Pemerintah ternyata tidak kunjung melindungi TKI.

Kasus Gayus menunjukkan, aparat penegak hukum di semua level dan lembaga rentan terhadap korupsi. Gayus dengan enteng berkisah, ia sudah menyuap penyidik di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pengacara, dan rumah tahanan, dari yang terendah sampai tertinggi.

Banyak pihak -termasuk ahli hokum- menangkap kesan penegak hukum hanya mengejar ikan teri, bukan kakap. Kasus diperkecil lingkup dan bobotnya. Kuat dugaan, semua upaya mengarah pada dilupakannya kasus ini seiring waktu.

Adnan Buyung Nasution dan beberapa pihak mendesak Presiden supaya mengambil alih kasus Gayus, tetapi ditolak dengan alasan Presiden tak mau intervensi. Padahal, SBY berkali-kali menyatakan akan memimpin sendiri perang melawan korupsi. Presiden juga didesak menekan Polri untuk menangkap penganiaya aktivis ICW, Tama Satrya (Juli 2010), tetapi tanggapan tidak positif. Kalau mau efektif memberantas korupsi, buatlah peraturan presiden untuk menerapkan prinsip pembuktian terbalik secara penuh.

Banyak Pekerjaan Rumah

Masih ada data lain di luar 18 butir yang dikemukakan, antara lain menuntaskan kasus Munir, kekerasan atas nama agama, dan rekening gendut perwira Polri. Saya juga ingin menambahkan dua hal, yaitu reformasi agraria 9 juta hektar yang disampaikan 2007 dan kini tidak jelas. Yang lain ialah jeritan keluarga korban kasus Trisakti dan lain-lain yang selalu tampil di depan Istana setiap Kamis, tetapi tidak pernah ditanggapi.

Dari uraian di atas, kita lihat bahwa substansinya ialah ada keresahan terhadap janji pemerintah yang tidak ditepati. Para tokoh agama itu bukan politisi sehingga terkesan tidak taktis dan apa adanya, utamanya mengingatkan pemerintah agar mengerjakan pekerjaan rumahnya.

Para tokoh agama masih akan bertemu untuk menyelesaikan rancangan Pernyataan Terbuka. Akan lebih bermanfaat bila pemerintah bersedia berdialog agar keresahan umat bisa disampaikan langsung, termasuk masukan yang membangun.

Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

Sumber: Kompas, Senin, 17 Januari 2011

Paradoks Joki Berdasi

Oleh: Sri Palupi

Selain joki ujian masuk perguruan tinggi negeri dan joki 3 in 1, kini kita mengenal joki napi alias praktik menggantikan hukuman narapidana. Demi Rp 10 juta, Karni rela meringkuk di penjara menggantikan Kasiem, terpidana kasus korupsi. Karni dan Kasiem adalah potret kehidupan ekonomi politik Indonesia yang sarat dengan joki. Kesenjangan ekonomi yang kian lebar bahkan menciptakan paradoks joki berdasi.

Joki Berdasi

Sosok seperti Kasiem tidaklah sendirian di republik ini. Kasiem adalah potret perilaku mayoritas elite politik-ekonomi yang cenderung korup dan suka kemewahan. Lihatlah perilaku wakil rakyat ketika mengawali kerjanya tahun ini. Di saat mayoritas rakyat memasuki tahun baru dengan kondisi hidup yang sarat beban, DPR justru bersikukuh membahas kembali rencana pembangunan gedung baru yang bernilai triliunan rupiah. Setali tiga uang, DPRD DKI Jakarta juga mengawali tahun baru dengan menganggarkan Rp 2,5 miliar untuk pembelian mobil mewah.

Rendahnya kinerja dan integritas DPR/DPRD menjadikan posisi DPR/DPRD tak lebih sebagai “joki berdasi”. Sebagai joki, kerja mereka mengambil hak rakyat dan menggantikan posisi rakyat dalam menikmati kemakmuran. Sudah jamak kalau anggota DPR/DPRD lebih sibuk bernegosiasi untuk posisi dan proyek daripada memperjuangkan kepentingan rakyat. Itulah mengapa sangat sedikit anggaran pembangunan yang menetes ke bawah.

Pemerintah belum lama ini mencanangkan niat untuk menghemat anggaran. Namun, kenyataannya, anggaran sebesar Rp 3,4 miliar dialokasikan pemerintah untuk membiayai renovasi rumah dinas menteri keuangan. Realisasi biaya perjalanan dinas dalam APBN meningkat, dari Rp 15,7 triliun di tahun 2009 menjadi Rp 19,5 triliun di tahun 2010. Padahal, BPK menemukan banyak penyimpangan dalam anggaran perjalanan dengan modus perjalanan fiktif, tiket palsu, dan pembayaran ganda.

Nafsu menumpuk kekayaan dan menikmati kemewahan mendorong perilaku korup di kalangan para elite. Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan, dari 528 obyek yang diperiksa pada semester pertama 2010, ada 10.113 kasus penyelewengan anggaran senilai Rp 26,12 triliun. Dari jumlah ini, yang dikembalikan ke kas negara baru Rp 93,01 miliar atau 0,36 persen dari total anggaran yang diselewengkan. Padahal, penyelewengan terjadi setiap tahun. Tidak heran kalau penguasa getol menambah utang, sebab mengurangi utang akan berarti mengurangi peluang menambah kekayaan.

Kuda Beban

Sosok Karni yang karena kemiskinannya rela meringkuk di penjara adalah gambaran nasib mayoritas rakyat negeri ini. Para elite menjarah uang rakyat dan dengan uang yang sama membuat rakyat terpenjara. Meskipun konstitusi menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, hak rakyat untuk menikmati kemakmuran telah lama di-joki-kan pada para penguasa.

Sistem ekonomi-politik yang mendukung perilaku korup telah mengubah posisi rakyat yang adalah subyek dan tujuan penyelenggaraan negara menjadi sekadar kuda beban. Sebagai kuda beban, rakyat menanggung demikian banyak penderitaan akibat tekanan ekonomi sambil terus berharap akan ada remah-remah roti pembangunan yang terjatuh dari meja para elite. Yang terjadi pada akhirnya adalah paradoks joki berdasi, yang bisa kita temukan dalam berbagai berita.

Keluarga miskin kesulitan memenuhi kebutuhan pangan akibat melambungnya harga beras, meski di sisi lain data transaksi kartu kredit pada tahun 2010 juga menunjukkan peningkatan 20 persen dengan nilai transaksi Rp 14,7 triliun per bulan. Jumlah itu untuk belanja makanan, busana, dan pelesiran.

Meskipun 60 persen lebih rakyat hidup sebagai petani dan krisis pangan tengah mengancam, sektor pertanian tidak menjadi prioritas dalam anggaran. Bahkan di daerah lumbung padi, seperti Kabupaten Tasikmalaya, misalnya, anggaran untuk sektor pertanian justru merosot dari Rp 3 miliar menjadi Rp 200 juta.

Anggaran pun lebih banyak terserap untuk gaji pegawai. Dari total dana alokasi umum (DAU) tahun 2011 yang nilainya Rp 881 miliar, Rp 841 miliar (95,4 persen) dialokasikan untuk gaji pegawai. Meski 66 persen wilayah Indonesia rawan banjir dan longsor, dan terhadap berbagai bencana itu pemerintah belum mampu mengantisipasi apalagi meminimalkan risiko, Kementerian Kehutanan masih saja membuka akses seluas-luasnya bagi korporasi perkebunan, pertambangan, dan kehutanan guna memanfaatkan kawasan hutan.

Akses terhadap hutan hanya diberikan bagi korporasi, rakyat tak punya hak. Rakyat kecil yang memotong beberapa kayu untuk keperluan sendiri ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan pembalakan liar.

Sebaliknya, korporasi yang aktivitasnya telah membuat hutan menghilang setiap menit dengan luas enam kali lapangan sepak bola justru difasilitasi.

“Status Quo”

Paradoks joki berdasi akan terus berlangsung karena para elite tak punya keinginan untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Kalau mereka serius dengan komitmen perubahan, tentu tidak ada lagi kebohongan ketika membicarakan indikator pembangunan. Akan tetapi, kenyataannya, mereka hendak mengatasi inflasi dengan mengubah bobot pengaruh cabai atau bahkan mengeluarkan cabai yang harganya meninggi dari keranjang inflasi.

Tidak ada yang peduli dengan fakta permukiman kumuh yang kian meluas, daya beli rakyat yang kian merosot, serta penderita depresi dan bunuh diri di kalangan warga miskin yang kian fenomenal. Padahal, ini adalah tamparan terhadap indikator kemiskinan yang condong menyembunyikan persoalan.

Kalau para elite sungguh menginginkan perubahan, tentulah mereka akan berupaya mencerdaskan rakyat dan menempatkan pendidikan sebagai prioritas pembangunan. Kenyataannya mereka membiarkan pendidikan dalam kondisi memprihatinkan. Sekitar 21 persen sekolah dasar (SD) di kota, sekitar 37 persen SD di desa, dan 60 persen SD di daerah terpencil mengalami kekurangan guru. Padahal, dalam lima tahun ke depan, sebanyak 75 persen guru SD di Indonesia pensiun. Bukan hanya guru, bahkan bangunan sekolah pun terancam hilang. Awal tahun ini saja beberapa bangunan SD di Jakarta tergusur mal.

Kalau tidak ada perubahan, ke depan mayoritas angkatan kerja akan tetap berpendidikan SD ke bawah. Rendahnya kualitas pendidikan rakyat akan menguntungkan posisi para joki berdasi yang menghendaki rakyat tetap mudah dibodohi.

Kalau kita tetap menyerahkan republik ini di tangan para elite yang ada sekarang, wajah republik masa depan akan tampak seperti mal atau Kota Tangerang Selatan. Pada mal kita melihat kegemerlapan yang seolah steril dari persoalan, padahal di dalamnya tersembunyi beragam kasus bunuh diri. Pada Kota Tangerang Selatan kita bisa berkaca, wilayah yang seolah berpemerintahan itu ternyata 70 persen tanahnya telah dikuasai korporasi. Rakyat yang sesungguhnya tertinggal di pinggiran.

Sri Palupi, Ketua Institute for Ecosoc Rights

Sumber: Kompas, Jumat, 14 Januari 2011

Sepak Bola dan Korupsi

Oleh: J Danang Widoyoko

ADA pesan di jejaring sosial twitter yang tampaknya ditujukan kepada saya dan Indonesia Corruption Watch (ICW), yang dianggap ikut-ikutan mengurusi sepak bola. Saya berpikir positif saja karena lebih baik kita ikut-ikutan menuju kebaikan daripada diam melihat pembusukan terus terjadi di depan mata. Melalui gerakan Save Our Soccer ICW bersama sejumlah LSM dan organisasi suporter bola turun tangan untuk mencoba membersihkan sepak bola kita dari praktek korupsi.

Beberapa pengurus klub telah mengungkapkan secara terbuka bagaimana pertandingan bisa diatur untuk kemenangan tim tertentu. Bahkan bukan hanya pertandingan, siapa yang akan menjadi juara liga juga sudah bisa diatur beberapa bulan sebelum liga berakhir. Juga klub yang promosi ke divisi di atasnya atau klub apa yang akan degradasi, sudah bisa diatur sebelumnya.

Di balik berbagai kecurangan dan keputusan yang mencurigakan itu ada praktek korupsi. Korupsi begitu merajalela di sepak bola di bawah kepemimpinan Nurdin Halid. Hal ini tidak mengejutkan karena Nurdin Halid pernah memimpin PSSI dari balik jeruji penjara ketika dia dinyatakan bersalah dalam dua kasus korupsi, yakni kasus korupsi distribusi minyak goreng dan beras impor.

Celakanya, seluruh pengurus PSSI tetap mempertahankan organisasi itu dipimpin dari dalam penjara. Walaupun Statuta FIFA melarang organisasi sepak bola dipimpin oleh kriminal, melalui proses pat gulipat Nurdin tetap bertahan memimpin PSSI hingga sekarang. IGK I Gusti Kompyang (IGK) Manila, mantan manajer timnas dan pernah menjadi pengurus PSSI, menyatakan secara terbuka bagaimana Nurdin Halid dari dalam penjara ikut mengatur wasit yang memimpin partai final sepak bola dalam Pekan Olahraga Nasional.

Sikap permisif terhadap praktek korupsi pada akhirnya membuat prestasi sepak bola kita terpuruk. Praktek suap-menyuap dalam sepak bola menjadikan kompetisi semakin buruk mutunya, yang pada gilirannya berujung pada kemunduran prestasi tim nasional. Jangankan mimpi ikut Piala Dunia, di kawasan Asia Tenggara pun kita tidak bisa juara lagi. Pada ajang AFF Cup akhir tahun lalu, meski telah memakai dua pemain naturalisasi yakni Christian Gonzales dan Irfan Bachdim, tetap saja gelar juara gagal direbut.

Akar Persoalan

Maraknya korupsi dan mundurnya prestasi tim nasional sepak bola kita bisa dilacak akar persoalannya di PSSI. Selain karena permisif terhadap praktek korupsi dan membiarkan diri dipimpin oleh seorang narapidana kasus korupsi, ada sejumlah persoalan lain.

Pertama, banyak klub yang tidak dikelola profesional. Klub bergantung pada pembiayaan oleh APBD sehingga tidak mengembangkan sumber-sumber pendanaan lain. Tiket pertandingan yang menjadi sumber utama pemasukan klub tidak dikelola dengan baik. Juga sponsor dari perusahaan belum menjadi pemasukan signifikan karena toh sudah ada APBD.

Tidak banyak klub yang mampu mandiri dan dikelola profesional. Barangkali hanya Arema Malang yang hidup dari suporter atau beberapa klub yang dibiayai oleh BUMN dan perusahaan swasta. Sebagian besar klub yang bertanding di liga adalah klub “milik” pemda. Ketergantungan yang akut pada APBD itu terkait dengan kepentingan elite politik di daerah. Lihat saja kepengurusan klub yang pada umumnya dipimpin oleh kepala daerah atau keluarga kepala daerah.

Bisa ditebak, ujung-ujungnya adalah menggunakan sepak bola demi pemenangan Pilkada. Dengan sistem Pilkada langsung, popularitas kandidat menjadi faktor dominan. Semakin populer seorang kandidat, semakin besar peluangnya terpilih. Dan sepak bola adalah sarana yang paling efektif untuk mendapatkan popularitas.

Karena sarat dengan kepentingan politik, maka tidak mengherankan bila alokasi untuk klub milik pemda bisa jauh lebih besar daripada alokasi untuk kesejahteraan rakyat. Salah satu contohnya adalah klub kebanggaan kota Semarang, PSIS. Dari penelusuran yang dilakukan ICW, pada 2006 Rp 14 miliar APBD Kota Semarang dialokasikan untuk hibah PSIS. Sementara untuk pendidikan anak usia dini hanya mendapat Rp 1,4 miliar dan dana perbaikan gizi masyarakat hanya Rp 607 juta.

Tidak ada informasi berapa alokasi untuk cabang olahraga lain, tetapi saya bisa menduga angkanya jauh lebih kecil daripada anggaran untuk PSIS. Demikian juga dana untuk bulu tangkis yang telah terbukti mampu mengharumkan nama bangsa di level internasional, saya kira tidak akan sebesar dana yang digelontorkan untuk sepak bola.

Terakhir, sepak bola mengajarkan kepada kita pentingnya integritas dan bagaimana berjuang dengan keras melalui latihan yang spartan untuk meraih keberhasilan. Sepak bola juga mengajarkan kepada kita soal keadilan dan kepatuhan kepada aturan main dan keputusan wasit. Apa pun keputusan wasit, seperti halnya hakim di pengadilan, harus dipatuhi oleh pemain dan penonton. Nilai-nilai yang terkandung dalam sepak bola kompatibel dengan nilai-nilai yang diperjuangkan dalam pemberantasan korupsi.

Karena itu tidak berlebihan bila gerakan pemberantasan korupsi harus memberikan perhatian kepada pemberantasan korupsi dalam sepak bola. Melalui sepak bola yang bersih dari korupsi, kita bisa memberikan pelajaran berharga kepada masyarakat untuk menghormati hukum, menegakkan integritas dan memperjuangkan keadilan.

Sepak bola juga memberikan pelajaran kepada kita tidak ada jalan pintas untuk menjadi juara. Indonesia hanya bisa juara kalau infrastruktur dibenahi dan pembinaan pemain muda mendapatkan perhatian.

Naturalisasi pemain keturunan Indonesia juga tidak akan mampu mengantar negeri ini sebagai juara kalau PSSI tidak berhasil dibersihkan dari korupsi dan diperbaiki tata kelolanya. Oleh karena itu, bila kita ingin sepak bola maju, maka langkah pertama yang bisa dilakukan adalah dengan turut mengatakan tidak kepada korupsi, termasuk korupsi di tubuh PSSI. (43)

J Danang Widoyoko, Koordinator Badan Pekerja ICW

Sumber: Suara Merdeka, Senin, 17 Januari 2011

Centurygate Pascaputusan MK

Oleh: Mohammad Fajrul Falaakh

Hak menyatakan pendapat DPR merupakan instrumen pengawasan parlemen yang diatur secara umum (lex generalis) dan secara khusus (lex specialis) dalam konstitusi, masing-masing di Pasal 20A dan Pasal 7A-7B UUD 1945. Secara khusus hak menyatakan pendapat DPR dalam rangka pemakzulan presiden/wakil presiden harus didukung 2/3 dari 2/3 anggota yang hadir pada Rapat Paripurna DPR.

Kedua “jenis” hak menyatakan pendapat (HMP) diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 27/2009 (UU MD3). Pertama, HMP tentang kejadian luar biasa maupun sebagai konsekuensi hak angket dan hak interpelasi. Kedua, HMP dalam rangka pemakzulan presiden/wapres. Tanpa membedakan jenis HMP, Pasal 184 Ayat (4) UU MD3 menambahkan tahap baru, yaitu usul penggunaan HMP bagi kedua HMP dan harus didukung oleh 3/4 dari 3/4 anggota yang hadir pada Rapat Paripurna DPR (M Fajrul Falaakh).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23 dan 26/PUU-VII/2010 membatalkan Pasal 184 Ayat (4) itu. MK menyatakan, penyamarataan itu bertentangan dengan maksud dan semangat konstitusi yang mengatur HMP secara umum dan khusus. MK menilai ketentuan UU MD3 itu mempersulit pelaksanaan hak dan kewenangan konstitusional DPR karena lebih berat dari persyaratan konstitusi. Menurut MK, Pasal 184 Ayat (4) melemahkan demokrasi dan dapat mengakibatkan pelanggaran dalam proses kontrol terhadap presiden/wapres. MK juga berpendapat, persyaratan saat mengusulkan penggunaan HMP seharusnya lebih ringan dari lex specialis dalam konstitusi.

Prospek Pemakzulan

Lancarkah usul pemakzulan presiden/ wapres jika tak terhalang Pasal 184 Ayat (4)? Keputusan DPR atas laporan Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang Penalangan Bank Century (Pansus Centurygate) sebetulnya dapat menjadi HMP. Saat itu (3/3/2010) Rapat Paripurna DPR dihadiri 95 persen anggota (537 dari 560 anggota), dan 325 menyetujui kesimpulan versi C dan 212 mendukung versi A.

Jumlah kehadiran anggota DPR maupun 60 persen kekuatan “oposisi plus” pendukung versi C itu dapat melahirkan HMP dalam rangka pemakzulan, tetapi UU MD3 mengharuskan versi C didukung 403 suara (3/4 x 537). Presiden/wapres beruntung karena PPP, PKB, atau PAN tak menggenapi selisih 33 suara (403-325) pada “oposisi plus”. Golkar juga beruntung, cepat berbalik arah dan memimpin Sekretariat Gabungan Partai Koalisi.

Beruntung sistem presidensial mencegah pembubaran pemerintah oleh mosi ketidakpercayaan mayoritas anggota parlemen. UUD 1945 mengatur pemakzulan presiden/wapres oleh MPR “sekadar” melancarkan proses peradilan pidana yang diduga melibatkan presiden/wapres, yaitu menghilangkan rintangan jabatan untuk mendudukkan presiden/wapres setara dengan warga negara. Meski MK sudah membatalkan syarat “politis” berupa jumlah kuorum dan dukungan suara yang mempersulit usul HMP, HMP dalam rangka pemakzulan harus memenuhi syarat kualitatif seperti dugaan pelanggaran pidana.

Pembatalan Pasal 184 Ayat (4) tak serta-merta bermuara kepada pemakzulan presiden/wapres. DPR lebih mudah memutuskan dugaan pelanggaran hukum oleh presiden/wapres, tapi dugaan itu akan diputuskan MK berdasarkan proses pembuktian dalam sidang (vide: Pasal 7A-7B UUD 1945 dan Pasal 80 UU MK 2003). Keputusan DPR mengenai terjadinya pelanggaran dalam penalangan Bank Century ataupun keterlibatan Gubernur Bank Indonesia Boediono (wapres saat ini) tak cukup hanya dirumuskan secara umum, yaitu tak secara jelas menyatakan dugaan tindak pidana tertentu yang dilakukan Boediono, serta tanpa bukti.

DPR tak boleh semena-mena menyatakan terjadinya tindak pidana tertentu pada penalangan Bank Century, atau perkara lain, tanpa bukti sama sekali. Sekarang sulit membayangkan, partai-partai pengusung pemakzulan beramai-ramai hendak mengubur diri menjelang Pemilihan Umum 2014 karena menyajikan “bukti” bohong-bohongan.

“Motion to Censure”

Saat ini banyak pihak menilai proses peradilan bagi pihak-pihak yang terlibat Centurygate terkendala oleh kelambanan KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Tim Pengawas Hasil Pansus Centurygate “terpaksa” diperpanjang masa tugasnya. Apakah kemudahan melahirkan HMP dapat mempercepat penyelesaian skandal Centurygate oleh ketiga lembaga penegak hukum itu?

Ancaman HMP mungkin melancarkan penyelesaian Centurygate. Tampaknya kelambanan penanganan Centurygate oleh ketiga lembaga penegak hukum itu harus dipacu dengan proses politik juga. Politik kelambanan penegakan hukum didesak oleh politik pengawasan terhadap eksekutif. Berarti beban penyelesaian Centurygate yang ditimpakan kepada proses hukum akan diambil DPR untuk ditimpakan langsung kepada pemerintah, atas nama fungsi pengawasan.

Seperti saya tulis (Kompas, 24/2/2010), UUD 1945 juga mengenal mosi tidak percaya terhadap kebijakan eksekutif. Dalam tradisi presidensialisme yang mapan seperti di Amerika Serikat, motion to censure the executive merupakan pilihan yang selalu terbuka untuk mengoreksi kebijakan pemerintah meski (atau justru karena) masa jabatan pemerintah dijamin konsti- tusi. HMP dapat mengambil bentuk ini.

Dalam pemerintahan berbasis koalisi multipartai, teknik pengawasan parlemen ini bisa jadi senjata ampuh menekan kebijakan pemerintah. Namun, fungsi ini dapat berubah jadi suara gaduh yang mempertaruhkan nasib masyarakat luas hanya dengan kepentingan partisan.

Mohammad Fajrul, Falaakh Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

Sumber: Kompas, Senin, 17 Januari 2011

Kisah Para Mafioso

Oleh: Eddy OS Hiariej

Alat yang tertua dan terampuh yang dimiliki oleh kejahatan terorganisasi dalam melawan proses penuntutan kriminal adalah membunuh para saksi yang bersaksi melawan mereka (Gerald Shur, A Fathers Dream Come True dalam WITSEC: Pengalaman Program Perlindungan Saksi Federal AS: ELSAM, 2006).

Hal ini dilakukan untuk melanggengkan kejahatannya terhadap setiap orang, terlebih para mafioso yang berkhianat dari anggota kelompok mafia. Oleh karena itu, setiap mafioso yang tertangkap selalu mempertahankan omerta (hukum tutup mulut) untuk tidak memberikan informasi apa pun terkait La Cosa Nostra (nama sebenarnya dari organisasi mafia yang berarti ‘milik kami’).

Pemberantasan terhadap mafia tidaklah mudah karena mereka memiliki akses pada lembaga-lembaga pemerintah, termasuk polisi, jaksa, dan hakim-hakim yang korup. Perlawanan terhadap omerta pertama kali dilakukan oleh Joe Valachi, seorang mafioso yang tertangkap. Secara gamblang dia menceritakan organisasi La Cosa Nostra yang saat itu dipimpin oleh Vito Genovese. Sebagai imbalan, negara mengubah hukuman mati yang dijatuhkan kepada Valachi menjadi hukuman seumur hidup dan dia dipindahkan ke sebuah pulau di Pasifik barat.

Demikian pula yang dilakukan Pascal Calabrese -mafioso yang mau bekerja sama dengan Negara- terhadap organisasi mafia yang dikendalikan Stefano Magaddino. Dalam rangka melindungi Calabrese, negara memalsukan identitasnya. Nama Calabrese diganti menjadi Angelo dan meminta seorang pendeta di Buffalo untuk memberikan sertifikat baptis baru dengan nama palsu mereka dan membujuk seorang pemilik sekolah di Buffalo untuk mengganti nama akhir dari anak-anaknya di rapor sekolah menjadi Angelo. Departemen Kehakiman kemudian merelokasi Calabrese bersama keluarganya dari incaran para mafia (ELSAM, 2006, halaman xiv–xviii).

Praktik di Indonesia

Dalam konteks pemberantasan mafia hukum di Indonesia, ini bukan merupakan suatu hal yang mudah. Para mafioso hukum sudah memasuki institusi Polri, kejaksaan, pengadilan, advokat sampai pada politisi parpol dan pengusaha nakal. Kalau di negara asalnya, para mafioso yang memberikan informasi mengenai kejahatan yang dilakukan La Cosa Nostra dikejar dan dibunuh dalam pengertian sesungguhnya, maka lain halnya di Indonesia.

Para mafioso yang melawan omerta dan membuka kebobrokan institusinya yang korup, alih-alih mendapat perlindungan negara, justru diincar dan dibunuh alias dibungkam dengan berbagai tuduhan kejahatan, baik yang dilakukan olehnya maupun yang direkayasa.

Masih segar dalam ingatan kita peristiwa Endin Wahyudin, yang menelanjangi tiga hakim agung yang menerima suap dan pelakunya adalah ia sendiri, harus mendekam dalam jeruji besi dengan pasal pencemaran nama baik, sementara ketiga hakim tersebut bebas berkeliaran tanpa rasa malu. Demikian pula yang diderita Komisaris Jenderal Susno Duadji yang membuka aib institusinya dalam kasus mafia pajak. Saat ini Susno terpaku di kursi pesakitan sebagai terdakwa dengan tuduhan korupsi selama yang bersangkutan menjabat Kapolda Jawa Barat.

Tidak kalah buruknya juga terjadi pada Gayus HP Tambunan, mafioso yang sepak terjangnya sangat luar biasa. Kendati telah memberikan semua informasi kepada Tim Independen Polri perihal kasus mafia pajak dan secara terang benderang Gayus telah bercerita di depan sidang pengadilan mengenai keterlibatan sejumlah petinggi Polri dan kejaksaan dalam kasus tersebut, para penguasa kedua institusi itu seolah buta dan tuli untuk tidak memproses anak buahnya.

Kalau dalam kisah di atas negara memberikan identitas palsu kepada mafioso yang mau bekerja sama dalam rangka melindunginya, maka berbeda di Indonesia, Gayus mendapatkan identitas palsu—yang sudah pasti melibatkan aparat—untuk mempertahankan praktik mafia hukum.

Di sisi lain, instrumen hukum kita tidak begitu memadai untuk melindungi orang-orang seperti Endin, Susno, dan Gayus. Ketentuan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban pada hakikatnya menyatakan bahwa saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata, atas laporan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

Akan tetapi, Ayat (2) undang-undang tersebut berbunyi, “Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.

Ketentuan Ayat (2) sebenarnya bersifat contra legem dengan Ayat (1)-nya. Pada kenyataannya, ketentuan Ayat (2) ini yang selalu dipakai aparat untuk memproses para saksi kunci, sementara para pelaku kelas kakap tidak pernah tersentuh oleh hukum. Sayangnya, ketika Pasal 10 Ayat (2) ini dimohonkan pengujiannya oleh Susno Duadji, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut.

Dimulai dari “Kepala”

Lalu bagaimana untuk mengakhiri semua ini? Meminjam istilah yang dikemukakan JE Sahetapy bahwa ikan yang busuk bukan berawal dari ekornya tetapi berawal dari kepala ikan, maka yang harus dibersihkan lebih dulu adalah para petinggi di institusi penegak hukum.

Presiden harus berani menonaktifkan mereka yang terlibat dalam praktik mafia hukum dan mengusut tuntas semua kasus tersebut meskipun harus menyeret para perwira berbintang di tubuh Polri, para petinggi di Kejaksaan Agung, hakim-hakim korup, termasuk advokat, politisi, dan pengusaha nakal.

Bukan saatnya lagi Presiden bersembunyi di balik kata-kata “tidak mau melakukan intervensi hukum” untuk melepaskan diri dari tanggung jawab pemberantasan mafia hukum. Bukankah Presiden adalah atasan langsung Kapolri dan Jaksa Agung? Kalau Kapolri dan Jaksa Agung adalah para penegak hukum tertinggi di institusi masing-masing, maka Presiden sebagai kepala negara adalah penegak hukum tertinggi di Indonesia.

Sudah saatnya Presiden bertindak tegas dengan membuang segala kebimbangan untuk memproses para mafia hukum, kecuali kalau pemberantasan mafia hukum yang sering kali dikemukakan oleh Presiden hanya suatu retorika belaka.

Eddy OS Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

Sumber: Kompas, Jumat, 14 Januari 2011

Pendidikan dan Kesadaran Politik

Oleh: Mochtar Buchori

Salah satu watak pendidikan nasional kita adalah peka terhadap setiap perjalanan politik. Setiap perjalanan politik bangsa yang cukup berarti selalu melahirkan jejak mendalam pada diri generasi muda. Jejak ini ditandai dengan lahirnya suatu angkatan.

Pada pergolakan tahun 1965, pengalaman politik yang begitu liat membekas dalam diri para pemuda sehingga melahirkan Angkatan ‘66. Tokoh angkatan ini sekarang banyak menduduki tempat penting di Indonesia. Namun, tak semua pengalaman politik bangsa yang meninggalkan jejak mendalam pada diri pemuda Indonesia berhasil mengkristalkan sebuah angkatan. Sebagai contoh, heboh politik tahun 1974 -berupa demonstrasi massa mencela hegemoni Jepang di Indonesia- meninggalkan bekas yang cukup dalam. Namun, pemerintah Soeharto waktu itu berhasil mencegah demonstrasi itu melahirkan suatu angkatan politik mahasiswa baru yang dapat berkembang secara berarti.

Dalam konteks demikian, pengalaman reformasi politik yang dimulai tahun 1997-1998 juga meninggalkan bekas. Pada hemat saya, bekas atau jejak ini juga tak berkembang menjadi angkatan yang berarti dalam kehidupan politik bangsa.

Penghayatan yang Kuat

Apa faktor penentu terbentuknya suatu angkatan dalam generasi muda? Pertama-tama, penghayatan cukup kuat atas nilai kultural yang membangkitkan gerakan politik di kalangan generasi tua. Dengan penghayatan semacam itu, generasi muda merasakan apa yang diinginkan generasi tua. Melalui perasaan itu, mereka otomatis menyatu dengan generasi tua tersebut. Ketika generasi tua mulai kendor dalam tuntutan politiknya, generasi muda mengambil alih tugas sejarah. Lahirlah generasi muda.

Lalu, apa yang terjadi dengan gerakan reformasi sehingga tak lahir Angkatan ‘98 secara jelas? Dugaan saya, ini karena yang kita sebut gerakan reformasi yang diprakarsai generasi tua bukan suatu ekspresi utuh dari aspirasi tentang reformasi. Ketika datang sedikit peluang untuk betul- betul melakukan reformasi, generasi tua tak tahu dari dan di mana harus memulai: reformasi ekonomi, reformasi politik, atau reformasi birokrasi. Tak banyak, bahkan tak terlihat seorang pun, dari generasi tua yang dapat tegas menjawab ini.

Dampaknya, generasi muda tak merasakan bahwa generasi tua memiliki getaran kuat atau keinginan serius mereformasi diri dan bangsa ini. Padahal sebaliknya, keinginan itu sangat kuat dirasakan generasi muda, khususnya oleh (beberapa) tokoh generasi muda dari Angkatan ‘98. Mereka berusaha melaksanakan cita-cita reformasi. Sayangnya, mereka yang bergabung dengan arus besar politik tak mampu memberi warna berarti, bahkan tenggelam.

Sementara itu, jumlah tokoh muda yang berusaha mewujudkan cita-cita reformasi di luar sistem itu terlalu kecil. Jumlah pengikut mereka pun demikian. Mereka lalu tampak sebagai anomali sejarah. Sebagian orang bahkan memandang usaha generasi muda semacam ini sebagai suatu usaha yang mengada-ada. Timbullah keretakan antara generasi tua dan generasi muda yang sama-sama mendaku ingin mewujudkan cita-cita reformasi.

Mungkin berguna menyampaikan kembali sebuah cerita kecil tentang percakapan almarhum Nurcholish Madjid dan Soeharto mengenai perbedaan makna reformasi. Ketika Soeharto menyatakan akan membentuk Kabinet Reformasi, Nurcholish Madjid langsung menyahut, “Yang dimaksudkan rakyat dengan reformasi itu, ya Bapak itu.”

Kita lihat dari cerita kecil itu betapa tak bulat konsep reformasi pada tahap awal, bahkan hingga tahap akhir perkembangannya. Reformasi pun berjalan pincang, tertatih-tatih di antara konsep yang berbeda tentang reformasi. Terjadilah apa yang kita alami sekarang. Seorang teman secara sinis menyebut keadaan kita sekarang sebagai reformasi abortif.

Dalam keadaan seperti ini, cita-cita semula tentang reformasi yang didambakan pelaku-pelaku politik sejak 1994 tak tertangkap generasi-generasi muda. Maka, gagasan tentang reformasi tumbuh dalam bentuk yang kurang sempurna.

Inti Pendidikan

Kembali ke pertanyaan pokok. Apa sebenarnya inti dari pendidikan untuk membina suatu kesadaran politik yang dapat diwariskan kepada atau diwarisi generasi muda?

Ada dua hal yang perlu kita pahami. Pertama, gerakan politik selalu mengarah ke perubahan sosial. Kedua, pendidikan untuk membentuk pemahaman dan kepekaan terhadap norma-norma sosial tak hanya ditentukan di sekolah, melainkan oleh seluruh kekuatan sosial-edukatif yang ada di dalam masyarakat. Keluarga, lingkungan sosial masyarakat, dan kelompok politik turut menentukan apa yang akan dipahami serta dihayati anak.

Berdasarkan pemahaman ini, apakah suatu program pendidikan akan berhasil menghidupkan kepekaan dan kesadaran anak terhadap aspirasi sosial yang dicanangkan lembaga politik sangat bergantung pada keeratan hubungan kelembagaan di antara berbagai lingkungan sosial-edukatif di dalam masyarakat.

Dalam kasus gerakan reformasi, situasi semacam ini tak ada. Maka, tak mengherankan jika gejolak batin yang mula-mula dinyatakan para pendahulu gerakan reformasi tak tertangkap, kurang dipahami, dan tak dihayati generasi lebih muda. Saya memandang: gerakan reformasi mati suri.

Dapat kita katakan, jika mau jadi lembaga pendidikan yang efektif menimbulkan pemahaman dan penghayatan terhadap norma kultural baru di dalam masyarakat, sekolah harus merupakan bagian dari jaringan kultural di dalam masyarakat. Sekolah tak bisa bekerja terisolasi dari lembaga sosial-edukatif lain.

Pada saat ini kita merasakan adanya kejenuhan masyarakat terhadap budaya korupsi yang merajalela di berbagai lembaga. Berbagai upaya telah dicoba untuk menghilangkan budaya korupsi dan menggantikannya dengan budaya kejujuran. Hasilnya tak memuaskan.

Apa yang harus kita lakukan untuk menjaga agar harapan datangnya masyarakat yang jujur dan bersih tetap hidup di dalam hati bangsa, terutama di dalam hati generasi muda? Saya tak tahu. Dengan sistem pendidikan kita sekarang dan hubungan disfungsional antara sekolah dan lembaga sosial-edukatif lain, sulit diharapkan cita-cita mulia ini akan maksimal terlaksana. Perlu ada perubahan sikap dan perubahan berpikir yang radikal di dalam diri kita semua mengenai masyarakat yang kita dambakan dan cara-cara mencapainya.

Mochtar Buchori, Pengamat Pendidikan

Sumber: Kompas, Kamis, 13 Januari 2011

Kikis Patronase Bisnis!

Oleh: Hendardi

Pada tahun 2010, pemerintah dan aparat penegak hukum masih mewarisi banyak kasus korupsi yang menyedot perhatian publik. Sebut saja kasus Bank Century, aliran cek dalam pemilihan deputi gubernur BI, rekening gendut sejumlah jenderal polisi, kasus mafia pajak yang menyeret Gayus Tambunan, serta “jaksa nakal” dan “hakim nakal”.

Apakah kelanjutan praktik korupsi tak bisa ditempatkan sebagai tantangan serius bagi pemerintah dan penegak hukum? Apakah program pemberantasan mafia hukum hanya berayun di permukaan?

Konstruksi Korupsi

Memberantas korupsi ibarat membentur tembok kukuh. Persoalannya, watak sistem yang korup bersumber dari sejarah Orde Baru dengan memorak-porandakan kekuatan sosial, yakni buruh dan petani, serta disusul kemerosotan politik golongan menengah Muslim perkotaan.

Pola patronase bisnis menempati posisi dominan. Pola ini dibentuk lewat relasi politik, birokratis, dan bisnis yang erat. Dengan kebijakan negara dan peraturan proteksionis, akumulasi ekonomi bergantung pada koneksi, lisensi, dan proyek pemerintah. Di era Orde Baru patronase bisnis melingkar di sekitar Cendana. Setelah reformasi, jaringan patronase ini menyebar luas ke parlemen dan lembaga negara lain serta ke tingkat lebih kecil mengikuti proyek otonomi daerah. Dengan cara ini, konstruksi ekonomi-politik yang busuk tak pernah meruntuhkan patronase bisnis.

Militer secara formal diakhiri sebagai kekuatan politik, tetapi secara informal tetap sulit menyentuh jaringan bisnisnya. Ia menyebar pula di dalam lapisan elite negara dengan kelompok preman. Beberapa kota besar ditandai dengan koneksi mereka dengan golongan agama.

Mereka terus mewarisi watak pemburu rente sehingga ekonomi biaya tinggi tak pernah berakhir. Semua tingkat birokrasi hingga keamanan berebut sumber investasi dan proyek demi akumulasi pribadi serta kelompok sehingga mereka lebih mirip sebagai predator.

Pemilu dan pilkada lebih tampak sebagai ajang perang iklan, atribut, dan bentuk citra lainnya ketimbang adu program yang konkret dan realistis. Mengiringi proses politik ini, kerap pula muncul dugaan politik uang.

Simak pula bagaimana pemerintah di daerah menghasilkan ribuan peraturan daerah yang dinilai bermasalah dan tumpang-tindih dengan UU. Banyak perda menggandakan pungutan pajak dan retribusi demi menggemukkan pendapatan asli daerah, tetapi tak sedikit yang menguap.

Watak bisnis lain yang juga bertahan adalah memungut keuntungan sebanyak mungkin dalam tempo singkat. Banyak pelaku bisnis lebih mementingkan kepentingan jangka pendek. Mereka berebut semua sumber daya dan mengabaikan masa depan.

Tantangan

Konstruksi korupsi seperti itu terlalu lembek dan hanya olesan bibir belaka jika dilawan dengan politik pencitraan. Pemerintah harus serius tak saja merealisasikan program pemberantasan mafia hukum, tetapi juga menata ulang politik ekonomi.

Pertama, politik antikorupsi harus dimulai dengan program politik-ekonomi yang serius mengikis patronase bisnis yang telah sangat mengganggu operasi bisnis dan investasi di Indonesia. Kolusi politik-bisnis dan pungutan tak masuk akal adalah penyebab biaya tinggi serta minimnya jaminan jangka panjang.

Persoalan itu tak bersifat kasus per kasus, melainkan sistemis. Politik, birokrasi, ataupun penegakan hukum menjadi rangkaian praktik busuk yang menghalangi jalannya kenyamanan bisnis. Elite negara dan politik serta berbagai kelompok lain mekar ibarat lapisan predator.

Kedua, program mengikis patronase bisnis dapat membantu perbaikan upah buruh karena, dengan itu pula, ekonomi biaya tinggi bisa dikembalikan bagi kesejahteraan buruh. Jika jaminan masa depan investasi terbuka, membeludaknya jumlah penganggur bisa ditekan.

Ketiga, program pemberantasan mafia hukum harus disusun dan direalisasikan secara serius. Pemerintah harus memerintahkan Kepala Kepolisian Negara RI dan Jaksa Agung mengadopsi program ini untuk dijalankan. Setiap semester, kelemahan dan kegagalan harus dievaluasi. Campur tangan politik dalam penegakan hukum harus dikikis.

Keempat, sembari menghormati independensi penegak hukum dan kehakiman, DPR harus ikut memprioritaskan tekanan politik memberantas korupsi yang diamanatkan dalam penyelenggaraan negara yang bebas KKN. Parlemen perlu membentuk grup antikorupsi yang terus melakukan tekanan politik.

Kelima, partisipasi masyarakat memberikan tekanan politik atas sistem politik-ekonomi yang korup tak bisa dikesampingkan. Mereka tak terbatas pada LSM, mahasiswa, dan intelektual, tetapi juga kelompok yang paling dirugikan sistem korup.

Hendardi, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute

Sumber: Kompas, Jumat, 14 Januari 2011

Ironi Demokrasi

Oleh: Hasyim Asy'ari

Jefferson Soleiman Montesqiue Rumajar, terdakwa korupsi dan ditahan di LP Cipinang, dilantik sebagai Wali Kota Tomohon di Kantor Menteri Dalam Negeri, Jumat (7/1).

Pelantikan terjadi di kantor Gamawan Fauzi, yang pernah dianugerahi julukan kepala daerah antikorupsi saat menjabat sebagai Bupati Solok. Apakah tangan Gamawan gemetar saat menandatangani keputusan pengesahan Wali Kota Tomohon? Luar biasa, itulah wajah ironi demokrasi Indonesia! Peristiwa serupa agaknya akan terulang kembali. Yang menonjol, kasus Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo. Bupati petahana yang memenangi pemilihan umum kepala daerah (pilkada) kembali itu ditetapkan sebagai tersangka pada 1 Maret 2010, ditahan KPK 15 April 2010, dan divonis 2 November 2010.

Menurut data Kompas (8/1), ada beberapa kasus serupa, yakni kepala daerah petahana terjerat kasus pidana korupsi dan memenangi pilkada. Gubernur Bengkulu Agusrin Maryono Najamudin ditetapkan sebagai tersangka 28 Agustus 2008 oleh kejaksaan dan dilantik 29 November 2010. Bupati Rembang Moch Salim ditetapkan sebagai tersangka 25 Mei 2010 oleh kepolisian dan dilantik 20 Juli 2010.

Tiga Sumber Persoalan

Mengapa kasus-kasus ironi demokrasi itu terus saja terjadi? Ada tiga hal yang patut diduga sebagai sumber persoalan.

Persoalan pertama, kelemahan regulasi pilkada. Regulasi pilkada (UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 12 Tahun 2008) tak mengatur larangan bagi tersangka atau terdakwa ikut pilkada, bahkan memenangi pilkada. Secara yuridis, kepala daerah dapat diberhentikan sementara jika berstatus sebagai terdakwa, dan kepala daerah diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Itu rupanya yang dijadikan dasar pemerintah melantik seorang tersangka, terdakwa, atau tervonis korupsi sekalipun!

Bahkan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 4/PUU-VII/2009 menyatakan Pasal 58 Huruf f Undang-Undang (UU) No 12/2008, yang menentukan syarat menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah tak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau lebih, bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tak punya kekuatan hukum mengikat sepanjang tak memenuhi beberapa syarat.

Beberapa syarat itu adalah tak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukuman, dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Putusan MK tersebut belum direspons DPR dalam bentuk merevisi Pasal 58 Huruf f UU No 12/2008. Secara teknis, Putusan MK direspons KPU dalam Peraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009 yang menentukan calon tidak memenuhi syarat Pasal 58 Huruf f dikecualikan dengan cara melampirkan surat keterangan dari lembaga masyarakat tempat yang bersangkutan menjalani pidana, telah menjalani hukuman, dan sudah memenuhi jangka waktu paling sedikit lima tahun sampai waktu pendaftaran calon; surat keterangan dari pemimpin surat kabar bahwa yang bersangkutan pernah memasang iklan pengakuan dan/atau pemberitahuan ke publik mengenai status yang bersangkutan; dan surat keterangan kepolisian bahwa yang bersangkutan berkelakuan baik dan tak melakukan kejahatan berulang-ulang.

Lengkap sudah, seorang tersangka, terdakwa, tervonis, dan mantan narapidana secara yuridis dimungkinkan maju dalam pencalonan pilkada. Apakah regulasi demikian dirasa adil dan memadai? Di sinilah letak persoalannya. Hukum bukan sekadar pasal, tetapi juga rasa keadilan.

Penegakan Hukum

Persoalan kedua pada penegakan hukum. Persoalan terletak pada waktu proses penegakan hukum kasus-kasus korupsi kepala daerah sejak penetapan sebagai tersangka hingga pelimpahan kasus ke pengadilan. Titik ini mengundang pertanyaan. Apakah penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) tak profesional atau lebih karena tunduk pada tekanan politik pihak sedang berkuasa?

Lamanya proses penetapan sebagai tersangka hingga pelimpahan kasus ke pengadilan jadi indikasi persoalan penegakan hukum. Agusrin Najamudin ditetapkan sebagai tersangka sejak 2008. Namun, hingga tahun ini tak jelas apakah kasusnya sudah sampai pengadilan atau belum sehingga muncul gugatan praperadilan dari Muspani, mantan anggota DPD Bengkulu, yang dimenangkan pengadilan yang memerintahkan kejaksaan segera melimpahkan kasus Agusrin ke pengadilan.

Demikian pula kasus Moch Salim. Semula Kepala Polres Rembang menetapkan Salim sebagai tersangka, tetapi belakangan Kepala Polda Jawa Tengah (saat itu Inspektur Jenderal Alex Bambang Riatmodjo) mempersoalkan penetapan itu. Hingga kini tak jelas penanganan kasus itu.

Persoalan ketiga adalah permainan partai politik (parpol). Pasal 28 Huruf d UU No 32/2004 melarang kepala daerah dan wakil kepala daerah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan. Jika sejak awal terindikasi melakukan korupsi, mengapa ia masih saja dicalonkan parpol?

Di titik ini, indikasi permainan parpol cukup kental. Penetapan seseorang jadi tersangka, yang waktunya mendekati tahapan pilkada, patut diduga menunjukkan dua indikasi sekaligus. Di satu sisi, indikasi penegak hukum bermain sendiri mencari keuntungan dari calon yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Kasus-kasus mafia hukum membuktikan ini.

Di sisi lain, penetapan tersangka berindikasi dijadikan instrumen politik untuk menekan calon. Jika calon tak tunduk pada kemauan politik tertentu, kasus hukum yang bersangkutan cenderung berlanjut ke meja hijau. Jika calon tunduk pada kemauan politik tertentu, status perkara cenderung dihentikan atau setidaknya menjadi tak jelas. Ini yang kemudian memunculkan tuduhan tebang pilih dan parpol jadi bungker koruptor.

Aspek hukum dan politik dalam pemilu dan pilkada memang cukup kental. Apakah penguasa politik (Presiden dan DPR) beriktikad mengurai benang kusut aneka persoalan pilkada? Rakyat menunggu titah SBY sebagai panglima perang tertinggi melawan korupsi. Keengganan menyelesaikan sejumlah persoalan itu kian memperkuat keresahan: Indonesia kini bergerak menuju demokrasi kaum penjahat.

Hasyim Asy'ari, Anggota Tim Ahli Kemitraan

Sumber: Kompas, Selasa, 11 Januari 2011

Gayus dan Efektivitas Pemberantasan Korupsi

Oleh: Budiarto Danujaya

Andai Gayus HP Tambunan sejenis maling guno -sesosok Robin Hood yang sengaja melanggar hukum untuk membuktikan kebobrokan tatanan penegakan hokum- rangkaian akrobatnya mungkin sudah patut diacungi dua jempol. Gerak pikatannya seakan memukat keluar kebusukan jejalin korupsi, kolusi, dan nepotisme para aparat di hampir segenap jajaran penegakan tertib dan hukum di negeri ini, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, perpajakan, hingga sekarang juga imigrasi.

Kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menutup tahun 2010 dengan kesimpulan bahwa penegakan hukum belum berjalan baik, korupsi masih merebak, dan birokrasi belum efektif; Gayus seperti memberikan sense of reality betapa ketiga masalah mendasar tersebut juga berbaku-kelindan satu sama lain sehingga saling mengunci. Penegakan hukum dan birokrasi pemerintahan takkan mungkin berjalan efektif selama korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih dibiarkan merajalela; serta vice versa KKN masih merebak dan akan tetap terus merebak apabila penegakan hukum dan birokrasi pemerintahan tak diniatkan untuk terselenggara lebih efektif.

Kebebasan pemberitaan pada era reformasi sejak lama telah membuka mata publik atas ringkihnya jajaran penegakan hukum dan penyelenggaraan negara kita terhadap pikatan KKN. Betapapun, belum pernah kiranya mata publik demikian dibelalakkan oleh kenyataan pelik, luas, dan mendalamnya perkelindanan mafioso lintas jajaran penegak hukum dan penyelenggara negara semasif perkara Gayus ini.

Sungguh sayang, betapapun luar biasa akrobatnya, Gayus cuma maling biasa.

Marjin Kontrol Publik

Tentu saja, menghidup-hidupkan optimisme publik atas penegakan hukum, apalagi di tengah merebaknya krisis kepercayaan masyarakat akibat serial pelecehan hukum komplotan pengemplang pajak ini, merupakan tugas pemerintah. Kehidupan bernegara hanya bisa berlangsung saksama apabila tertib dan hukum ditegakkan semestinya; dan upaya ini mustahil terlaksana tanpa kepercayaan masyarakat akan manfaatnya dalam menyelenggarakan keadilan bagi mereka semua.

Dalam konteks inilah kiranya Menko Polhukam Djoko Suyanto mencoba mengobati keraguan publik akan pengungkapan tuntas kasus yang bagi masyarakat kebanyakan semakin mengaromakan kongkalikong kalangan bisnis, politik, dan mafia hukum tingkat tinggi ini. Bagi Menko Polhukam, optimisme justru terpampang karena lewat perkembangan perkara ini tampak jelas semakin hidupnya kontrol publik. Sebagaimana luas diberitakan, episode pelesiran akrobat Gayus terkuak bukan lewat pengusutan penegak hukum, melainkan lewat “ketidaksengajaan” dua warga negara biasa.

Di tengah kemerosotan partisipasi publik dalam politik, seperti terlihat lewat rerata keikutsertaan pilkada yang cuma berkisar 60 persen, tentu saja sumbangan kepedulian lewat jepretan foto wartawan Kompas (Agus Susanto) dan surat pembaca Kompas (Devina) tersebut jelas menggembirakan. Mungkin ini bisa kita sebut sebagai contoh konkret tafsir kontemporer Bernard Flynn (1995) atas diskursus klasik La Boethia mengenai penghimpunan kuasa oleh penguasa sebagai yang tunggal lewat masyarakat sebagai yang banyak. Lewat partisipasi orang banyak, sang kuasa bak mendadak mengalami “penggandaan tubuh”: mempunyai lebih banyak mata untuk mengawasi, kepala untuk memikirkan, dan tangan-kaki untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara.

Betapapun, pertanyaannya lalu adalah: tidakkah ironis sebuah negeri dengan jajaran penegak hukum yang mampu cepat membongkar jejaring terorisme berkelas internasional tiba-tiba bak lumpuh dan harus menggantungkan kewajiban kerjanya pada ketidaksengajaan dua warga biasa?

Dalam teori peran negara yang paling minimal, seperti diskursus “negara sebagai penjaga malam” sekalipun, penegakan hukum sebagai bagian pengondisian penyelenggaraan kehidupan bernegara yang waras berada pada urutan paling utama sebagai wilayah ketika masyarakat boleh berleha-leha tidur karena negara berkewajiban terjaga untuk menyelenggarakan kehidupan bersama. Dalam konteks ini, betapapun sangat penting dan perlu, sungguh ironis jika kepedulian warga diandalkan sebagai sandaran pokok negara dalam menyelenggarakan kewajibannya.

Gelombang pasang kontrol publik, yang memang semakin kita rasakan lewat terkuaknya banyak kasus ketidakadilan dan penyelewengan hukum belakangan ini, memang pantas kita sambut gembira. Namun, penegakan tertib dan hukum sebaiknya tetap sepenuhnya hak dan kewajiban pemerintah sebagai penyelenggara negara. Sementara partisipasi masyarakat, agar tidak eksesif, sebaiknya tetap ditempatkan di marjin ekstralegal sebagai mata-ekstra yang ikut mengawasi penyelenggaraan kehidupan bersama belaka. Tanpa marjin yang jelas, seperti kita tengarai banyak terjadi belakangan ini, pembiaran campur tangan masyarakat yang semula dimaksudkan sebagai partisipasi warga dalam berbagai kasus yang seharusnya legal-formal, terkadang justru mengkhawatirkan karena berbuntut kekerasan dan main hakim sendiri.

Mafia Pajak Tak Tersentuh

Seperti gamblang lewat kasus ini, penegakan hukum merupakan bagian ketiga persoalan mendasar kita yang harus serempak ditanggulangi karena baku-kaitnya terbukti saling mengunci. Betapapun, menilik KKN merupakan permasalahan yang paling melibatkan terlalu banyak pihak di luar kendali pemerintah, sementara penegakan hukum terbukti sangat tak berdaya akibat cengkeraman KKN yang mengurat mengakar pada jajaran penegakan hukum di negeri ini, boleh jadi upaya memperbaiki kondisi ini harus kita mulai dari niat untuk menyelenggarakan birokrasi yang lebih efektif.

Celakanya, perkara ini belakangan juga banyak menerbitkan kegundahan tersendiri. Sehubungan dengan kasus Gayus, misalnya, kita tahu bahwa Presiden telah berulang kali memerintahkan penuntasannya. Bahkan, lewat Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, terbetik janji pemerintah untuk membongkar tuntas kasus ini dalam 10 hari. Namun, kasus ini bak bergeming. Hanya berputar-putar di sekitar akrobat Gayus, sementara para mafia pajak lebih besar, khususnya para pengusaha besar yang telah disebutnya secara resmi di pengadilan, tetap tak kunjung disentuh. Sungguh jauh dari efektif.

Oleh karena itu, kalau Presiden memang ingin lebih efektif memimpin sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini, seperti janji kampanyenya, mungkin sudah waktunya mengganti pidato dengan instruksi. Dalam kasus ini, misalnya, menilik telah terbukti terlalu dalamnya keterlibatan para pihak di lingkungan Polri, tanpa basa-basi lagi menginstruksikan pengalihan penanganan kasus ini dari Polri ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tanpa langkah pengendalian yang lebih konkret semacam ini, dongeng menggundahkan mengenai politik sandera menyandera di lingkungan elite politik berkuasa yang telah beredar luas di masyarakat akan semakin melumpuhkan kepercayaan hukum masyarakat. Terlalu kerap kita dengar lewat media massa, banyak pihak semakin percaya bahwa elite Partai Demokrat menjadi tak berdaya membuat terobosan karena disandera kasus Bank Century, sementara elite Partai Golkar disandera kasus Lapindo dan Gayus.

Sungguh menggundahkan. Mungkin supaya dongengnya lebih mengharu biru bisa kita bumbui dengan menggejalanya sindrom Stockholm, yakni ketika para sandera akhirnya manut kehilangan daya perlawanan karena jatuh cinta kepada para penyanderanya. Dalam hal ini, lantaran masing-masing dienakkan karena telah diberi alasan pemakluman untuk tidak perlu bekerja keras memajukan penegakan tertib dan hukum di negeri ini.

Budiarto Danujaya, Pengajar Filsafat Politik Departemen Filsafat FIB-UI

Sumber: Kompas, Senin, 10 Januari 2011

Mengembangkan Budaya Lokal (Jawa) Dalam Meredam Konflik Sosial

Oleh : Christriyati Ariani

Abstrak
Banyak norma dalam kehidupan orang Jawa dalam pergaulannya di masyarakat. Istilah-istilah yang akrab melekat dalam sehari-hari merupakan acuan hidup dalam kebersamaan di samping tradisi yang berlaku, misalnya guyub rukun, gugur gunung, gotong royong, tulung-tinulung dan istilah lain yang sarat dengan nilai pekerti luhur. Perkembangan teknologi dalam era global memberi efek positif maupun negatif bagi kehidupan masyarakat termasuk orang Jawa. Nilai positif akan sangat bermanfaat bagi kemajuan bangsa, namun efek negatif akan mengikis nilai norma yang sudah ada. Ada sesuatu yang hilang. Dalam pertemuan-pertemuan yang membicarakan budaya Jawa banyak lontaran keprihatinan dari para budayawan atau pemerhati budaya. Pada umunya mereka menyatakan bahwa pada masa kini budaya Jawa yang adi luhung itu telah terkikis. Pada awalnya kita percaya hal itu. Namun ketika kita dikejutkan dengan hantaman gempa di Jogja dan sekitarnya pada tanggal 27 Mei 2006 yang meluluhlantakkan sebagian hunian, merobek hati masyarakat, kita melihat suatu kenyataan. Saat kesedihan mendera, datang kembali kebersamaan dalam menghadapi musibah itu. Semangat gotong royong, tulung tinulung, guyub rukun, gugur gunung kembali hinggap di hati. Namun ketika terdengar berita akan ada bantuan dari pemerintah bagi korban gempa, apa yang terjadi? Jawaban itu akan dapat diperoleh dalam uraian ini.

Pengantar
Sekitar dua bulan yang lalu di dalam tajuk rencana Kedaulatan Rakyat1 diberitakan tentang bagaimana kondisi warga masyarakat Bantul yang tertimpa musibah gempa bumi dan memporakporandakan wilayahnya. Saat itu warga merasakan kesedihan, keguncangan batin, bahkan masih menyisakan rasa trauma. Namun setelah hampir 20 hari dari peristiwa gempa bumi 27 Mei 2006, warga mulai bangkit. Mereka begitu bersemangat melihat para relawan dari berbagai daerah maupun negara yang berdatangan membantunya. Tanpa ada halangan perbedaan kulit, ras, golongan, agama maupun suku, bersatu padu membantu “saudara-saudaranya” yang sedang ditimpa musibah. Mereka saling tolong menolong, bahu membahu, dukung mendukung, bergotong royong mengedepankan kebersamaan, keluhuran budi, serta mengesampingkan kepentingan diri dan kelompok untuk mementingkan kepentingan masyarakat. Indah nian kehidupan masyarakat Bantul khususnya dalam suasana duka dan derita, masih tersisa ceria anak manusia yang masih mau berbagi kasih, setia dalam aksi solidaritas antar sesama negara, tanpa mementingkan diri sendiri.

Uraian di atas ini sebenarnya menggambarkan bagaimana hubungan antar manusia, antar sukubangsa, bahkan antar negara sekalipun yang tercermin dalam kegiatan kemanusiaan yang sangat luhur. Barangkali di saat ini yang seringkali dikonotasikan dengan zaman “modern”, nilai¬nilai seperti itu mungkin merupakan sebuah nilai yang mahal harganya. Gaya modernitas yang selalu ditandai dengan individualitas, egoisme serta kehidupan yang penuh dengan”kepura-puraan”, semuanya selalu mengandung pamrih yang diharapkan. Apalagi tidak sedikit dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yayasan sosial, instansi pemerintah dengan berbagai atribut serta “pakaian” nya seakan-akan turut serta berlomba-lomba ingin berpartisapasi dalam penanganan korban gempa, baik selama masa tanggap darurat hingga masa rekonstruksi maupun rehabilitasi.

Di sisi lain, warga korban gempa pun dengan kerendahan hati dan ketulus¬ihklasannya menerima dengan senang hati berbagai bantuan baik moril maupun materiil yang diberikan dari para dermawan maupun relawan. Bahkan hal yang sangat menarik, di masa rekonstruksi masih ada sekelompok manusia yang dengan tulus ikhlas memberikan sumbangan berupa tenaga. Mereka adalah kaum pekerja yang berasal dari daerah sekitar Sawangan, Kaliangkrik (Magelang), serta daerah-daerah lainnya yang secara rutin setiap hari minggu, turut serta membantu warga Bantul dalam membongkar, serta membersihkan puing¬puing bangunan rumah mereka yang roboh akibat gempa. Mereka berdatangan dengan menggunakan truk-truk terbuka, di pagi hari dan akan kembali di sore hari. Selama mengerjakan pembersihan puing-puing bangunan yang hancur karena gempa, mereka tidak mau merepotkan si pemilik rumah, karena mereka membawa bekal serta kebutuhannya sendiri.

Akan tetapi, kerukunan, kebersamaan, rasa senasib sepenanggungan, serta sikap kegotongroyongan, tiba-tiba mulai terusik manakala pemerintah mulai mengumumkan adanya bantuan jaminan hidup (jadup) maupun dana rekonstruksi yang akan diberikan kepada para korban gempa. Jalinan keharmonisan yang sempat terjalin beberapa waktu mulai mengendur. Apalagi banyak disinyalir bahwa penyaluran bantuan tersebut banyak mengalami kendala, ketidakadilan serta penerimaan yang tidak serentak dan merata. Dari situlah mulai tumbuh konflik¬konflik sosial di antara sesama korban, di antara sesama tetangga korban, bahkan di antara sesama dusun maupun desa yang menjadi korban gempa. Bantuan materiil (baca uang) ternyata telah mampu menghapuskan nilai-nilai budaya lokal yang selama ini sebenarnya masih mereka miliki.

Batasan Konsep: Budaya Lokal, Konflik Sosial
Di dalam dunia ilmu antropologi, budaya atau kebudayaan mempunyai batasan yang sangat kompleks dan tidak terhingga, tergantung dari perspektif mana yang akan kita gunakan. Sejalan dengan permasalahan serta topik dari judul artikel ini, maka saya menempatkan budaya (baca kebudayaan) dalam dua hal. Pertama, kebudayaan merupakan suatu sistem ideasional, suatu konsep gagasan yang dimiliki oleh setiap individu yang menjadi pedoman dalam hidupnya. Kebudayaan sebagai sistem ideasional ini berada di dalam sistem kognitif setiap individu, berada di dalam alam pikiran (mind) individu yang dimiliki secara bersama dalam suatu komunitas.2 Di sini, budaya digunakan untuk mengacu pada pola kehidupan suatu masyarakat - kegiatan dan pengaturan materiil dan sosial yang berulang secara teratur.

Dengan demikian, budaya dalam pengertian tersebut, dapat dilihat sebagai sistem pengetahuan yang akan memberikan patokan guna menentukan apa ... ; guna menentukan bisa jadi apa...; guna menentukan bagaimana kita merasakannya; guna menentukan apa yang harus diperbuat tentang hal itu, dan guna menentukan bagaimana cara melakukannya. Atau, dengan kata lain kebudayaan merupakan suatu “alat” yang digunakan dalam pemenuhan kehidupannya. Di dalam sistem gagasan budaya Jawa, hal-hal seperti itu dapat ditemui di dalam berbagai adat-istiadat, tradisi, ungkapan-ungkapan tradisional, norma, aturan, pandangan hidup (ways of life), kearifan lokal, dan sebagainya.

Kedua, kebudayaan atau budaya merupakan suatu sistem makna, yaitu hal¬hal yang selalu berhubungan dengan simbol¬simbol tertentu, dikenal dan diketahui dan disebarkan oleh masyarakat yang bersangkutan. Mengingat budaya (kebudayaan) dianggap sebagai simbol, yang mengandung makna-makna tertentu, berarti ada sesuatu di dalam kebudayaan yang perlu dibaca, kemudian ditangkap dan ditafsir maknanya, sehingga pada gilirannya hasil pemaknaan dan penafsiran tersebut akan diketahui dan dibagikan oleh dan kepada masyarakat, serta diwariskan kepada generasi berikutnya.3 Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil pemaknaan dari sebuah masyarakat yang bersangkutan dalam melihat peristiwa¬peristiwa atau gejala sosial budaya yang sedang terjadi.

Sejalan dengan konsep tersebut, maka di dalam budaya Jawa secara luas telah dikenal dengan berbagai makna dan simbolisasi budaya yang hampir melingkupi seluruh aspek kehidupan masyarakatnya. Segala perilaku, tindakan, perbuatan maupun peristiwa-peristiwa tertentu yang melingkupi hidup manusia Jawa, selalu dikaitkan dengan simbol serta makna tertentu, yang seringkali dihubungkan dengan kondisi masyarakatnya. Bahkan seperti tanda-tanda alam sekali pun, sering dihubung-hubungkan dengan sesuatu peristiwa yang akan terjadi. Kepiawaian manusia Jawa dalam niteni suatu fenomena alam yang terjadi dalam hidupnya memang tidak perlu diragukan.

Sementara itu, Kuper dan Kuper4 mendefinisikan konflik sosial dalam dua hal. Pertama, konflik sosial merupakan suatu perspektif atau sudut pandang tertentu, di mana konflik dianggap selalu ada dalam setiap bentuk interaksi manusia di dalam struktur sosialnya. Kedua, konflik sosial dapat diartikan secara eksplisit sebagai suatu bentuk pertikaian terbuka seperti perang, revolusi, pemogokan dan gerakan perlawanan. Asal mula terjadinya konflik sebenarnya dapat ditelusuri dari tingkat kejadiannya. Pihak-pihak yang berkonflik dapat dibedakan atas dasar tingkat organisasi serta kekompakannya. Konflik sosial juga dapat terjadi akibat adanya pertentangan tujuan, mulai dari pertikaian yang bersifat sederhana yang dianggap bernilai tinggi, hingga kasus-kasus tertentu yang bersifat kompleks seperti penguasaan tanah, perebutan harta benda dan sebagainya. Konflik sosial juga bisa terjadi atas dasar cara yang digunakan, misalnya melalui pemaksaan secara terang-terangan; ancaman, hingga berupa bujukan yang bersifat halus.

Di dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, pada intinya mereka sangat menghindari terjadinya konflik. Walaupun bila terpaksa konflik itu harus terjadi, maka diupayakan untuk tidak dilakukan secara terang-terangan dan eksplisit. Pedoman hidup manusia Jawa yang selalu mengutamakan kerukunan, keharmonisan serta keselarasan, berusaha selalu tetap menjaga kondisi damai, harmoni dan selaras di dalam tatanan sosial, sampai kapan pun dan dimana pun. Oleh karenanya, bagi manusia Jawa istilah-istilah seperti padu, kerengan, neng-nengan diusahakan untuk dihindari, dijauhi bahkan sedapat mungkin dicegah.

Akan tetapi, konflik seringkali muncul, terutama dalam kehidupan masyarakat Jawa, manakala harga diri dan martabat mereka mulai diusik. Konflik bisa juga muncul akibat perseteruan yang dipicu oleh hadirnya pihak lain, terutama yang berkaitan dengan ketidak¬adilan dalam pembagian materi. Walaupun dalam sistem budaya Jawa kondisi seperti itu merupakan hal yang “tabu” dan “saru” untuk diperbincangkan dan dipermasalahkan, namun realitas yang terjadi saat ini sering terjadi. Sejalan dengan banyaknya permasalahan sosial yang muncul pasca bencana saat ini, maka seakan-akan masyarakat Jawa mulai meninggalkan nilai¬nilai budayanya yang telah melekat dalam dirinya. Mereka mulai menjauhi prinsip hidup yang berpijak kepada hubungan keselarasan, keharmonisan, serta kerukunan, yang selama ini telah menjadi ciri khasnya. Masyarakat Jawa mulai meninggalkan nilai-nilai budayanya, mulai menjauhi nilai-nilai kearifan lokal yang mereka miliki.

Keberadaan Budaya Lokal (Jawa): Perlukah Dikembangkan dan Dilestarikan?
Semenjak berbagai bencana yang melanda negeri ini secara bertubi-tubi (tsunami Aceh dan Nias 2004, gempa bumi Nias 2005, banjir bandang Jatim dan Sumut 2005 serta gempa bumi DIY, Jateng, bencana Merapi dan tsunami Jabar 2006) perlu disadari atau tidak bahwa negeri ini merupakan negeri yang rawan akan bencana. Selain secara geologis Indonesia sebagian besar berada di daerah yang rawan gempa karena berada di atas pertemuan tiga lempeng benua, berbagai bencana yang terjadi pun tidak luput akibat ulah manusia. Mulai dari pembabatan hutan yang ditandai dengan penebangan liar (pembalakan) hingga eksploitasi alam secara besar-besaran yang dilakukannya. Perilaku tersebut mencermin¬kan bagaimana ulah manusia yang tidak memperhatikan kelestarian alam. Nafsu serta keinginan sesaat untuk mewujudkan kepentingan pribadi jauh lebih menonjol, tanpa mempedulikan kepentingan bersama, serta kelangsungan kehidupan lingkungan.

Sebenarnya, di balik semua peristiwa bencana yang kita alami ada hikmah tersendiri yang sangat perlu untuk direnungkan, ada sesuatu yang perlu dimaknai, kemudian dijadikan pelajaran berharga. Hikmah dari peristiwa inilah kemudian dapat dijadikan pedoman dalam menapaki hidup yang lebih baik. Selain mengakibatkan traumatis serta membentuk memori kolektif yang mungkin sulit untuk dihilangkan dalam beberapa waktu, di sisi lain musibah bencana alam juga menimbulkan adanya perubahan yang terjadi dalam diri manusia maupun masyarakat, baik menyangkut sistem pengetahuan, perilaku maupun tindakan. Di dalam budaya Jawa, dengan terjadinya bencana lebih dimaknai sebagai suatu “peringatan”, teguran atau sapaan terhadap perilaku dan perbuatan manusia Jawa, yang selama ini mungkin tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai budayanya.

Sejalan dengan hal itu, maka hikmah lain yang saat ini mulai muncul dalam kehidupan masyarakat Jawa khususnya (terutama bagi daerah bencana), adalah tumbuhnya kembali bentuk-bentuk budaya lokal. Ketakutan warga masyarakat akan terjadinya bencana alam secara tidak langsung sebagai media untuk berintrospeksi diri, menggugah serta menanyakan kembali, kesalahan apa yang telah diperbuat, perilaku apa yang harus diubah dan ditinggalkan. Adanya benturan¬benturan batin yang mereka rasakan itulah, pada akhirnya manusia Jawa mulai mencari semua jawaban dalam budaya yang melingkupi hidupnya. Mereka mulai mau mengenali kembali berbagai nilai-nilai budaya lokal, yang saat ini cenderung ditinggalkan, yang justru nilai-nilai budaya tersebut sebenarnya telah mengakar di dalam dirinya.

Dibalik kehidupan yang serba “modern” yang ditandai dengan kecanggihan media informasi, serta telah menghilangkan batas-batas identitas seseorang, ternyata nilai budaya lokal masih “mampu” bertahan, bahkan masih bisa menuntun perilaku manusia. Melalui berbagai bencana yang seringkali mendera mereka, paling tidak bisa dijadikan perenungan tersendiri, kesalahan apa yang telah diperbuatnya, sehingga alam memberikan bencana kepadanya. Semenjak terjadinya bencana, saat ini warga masyarakat cenderung lebih giat melaksanakan tradisi-tradisi, adat istiadat tertentu yang mungkin mereka anggap “kuno”, tidak realistis, serta irasional. Sebagai contoh, berbagai ritual tradisi (wiwit, merti dusun, rasulan, labuhan) untuk memohon keselamatan, mulai aktif dilakukan kembali oleh warga tani; doa keselamatan mulai digelar, nilai-nilai kegotongroyongan mulai bersemi kembali, serta mulai tumbuhnya budaya sambatan, gugur gunung di kalangan masyarakat Jawa. Kesemuanya itu merupakan bentuk-bentuk budaya lokal Jawa yang sebenarnya telah dimiliki dan diajarkan dari leluhur kita. Merawat, memelihara serta menjaga kelestarian lingkungan alam, menjaga keharmonisan hubungan antara manusia-manusia, menjaga keselarasan hubungan antara manusia-alam, bahkan menjaga hubungan manusia-Tuhan, sebenarnya telah dimiliki oleh masyarakat Jawa sejak dahulu.

Namun, selama ini budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai kultural yang sangat tinggi tersebut mulai ditinggalkan, karena dianggap kuno, tradisional, serta tidak rasional. Budaya modern yang cenderung “dianggap” lebih mengutamakan kepada sikap-sikap rasionalitas-logika justru lebih diutamakan dan dianggap mampu memecahkan semua permasalahan. Akan tetapi, dengan terjadinya berbagai bencana alam yang membuat situasi dan kondisi warga masyarakat menjadi serba tidak pasti (chaos), menjadikan warga masyarakat korban bencana berusaha untuk mencari ketenangan batin melalui ritus-ritus budaya tersebut. Mereka berusaha mencari perlindungan, ketenangan, serta ketenteraman batin melalui ritual-ritual budaya. Kekuatan spiritual dan mental mulai ditumbuhkan melalui bentuk-bentuk budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai kearifan. Bagi manusia Jawa, fenomena alam yang bersifat periodik dan berpotensi memunculkan bencana, berusaha dicegah melalui ritus budaya. Selain itu, dengan adanya ritus-ritus budaya tersebut tidak lain bertujuan untuk menyegarkan kembali ingatan manusia Jawa akan tuntutan hidup yang lebih arif dan bijaksana lagi dalam memperlakukan alam lingkungannya. Selanjutnya, ritus budaya tersebut dilakukan warga masyarakat sebagai usaha untuk berintrospeksi diri. Manusia Jawa bisa melihat ke “belakang” sebelum bencana terjadi, untuk memperbaiki kehidupan “yang lebih baik” di masa depan. Budaya eling lan waspada mulai dihidupkan kembali.

Instrospeksi diri tersebut kemudian mendorong manusia Jawa untuk hidup lebih seimbang dan selaras dalam hubungannya dengan sesamanya, dengan alam lingkungannya, serta dengan Tuhan atau Pencipta-Nya. Inilah sebenarnya tujuan hakiki yang ingin dicari oleh manusia Jawa dalam menjalani kehidupannya.

Kesadaran akan ketiga hal hubungan dalam diri manusia Jawa itulah yang seharusnya dicari dalam ritus-ritus budaya. Situasi pascabencana yang menyebabkan perasaan setiap orang menjadi lebih sensitif, lebih peka, serta cenderung emosional, sangat mudah memicu timbulnya konflik sosial di antara sesama korban bencana. Kiranya konflik-konflik tersebut dapat diendapkan dan dihindarkan serta dijauhi oleh manusia Jawa, apabila mereka menyadari akan peran dan kedudukannya di alam ini, antara lain bila manusia Jawa memahami dan menyadari dalam melihat ketiga hubungan manusia tersebut. Ritus budaya Jawa yang selama ini telah menj adi tuntunan kehidupannya, kiranya jangan berhenti sebatas ekspresi budaya semata, hanya sebatas seremonial belaka. Namun, semangat atau spirit yang terkandung di dalam ritus budaya Jawa hendaknya harus dipegang dan diterjemahkan untuk selanjutnya diaplikasikan dan diimplementasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, kegiatan nyata pemulihan pascabencana harus didasari dalam kerangka kearifan dalam melaksanakan sebuah ritual. Hubungan manusia dengan alam harus diselaraskan, hubungan manusia dengan Tuhan (Pencipta) harus diseimbangkan, serta hubungan manusia dengan manusia harus diperbaiki kembali. Kesemuanya itu, tidak lain bertujuan membangun suatu tatanan kehidupan yang seimbang, rukun, selaras serta harmoni.

Melalui ritual budaya lokal, manusia Jawa diajak kembali untuk berpijak kepada tradisi, melihat kembali kearifan lokal yang pernah hidup dan diwarisi dari para leluhur, nenek moyang serta para sesepuh mereka. Kesadaran kolektif manusia Jawa muncul kembali, sehingga mereka sadar bahwa perilaku manusia Jawa, sesungguhnya sangat berkaitan erat dengan perilaku alam lingkungan yang telah memberikan penghidupan baginya. Pada dasarnya, ritus budaya Jawa merupakan penyatuan antara harapan, doa, dan niat mulia manusia untuk mencapai kebaikan bersama. Kondisi korban pascabencana yang cenderung menjadi lebih sensitif karena kondisi yang dialami, kiranya semangat kebersamaan harus terus ditumbuhkan, dipupuk dan dilestarikan untuk mencegah terjadinya konflik sosial.

Dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda negeri ini ternyata telah menunjukkan bahwa di antara warga masyarakat maupun bangsa Indonesia secara umum sebenarnya memiliki modal sosial yang sangat besar dan kuat. Dalam skala nasional, dengan terjadinya bencana ternyata telah membangkitkan kesadaran kolektif warga bangsa, untuk mengenyam kembali modal sosial yang pernah tersimpan selama ini. Mungkin di antara kita bisa mengenali kembali modal sosial yang ada di dalam keluarga kita, di dalam kehidupan warga masyarakat, yayasan/lembaga, hingga kepada hal yang paling besar dan kompleks seperti institusi negara. Di sinilah saatnya mulai tumbuh rasa solidaritas sosial yang selama ini mungkin sempat hilang dan tenggelam akibat sikap egosentrisme kelompok, pertikaian politik maupun konflik sosial yang marak terjadi selama ini. Kini saatnya kita memiliki peluang emas untuk merajut kembali ikatan persaudaraan yang sempat mengendur, dengan menumbuhkan kembali kegotongroyongan, kebersamaan, kerukunan serta kejujuran.

Setelah melihat realita yang terjadi di masyarakat saat ini dengan munculnya berbagai ritus budaya Jawa pascabencana, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah semangat tradisi budaya itu benar¬benar telah merasuk dalam kehidupan masyarakat Jawa. Atau, apakah ritual budaya tersebut hanya sekedar ‘etalase’ budaya yang marak dalam waktu sesaat dan akan hilang dalam waktu sekejap saja? Kiranya jawaban pertanyaan ini berpulang kepada diri kita masing-masing sebagai penyangga serta pemilik identitas sebagai manusia Jawa, sehingga apakah nilai-nilai budaya Jawa perlu untuk tetap dilestarikan dan diwariskan kepada pewarisnya?.

Penutup
Dengan maraknya berbagai ekspresi budaya lokal yang tercermin dalam beberapa ritual yang dilakukan warga masyarakat Jawa pascagempa, sedikitnya telah mengingatkan kita kepada bentuk-bentuk nilai-nilai luhur budaya Jawa, ternyata sangat penting bagi kehidupan kita. Rasa kebersamaan, kegotongroyongan, saling bantu membantu, kerukunan, serta tolong menolong, kiranya merupakan “senjata ampuh” guna menanggulangi berbagai permasalahan yang sedang dihadapi saat ini.

Di tengah mencuatnya berbagai ujian persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga mengakibatkan perseteruan, konflik sosial, bahkan disintegrasi bangsa sekalipun semenjak pascabencana, maka nilai-nilai peradaban budaya Jawa yang mengedepankan budaya dan etika kiranya memang sangat diperlukan. Di saat nilai-nilai budaya Jawa mulai terkikis oleh derasnya ombak modernitas, ternyata ia masih mampu bertahan. Oleh karenanya, aspek budaya lokal pada dasarnya mempunyai potensi sebagai perekat bagi terciptanya keutuhan sebuah bangsa. Keanekaragaman budaya lokal yang tercermin dalam berbagai ritual, tradisi, serta semboyan maupun pandangan hidup, selain menjadi identitas dan jati diri bagi suatu sukubangsa, ternyata mempunyai peran yang cukup kuat dalam menciptakan kerukunan, kebersamaan serta keselarasan, di antara sesama warga.

Perubahan paradigma pembangunan saat ini yang menekankan kepada otonomi daerah kiranya sangat memberi peluang terhadap tumbuh berkembangnya budaya lokal termasuk budaya Jawa, sebagai salah satu pedoman bagi kehidupan masyarakat Nilai-nilai dalam budaya lokal diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan dalam pembangunan. Di samping itu, dengan memelihara, meningkatkan, serta mengembangkan budaya lokal yang bersumber pada nilai-nilai adat tradisi, yang selanjutnya akan membentuk dan memperkuat jati diri daerah, serta mendukung berkembangnya kemandirian daerah, kiranya perlu dilestarikan dan diaplikasikan. Akhirnya, nilai-nilai yang terkandung dalam kekayaan budaya lokal bisa menjadi identitas dan jati diri bagi seseorang, sukubangsa serta bangsa (nation). Oleh sebab itu, kehidupan yang selalu menekankan kepada aspek kekerabatan (peseduluran) dengan mengedepankan sikap kebersamaan, kerukunan, kegotongroyongan, tentu akan menghasilkan kehidupan masyarakat yang rukun, adem ayem, serta tentrem, jauh dari terjadinya konflik sosial.

Akan tetapi pertanyaan penting yang masih perlu direnungkan dan dicari jawabannya adalah apakah sikap-sikap seperti rukun, guyub, adem ayem, tentrem tersebut, harus muncul setelah bencana terjadi?

Daftar Pustaka
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. (terjemahan). Yogyakarta: Kanisius.

Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga.

Kuper, Adam dan Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali Press.

Kedaulatan Rakyat. 2006. “Kebangkitan Yogyakarta, Kebangkitan Indonesia”, dalam Tajuk Rencana, Yogyakarta, 20 Juni 2006.

1 Dalam Harian Kedaulatan Rakyat, 20 Juni 2006, hal. 10

2 Keesing, Roger dan Godenough, Antropologi Budaya, Suatu Perspekstif Kontemporer, Penerbit Erlangga, 1999, hal. 68

3 Geertz, Clifford, Tafsir Kebudayaan (terjemahan), Kanisius, 1992, hal. 15

4 Adam Kuper and Jesica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Rajawali Press, 2000, hal. 155

Sumber :
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 – 9605 Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisonal Jogjakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
-

Arsip Blog

Recent Posts